Cari Blog Ini

Minggu, 01 September 2019

Hakikat Pendidikan Lingkungan Hidup


 Hakikat Pendidikan Lingkungan Hidup
Selain terkenal sebagai negara kepulauan, Indonesia juga dikenal sebagai negeri bencana. Gurauan ini beranjak dari kenyataan seringnya negara kita ini diterjang bencana. Baik bencana yang berasal tengah samudera, permukaan bumi, dari udara, bahkan dari dalam perut bumi. Mulai dari letusan gunung api, gempa bumi, air bah tsunami, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga semburan lumpur panas.
Sampai saat ini, dalam lingkup anak sekolahan, ilmu tentang bencana masih dalam bentuk bagian dari salah satu mata pelajaran lain. Sekedar berkhayal, bagaimana jika ilmu bencana alam menjadi salah satu mata pelajaran khusus. Begitupun dengan kurikulum lingkungan, sama pentingnya dengan pelajaran kebencanaan tadi. [1]
Mengingat tidak semua orang punya pengalaman dan pengetahuan tentang alam, tak ada salahnya juga kita punya pengetahuan dan keterampilan untuk lolos dari bahaya dari bencana alam. Mungkin ide masih terasa asing dan terkesan mengada-ada. Tetapi, mengingat bencana alam sudah menjadi hal yang rutin, barangkali di mana mendatang ini bisa jadi hal yang sangat mendesak.
Untuk bisa selamat dari gempa bumi, tsunami, banjir bandang, gempa tektonik saat di gedung bertingkat, tanah longsor, letusan gunung api, atau gempa laut saat kita berada di dalam perahu, dan lain sebagainya. Selain mengajarkan bagaimana bisa survive, dengan pelajaran ini kita bisa mengurangi kepanikan dan trauma terhadap bencana alam dan lingkungan. Dan sebagai ‘bonus’ yang tak kalah berharganya, kita mendapatkan pelajaran khusus tentang pendidikan lingkungan hidup. [2]
Sejauh ini ilmu bumi, di sekolah lebih dikenal sebagai mata pelajaran Geografi, dan sebagian lagi tersebar dalam ilmu lain seperti Fisika, dan Kimia Sedangkan ilmu hayat lebih dikenal sebagai mata pelajaran Biologi. Mata pelajaran ini masih menitikberatkan pada pengenalan. Pelajaran Biologi dan Geografi tadi belum terlalu dikaitkan dengan kerusakan lingkungan berikut potensi bencana hebat, dan terutama belum adanya pengetahuan dan keterampilan tentang bencana dan langkah-langkah penanggulangannya.
Apalagi semangat pelajaran kebencanaan alam ini dilandasi oleh pendidikan lingkungan dalam arti luas. Penyusunan kurikulum lingkungan pun akan disesuaikan dengan kebutuhan dan standar masing-masing guru. Para pendidik juga harus pro-aktif, kreatif dan inovatif saat menjalankan misi mencerdaskan pandangan siswa mengenai kerusakan lingkungan. Bisa juga kurikulum lingkungan dimasukkan dalam muatan lokal di tiap sekolah. Daerah rawan tsunami akan lebih mendapatkan pelajaran tentang tsunami lebih banyak dan seterusnya.[3]
Untuk pendidikan lingkungan, para siswa pun perlu mendapat lebih banyak kesempatan untuk dikenalkan dan diajak berdiskusi tentang beberapa kasus lingkungan yang terjadi di sekitar mereka. Mulai dari dampak pencemaran, bolongnya Ozon (O3), hingga ke seluk-beluk banjir, tanah longsor, dan kasus lingkungan berskala nasional yang terjadi di daerahnya.
Dengan menghadirkan berbagai pertanyaan seperti bagaimana sampai terjadinya kerusakan lingkungan, apa karakteristik tanah yang mudah longsor, bagaimana seharusnya kita menyelamatkan diri dalam situasi darurat, dan lain-lainya. Sesekali siswa diajak untuk melakukan aksi tanam massal di tepi sungai yang kerap dilanda banjir, di tepi sungai Ciliwung, misalnya, untuk sekolah-sekolah di Jakarta. Aksi tanam massal seperti ini merupakan salah satu bukti kepedulian terhadap upaya penyelamatan sungai-sungai di Ibu Kota yang kian memprihatinkan.
Pendidikan lingkungan bisa dilakukan dengan bentuk luas, dari duduk di dalam kelas sampai mengarahkan kebiasaan membuang sampah pada tempatnya.
Agar pembelajaran ini dapat berjalan lancar, tentunya kemampuan guru dan fasilitas pembelajaran perlu lebih ditingkatkan. Sebut saja misalnya alat peraga, media belajar, dan bahan pelajaran seperti bibit tanaman, tong sampah, dan buku-buku penunjang mengenai krisis lingkungan.
Selain kapasitas guru, kualitas guru pun harus ditingkatkan. Bagaimana pun guru adalah kunci utama dalam proses belajar mengajar di sekolah. Guru kurikulum lingkungan ini mau tak mau harus terus menerus memperbaharui pengetahuan untuk kasus-kasus lingkungan terbaru seperti kasus Lapindo Sidoarjo. Guru harus mampu menempatkan pelajaran ini sebagai pelajaran yang enak dan bisa menyampaikannya dengan cara yang mudah dipahami.[4]
Para siswa dengan mudah menerima misi yang berada dalam kurikulum pendidikan lingkungan. Mulai dari membuang sampah, juga keterampilan mengatasi stress saat bencana.


[1] Arifin Arief, Politik dan Lingkungan, (Jakarta: Pustaka Belajar, 2011), h. 42
[2]  Ibid., h.43
[3]Ibid.
[4] Ibid., h. 44

Tidak ada komentar: