A.
Konsep
Multikultural
1.
Pengertian
Multikultural
Multikulturalisme
secara etimologis marak pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford
Dictionary istilah multiculturalism berasal dari kata multicultural.
Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural and
multilingual”.[1]
Multikultural
berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.[2] Dalam
konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu
ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah
dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan
suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme akan menyinggung pula berbagai permasalahan yang mendukung
ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme
adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan
pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung
keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang
mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga
terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi
ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah,
demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa,
keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik,
HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Mengingat
pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam
budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini
perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan
dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.[3]
Multikultural
secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau
masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negara pun
yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian,
multikultural merupakan sunnatullah yang tidak dapat ditolak bagi setiap
negara atau bangsa di dunia ini.
Multikultural
ternyata bukanlah suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya mengandung dua
pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kultural”
berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti
yang berjenis-jenis, karena plural bukan berarti sekedar pengakuan akan adanya
hal-hal yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai
implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme
berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi.[4]
Multikultural
secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme
budaya bukanlah suatu yang “given”, tetapi merupakan suatu proses
internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas.[5]
2.
Multikulturalisme
dalam Pendidikan
Sebagai sebuah
cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup
kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar
tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah
prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh
karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian
integral dalam berbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam
pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.
Pendidikan
dengan wawasan multikultural dalam rumusan James A. Bank adalah konsep, ide
atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun Negara.[6]
Jenis
pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di
sekolah, masyarakat dengan menerima serta memahami pluralitas (etnik, ras, bahasa,
agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan diantara peserta
didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultural
ini harus melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam
setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru, murid dan keluarga serta
keseluruhan suasana belajar mengajar.
Karena jenis
pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis
aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan
prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial. Sementara itu, Bikhu Parekh
mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both
in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to
explore and learn from other cultures and perpectives”.[7]
Dari beberapa
defini di atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus
multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan,
diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu elemen
dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu
individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam
masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren dengan sikap pribadi ataupun
kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah, mereka berinteraksi
dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam interaksi antar
budaya yang berbeda. Dengan demikian dalam pendidikan multikultur,
identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self
critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu, identitas lokal atau
budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam pendidikan multikultur.
Dalam
masyarakat ditemukan pelbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya
berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan.
Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru
yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan.
Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengkayaan budaya-budaya lain yang
ada dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal, nasional dan global. Oleh karena
itu, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur,
akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas
budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri
mengakui keragaman yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi
ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses
pendidikan.
Dalam
pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada yaitu, pertama,
adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration)
yang didalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan
utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan
(knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami
secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice
reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur
pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy)
yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima,
pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture).
Sementara itu,
H.A.R. Tilaar menggariswahi bahwa model pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia
harus memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural
haruslah berdismensi “right to culture” dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan
Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung
yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan
mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan budaya lokal
yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga,
pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat
identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas
budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu
rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada
xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun
agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan
(pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang
beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama
berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan
untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia.
Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu,
antar suku, antar agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan
multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika
bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis
(moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial
budaya yang plural.[8]
3.
Tujuan dan
Fungsi Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam
perspektif dari berbagai kelompok kultural. Tujuan penting dari pendidikan
multikultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid.[9] Sehingga
sekolah menjadi elemen pengentas sosial dari struktur masyarakat yang timpang
kepada struktur yang berkeadilan.
Peran
pendidikan di dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti di dalam kaitannya
dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin ilmu
yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme,
antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan
sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan
berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Oreintasi yang
seharusnya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
a.
Orientasi
kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang
menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal,
global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
b.
Orientasi
kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat
mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga
akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan
yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur
kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang
masing-masing pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain,
lingkungan, serta negara.
c.
Orientasi
kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial
yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan
sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah
dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus
dibuktikan dengan perilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
d.
Orientasi
propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek
apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat
ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan
tepat tujuan.
e.
Orientasi
mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan
sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan
sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
f.
Orientasi
anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua
istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah
tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para
pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neo-liberalis. Karena
hegemoni bukan hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang pelayanan
terhadap masyarakat.
Dengan
demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan
belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang
meminta partisipasi antardisiplin. Pembelajaran berbasis multikultural berusaha
memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda
budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok
orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural
juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya
yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan
budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab
konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan multikultural lebih lanjut diselenggarakan
dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari
berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan
bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Tujuan pendidikan
dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk memfungsikan
peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk
membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural,
ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara
mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) untuk
membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi
gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok. Pendidikan
multikultural (multicultural education) adalah proses penanaman cara
hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup
di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan
adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik
sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.[10]
4.
Strategi
dan Manajemen Pendidikan Multikultural
Dari aspek
metodik, strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam
pendidikan multikultural. Manajemen merupakan suatu usaha atau tindakan ke arah
pencapaian tujuan melalui sebuah proses.[11] Harry
K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, mendefinisikan
manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar
dan siswa belajar”. Terkait dengan praktik dan prosedur ini ada 3 (tiga) faktor
dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical
environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c)
gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan
lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan
fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan,
warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki
pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan
fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman
dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan
simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya.[12]
Selain
lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang
menggembirakan. Gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik
pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of
leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses
pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya
peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan
guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya
kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling
berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh
sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan
peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa.
Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan
sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk
kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan
gaya kepemimpinan guru yang demokratis.[13]
Melalui
pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi
pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan
penanganan kasus.[14] Melalui
dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari
suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para
guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apapun ternyata juga
menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Sementara itu, melalui
simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri
sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam
pergaulan sehari-hari. Dalam situasi tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan
bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik,
budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan
kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat
multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di
antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila
ada konflik di antara mereka.
Dengan
strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan
pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial.
Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam
mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan
sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empati pun pada
gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran
yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif,
melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus.
Selanjutnya,
pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi
pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal
status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas
yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut.
Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok
secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hakhak
guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a)
guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia,
(b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang
berbeda—otoriter, demokratis, dan bebas—untuk meningkatkan hak-hak siswa, (c)
guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan
(d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi
hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut:
(a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui
bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya.
Lebih jauh,
pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi
multikultural. Terdapat 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a)
memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam
mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar
belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang
minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan (f)
berorientasi pada program dan masa depan. Sedangkan kompetensi multikultural
lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik
para siswa, (b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang
materi ajar, dan (c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk
mempromosikan integrasi etnik dalam pembelajaran.
5.
Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural di SMP
Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 12 ayat 1 (a) disebutkan bahwa:”setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.[15]
Maka dari itu
di dalam penyelenggaraan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang ada di
sekolah-sekolah umum, meskipun sudah ada kebijakan dari pihak sekolah bahwa
siswa yang beragama non Islam boleh ikut di dalam pelaksanaan pelajaran
Pendidikan Agama Islam yang ada, tetapi pihak sekolah masih tetap menyediakan
guru agama yang seagama dengan mereka.
Pembelajaran
pendidikan agama Islam berwawasan multikultural di SMP adalah salah satu model
pembelajaran pendidikan agama Islam yang dikaitkan pada keragaman yang ada,
entah itu keragaman agama, etnis, bahasa dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan
karena banyak dijumpai di sekolah-sekolah (SMP) umum yang bukan bercirikan
Islam di dalam satu kelas saja terdiri dari berbagai siswa yang sangat beragam
sekali, ada yang berbeda etnis, agama, bahasa, suku, dan lain sebagainya.
Dalam proses
pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan multikultural, ada tiga fase
yang harus betul-betul diperhatikan oleh seorang pendidik, di antaranya ialah:
a.
Perencanaan
Perencanaan
merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan tersebut dapat disusun
berdasarkan kebutuhan dalam jangka tertentu sesuai dengan keinginan pembuat
perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat
dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Mulai dari kompetensi dasar, standar
kompetensi, maupun silabi yang dibuat harus mencerminkan nilai-nilai
multikultural.
b.
Pelaksanaan
Tahap ini
merupakan tahap implementasi atau tahap penerapan atas desain perencanaan yang
telah dibuat guru. Hakikat dari tahap pelaksanaan adalah kegiatan operasional
pembelajaran itu sendiri. Dalam proses ini, ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan oleh seorang pendidik, diantaranya ialah: aspek pendekatan dalam
pembelajaran PAI berwawasan multikultural, aspek strategi dan metode dalam
pembelajaran PAI berwawasan multikultural, dan prosedur pembelajaran PAI
berwawasan multikultural.
c.
Evaluasi
Evaluasi
adalah alat untuk mengukur sampai dimana penguasaan murid terhadap pendidikan
yang telah diberikan.[16] Dengan
evaluasi, dapat diukur kuantitas dan kualitas pencapaian tujuan pembelajaran.
Pada hakikatnya evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan
perilaku yang telah terjadi, termasuk setelah proses pelaksanaan pembelajaran
PAI berwawasan multikultural.
Untuk
merancang strategi hubungan multikultural dan etnik dalam SMP dapat digolongkan
kepada dua yakni pengalaman pribadi dan pengajaran yang dilakukan oleh guru.
Dalam pengalaman pribadi dengan menciptakan pertama, siswa etnik
minoritas dan mayoritas mempunyai status yang sama; kedua, mempunyai
tugas yang sama; ketiga, bergaul, berhubungan, berkelanjutan dan
berkembang bersama; keempat, berhubungan dengan fasilitas, gaya belajar
guru, dan norma kelas tersebut.
Adapun dalam
bentuk pengajaran adalah sebagai berikut: pertama guru harus sadar akan
keragaman etnik siswa; kedua, bahan kurikulum dan pengajaran seharusnya
refleksi keragaman etnik; dan ketiga, bahan kurikulum dituliskan dalam
bahasa daerah atau etnik yang berbeda.
Jelasnya,
apabila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun
agama hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi,
demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan,
keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan
sekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan
bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati
diri para kelompok yang ada.[17]
Sebagai
langkah praktis, menurut Samsul Ma’arif, kurikulum pendidikan agama Islam di SMP
setidaknya harus berisi beberapa muatan multikultural. Samsul mendeskripsikan
solusinya ke dalam lima pokok muatan kurikulum, yakni:
a.
Pendidikan
agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan
pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya
dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau
makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya,
bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang
mengapa bias berbeda.
b.
Untuk mengembangkan
kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini
dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa
menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi
sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa
ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama
Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai
pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda
agama.
c.
Untuk
memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam
bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga
menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas
agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas
terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa
untuk ikut kerja bakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya.
Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus
ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda
keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.
d.
Untuk
menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program
seperti Spiritual Work Camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara
mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk
kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam
keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktivitas sebagaimana aktivitas
keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus
pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu
program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas
sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana
memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai
kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
e.
Pada bulan
Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial
pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”,
misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa
dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada
siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di
sekitarnya yang kurang mampu.
Dalam
lingkungan pendidikan SMP, metode asimilasi ini dapat diturunkan ke dalam model
pembelajaran kontekstual, karena didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian
besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan
bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata.[18]
Mengingat cakupan kurikulum pendidikan agama Islam dengan muatan materi yang
mencakup hampir pada semua nilai kemasyarakatan, pendidikannya pun dapat
langsung diajarkan dengan berinteraksi dan memahami kondisi masyarakat yang ada
di sekitar sekolah, tentunya yang ada kaitannya dengan materi pendidikan agama
Islam.
Analisis
faktor yang dipandang penting dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan model
pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan multikultural di SMP, yang
meliputi: (a) tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada
peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan
etika atau karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan
belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan
menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru
pendidikan agama Islam dalam menerapkan pendekatan multikultural. GPAI
sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan
referensi latar budaya siswanya. GPAI harus bertanya terlebih dahulu kepada
diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan
jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara alamiah
siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. Latar belakang
kultural siswa akan mempengaruhi gaya belajarnya. Agama, suku, ras/etnis dan
golongan serta latar ekonomi orang tua, dapat menjadi stereotipe siswa
ketika merespon stimulus di kelasnya, baik berupa pesan pembelajaran
maupun pesan lain yang disampaikan oleh teman di kelasnya. Siswa bisa
dipastikan memiliki pilihan menarik terhadap potensi budaya yang ada di daerah
masing-masing: (e) karakteristik materi pembelajaran pendidikan agama Islam
yang bernuansa multikultural.
Analisis
materi potensial yang relevan dengan pembelajaran yang berwawasan multikultural
yang juga dapat diterapkan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, antara
lain meliputi: (1) menghormati perbedaan antar teman (gaya pakaian, mata
pencaharian, suku, agama, etnis dan budaya); (2) menampilkan perilaku yang
didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing; (3) kesadaran bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara; (4) membangun kehidupan atas dasar kerjasama umat
beragama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan; (5) mengembangkan sikap
kekeluargaan antar suku bangsa dan antar bangsa-bangsa; (6) tanggung jawab
daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga kehormatan diri dan bangsa; (8) mengembangkan
sikap disiplin diri, sosial dan nasional; (9) mengembangkan kesadaran budaya
daerah dan nasional; (10) mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11)
membangun kerukunan hidup; (12) menyelenggarakan ‘proyek budaya’ dengan cara
pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti
bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, lambang negara
Garuda Pancasila, bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-pucak budaya
di daerah; dan sebagainya.[19]
[1]Tobroni, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi, HAM, Civil
Society, dan Multikulturalisme, (Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan
Masyarakat, 2007),
h. 281
h. 281
[2]Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural. (http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm,
diakses 18 Januari 2012
[3]Malik Fajar. 2004. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan
Multikulturalisme (http://www.gatra.com/2004-08-11/artikel.php?id=43305,
diakses 18 Januari 2012)
[4]Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam TransformasiPendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 82
[6]James A. Bank. Handbook of Research on Multicultural Education (http://www.educationworld.com,
diakses tanggal 18 Januari 2012)
[7]Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity
and Political Theory (http://www.educationworld.com. Diakses tanggal 18
Januari 2012)
[8]H.A.R. Tilaar, op. cit., h. 185-190
[9] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana
Prenada, 2007), h. 184
[10]Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 36
[11]Marno, M. PdI, Islam by Management and Leadership Tinjauan
Teoritis dan Empiris Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta:
Lintas Pustaka, 2007), h. 2
[12]Starr, Linda. 2004. Creating a Climate for Learning: Effective
Classroom Management Technique (http://www.educationworld.com/a_curr/curr155.shtml,
diakses 17 Januari 2012)
[13]Styles, Donna. 2004. Class Meetings: A Democratic Approach to
Classroom Management (http://www.educationworld.com/a_curr/profdev012.shtml,
diakses 18 Januari 2012)
[14]Abdullah Aly. Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik (http://psbps.org/,
diakses 17 Januari 2012)
[15]Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Fokus Media, 2005), h. 101
[16]Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam (Malang: UM Press, 2004), H. 122
[17]Z. Arifin Nurdin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah (http://www.dirjen.depag.ri.or.id,
diakses 17 Januari 2012).
[18]Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 40
[19]Wiriaatmadja, R. 1996. “Perspektif Multikultural dalam Pengajaran
Sejarah”.
(http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/,
dalam Mimbar Pendidikan. Bandung. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun XV 1996,
diakses tanggal 12 Januari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar