Hakikat Pendidikan Lingkungan Hidup
Selain terkenal sebagai
negara kepulauan, Indonesia juga dikenal sebagai negeri bencana. Gurauan ini
beranjak dari kenyataan seringnya negara kita ini diterjang bencana. Baik
bencana yang berasal tengah samudera, permukaan bumi, dari udara, bahkan dari
dalam perut bumi. Mulai dari letusan gunung api, gempa bumi, air bah tsunami,
tanah longsor, kebakaran hutan, hingga semburan lumpur panas.
Sampai saat ini, dalam
lingkup anak sekolahan, ilmu tentang bencana masih dalam bentuk bagian dari
salah satu mata pelajaran lain. Sekedar berkhayal, bagaimana jika ilmu bencana
alam menjadi salah satu mata pelajaran khusus. Begitupun dengan kurikulum
lingkungan, sama pentingnya dengan pelajaran kebencanaan tadi. [1]
Mengingat tidak semua
orang punya pengalaman dan pengetahuan tentang alam, tak ada salahnya juga kita
punya pengetahuan dan keterampilan untuk lolos dari bahaya dari bencana alam.
Mungkin ide masih terasa asing dan terkesan mengada-ada. Tetapi, mengingat
bencana alam sudah menjadi hal yang rutin, barangkali di mana mendatang ini
bisa jadi hal yang sangat mendesak.
Untuk bisa selamat dari
gempa bumi, tsunami, banjir bandang, gempa tektonik saat di gedung bertingkat,
tanah longsor, letusan gunung api, atau gempa laut saat kita berada di dalam
perahu, dan lain sebagainya. Selain mengajarkan bagaimana bisa survive, dengan pelajaran
ini kita bisa mengurangi kepanikan dan trauma terhadap bencana alam dan
lingkungan. Dan sebagai ‘bonus’ yang tak kalah berharganya, kita mendapatkan
pelajaran khusus tentang pendidikan lingkungan hidup. [2]
Sejauh ini ilmu bumi,
di sekolah lebih dikenal sebagai mata pelajaran Geografi, dan sebagian lagi
tersebar dalam ilmu lain seperti Fisika, dan Kimia Sedangkan ilmu hayat lebih
dikenal sebagai mata pelajaran Biologi. Mata pelajaran ini masih
menitikberatkan pada pengenalan. Pelajaran Biologi dan Geografi tadi belum
terlalu dikaitkan dengan kerusakan lingkungan berikut potensi bencana hebat,
dan terutama belum adanya pengetahuan dan keterampilan tentang bencana dan
langkah-langkah penanggulangannya.
Apalagi semangat
pelajaran kebencanaan alam ini dilandasi oleh pendidikan lingkungan dalam arti
luas. Penyusunan kurikulum lingkungan pun akan disesuaikan dengan kebutuhan dan
standar masing-masing guru. Para pendidik juga harus pro-aktif, kreatif dan
inovatif saat menjalankan misi mencerdaskan pandangan siswa mengenai kerusakan
lingkungan. Bisa juga kurikulum lingkungan dimasukkan dalam muatan lokal di
tiap sekolah. Daerah rawan tsunami akan lebih mendapatkan pelajaran tentang
tsunami lebih banyak dan seterusnya.[3]
Untuk pendidikan
lingkungan, para siswa pun perlu mendapat lebih banyak kesempatan untuk
dikenalkan dan diajak berdiskusi tentang beberapa kasus lingkungan yang terjadi
di sekitar mereka. Mulai dari dampak pencemaran, bolongnya Ozon (O3), hingga ke
seluk-beluk banjir, tanah longsor, dan kasus lingkungan berskala nasional yang
terjadi di daerahnya.
Dengan menghadirkan
berbagai pertanyaan seperti bagaimana sampai terjadinya kerusakan lingkungan,
apa karakteristik tanah yang mudah longsor, bagaimana seharusnya kita
menyelamatkan diri dalam situasi darurat, dan lain-lainya. Sesekali siswa
diajak untuk melakukan aksi tanam massal di tepi sungai yang kerap dilanda
banjir, di tepi sungai Ciliwung, misalnya, untuk sekolah-sekolah di Jakarta.
Aksi tanam massal seperti ini merupakan salah satu bukti kepedulian terhadap
upaya penyelamatan sungai-sungai di Ibu Kota yang kian memprihatinkan.
Pendidikan lingkungan
bisa dilakukan dengan bentuk luas, dari duduk di dalam kelas sampai mengarahkan
kebiasaan membuang sampah pada tempatnya.
Agar pembelajaran ini
dapat berjalan lancar, tentunya kemampuan guru dan fasilitas pembelajaran perlu
lebih ditingkatkan. Sebut saja misalnya alat peraga, media belajar, dan bahan
pelajaran seperti bibit tanaman, tong sampah, dan buku-buku penunjang mengenai
krisis lingkungan.
Selain kapasitas guru,
kualitas guru pun harus ditingkatkan. Bagaimana pun guru adalah kunci utama
dalam proses belajar mengajar di sekolah. Guru kurikulum lingkungan ini mau tak
mau harus terus menerus memperbaharui pengetahuan untuk kasus-kasus lingkungan
terbaru seperti kasus Lapindo Sidoarjo. Guru harus mampu menempatkan pelajaran
ini sebagai pelajaran yang enak dan bisa menyampaikannya dengan cara yang mudah
dipahami.[4]
Para siswa dengan mudah
menerima misi yang berada dalam kurikulum pendidikan lingkungan. Mulai dari
membuang sampah, juga keterampilan mengatasi stress saat bencana.
[1] Arifin Arief, Politik
dan Lingkungan, (Jakarta: Pustaka Belajar, 2011), h. 42
[2] Ibid., h.43
[4] Ibid., h. 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar