Pelestarian
Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia,
di bawa oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya.
Konsekuensinya, Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari
kedinamisan yang ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan
tersebut dapat berupa tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun
muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab
dengan sempurna oleh Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa
jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara
ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif. [1]
Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia
diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi
adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk
dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari
Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya
dan tujuan penciptaannya.[2]
Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah
untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan
(mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itulah
Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi tujuan hukum Islam
(maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2)
memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4)
memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz
al-mâl).(Hatim Gazali, 2005) Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu
al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan
ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam adalah pemeliharaan lingkungan setara
dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi,
al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan
untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila
prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak
berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan
perikehidupan manusia.[3]
Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum
persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui penduduknya, Islam
telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan
lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim
justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang diciptakan
sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah ayat 30 yang
berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah dimuka bumi"
(QS. Al-Baqarah: 30)
Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein
Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam
dua bukunya “Man and Nature ” dan “Religion and the Environmental Crisis ”,
seperti yg dikutip Alim: “……Man therefore occupies a particular position in
this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the
master and custodian of nature. By being taught the names of all things he
gains domination over them, but he is given this power only because he is the
vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is
given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic
make-up, not as a rebel against heaven”. Sebagai khalifah, sudah tentu manusia
harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari kebersihan jasmani
merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia,
terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin)
dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup). Oleh
karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya
saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang
ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proporsional
dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta
menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾
" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi
setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak
diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik". (QS. al-A'raf:56)
Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber
daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus
diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata
lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang
ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan
secara berkesinambungan.[4] Kita harus bisa mengambil
i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ ﴿112﴾
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan
sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari
nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan
dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (QS. an-Nahl :112)
Manusia Indonesia harus sadar
bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah
longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya
adalah karena ulah manusia itu sendiri.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾
"Telah nampak kerusakan didarat dan
dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan
yang benar". (QS. ar-Rum: 41).
Dalam ayat-ayat tersebut diatas
Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan karena
perbuatan manusia yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat
Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk
melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak
atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas
lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan
internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah
diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang
tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun
dalam undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan
lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila
tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung
maupun secara jangka panjang.
Dalam Islam di kenal tiga macam
bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk
dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah
melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun
berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari
pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat, Ihya'
boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam
Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, beliau
menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.Kedua,
dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu
untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau
hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan
cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan
sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks
dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara,
hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai
hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai
merusaknya.[5]
[1] M, Rasjidi, Hukum Islam dan
Pelaksanaannya dalam sejarah, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 7
[5] Ibid., h. 232
Tidak ada komentar:
Posting Komentar