Cari Blog Ini

Senin, 30 April 2018

Pendidikan Agama Islam (PAI)


A.    Pendidikan Agama Islam (PAI)
1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Di dalam Kurikulum PAI 2004 sebagaimana dikutip oleh Ramayulis disebutkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, beakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.[1]
Menurut Zakiyah Daradjat sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid dan Dian Andayani,

Pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.[2]
Di dalam GBPP Pendidikan Agama Islam di sekolah umum, dijelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Esensi dari pendidikan adalah adanya proses transfer nilai, pengetahuan, dan ketrampilan dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan agama Islam, maka akan mencakup dua hal, yaitu: (a) mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; (b) mendidik siswa untuk mempelajari materi ajaran agama Islam.[3]
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam yaitu:
a.       Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
b.      Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam.
c.       Pendidik atau Guru Pendidikan Agama Islam yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam.
d.      Kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk membentuk kesalehan-kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti, kualitas ataukesalehan pribadi itu diharapkan mampu memancar keluar dalam hubungan keseharian dengan manusia lainnya (bermasyarakat), baik yang seagama (sesama Muslim) atau yang tidak seagama (hubungan dengan non Muslim), serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat terwujud persatuan dan kesatuan nasional (ukhuwah wathoniyah) dan bahkan ukhuwah insaniyah (persatuan dan kesatuan antar sesama manusia).[4]
2.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Di dalam GBPP PAI 1994 sebagaimana dikutip oleh Muhaimin disebutkan bahwa secara umum, Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk:

Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[5]
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah sama dengan tujuan manusia diciptakan, yakni untuk berbakti kepada Allah SWT sebenar-benarnya bakti atau dengan kata lain untuk membentuk manusia yang bertaqwa, berbudi luhur, serta memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, yang menurut istilah marimba disebut terbentuknya kepribadian muslim.
Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), yaitu:
a.       Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam,
b.      Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam,
c.       Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran agama Islam,
d.      Dimensi pengalamannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilainilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Masing-masing dimensi itu membentuk kaitan yang terpadu dalam usaha membentuk manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia, dalam arti bagaimana Islam yang diimani kebenarannya itu mampu dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kurikulum 1999, tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: “agar siswa memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia”.[6]
Rumusan tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) ini mengandung pengertian bahwa proses Pendidikan Agama Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah dimulai dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, untuk selanjutnya menuju ke tahapan afeksi, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait dengan kognisi, dalam arti penghayatan dan keyakinan siswa menjadi kokoh jika dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran dan nilai agama Islam. Melalui tahapan afeksi tersebut diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri siswa dan tergerak untuk mengamalkan dan menaati ajaran Islam (tahapan psikomotorik) yang telah diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia Muslim yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Di dalam Peraturan Menteri (PERMEN) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi/Kompetensi Dasar dijelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam di SMP/MTs bertujuan untuk:
a.       Menumbuhkembangkan aqidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
b.      Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.[7]
Oleh karena itu berbicara Pendidikan Agama Islam (PAI), baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.[8]
3.      Fungsi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai berikut:
a.       Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik pada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.[9]
Dengan melalui proses belajar-mengajar pendidikan agama diharapkan terjadinya perubahan dalam diri anak baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Dan dengan adanya perubahan dalam tiga aspek tersebut diharapkan akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak didik, dimana pada akhirnya cara berfikir, merasa dan melakukan sesuatu itu akan menjadi relatif menetap dan membentuk kebiasaan bertingkah laku pada dirinya, perubahan yang terjadi harus merupakan perubahan tingkah laku yang mengarah ke tingkah laku yang lebih baik dalam arti berdasarkan pada pendidikan agama. Di samping pendidikan agama disampaikan secara empiric problematic, juga disampaikan dengan pola homeostatika, yaitu keselarasan antara akal kecerdasan dan perasaan yang melahirkan perilaku akhlaqul karimah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pola ini menuntut upaya lebih menekankan pada faktor kemampuan berfikir dan berperasaan moralis yang merentang ke arah Tuhannya, dan ke arah masyarakatnya, dimana iman dan taqwa menjadi rujukannya.
b.      Penanaman Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[10]
Sering terjadi kesalahpahaman di antara kita karena menganggap bahwa pendidikan agama Islam hanya memuat pelajaran yang berkaitan dengan akhirat atau kehidupan setelah mati. Bahkan ada yang berlebihan kesalahannya karena menganggap bahwa madrasah hanya mendidik anak untuk siap meninggal dunia.
Dengan konsekuensi negatif, anggapan seperti itu adalah salah, yang benar adalah bahwa madrasah atau lebih umum lagi pendidikan agama Islam dilaksanakan untuk memberi bekal siswa dalam mengarungi kehidupan di dunia yang hasilnya nanti mempunyai konsekuensi di akhirat.
Seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 201:
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (البقرة: 201)
Dan di antara mereka ada orang yang bendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. 2: 201)
c.       Penyesuaian Mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan social dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.[11]
Dapat dikatakan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi, pendidikan agama Islam adalah ikhtiar manusia dengan jalan bimbingan dan pimpinan untuk membantu dan mengarahkan fitrah agama peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran agama.
d.      Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.[12]
Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini, selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka meminta pertolongan. Itulah sebabnya bagi orang-orang Muslim diperlukan adanya pendidikan agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke arah yang benar sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam.
e.       Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menjadi manusia Indonesia seutuhnya.[13]
Maksudnya adalah bahwa Pendidikan Agama Islam mempunyai peran dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Oleh karena itu, diharapkan Pendidikan Agama Islam menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Untuk itu, Pendidikan Agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Orang tua dalam hal ini berperan sangat penting terhadap pembentukan watak anak khususnya pada masa pra sekolah, karena yang dapat dilakukan anak pada masa itu adalah meniru tindakan orang yang berada disekitarnya.
Oleh sebab itu berbicara pendidikan agama Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial.
Sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 17 yang berbunyi:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17)
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. 31: 17)
f.       Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya.[14]
Dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya kedudukan pendidikan agama dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dapat dibuktikan dengan ditempatkannya unsur agama dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama dalam Pancasila adalah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan makna bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragama. Untuk membina bangsa yang beragama, pendidikan agama ditempatkan pada posisi strategis yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem pendidikan nasional.
g.      Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya dan bagi orang lain.[15]
Karena itulah pendidikan Islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab berusaha memadukan unsur profan dan imanen, dimana dengan pemaduan ini, akan membuka kemungkinan terwujudnya tujuan inti pendidikan Islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang. Di samping itu, pendidikan agama Islam memberikan bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
4.      Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Ruang lingkup materi PAI di dalam kurikulum 1994 sebagaimana dikutip oleh Muhaimin pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu: al-Qur’an-Hadits, keimanan, syari’ah, ibadah, muamalah, akhlak, dan tarikh. Pada kurikulum tahun 1999 dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu: al-Qur’an, keimanan, akhlak, fikih dan bimbingan ibadah serta tarikh yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup: al-Qur’an dan al-hadits, keimanan, akhlak, fiqih atau ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.[16]
Mengenai lingkup maupun urutan sajian materi pokok pendidikan agama itu sebenarnya telah dicontohkan oleh Luqman ketika mendidik putranya.
Unsur-unsur pokok materi kurikulum Pendidikan Agama Islam yang tersebut di atas masih terkesan bersifat umum dan luas. Perlu ditata kembali menurut kemampuan siswa dan jenjang pendidikannya. Dalam arti, kemampuan-kemampuan apa yang diharapkan dari lulusan jenjang pendidikan tertentu sebagai hasil dari pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kurikulum 1994 sebagaimana diikuti oleh Muhaimin, dijelaskan bahwa pada jenjang Pendidikan Menengah, kemampuan-kemampuan dasar yang diharapkan dari lulusannya adalah dengan landasan iman yang benar, siswa:
a.       Taat beribadah, mampu berdzikir dan berdo’a serta mampu menjadi imam; anak pada usia SMP dapat menjalankan rukun Islam, terutama sahadat, shalat, zakat, dan puasa. Anak diharapkan juga mampu mengagungkan asma Allah SWT, serta mampu memimpin shalat.
b.      Mampu membaca al-Qur’an dan menulisnya dengan benar serta berusaha memahami kandungan maknanya terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang relevan dengan apa yang diketahui di lingkungan sekitarnya.
c.       Memiliki kepribadian Muslim, artinya di dalam diri anak selalu terpancar kesalehan pribadi dengan selalu menampakkan kebajikan yang patut dipertahankan dan diteladani untuk ukuran sebaya.
d.      Memahami, menghayati dan mengambil manfaat sejarah dan perkembangan agama Islam, dalam hal ini disesuaikan dengan kemampuannya.
e.       Mampu menerapkan prinsip-prinsip muamalah dan syari’at Islam dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam arti mampu menerapkan hubungan sesama makhluk dengan memperhatikan hukum Islam dan pengetahuan tentang agama Islam yang dimiliki anak usia SMP.[17]
Agar kemampuan-kemampuan lulusan atau out put yang diharapkan itu dapat tercapai, maka tugas guru pendidikan agama Islam adalah berusaha secara sadar untuk membimbing, mengajar, dan melatih siswa sebagai siswa agar dapat: (1) meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga; (2) menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami bidang agama serta mengembangkannya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat bagi orang lain; (3) memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; (4) menangkal dan mencegah pengaruh negatif dari kepercayaan, paham atau budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan keyakinan siswa; (5) menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam; (6) menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; dan (7) mampu memahami, mengilmui pengetahuan agama Islam secara menyeluruh sesuai dengan daya serap siswa dan keterbatasan waktu yang tersedia.[18]
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya ruang lingkup Pendidikan Agama Islam berpusat pada sumber utama ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 2 dan surat al-Isra’ ayat 9:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ (البقرة: 2)

Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS. 2: 2)
إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً (الإسراء: 9)
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS. 17: 9)
Seringkali manusia menemui kesulitan dalam memahami al-Qur’an dan hal ini juga dialami oleh para sahabat Rasulullah SAW sebagai generasi pertama penerima Al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah SAW, yang memang diberi otoritas oleh Allah SWT, hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: 44)
Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. 16: 44)
Dengan demikian, Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an dan sekaligus dijadikan sebagai sumber pokok ajaran Islam serta dijadikan pijakan atau landasan dalam lapangan pembahasan Pendidikan Agama Islam.
Dari kedua sumber tersebut, baik pada jenjang dasar maupun menengah kemampuan yang diharapkan adalah sosok siswa yang beriman dan berakhlak. Hal tersebut tentunya selaras dengan tujuan pendidikan agama Islam seperti tersebut di atas, yaitu sosok siswa yang secara terus menerus membangun pengalaman belajarnya, baik pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
5.      Kedudukan Pembelajaran PAI di Sekolah
Di dalam UUSPN Nomor 21/1989 pasal 39 ayat (2) ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat antara lain Pendidikan Agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Pendidikan Agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[19]
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan daripendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetensi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri:
a.       Lebih menitikberatkan pencapaian kompetensi secara utuh selain penguasaan materi.
b.      Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c.       Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya pendidikan.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Pendidik diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam.[20]


[1]Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islamو (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 21
[2]Abdul Majid dan Dian Andayani, op. cit., h. 130
[3]Muhaimin, dkk. op.cit. h. 75-76
[4]Ibid., h. 76
[5]Ibid., h. 78
[6]Ibid., h. 78-79
[7]Permen Nomor 22 Tahun 2006, Tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA-MA-SMK-MAK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 81
[8]Abdul Majid dan Dian Andayani, op. cit., h. 136
[9]Ibid., h. 134
[10]Ibid.
[11]Abdul Majid dan Dian Andayani, op. cit., h. 134
[12]Ibid., h. 134
[13]Ibid.
[14]Ibid.
[15]Ibid.
[16]Ibid., h. 131
[17]Muhaimin, dkk. op. cit., h. 81
[18]Ibid., h. 83
[19]Muhaimin, dkk. op. cit., h. 75
[20]Permen Nomor 22 Tahun 2006, op. cit., h. 1

Tidak ada komentar: