Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Strategi Belajar Tuntas


A.       Strategi Belajar Tuntas

1.      Pengertian Strategi Belajar Tuntas

Strategi belajar tuntas pada mulanya diperkenalkan oleh Bloom dan Carrol. Istilah belajar tuntas diambilkan dari kata ”mastery learning”, yang digunakan untuk menunjukkan suatu konsep dalam proses belajar yang menitikberatkan kepada ”penguasaan penuh.”[1]
M. Sastapradja mengartikan mastery of learning dengan penguasaan belajar yang tepat dan mantap.[2] Menurut Muhammad Ali, belajar tuntas adalah penguasaan hasil belajar secara penuh terhadap seluruh bahan yang dipelajari.[3] Selanjutnya Oemar Hamalik mengemukakan, strategi belajar tuntas adalah suatu strategi pengajaran yang diindividualisasikan dengan menggunakan pendekatan kelompok (group based approach)[4].
Pendekatan yang digunakan dalam strategi belajar tuntas memungkinkankan para murid belajar bersama-sama berdasarkan pembatasan bahan pelajaran yang harus dipelajari oleh murid sampai tingkat tertentu, penyediaan waktu belajar yang cukup menurut kebutuhan masing-masing murid,  dan pemberian bantuan kepada murid yang berkesulitan belajar.
Tokoh belajar tuntas yang utama adalah Benyamin S. Bloom, Fred S. Keller dan James H. Block.[5] Di Indonesia, ide mastery learning atau belajar tuntas dipopulerkan oleh BP3K (Badan Pengembangan dan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan) yang dikaitkan dengan pembaharuan kurikulum (Kurikulum 1975, PPSP atau Proyek Perintis Sekolah Pembangunan dengan pengajaran modulnya.[6] Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan, terutama dalam level mikro yaitu mengembangkan individu dalam proses pembelajaran di kelas.
Konsep belajar tuntas muncul sebagai reaksi terhadap konsep belajar yang berdasarkan prinsip ”kurva normal’. Prinsip tersebut beranggapan bahwa setiap individu anak berbeda, karena itu akan menunjukkan penguasaan yang bervariasi sehingga secara keseluruhan penguasaan masing-masing akan tersebar mulai dari yang paling jelek, rata-rata, dan paling bagus.[7] Saat guru hanya berpatokan pada kurva normal, maka upaya menuntaskan hasil belajar bagi semua siswanya tidak akan terlaksana. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa dalam setiap kelas pada umumnya terdapat berbagai tingkatan kemampuan anak yang disebabkan oleh berbagai latar belakangnya.
Conny R. Semiawan mengemukakan sesuai dengan konsep education for all (pendidikan untuk semua) bahwa secara alamiah perkembangan anak itu berbeda-beda, baik dalam intelegensi, bakat, minat, kepribadian, keadaan jasmani dan sosialnya.[8] Perbedaan perkembangan ini secara jelas dapat dilihat selama proses pembelajaran di kelas.
Tidak asing lagi bahwa dalam suatu kelas ada anak yang cepat mengerti pelajaran, bahkan ada anak yang cepat sekali mengerti suatu pelajaran, namun ada juga yang mengalami berbagai kendala fisik, mental ataupun penginderaan. Para pakar belajar tuntas seperti James H. Block (1980) melihat, memang bentuk anak itu pada dasarnya berbeda, namun setiap orang dapat mencapai taraf penguasaan penuh. Ia mengatakan bahwa, any one can learn excellently (setiap orang dapat mencapai taraf terbaik). Yang membedakan satu individu dengan yang lainnya adalah waktu. Artinya, ada orang yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu singkat dan ada yang memerlukan waktu lebih lama. [9]
Pembelajaran tuntas bagi semua tingkat kemampuan siswa ini terimplementasi melalui dua kegiatan, yaitu kegiatan remedial atau pengulangan bagi anak yang lambat dan enrichment atau pengayaan bagi anak yang cepat.
Jadi belajar tuntas adalah suatu strategi pembelajaran dimana peserta didik diharapkan mampu menguasai secara penuh atau tuntas pelajaran yang diajarkan kepadanya, dengan kriteria tertentu dan sesuai dengan kecepatannya masing-masing, dengan upaya guru memberikan treatment atau perlakuan khusus bagi masing-masing tingkatan kemampuan anak. Dalam hal ini bagi anak berkemampuan tinggi, perlu diberikan pengayaan (enrichment) dan bagi yang berkemampuan rendah perlu diberikan pengulangan (remedial) serta tambahan jam belajar menuju optimalisai pencapaian hasil belajar semua murid.
2. Prinsip-prinsip Dasar Strategi Belajar Tuntas
Strategi belajar tuntas berprinsip tidak menerima perbedaan prestasi belajar di kalangan murid sebagai konsekuensi adanya perbedaan bakat. Carrol menyatakan bahwa bakat sesungguhnya merupakan ukuran waktu yang diperlukan untuk mempelajari satu tugas di jenjang tertentu dalam kondisi ideal.[10]
Menurut Carrol, setiap anak didik akan mampu menguasai bahan kalau diberikan waktu atau kesempatan yang cukup untuk mempelajarinya, sesuai dengan kapasitas masing-masing anak didik. Dengan demikian taraf atau tingkatan belajar itu pada dasarnya adalah fungsi dari proporsi waktu yang disediakan (time allowed for learning) untuk belajar dengan waktu yang diperlukan (time needed for learning) untuk belajar oleh setiap anak didik.[11] Di samping itu, kemampuan memahami pelajaran bagi siswa secara tuntas dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang saling terkait. Ada lima faktor yang mempengaruhi penguasaan penuh, yaitu:
a.       Bakat untuk mempelajari sesuatu
Bakat itu dibawa semenjak lahir, diturunkan dan tidak dapat dirubah oleh guru. Bakat tinggi menyebabkan prestasi tinggi, sedangkan prestasi yang rendah dicari sebabnya pada bakat yang rendah.
Jika hanya melihat faktor bakat, maka guru bebas dari segala tanggung jawab atas prestasi anak yang rendah. Namun dalam hal ini Carrol berpendirian radikal, bahwa ia mengakui adanya perbedaaan bakat akan tetapi ia memandang bakat sebagai perbedaan waktu yang diperlukan untuk menguasai sesuatu. Jadi setiap orang bisa mempelajari bidang studi apa pun hingga batas yang tinggi asal diberi waktu yang cukup di samping syarat-syarat lain.
b.      Mutu pengajaran
Mutu pengajaran yang baik ditunjukkan oleh kemampuan guru membelajarakan setiap anaknya dengan perlakuan tersendiri yang sesuai baginya. Pada dasarnya anak tidak belajar secara berkelompok, akan tetapi secara individual, menurut caranya masing-masing sekalipun ia berada daalam kelompok. Itu sebabnya setiap anak memerlukan bantuan individual. Tidak ada satu metode yang sesuai bagi semua anak. Tiap anak memerlukan metode tersendiri yang sesuai baginya. Kemampuan guru mencari langkah-langkah, metode mengajar, alat pelajaran, sumber belajar yang khusus sangat dibutuhkan untuk memperbaiki mutu pengajaran.
c.       Kesanggupan memahami pelajaran
Kemampuan murid untuk menguasai suatu bidang studi banyak bergantung pada kemampuannya untuk memahami ucapan atau apa yang disampaikan guru. Oleh sebab itu bahasa sebagai alat komunikasi antara guru dan murid harus jelas sehingga  mudah dipahami murid. Untuk memperluan komunikasi dapat dilakukan berbagai usaha, antara lain:
1)      Belajar kelompok, belajar bersama atau saling membantu dalam pembelajaran
2)      Bantuan tutor sebaya
3)      Buku pelajaran dengan berbagai sumber dan buku kerja
4)      Alat audio-visual untuk penyajian yang lebih konkrit.

d.      Ketekunan
Ketekunan itu nyata dari jumlah waktu yang diberikan anak untuk mempelajari sesuatu yang memerlukan waktu tertentu. Jika anak memberikan waktu yang kurang dari yang diperlukan untuk mempelajarinya, maka ia tidak akan menguasai bahan itu sepenuhnya. Ketekunan itu tampaknya berkaitan dengan sikap dan minat terhadap pelajaran. Agar anak tekun belajar, maka yang utama adalah meberikan kemungkinan pada anak untuk melakukan suatu tugas dengan baik.
e.       Waktu yang tersedia untuk belajar
Pendirian mereka yang manganut mastery learning ialah bahwa faktor waktu sangat esensial untuk menguasai bahan pelajaran tertentu sepenuhnya. Dengan mengizinkan waktu yang secukupnya, setiap murid dapat menguasai bahan pelajaran. Namun, faktor waktu saja tidak mempertinggi keberhasilan belajar dan penguasaan bahan. Selain waktu, masih perlu sikap dan minat anak mempelajari  bahan itu, mutu pengajaran, kemampuan bahasa, dan mutu bantuan yang diperolehnya di luar kelas. [12]
Skenario dan proses belajar tuntas Rancangan dan proses belajar tuntas sekurang-kurangnya harus dirancang dengan memperhatikan hal berikut:
a.       Tujuan pengajaran yang spesifik atau khusus
b.      Pendekatan belajar-mengajar yang memungkinkan setiap individu dapat belajar
c.       Pemberian dan penggunaan umpan balik dengan cara memberikan tes-tes formatif untuk setiap unit bahan yang utuh
d.      Pemberian bantuan bagi anak yang lambat melalui program remedial dan penyediaan sarana dan kesempatan belajar tambahan bagi anak yang lebih cepat dalam belajar dengan menyediakan program pengayaan.
e.       Penetapan standar penguasaan (level of mastery) bagi anak sebelum melanjutkan kepada proses belajar unit berikutnya.
f.       Penilaian prestasi belajar yang didasarkan pada Penilaian Acuan Patokan (PAP), bukan Penilaian Acuan Norma (PAN)[13]
            Selanjutnya E. Mulyasa membedakan strategi ini dari yang non belajar tuntas pada hal-hal berikut ini:
a.       Pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang  diajarkan untuk mendiagnosa kemajuan belajar (diagnosa progress test)
b.      Peserta didik  baru dapat melangkah pada pembelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumya
c.       Pelayanan bimbingan dan penyuluhan teerhadap anak didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh melalui pengajaran korektif, yiatu pengajaran kembali, pengajaran tutorial, restrukturisasi kegiatan belajar dan pengajaran kembali ke kebiasaan-kebiasaan belajar peserta didik, sesuai dengan waktu yang diperlukan masing-masing.[14]

Dari uraian di atas dipahami bahwa prinsip dasar yang membedakan strategi belajar tuntas dengan strategi belajar non tuntas adalah mengenai pelayanan yang harus diberikan guru terhadap semua tingkatan kemampuan peserta muridnya. Guru tidak boleh berpatokan pada kurva normal, dimana sudah suatu kenyataan ada murid yang lambat, sedang dan cepat dalam suatu kelas tanpa upaya untuk mengoptimalkan hasil belajar mereka.
Guru harus memberikan treatment yang tepat untuk masing-masingnya, dan memperhatikan faktor bakat murid, kesanggupan mereka memahami pelajaran, mutu pengajaran, waktu yang tersedia dan memperhatikan ketekunan muridnya. Waktu belajar yang dibutuhkan oleh anak cepat dengan anak lambat tidak sama. Selanjutnya kepada murid yang cepat perlu diberikan pengayaan dan kepada yang lemah atau lambat diberikan pengulangan.
Keberhasilan ini dipantau secara bertahap melalui tes formatif yang berfungsi sebagai diagnosa kemajuan mereka. Bagi murid yang telah benar-benar menguasai bahan pelajaran pada tingkat tertentu, ia boleh melanjutkannya pada bahan berikutnya, sementara yang belum menguasa prasyarat itu, ia harus mengikuti pembelajaran korektif dengan kegiatan yang benar-benar mampu membawa mereka pada penguasaan bahan tersebut.

3.      Prosedur Penerapan Strategi Belajar Tuntas
Secara sederhana Bruce Joyce dan Marsha Weil mengungkapkan prosedur penerapan belajar tuntas, sebagai berikut:

First, material to be learned is divided into units ranging from the simple to complex. The material is presented to the students, penerally working as individuals through appropriate media (reading, tapes, activities). Piece by piece, the students work their way successively through the units of material, after each or which they take a test designed to help them find out what they have learned. If they have not mastered any given unit, they can repeat it or on equivalent version until they have mastered the material.[15]
Dari pendapat di atas dipahami bahwa langkah atau prosedur yang menjadi prinsip penting dari penerapan strategi belajar tuntas ini dimulai dari membagi materi pelajaran menjadi unit-unit yang terinci dari yang sederhana kepada yang kompleks, murid-murid mempelajarinya dalam kegiatan pembelajaran dan kemudian kepada murid diberikan tes untuk mengetahui ketuntasan penguasaan mereka. Bagi murid yang telah menguasainya secara tuntas, dapat lanjut pada unit berikutnya atau diberi pengayaan materi, sedangkan bagi yang belum tuntas diberikan pengajaran remedial.
Pelaksanaan belajar tuntas dalam pembelajaran di sekolah melalui langkah-langkah berikut dalam tahapan perencanaan dan pelaksanaannya.
a.       Perencanaan
       Perencanaan merupakan prakondisi belajar tuntas yang dikenal sebagai strategi Bloom Block. Tahapannya terdiri dari:
1)      Tahap pertama, mendefinisikan pelaksanaan belajar tuntas dalam bidang pengajaran yang diajarkan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a)      Penentuan tujuan instruksional meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor yang telah ditentukan untuk jangka waktu satu semester
b)      Penyusunan tabel spesifikasi satuan bahasan
c)      Pengecekan tabel spesifikasi dan tujuan instruksional khusus
d)     Penentuan alat untuk memeriksa hasil belajar berdasarkan tabel spesifikasi
e)      Penentuan standar perilaku, yang merupakan indikator penguasaan bahan oleh siswa.
2)      Tahap kedua, yaitu merencanakan satuan pelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar, dengan langkah-langkahnya:
a)      Mengidentifikasi satuan pelajaran
b)      Membuat tabel spesifikasi satuan bahasan
c)      Perencanaan kegiatan belajar mengajar untuk satuan pelajaran, pengembangannya meliputi hal berikut:
(1)   Perencanaan pengajaran berdasarkan kelompok
(2)   Penyusunan dioagnosis progress test
(3)   Pengembangan unit korektif yang berbeda dengan kegiatan kelompok yang telah dilakukan sebelumnya
b. Pelaksanaan, yang terdiri atas langkah-langkah berikut:
1)  Tahap pertama: kegiatan orientasi tentang bahan dan cara relajar, tes, standar, kerjasama belajar, bantuan relajar, dan kegiatan korektif
2)  Tahap kedua kegiatan belajar mengajar yaitu penyajian bahan sampai  pelaksanaan tes dan menetapkan siswa yang telah berhasil dan belum dalam belajar
3) Tahap ketiga penentuan tingkat penguasaan bahan berdasarkan tes sumatif
4) Tahap keempat memberitahukan atau melaporkan kembali tingkat penguasaan setiap siswa, sehingga diketahui yang telah mastery dan yang belum
5) Tahap kelima, pengecekan keefektifan seluruh program yakni berapa persentase siswa yang mampu mencapai taraf mastery.[16]
Jadi dalam belajar tuntas, pertama materi yang dipelajari dipecah menjadi unit-unit dari  yang sederhana sampai yang kompleks. Pelajar mengerjakan bagian demi bagian dengan cara maju berkelanjutan. Setelah satu unit selesai dipelajari, pelajar diberi tes untuk mengetahui keberhasilan belajar. Jika tidak dapat menyelesaikan unit tersebut, pelajar dapat mengulanginya atau mempelajari unit yang setara sampai keberhasilan tercapai.[17]
Dari beberapa pendapat mengenai langkah atau prosedur pelaksanaan strategi belajar tuntas di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam penerapan strategi belajar tuntas guru harus melaksanakan langkah-langkah sistematis, yang dimulai dengan orientasi program pada murid, membuat persiapan dari bahan ajar yang terinci, tes-tes sebagai bahan diagnosa, menyiaokan program korektif, pelaksanaan pembelajaran berdasarkan persiapan yang telah ada dengan mengutamakan keaktifan semua siswa dalam relajar, melaksanakan tes formatif sebagai diagnosa, melaksanakan kegiatan korektif berupa remedial dan pengayaan, selanjutnya mengevaluasi program secara keseluruhan untuk mengetahui keefektifannya.



[1] Noehi Nasution, Materi Pokok Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993), Cet. Ke-3, h. 94
[2] M. Sastapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 311
[3] Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 2002), h. 32
[4] Oemar Hamalik, Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar CBSA,  (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003), h. 85
[5] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 56
[6] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 37
[7] Noehi Nasution, op. cit.,  h. 91
[8] Conny R. Semiawan,  Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar, Jakarta: Indeks, 2008, h. 72
[9]  Ibid., h. 192
[10] Abu Ahmadi, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 156
[11] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 21
[12] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), disarikan dari h. 48-49
[13] Noehi Nasution, op. cit., h. 193-194
[14] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasinya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 55
[15] Bruce Joyce and Marsha Weil, Models of Teaching, (Boston: Allyn and Bacon, tt), h. 11
[16] Oemar Hamalik, op. cit., h. 92-95
[17] Sri Anitah. W. dkk, Materi Pokok Strategi Pembelajaran SD, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 3.21


Tidak ada komentar: