A.
Pendidikan
Agama Islam (PAI)
1.
Pengertian
Pendidikan Agama Islam
Di dalam
Kurikulum PAI 2004 sebagaimana dikutip oleh Ramayulis disebutkan bahwa
Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa,
beakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci
al-Qur’an dan al-Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta
penggunaan pengalaman.[1]
Menurut
Zakiyah Daradjat sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid dan Dian Andayani,
Pendidikan
agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar
senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati
tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai
pandangan hidup.[2]
Di dalam GBPP
Pendidikan Agama Islam di sekolah umum, dijelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam
adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati,
dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam
hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional.
Esensi dari
pendidikan adalah adanya proses transfer nilai, pengetahuan, dan ketrampilan
dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh
karena itu ketika kita menyebut pendidikan agama Islam, maka akan mencakup dua
hal, yaitu: (a) mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau
akhlak Islam; (b) mendidik siswa untuk mempelajari materi ajaran agama Islam.[3]
Dari
pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pembelajaran Pendidikan Agama Islam yaitu:
a.
Pendidikan
Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan
atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak
dicapai.
b.
Peserta
didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang
dibimbing, diajari dan atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam.
c.
Pendidik
atau Guru Pendidikan Agama Islam yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan
Pendidikan Agama Islam.
d.
Kegiatan
pembelajaran Pendidikan Agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik,
yang disamping untuk membentuk kesalehan-kesalehan atau kualitas pribadi, juga
sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti, kualitas ataukesalehan
pribadi itu diharapkan mampu memancar keluar dalam hubungan keseharian dengan
manusia lainnya (bermasyarakat), baik yang seagama (sesama Muslim) atau yang
tidak seagama (hubungan dengan non Muslim), serta dalam berbangsa dan bernegara
sehingga dapat terwujud persatuan dan kesatuan nasional (ukhuwah wathoniyah)
dan bahkan ukhuwah insaniyah (persatuan dan kesatuan antar sesama
manusia).[4]
2.
Tujuan
Pendidikan Agama Islam
Di dalam GBPP
PAI 1994 sebagaimana dikutip oleh Muhaimin disebutkan bahwa secara umum,
Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk:
Meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama
Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah
SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.[5]
Dengan
demikian dapatlah dipahami bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah sama
dengan tujuan manusia diciptakan, yakni untuk berbakti kepada Allah SWT
sebenar-benarnya bakti atau dengan kata lain untuk membentuk manusia yang bertaqwa,
berbudi luhur, serta memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama,
yang menurut istilah marimba disebut terbentuknya kepribadian muslim.
Dari tujuan
tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju
oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), yaitu:
a.
Dimensi keimanan
peserta didik terhadap ajaran agama Islam,
b.
Dimensi pemahaman
atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama
Islam,
c.
Dimensi penghayatan
atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran
agama Islam,
d.
Dimensi pengalamannya,
dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati
atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam
dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan
nilainilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Masing-masing
dimensi itu membentuk kaitan yang terpadu dalam usaha membentuk manusia muslim
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia, dalam arti
bagaimana Islam yang diimani kebenarannya itu mampu dipahami, dihayati, dan
diamalkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di dalam GBPP
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kurikulum 1999, tujuan Pendidikan
Agama Islam (PAI) tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: “agar siswa
memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia”.[6]
Rumusan tujuan
Pendidikan Agama Islam (PAI) ini mengandung pengertian bahwa proses Pendidikan
Agama Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah dimulai dari tahapan
kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran Islam, untuk selanjutnya menuju ke tahapan afeksi,
yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri
siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait dengan
kognisi, dalam arti penghayatan dan keyakinan siswa menjadi kokoh jika
dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran dan nilai agama Islam.
Melalui tahapan afeksi tersebut diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri
siswa dan tergerak untuk mengamalkan dan menaati ajaran Islam (tahapan psikomotorik)
yang telah diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia
Muslim yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Di dalam
Peraturan Menteri (PERMEN) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi/Kompetensi
Dasar dijelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam di SMP/MTs bertujuan untuk:
a.
Menumbuhkembangkan
aqidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya
kepada Allah SWT.
b.
Mewujudkan
manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,
berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara
personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.[7]
Oleh karena
itu berbicara Pendidikan Agama Islam (PAI), baik makna maupun tujuannya
haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan
melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga
dalam rangka menuai keberhasilan hidup di dunia bagi anak didik yang kemudian
akan mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.[8]
3.
Fungsi
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan
Agama Islam (PAI) untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai berikut:
a.
Pengembangan,
yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik pada Allah SWT yang
telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama
kewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang tua
dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam
diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan
tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.[9]
Dengan melalui
proses belajar-mengajar pendidikan agama diharapkan terjadinya perubahan dalam
diri anak baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Dan dengan adanya
perubahan dalam tiga aspek tersebut diharapkan akan berpengaruh terhadap
tingkah laku anak didik, dimana pada akhirnya cara berfikir, merasa dan melakukan
sesuatu itu akan menjadi relatif menetap dan membentuk kebiasaan bertingkah
laku pada dirinya, perubahan yang terjadi harus merupakan perubahan tingkah
laku yang mengarah ke tingkah laku yang lebih baik dalam arti berdasarkan pada
pendidikan agama. Di samping pendidikan agama disampaikan secara empiric
problematic, juga disampaikan dengan pola homeostatika, yaitu
keselarasan antara akal kecerdasan dan perasaan yang melahirkan perilaku akhlaqul
karimah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pola ini menuntut upaya
lebih menekankan pada faktor kemampuan berfikir dan berperasaan moralis yang
merentang ke arah Tuhannya, dan ke arah masyarakatnya, dimana iman dan taqwa
menjadi rujukannya.
b.
Penanaman
Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.[10]
Sering terjadi
kesalahpahaman di antara kita karena menganggap bahwa pendidikan agama Islam
hanya memuat pelajaran yang berkaitan dengan akhirat atau kehidupan setelah
mati. Bahkan ada yang berlebihan kesalahannya karena menganggap bahwa madrasah
hanya mendidik anak untuk siap meninggal dunia.
Dengan
konsekuensi negatif, anggapan seperti itu adalah salah, yang benar adalah bahwa
madrasah atau lebih umum lagi pendidikan agama Islam dilaksanakan untuk memberi
bekal siswa dalam mengarungi kehidupan di dunia yang hasilnya nanti mempunyai
konsekuensi di akhirat.
Seperti firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 201:
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (البقرة: 201)
“Dan di antara
mereka ada orang yang bendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. 2: 201)
c.
Penyesuaian
Mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan
fisik maupun lingkungan social dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan
ajaran agama Islam.[11]
Dapat
dikatakan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan suatu hal yang dijadikan
sandaran ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi, pendidikan agama
Islam adalah ikhtiar manusia dengan jalan bimbingan dan pimpinan untuk membantu
dan mengarahkan fitrah agama peserta didik menuju terbentuknya kepribadian
utama sesuai dengan ajaran agama.
d.
Perbaikan,
yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan
kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman
ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.[12]
Semua manusia
dalam hidupnya di dunia ini, selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup
yang disebut agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan
yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat
mereka meminta pertolongan. Itulah sebabnya bagi orang-orang Muslim diperlukan
adanya pendidikan agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke
arah yang benar sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan
ajaran Islam.
e.
Pencegahan,
yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain
yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menjadi manusia
Indonesia seutuhnya.[13]
Maksudnya
adalah bahwa Pendidikan Agama Islam mempunyai peran dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Oleh karena
itu, diharapkan Pendidikan Agama Islam menjalankan fungsinya sehingga
masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Untuk itu,
Pendidikan Agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada
masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya.
Orang tua dalam hal ini berperan sangat penting terhadap pembentukan watak anak
khususnya pada masa pra sekolah, karena yang dapat dilakukan anak pada masa itu
adalah meniru tindakan orang yang berada disekitarnya.
Oleh sebab itu
berbicara pendidikan agama Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu
pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial
atau moralitas sosial.
Sebagaimana
tercermin dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 17 yang berbunyi:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ
عَزْمِ الْأُمُورِ
(لقمان: 17)
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal
yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. 31: 17)
f.
Pengajaran
tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya.[14]
Dapat
dikatakan bahwa betapa pentingnya kedudukan pendidikan agama dalam pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya, dapat dibuktikan dengan ditempatkannya unsur agama
dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama dalam
Pancasila adalah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan makna bahwa
bangsa kita adalah bangsa yang beragama. Untuk membina bangsa yang beragama,
pendidikan agama ditempatkan pada posisi strategis yang tidak dapat dipisahkan
dalam sistem pendidikan nasional.
g.
Penyaluran,
yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama
Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat
dimanfaatkan untuk dirinya dan bagi orang lain.[15]
Karena itulah
pendidikan Islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab berusaha memadukan
unsur profan dan imanen, dimana dengan pemaduan ini, akan membuka kemungkinan
terwujudnya tujuan inti pendidikan Islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang
beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang. Di
samping itu, pendidikan agama Islam memberikan bimbingan jasmani rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.
4.
Ruang
Lingkup Pendidikan Agama Islam
Ruang lingkup materi
PAI di dalam kurikulum 1994 sebagaimana dikutip oleh Muhaimin pada dasarnya
mencakup tujuh unsur pokok, yaitu: al-Qur’an-Hadits, keimanan, syari’ah,
ibadah, muamalah, akhlak, dan tarikh. Pada kurikulum tahun 1999 dipadatkan
menjadi lima unsur pokok, yaitu: al-Qur’an, keimanan, akhlak, fikih dan
bimbingan ibadah serta tarikh yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran
agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup: al-Qur’an dan
al-hadits, keimanan, akhlak, fiqih atau ibadah, dan sejarah, sekaligus
menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT,
diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.[16]
Mengenai
lingkup maupun urutan sajian materi pokok pendidikan agama itu sebenarnya telah
dicontohkan oleh Luqman ketika mendidik putranya.
Unsur-unsur
pokok materi kurikulum Pendidikan Agama Islam yang tersebut di atas masih
terkesan bersifat umum dan luas. Perlu ditata kembali menurut kemampuan siswa
dan jenjang pendidikannya. Dalam arti, kemampuan-kemampuan apa yang diharapkan
dari lulusan jenjang pendidikan tertentu sebagai hasil dari pembelajaran Pendidikan
Agama Islam.
Dalam GBPP
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kurikulum 1994 sebagaimana diikuti oleh
Muhaimin, dijelaskan bahwa pada jenjang Pendidikan Menengah,
kemampuan-kemampuan dasar yang diharapkan dari lulusannya adalah dengan
landasan iman yang benar, siswa:
a.
Taat
beribadah, mampu berdzikir dan berdo’a serta mampu menjadi imam; anak pada usia
SMP dapat menjalankan rukun Islam, terutama sahadat, shalat, zakat, dan puasa.
Anak diharapkan juga mampu mengagungkan asma Allah SWT, serta mampu memimpin
shalat.
b.
Mampu
membaca al-Qur’an dan menulisnya dengan benar serta berusaha memahami kandungan
maknanya terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama yang relevan dengan apa yang diketahui di lingkungan sekitarnya.
c.
Memiliki
kepribadian Muslim, artinya di dalam diri anak selalu terpancar kesalehan
pribadi dengan selalu menampakkan kebajikan yang patut dipertahankan dan
diteladani untuk ukuran sebaya.
d.
Memahami,
menghayati dan mengambil manfaat sejarah dan perkembangan agama Islam, dalam
hal ini disesuaikan dengan kemampuannya.
e.
Mampu
menerapkan prinsip-prinsip muamalah dan syari’at Islam dengan baik dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, dalam arti mampu menerapkan hubungan sesama makhluk dengan
memperhatikan hukum Islam dan pengetahuan tentang agama Islam yang dimiliki
anak usia SMP.[17]
Agar
kemampuan-kemampuan lulusan atau out put yang diharapkan itu dapat
tercapai, maka tugas guru pendidikan agama Islam adalah berusaha secara sadar
untuk membimbing, mengajar, dan melatih siswa sebagai siswa agar dapat: (1)
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang telah ditanamkan
dalam lingkungan keluarga; (2) menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami
bidang agama serta mengembangkannya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat bagi orang lain; (3)
memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya
dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari; (4) menangkal dan mencegah pengaruh negatif dari kepercayaan,
paham atau budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan keyakinan
siswa; (5) menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam; (6) menjadikan ajaran Islam
sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; dan
(7) mampu memahami, mengilmui pengetahuan agama Islam secara menyeluruh sesuai
dengan daya serap siswa dan keterbatasan waktu yang tersedia.[18]
Dari uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya ruang lingkup Pendidikan
Agama Islam berpusat pada sumber utama ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan
Sunnah.
Sebagaimana
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 2 dan surat al-Isra’ ayat 9:
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ (البقرة: 2)
“Kitab (al-Qur’an)
ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS. 2: 2)
إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ
أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ
الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً (الإسراء: 9)
“Sesungguhnya al-Qur’an
ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar
gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar”
(QS. 17: 9)
Seringkali
manusia menemui kesulitan dalam memahami al-Qur’an dan hal ini juga dialami
oleh para sahabat Rasulullah SAW sebagai generasi pertama penerima Al-Qur’an.
Oleh karena itu, mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah SAW, yang memang
diberi otoritas oleh Allah SWT, hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nahl
ayat 44:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ (النحل: 44)
“Keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan” (QS. 16: 44)
Dengan
demikian, Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an dan sekaligus
dijadikan sebagai sumber pokok ajaran Islam serta dijadikan pijakan atau
landasan dalam lapangan pembahasan Pendidikan Agama Islam.
Dari kedua
sumber tersebut, baik pada jenjang dasar maupun menengah kemampuan yang
diharapkan adalah sosok siswa yang beriman dan berakhlak. Hal tersebut tentunya
selaras dengan tujuan pendidikan agama Islam seperti tersebut di atas, yaitu
sosok siswa yang secara terus menerus membangun pengalaman belajarnya, baik
pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
5.
Kedudukan
Pembelajaran PAI di Sekolah
Di dalam UUSPN
Nomor 21/1989 pasal 39 ayat (2) ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis,
jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat antara lain Pendidikan Agama. Dan
dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Pendidikan Agama merupakan usaha untuk
memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan
untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[19]
Pendidikan
agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral
sebagai perwujudan daripendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup
pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.
Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada
optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan
Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada
manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan
berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil,
berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif,
baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar
kompetensi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai
dengan ciri-ciri:
a.
Lebih
menitikberatkan pencapaian kompetensi secara utuh selain penguasaan materi.
b.
Mengakomodasikan
keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c.
Memberikan
kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan
strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan
sumber daya pendidikan.
Pendidikan
Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan
iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan
kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia
seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan
perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal,
nasional, regional maupun global.
Pendidik
diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku
terpuji dapat dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur sekolah, orang tua
siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian
tujuan Pendidikan Agama Islam.[20]
[2]Abdul Majid dan Dian Andayani, op. cit., h.
130
[3]Muhaimin, dkk. op.cit. h. 75-76
[7]Permen Nomor 22 Tahun 2006, Tentang Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Tingkat SMA-MA-SMK-MAK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 81
[8]Abdul Majid dan Dian Andayani, op. cit., h. 136
[10]Ibid.
[11]Abdul Majid dan Dian Andayani, op. cit., h. 134
[17]Muhaimin, dkk. op. cit., h. 81
[19]Muhaimin, dkk. op. cit., h. 75
[20]Permen Nomor 22 Tahun 2006, op. cit., h. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar