Cari Blog Ini

Senin, 30 April 2018

Konsep Multikultural


A.    Konsep Multikultural
1.      Pengertian Multikultural
Multikulturalisme secara etimologis marak pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah multiculturalism berasal dari kata multicultural. Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural and multilingual”.[1]
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.[2] Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan menyinggung pula berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.[3]
Multikultural secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian, multikultural merupakan sunnatullah yang tidak dapat ditolak bagi setiap negara atau bangsa di dunia ini.
Multikultural ternyata bukanlah suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kultural” berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena plural bukan berarti sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi.[4]
Multikultural secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang “given”, tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas.[5]
2.      Multikulturalisme dalam Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam berbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.
Pendidikan dengan wawasan multikultural dalam rumusan James A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun Negara.[6]
Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta memahami pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan diantara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultural ini harus melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar.
Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial. Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.[7]
Dari beberapa defini di atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren dengan sikap pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam interaksi antar budaya yang berbeda. Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu, identitas lokal atau budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam pendidikan multikultur.
Dalam masyarakat ditemukan pelbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengkayaan budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal, nasional dan global. Oleh karena itu, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang didalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture).
Sementara itu, H.A.R. Tilaar menggariswahi bahwa model pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdismensi “right to culture” dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu, antar suku, antar agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial budaya yang plural.[8]
3.      Tujuan dan Fungsi Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam perspektif dari berbagai kelompok kultural. Tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid.[9] Sehingga sekolah menjadi elemen pengentas sosial dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.
Peran pendidikan di dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti di dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Oreintasi yang seharusnya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
a.       Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
b.      Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-masing pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.
c.       Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan perilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
d.      Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
e.       Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
f.       Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neo-liberalis. Karena hegemoni bukan hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang pelayanan terhadap masyarakat.
Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin. Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan multikultural lebih lanjut diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok. Pendidikan multikultural (multicultural education) adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.[10]
4.      Strategi dan Manajemen Pendidikan Multikultural
Dari aspek metodik, strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural. Manajemen merupakan suatu usaha atau tindakan ke arah pencapaian tujuan melalui sebuah proses.[11] Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar”. Terkait dengan praktik dan prosedur ini ada 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya.[12]
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis.[13]
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus.[14] Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apapun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam situasi tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empati pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hakhak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a) guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia, (b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda—otoriter, demokratis, dan bebas—untuk meningkatkan hak-hak siswa, (c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan (d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya.
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Terdapat 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Sedangkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam pembelajaran.
5.      Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural di SMP
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat 1 (a) disebutkan bahwa:”setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.[15]
Maka dari itu di dalam penyelenggaraan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang ada di sekolah-sekolah umum, meskipun sudah ada kebijakan dari pihak sekolah bahwa siswa yang beragama non Islam boleh ikut di dalam pelaksanaan pelajaran Pendidikan Agama Islam yang ada, tetapi pihak sekolah masih tetap menyediakan guru agama yang seagama dengan mereka.
Pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan multikultural di SMP adalah salah satu model pembelajaran pendidikan agama Islam yang dikaitkan pada keragaman yang ada, entah itu keragaman agama, etnis, bahasa dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan karena banyak dijumpai di sekolah-sekolah (SMP) umum yang bukan bercirikan Islam di dalam satu kelas saja terdiri dari berbagai siswa yang sangat beragam sekali, ada yang berbeda etnis, agama, bahasa, suku, dan lain sebagainya.
Dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan multikultural, ada tiga fase yang harus betul-betul diperhatikan oleh seorang pendidik, di antaranya ialah:
a.       Perencanaan
Perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Mulai dari kompetensi dasar, standar kompetensi, maupun silabi yang dibuat harus mencerminkan nilai-nilai multikultural.
b.      Pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap implementasi atau tahap penerapan atas desain perencanaan yang telah dibuat guru. Hakikat dari tahap pelaksanaan adalah kegiatan operasional pembelajaran itu sendiri. Dalam proses ini, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik, diantaranya ialah: aspek pendekatan dalam pembelajaran PAI berwawasan multikultural, aspek strategi dan metode dalam pembelajaran PAI berwawasan multikultural, dan prosedur pembelajaran PAI berwawasan multikultural.
c.       Evaluasi
Evaluasi adalah alat untuk mengukur sampai dimana penguasaan murid terhadap pendidikan yang telah diberikan.[16] Dengan evaluasi, dapat diukur kuantitas dan kualitas pencapaian tujuan pembelajaran. Pada hakikatnya evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan perilaku yang telah terjadi, termasuk setelah proses pelaksanaan pembelajaran PAI berwawasan multikultural.
Untuk merancang strategi hubungan multikultural dan etnik dalam SMP dapat digolongkan kepada dua yakni pengalaman pribadi dan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam pengalaman pribadi dengan menciptakan pertama, siswa etnik minoritas dan mayoritas mempunyai status yang sama; kedua, mempunyai tugas yang sama; ketiga, bergaul, berhubungan, berkelanjutan dan berkembang bersama; keempat, berhubungan dengan fasilitas, gaya belajar guru, dan norma kelas tersebut.
Adapun dalam bentuk pengajaran adalah sebagai berikut: pertama guru harus sadar akan keragaman etnik siswa; kedua, bahan kurikulum dan pengajaran seharusnya refleksi keragaman etnik; dan ketiga, bahan kurikulum dituliskan dalam bahasa daerah atau etnik yang berbeda.
Jelasnya, apabila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun agama hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan sekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri para kelompok yang ada.[17]
Sebagai langkah praktis, menurut Samsul Ma’arif, kurikulum pendidikan agama Islam di SMP setidaknya harus berisi beberapa muatan multikultural. Samsul mendeskripsikan solusinya ke dalam lima pokok muatan kurikulum, yakni:
a.       Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bias berbeda.
b.      Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama.
c.       Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.
d.      Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktivitas sebagaimana aktivitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
e.       Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.
Dalam lingkungan pendidikan SMP, metode asimilasi ini dapat diturunkan ke dalam model pembelajaran kontekstual, karena didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata.[18] Mengingat cakupan kurikulum pendidikan agama Islam dengan muatan materi yang mencakup hampir pada semua nilai kemasyarakatan, pendidikannya pun dapat langsung diajarkan dengan berinteraksi dan memahami kondisi masyarakat yang ada di sekitar sekolah, tentunya yang ada kaitannya dengan materi pendidikan agama Islam.
Analisis faktor yang dipandang penting dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan multikultural di SMP, yang meliputi: (a) tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru pendidikan agama Islam dalam menerapkan pendekatan multikultural. GPAI sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. GPAI harus bertanya terlebih dahulu kepada diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara alamiah siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. Latar belakang kultural siswa akan mempengaruhi gaya belajarnya. Agama, suku, ras/etnis dan golongan serta latar ekonomi orang tua, dapat menjadi stereotipe siswa ketika merespon stimulus di kelasnya, baik berupa pesan pembelajaran maupun pesan lain yang disampaikan oleh teman di kelasnya. Siswa bisa dipastikan memiliki pilihan menarik terhadap potensi budaya yang ada di daerah masing-masing: (e) karakteristik materi pembelajaran pendidikan agama Islam yang bernuansa multikultural.
Analisis materi potensial yang relevan dengan pembelajaran yang berwawasan multikultural yang juga dapat diterapkan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, antara lain meliputi: (1) menghormati perbedaan antar teman (gaya pakaian, mata pencaharian, suku, agama, etnis dan budaya); (2) menampilkan perilaku yang didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing; (3) kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (4) membangun kehidupan atas dasar kerjasama umat beragama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan; (5) mengembangkan sikap kekeluargaan antar suku bangsa dan antar bangsa-bangsa; (6) tanggung jawab daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga kehormatan diri dan bangsa; (8) mengembangkan sikap disiplin diri, sosial dan nasional; (9) mengembangkan kesadaran budaya daerah dan nasional; (10) mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11) membangun kerukunan hidup; (12) menyelenggarakan ‘proyek budaya’ dengan cara pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, lambang negara Garuda Pancasila, bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-pucak budaya di daerah; dan sebagainya.[19]


[1]Tobroni, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multikulturalisme, (Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat, 2007),
h. 281
[2]Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. (http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm, diakses 18 Januari 2012
[3]Malik Fajar. 2004. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme (http://www.gatra.com/2004-08-11/artikel.php?id=43305, diakses 18 Januari 2012)
[4]Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam TransformasiPendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 82
[5]Ibid., h. 179
[6]James A. Bank. Handbook of Research on Multicultural Education (http://www.educationworld.com, diakses tanggal 18 Januari 2012)
[7]Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (http://www.educationworld.com. Diakses tanggal 18 Januari 2012)
[8]H.A.R. Tilaar, op. cit., h. 185-190
[9] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada, 2007), h. 184
[10]Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36
[11]Marno, M. PdI, Islam by Management and Leadership Tinjauan Teoritis dan Empiris Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2007), h. 2
[12]Starr, Linda. 2004. Creating a Climate for Learning: Effective Classroom Management Technique (http://www.educationworld.com/a_curr/curr155.shtml, diakses 17 Januari 2012)
[13]Styles, Donna. 2004. Class Meetings: A Democratic Approach to Classroom Management (http://www.educationworld.com/a_curr/profdev012.shtml, diakses 18 Januari 2012)
[14]Abdullah Aly. Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik (http://psbps.org/, diakses 17 Januari 2012)
[15]Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Fokus Media, 2005), h. 101
[16]Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Malang: UM Press, 2004), H. 122
[17]Z. Arifin Nurdin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah (http://www.dirjen.depag.ri.or.id, diakses 17 Januari 2012).
[18]Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 40
[19]Wiriaatmadja, R. 1996. “Perspektif Multikultural dalam Pengajaran Sejarah”. (http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/, dalam Mimbar Pendidikan. Bandung. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun XV 1996, diakses tanggal 12 Januari 2011)

Tidak ada komentar: