A. Strategi Belajar
Tuntas
1. Pengertian
Strategi Belajar Tuntas
Strategi belajar tuntas pada
mulanya diperkenalkan oleh Bloom dan Carrol. Istilah belajar
tuntas diambilkan dari kata ”mastery learning”, yang digunakan untuk
menunjukkan suatu konsep dalam proses belajar yang menitikberatkan kepada
”penguasaan penuh.”[1]
M. Sastapradja mengartikan mastery
of learning dengan penguasaan belajar yang tepat dan mantap.[2]
Menurut Muhammad Ali, belajar tuntas adalah penguasaan hasil belajar secara
penuh terhadap seluruh bahan yang dipelajari.[3] Selanjutnya Oemar Hamalik mengemukakan, strategi belajar tuntas adalah
suatu strategi pengajaran yang diindividualisasikan dengan menggunakan
pendekatan kelompok (group based approach)[4].
Pendekatan yang digunakan
dalam strategi belajar tuntas memungkinkankan para murid belajar bersama-sama
berdasarkan pembatasan bahan pelajaran yang harus dipelajari oleh murid sampai tingkat
tertentu, penyediaan waktu belajar yang cukup menurut kebutuhan masing-masing
murid, dan pemberian bantuan kepada
murid yang berkesulitan belajar.
Tokoh belajar tuntas yang utama adalah Benyamin
S. Bloom, Fred S. Keller dan James H. Block.[5]
Di Indonesia, ide mastery learning atau belajar tuntas dipopulerkan oleh
BP3K (Badan Pengembangan dan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan) yang
dikaitkan dengan pembaharuan kurikulum (Kurikulum 1975, PPSP atau Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan dengan pengajaran modulnya.[6]
Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan, terutama dalam
level mikro yaitu mengembangkan individu dalam proses pembelajaran di kelas.
Konsep belajar tuntas muncul sebagai
reaksi terhadap konsep belajar yang berdasarkan prinsip ”kurva normal’. Prinsip
tersebut beranggapan bahwa setiap individu anak berbeda, karena itu akan
menunjukkan penguasaan yang bervariasi sehingga secara keseluruhan penguasaan
masing-masing akan tersebar mulai dari yang paling jelek, rata-rata, dan paling
bagus.[7]
Saat guru hanya berpatokan pada kurva normal, maka upaya menuntaskan hasil
belajar bagi semua siswanya tidak akan terlaksana. Hal ini disebabkan kenyataan
bahwa dalam setiap kelas pada umumnya terdapat berbagai tingkatan kemampuan
anak yang disebabkan oleh berbagai latar belakangnya.
Conny R. Semiawan mengemukakan sesuai
dengan konsep education for all (pendidikan untuk semua) bahwa secara
alamiah perkembangan anak itu berbeda-beda, baik dalam intelegensi, bakat,
minat, kepribadian, keadaan jasmani dan sosialnya.[8]
Perbedaan perkembangan ini secara jelas dapat dilihat selama proses
pembelajaran di kelas.
Tidak asing lagi bahwa dalam suatu kelas
ada anak yang cepat mengerti pelajaran, bahkan ada anak yang cepat sekali
mengerti suatu pelajaran, namun ada juga yang mengalami berbagai kendala fisik,
mental ataupun penginderaan. Para pakar belajar tuntas seperti James H. Block
(1980) melihat, memang bentuk anak itu pada dasarnya berbeda, namun setiap
orang dapat mencapai taraf penguasaan penuh. Ia mengatakan
bahwa, any one can learn excellently (setiap orang dapat mencapai taraf
terbaik). Yang membedakan satu individu dengan yang lainnya adalah waktu.
Artinya, ada orang yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu
singkat dan ada yang memerlukan waktu lebih lama. [9]
Pembelajaran tuntas bagi semua tingkat kemampuan siswa ini
terimplementasi melalui dua kegiatan, yaitu kegiatan remedial atau
pengulangan bagi anak yang lambat dan enrichment atau pengayaan bagi
anak yang cepat.
Jadi belajar tuntas adalah
suatu strategi pembelajaran dimana peserta didik diharapkan mampu menguasai
secara penuh atau tuntas pelajaran yang diajarkan kepadanya, dengan kriteria
tertentu dan sesuai dengan kecepatannya masing-masing, dengan upaya guru
memberikan treatment atau perlakuan khusus bagi masing-masing tingkatan
kemampuan anak. Dalam hal ini bagi anak berkemampuan tinggi, perlu diberikan
pengayaan (enrichment) dan bagi yang berkemampuan rendah perlu diberikan
pengulangan (remedial) serta tambahan jam belajar menuju optimalisai
pencapaian hasil belajar semua murid.
2. Prinsip-prinsip Dasar Strategi Belajar Tuntas
Strategi belajar tuntas
berprinsip tidak menerima perbedaan prestasi belajar di kalangan murid sebagai
konsekuensi adanya perbedaan bakat. Carrol menyatakan bahwa bakat
sesungguhnya merupakan ukuran waktu yang diperlukan untuk mempelajari satu
tugas di jenjang tertentu dalam kondisi ideal.[10]
Menurut Carrol, setiap
anak didik akan mampu menguasai bahan kalau diberikan waktu atau kesempatan
yang cukup untuk mempelajarinya, sesuai dengan kapasitas masing-masing anak
didik. Dengan demikian taraf atau tingkatan belajar itu pada dasarnya adalah
fungsi dari proporsi waktu yang disediakan (time allowed for learning)
untuk belajar dengan waktu yang diperlukan (time needed for learning) untuk
belajar oleh setiap anak didik.[11]
Di samping itu, kemampuan memahami pelajaran bagi siswa secara tuntas
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang saling terkait. Ada lima faktor yang
mempengaruhi penguasaan penuh, yaitu:
a. Bakat untuk mempelajari
sesuatu
Bakat itu dibawa semenjak
lahir, diturunkan dan tidak dapat dirubah oleh guru. Bakat tinggi menyebabkan
prestasi tinggi, sedangkan prestasi yang rendah dicari sebabnya pada bakat yang
rendah.
Jika hanya melihat faktor
bakat, maka guru bebas dari segala tanggung jawab atas prestasi anak yang
rendah. Namun dalam hal ini Carrol berpendirian radikal, bahwa ia
mengakui adanya perbedaaan bakat akan tetapi ia memandang bakat sebagai
perbedaan waktu yang diperlukan untuk menguasai sesuatu. Jadi setiap orang bisa
mempelajari bidang studi apa pun hingga batas yang tinggi asal diberi waktu
yang cukup di samping syarat-syarat lain.
b. Mutu pengajaran
Mutu pengajaran yang baik
ditunjukkan oleh kemampuan guru membelajarakan setiap anaknya dengan perlakuan tersendiri
yang sesuai baginya. Pada dasarnya anak tidak belajar secara berkelompok, akan
tetapi secara individual, menurut caranya masing-masing sekalipun ia berada
daalam kelompok. Itu sebabnya setiap anak memerlukan bantuan individual. Tidak
ada satu metode yang sesuai bagi semua anak. Tiap anak memerlukan metode
tersendiri yang sesuai baginya. Kemampuan guru mencari langkah-langkah, metode
mengajar, alat pelajaran, sumber belajar yang khusus sangat dibutuhkan untuk
memperbaiki mutu pengajaran.
c. Kesanggupan memahami
pelajaran
Kemampuan murid untuk
menguasai suatu bidang studi banyak bergantung pada kemampuannya untuk memahami
ucapan atau apa yang disampaikan guru. Oleh sebab itu bahasa sebagai alat
komunikasi antara guru dan murid harus jelas sehingga mudah dipahami murid. Untuk memperluan
komunikasi dapat dilakukan berbagai usaha, antara lain:
1) Belajar kelompok,
belajar bersama atau saling membantu dalam pembelajaran
2) Bantuan tutor sebaya
3) Buku pelajaran dengan
berbagai sumber dan buku kerja
4) Alat audio-visual
untuk penyajian yang lebih konkrit.
d. Ketekunan
Ketekunan itu nyata dari
jumlah waktu yang diberikan anak untuk mempelajari sesuatu yang memerlukan
waktu tertentu. Jika anak memberikan waktu yang kurang dari yang diperlukan
untuk mempelajarinya, maka ia tidak akan menguasai bahan itu sepenuhnya.
Ketekunan itu tampaknya berkaitan dengan sikap dan minat terhadap pelajaran.
Agar anak tekun belajar, maka yang utama adalah meberikan kemungkinan pada anak
untuk melakukan suatu tugas dengan baik.
e. Waktu yang tersedia
untuk belajar
Pendirian
mereka yang manganut mastery learning ialah bahwa faktor waktu sangat
esensial untuk menguasai bahan pelajaran tertentu sepenuhnya. Dengan
mengizinkan waktu yang secukupnya, setiap murid dapat menguasai bahan
pelajaran. Namun, faktor waktu saja tidak mempertinggi keberhasilan belajar dan
penguasaan bahan. Selain waktu, masih perlu sikap dan minat anak
mempelajari bahan itu, mutu pengajaran,
kemampuan bahasa, dan mutu bantuan yang diperolehnya di luar kelas. [12]
Skenario dan proses belajar
tuntas Rancangan dan proses belajar tuntas sekurang-kurangnya harus dirancang
dengan memperhatikan hal berikut:
a.
Tujuan pengajaran yang spesifik atau khusus
b.
Pendekatan belajar-mengajar yang memungkinkan
setiap individu dapat belajar
c. Pemberian dan penggunaan
umpan balik dengan cara memberikan tes-tes formatif untuk setiap unit bahan
yang utuh
d.
Pemberian bantuan bagi anak yang lambat melalui
program remedial dan penyediaan sarana dan kesempatan belajar tambahan bagi
anak yang lebih cepat dalam belajar dengan menyediakan program pengayaan.
e.
Penetapan
standar penguasaan (level of mastery) bagi anak sebelum melanjutkan
kepada proses belajar unit berikutnya.
f.
Penilaian prestasi belajar yang didasarkan pada
Penilaian Acuan Patokan (PAP), bukan Penilaian Acuan Norma (PAN)[13]
Selanjutnya
E. Mulyasa membedakan strategi ini dari yang non belajar tuntas pada hal-hal
berikut ini:
a. Pelaksanaan tes
secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang diajarkan untuk mendiagnosa kemajuan belajar
(diagnosa progress test)
b. Peserta didik baru dapat melangkah pada pembelajaran
berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumya
c. Pelayanan bimbingan
dan penyuluhan teerhadap anak didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh
melalui pengajaran korektif, yiatu pengajaran kembali, pengajaran tutorial,
restrukturisasi kegiatan belajar dan pengajaran kembali ke kebiasaan-kebiasaan
belajar peserta didik, sesuai dengan waktu yang diperlukan masing-masing.[14]
Dari uraian
di atas dipahami bahwa prinsip dasar yang membedakan strategi belajar tuntas
dengan strategi belajar non tuntas adalah mengenai pelayanan yang harus
diberikan guru terhadap semua tingkatan kemampuan peserta muridnya. Guru tidak
boleh berpatokan pada kurva normal, dimana sudah suatu kenyataan ada murid yang
lambat, sedang dan cepat dalam suatu kelas tanpa upaya untuk mengoptimalkan
hasil belajar mereka.
Guru harus
memberikan treatment yang tepat untuk masing-masingnya, dan
memperhatikan faktor bakat murid, kesanggupan mereka memahami pelajaran, mutu
pengajaran, waktu yang tersedia dan memperhatikan ketekunan muridnya. Waktu
belajar yang dibutuhkan oleh anak cepat dengan anak lambat tidak sama.
Selanjutnya kepada murid yang cepat perlu diberikan pengayaan dan kepada yang
lemah atau lambat diberikan pengulangan.
Keberhasilan
ini dipantau secara bertahap melalui tes formatif yang berfungsi sebagai
diagnosa kemajuan mereka. Bagi murid yang telah benar-benar menguasai bahan
pelajaran pada tingkat tertentu, ia boleh melanjutkannya pada bahan berikutnya,
sementara yang belum menguasa prasyarat itu, ia harus mengikuti pembelajaran
korektif dengan kegiatan yang benar-benar mampu membawa mereka pada penguasaan
bahan tersebut.
3. Prosedur Penerapan
Strategi Belajar Tuntas
Secara
sederhana Bruce Joyce dan Marsha Weil mengungkapkan prosedur
penerapan belajar tuntas, sebagai berikut:
First, material to be learned is divided into units ranging from the
simple to complex. The material is presented to the students, penerally working
as individuals through appropriate media (reading, tapes, activities). Piece by
piece, the students work their way successively through the units of material,
after each or which they take a test designed to help them find out what they
have learned. If they have not mastered any given unit, they can repeat it or
on equivalent version until they have mastered the material.[15]
Dari pendapat di atas dipahami bahwa langkah atau
prosedur yang menjadi prinsip penting dari penerapan strategi belajar tuntas
ini dimulai dari membagi materi pelajaran menjadi unit-unit yang terinci dari
yang sederhana kepada yang kompleks, murid-murid mempelajarinya dalam kegiatan
pembelajaran dan kemudian kepada murid diberikan tes untuk mengetahui
ketuntasan penguasaan mereka. Bagi murid yang telah menguasainya secara tuntas,
dapat lanjut pada unit berikutnya atau diberi pengayaan materi, sedangkan bagi
yang belum tuntas diberikan pengajaran remedial.
Pelaksanaan belajar tuntas dalam pembelajaran di sekolah
melalui langkah-langkah berikut dalam tahapan perencanaan dan pelaksanaannya.
a.
Perencanaan
Perencanaan merupakan prakondisi belajar tuntas yang dikenal sebagai
strategi Bloom Block. Tahapannya terdiri dari:
1)
Tahap pertama, mendefinisikan pelaksanaan belajar
tuntas dalam bidang pengajaran yang diajarkan. Langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut:
a)
Penentuan tujuan instruksional meliputi aspek
kognitif, afektif dan psikomotor yang telah ditentukan untuk jangka waktu satu
semester
b)
Penyusunan tabel spesifikasi satuan bahasan
c)
Pengecekan tabel spesifikasi dan tujuan instruksional
khusus
d)
Penentuan alat untuk memeriksa hasil belajar
berdasarkan tabel spesifikasi
e)
Penentuan standar perilaku, yang merupakan
indikator penguasaan bahan oleh siswa.
2)
Tahap kedua, yaitu merencanakan satuan pelajaran
yang memungkinkan siswa dapat belajar, dengan langkah-langkahnya:
a)
Mengidentifikasi satuan pelajaran
b)
Membuat tabel spesifikasi satuan bahasan
c)
Perencanaan kegiatan belajar mengajar untuk satuan
pelajaran, pengembangannya meliputi hal berikut:
(1)
Perencanaan pengajaran berdasarkan kelompok
(2)
Penyusunan dioagnosis progress test
(3)
Pengembangan unit korektif yang berbeda dengan
kegiatan kelompok yang telah dilakukan sebelumnya
b. Pelaksanaan, yang terdiri atas langkah-langkah
berikut:
1) Tahap
pertama: kegiatan orientasi tentang bahan dan cara relajar, tes, standar,
kerjasama belajar, bantuan relajar, dan kegiatan korektif
2) Tahap
kedua kegiatan belajar mengajar yaitu penyajian bahan sampai pelaksanaan tes dan menetapkan siswa yang
telah berhasil dan belum dalam belajar
3) Tahap ketiga penentuan tingkat
penguasaan bahan berdasarkan tes sumatif
4) Tahap keempat memberitahukan atau
melaporkan kembali tingkat penguasaan setiap siswa, sehingga diketahui yang
telah mastery dan yang belum
5) Tahap kelima, pengecekan keefektifan
seluruh program yakni berapa persentase siswa yang mampu mencapai taraf
mastery.[16]
Jadi dalam belajar tuntas,
pertama materi yang dipelajari dipecah menjadi unit-unit dari yang sederhana sampai yang kompleks. Pelajar
mengerjakan bagian demi bagian dengan cara maju berkelanjutan. Setelah satu
unit selesai dipelajari, pelajar diberi tes untuk mengetahui keberhasilan
belajar. Jika tidak dapat menyelesaikan unit tersebut, pelajar dapat
mengulanginya atau mempelajari unit yang setara sampai keberhasilan tercapai.[17]
Dari
beberapa pendapat mengenai langkah atau prosedur pelaksanaan strategi belajar
tuntas di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam penerapan strategi belajar
tuntas guru harus melaksanakan langkah-langkah sistematis, yang dimulai dengan
orientasi program pada murid, membuat persiapan dari bahan ajar yang terinci,
tes-tes sebagai bahan diagnosa, menyiaokan program korektif, pelaksanaan
pembelajaran berdasarkan persiapan yang telah ada dengan mengutamakan keaktifan
semua siswa dalam relajar, melaksanakan tes formatif sebagai diagnosa,
melaksanakan kegiatan korektif berupa remedial dan pengayaan, selanjutnya
mengevaluasi program secara keseluruhan untuk mengetahui keefektifannya.
[1] Noehi Nasution, Materi Pokok Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993), Cet. Ke-3, h. 94
[2] M. Sastapradja, Kamus Istilah
Pendidikan dan Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 311
[4] Oemar Hamalik, Pendekatan Baru
Strategi Belajar Mengajar CBSA, (Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2003), h. 85
[5] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan
Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
56
[6] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam
Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 37
[7] Noehi Nasution, op. cit., h. 91
[8] Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan
Sekolah Dasar, Jakarta: Indeks, 2008, h. 72
[10] Abu Ahmadi, Strategi Belajar Mengajar,
(Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 156
[11] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), h. 21
[12] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam
Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), disarikan
dari h. 48-49
[13] Noehi Nasution, op. cit., h.
193-194
[14] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi:
Konsep dan Implementasinya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 55
[15] Bruce Joyce and Marsha Weil, Models of Teaching, (Boston : Allyn and Bacon,
tt), h. 11
[16] Oemar Hamalik, op. cit., h. 92-95
[17] Sri Anitah. W. dkk, Materi Pokok
Strategi Pembelajaran SD, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 3.21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar