A.
Fungsi Pembentukan Karakter
Mengingat ruang lingkup dan pentingnya pembentukan karakter
terhadap peserta didik, terutama bila dikaitkan dengan hakekat manusia dan
tujuan pendidikan Islam, maka pembentukan karakter menjadi sesuatu yang tidak
bisa dikesampingkan dalam kehidupan. Bahkan, menurut penulis, pembentukan
karakter menjadi sebuah proses yang relevan dalam mempersiapkan peserta didik
untuk menghadapi tantangan zaman. Karena itu, kerangka berpikir atau paradigma
pembentukan karakter sebagai proses pendidikan yang membutuhkan komitmen dan
konsistensi dari berbagai pihak harus terpadu dan terintegral antara fungsi
pembentukan karakter dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengintegrasikan bebagai
pilar pendidikan dan meliputi berbagai dimensi kependidikan, mulai dari aspek
kognitif sampai pada aspek psikomotorik. Pilar pendidikan merupakan lingkungan
yang dapat mempengaruhi peserta didik dalam membentuk karakter yang terbentuk.
Dalam artian, segala yang ada di sekitar peserta didik yang berupa peristiwa yang
terjadi, kondisi masyarakat, terutama tempat
yang dapat memberi pengaruh kuat dalam perkembangan jiwa anak, yaitu di
tempat proses pendidikan berlangsung dan tempat bergaul sehari-hari.[1]
Pilar pendidikan ini mencakup tiga wilayah pendidikan, yaitu keluarga, sekolah
dan masyarakat.
Keluarga merupakan suatu kesatuan, dimana anggota-anggotanya
mengabdikan diri kepada kepentingan dan tujuan kelompok tersebut.[2] Keluarga
merupakan komunitas pertama yang menjadi tempat bagi seseorang untuk belajar
baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain di lingkungan keluargalah
seseorang belajar tata nilai. Di dalam lingkungan keluarga, pendidikan tidak
mempunyai sistem tertentu sebagaimana di sekolah. Pendidikan dalam keluarga
berlangsung sejalan dengan mengikuti kehidupan nyata, baik dilakukan dengan
sengaja maupun tidak. Dengan demikian, kependidikan bagi anak berlangsung tidak
secara sistematis,[3]
yang tidak akan ditemukan daftar pelajaran secara tertulis dan resmi dalam
bentuk yang sistematis.[4]
Dengan demikian, pilar pendidikan lingkungan keluarga tumbuh dan berkembang
secara manusiawi dalam mencapai kedewasaan. Namun demikian, anak senantiasa
akan memperoleh pengaruh mendasar dari lingkungan keluarga ini sebagai landasan
pembentukan karakter.
Di samping keluarga, pilar kedua yang tidak kalah penting proses
pembentukan karakter adalah sekolah. Berbeda dengan keluarga, sekolah merupakan
kegiatan kependidikan yang memiliki sistem tertentu. Dalam hal ini, di sekolah
telah ditetapkan dasar-dasar dan tujuan pendidikan, yaitu merealisasikan
pendidikan Islam demi mewujudkan ketaatan kepada Allah. Di lingkungan inilah
peserta didik berkiprah dan mengikuti berbagai kegiatan kependidikan sesuai
dengan kurikulum yang telah ditentukan, sehingga peserta didik dapat mencapai
kemanfaatan dalam berbagai dimensi kehidupan, baik kognitif, afektif dan
psikomotorik secara sistematis.[5]
Kendatipun ada perbedaan bentuk lingkungannya, namun mesti ada kesatuan
pemahaman antara keluarga dengan sekolah dalam memberikan kegiatan pendidikan
kepada peserta didik agar tidak terjadi kontra produktif antara keduanya,
sehingga menyebabkan kebingungan pada anak yang pada akhirnya berujung pada
proses pembentukan karakter. Secara lebih spesifik tujuan pendidikan karakter
di sekolah mencakup:
a.
Membantu
para siswa untuk mengembangkan potensi kebajikan mereka masing-masing secara
maksimal dan mewujudkannya dalam kebiasaan baik: baik dalam pikiran, sikap,
hati, perkataan, dan perbuatan.
b.
Membantu
para siswa menyiapkan diri menjadi warga negara yang baik.
c.
Dengan
modal karakter yang kuat dan baik, para siswa diharapkan dapat mengembangkan
kebajikan dan potensi dirinya secara penuh dan membangun kehidupan yang baik,
berguna, dan bermakna.
d.
Dengan
karakter yang kuat dan baik, para siswa diharapkan mampu menghadapi tantangan
yang muncul dari makin derasnya arus globalisasi dan pada saat yang sama mampu
menjadikannya sebagai peluang untuk berkembang dan berkontribusi bagi
masyarakat luas dan kemanusiaan.[6]
Pilar yang juga ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan
karakter adalah lingkungan masyarakat. Anak-anak atau peserta didik adalah
bagian dari makhluk sosial yang tidak bisa mengelak sebagai anggota dari
berbagai golongan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan
sejumlah keluarga, dimana di dalamnya terdapat aturan, hukum, adat kebiasaan
atau tata tertib yang tertulis maupun yang tidak tertulis.[7]
Sebagai lingkungan yang memiliki ikatan kesatuan sosial, kebudayaan dan agama,
masyarakat tentu juga tidak kalah penting menjadi bagian yang sangat memberikan
pengaruh terhadap anak-anak atau peserta didik.[8]
Ketiga pilar pendidikan tersebut tidak bisa saling menafikan, karena keberadaannya
praktis dilalui oleh anak-anak atau peserta didik dalam kehidupan. Karena
itulah, pembentukan karakter harus meliputi tiga pilar pendidikan sebagaimana
dijelaskan di atas.
Pertimbangan lain
dalam pembentukan karakter adalah dimensi hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan
yang paling sempurna dan memiliki berbagai potensi positif. Kedudukan dan
keberadaan hakikat manusia yang memang memiliki kualitas dibandingkan makhluk
lain, menjadi dasar pemahaman bahwa pendidikan bukan untuk menciptakan sesuatu
yang belum ada dalam diri manusia, melainkan untuk mengembangkan potensi
tersebut agar dapat teraktual dalam bentuk perilaku sehari-hari. Bahkan, bila
dikaitkan dengan landasan normatif, yaitu al-Quran, maka hakikat tujuan
diciptakan manusia adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah.[9]
Aktualisasi dari pengabdian tersebut merupakan gambaran tercapainya indikator
karakter dalam diri anak dalam bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka mempertimbangkan manusia
sebagai makhluk yang telah mempunyai potensi (fitrah) dan tujuan pendidikan
Islam merupakan dua hal yang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan proses
pembentukan karakter. Kedua dimensi ini tidak bisa dilihat secara parsial,
melainkan harus dipahami dalam lingkup integral. Keduanya harus dipahami dua
sisi yang saling membutuhkan dan saling memberikan dukungan bagi kelancaran
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Manusia diciptakan Tuhan dengan
tujuan untuk menjadi pengabdi Tuhan dan khalifah di permukaan bumi atas dasar
keimanan dan ketakwaan. Sedangkan pendidikan, khususnya pendidikan Islam,
memiliki tujuan untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa untuk
mendapatkan atau mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, maka fungsi
pembentukan karakter tentu tidak bisa dilepaskan dari dua faktor tersebut,
yaitu faktor manusia sebagai makhluk yang telah dianugerahkan berbagai potensi
kemanusiaannya dan faktor pendidikan yang dijadikan sebagai media untuk
mengaktualkan berbagai potensi tersebut agar bisa teraktual dalam kehidupan.
Manusia dengan berbagai potensi positif yang ada di dalamnya tidak akan
teraktual apabila tidak didukung oleh proses pembinaan secara berkesinambungan.
Sejalan dengan hal itu, pendidikan dengan format kurikulum yang sesuai dengan
tujuan penciptaan manusia juga secara konsisten harus mengarah dan mendukung
upaya untuk untuk mengaktualkan berbagai potensi tersebut secara baik dan mampu
mengangkat sisi kemanusiaan manusia pada tingkat kemuliaan. Kemuliaan tidak
diukur oleh nilai-nilai pragmatis-hedonis, melainkan nilai-nilai yang tinggi
yang didasarkan oleh agama, pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Karena
itulah, fungsi pembentukan karakter adalah untuk mengembangkan berbagai potensi
dasar yang dimiliki manusia.[10]
Untuk mencapai tujuan pembentukan karakter tersebut, dalam
perspektif pendidikan, dibutuhkan kurikulum yang bersifat holistik atau
kurikulum yang berbasis karakter sebagai pendukung utamanya. Artinya, kurikulum
pendidikan karakter tersebut mesti menyentuh berbagai dimensi kehidupan peserta
didik atau harus memenuhi seluruh potensi positif yang telah diciptakan dalam
diri manusia. Kurikulum pendidikan harus merefleksikan berbagai dimensi atau
potensi, mulai dari kognitif, keterampilan atau dengan menampilkan tema-tema
yang menarik dan kontekstual.[11]
Dengan demikian, pendekatan holistik dalam pembentukan karakter bukan sekedar
tertuju pada pembinaan berbagai potensi kemanusiaan, bahkan juga mengarah pada
upaya mempersiapkan diri anak terhadap fenomena sosial kontemporer agar anak
betul-betul mampu berhadapan dengan persoalan hidupnya.
Fenomena sosial atau kejadian-kejadian alamiah yang diformat
melalui kurikulum adalah salah satu cara untuk memberdayakan kemampuan
ekslopratif siswa sebagai proses pembelajaran bermakna untuk memberikan
kemampuan dalam mencerdaskan sikap hidup.
Sebuah pembelajaran yang bersifat holistik dapat dirancang dan
dilakukan dengan baik, apabila pembelajaran tersebut bersifat alami, nyata, dekat
dengan kehidupan diri dan guru yang melaksanakannya mempunyai konsep yang
terpadu dengan baik.[12]
Konsep ini merupakan salah satu upaya untuk memahami segala sesuatu dengan
mencari makna. Pencarian siswa tentang sesuatu, sebenarnya menjadi kesempatan bagi
siswa untuk memberdayakan berbagai potensi diri secara mandiri, sehingga pada
akhirnya membentuk pemahaman secara utuh dengan mengembangkan kemampuan aspek
fisik, emosi, sosial, kreatifitas, spiritual dan intelektual. Dengan demikian,
pembentukan karakter juga harus memanfaatkan dan mengembangkan sifat dasar
alamiah manusia dengan menjadikan fenomena kehidupan sebagai bahan
pembelajaran. Bahkan, proses ini akan memberdayakan kemandirian siswa dalam
menyikapi berbagai fenomena kehidupan berdasarkan karakter yang ditanamkan.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka pembentukan karakter melalui
pendidikan (kurikulum) berbasis karakter sangat penting dan memiliki fungsi strategis
dalam kehidupan peserta didik atau manusia pada umumnya. Bahkan, pembentukan karakter
dalam bentuk pengembangan karakter merupakan basis untuk mencapai kesuksesan.
Dengan demikian, pembentukan karakter bukan sekedar terfokus pada proses
pembinaan potensi secara integral, bahkan lebih dari itu adalah untuk
memberikan kemampuan peserta didik agar dapat sukses dalam kehidupannya. Sebab,
salah satu peluang kesuksesan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan
individu dalam memaknai segenap fenomena sosial sebagai peluang yang harus
dimanfaatkan.
Bila dilihat dari perspektif manusia, maka pembentukan karakter
harus mengarah kepada upaya untuk memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia
berarti memuliakan kemanusiaan manusia. Sebab, Agama sendiri pada hakikatnya
telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.[13]
Kesempurnaan atau kemuliaan manusia bukan sekedar ditentukan oleh bentuk fisik
bila dibandingkan dengan makhluk lain, akan tetapi kemuliaan itu ditentukan
oleh kemampuan untuk memberdayakan kemampuan untuk taat kepada penciptanya,
yaitu untuk beriman dan beramal saleh.
Prayitno dan
Afriva Khaidir menjelaskan bahwa hakikat manusia meliputi kepada sejumlah unsur
yang terdiri dari beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan
paling sempurna, berderajat paling tinggi, berstatus sebagai khalifah dibumi
dan menyandang hak asasi manusia.[14]
Sejumlah unsur-unsur tersebut secara potensial melekat pada diri manusia, akan
tetapi masih membutuhkan proses aktualisasi yang memadai dan berkesinambungan.
Pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan tersebut diharapkan dapat
menjadi kepribadian atau disebut juga sebagai karakter, sehingga menempatkan
manusia pada posisi mulia, bukan sekedar dihadapan manusia, tapi juga dalam
pandangan Allah swt.
Sejalan dengan pandangan di atas, Muchlas Samani dan Hariyanto juga
menjelaskan bahwa pembentukan karakter dari perspektif hakikat manusia
berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik
dan berperilaku baik.[15]
Semua unsur atau sifat dasar yang berbentuk potensi diri, sebagaimana dijelaskan
di atas, hendaknya berujung pada upaya untuk membina hati agar menjadi baik,
membina pikiran agar terbiasa berpikiran positif, dan berupaya membiasakan diri
dengan kebiasaan yang baik agar memiliki perilaku yang baik. Dengan demikian,
pembentukan karakter yang berpusat kepada manusia berfungsi untuk memberdayakan
dan mengembangkan berbagai potensi tersebut agar menjadi manusia yang
berkarakter.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa pembentukan
karakter memiliki fungsi untuk memberdayakan, membangun, mengembangkan, serta
memperkuat berbagai potensi positif yang terdapat dalam diri manusia. Potensi yang
dikembangkan tersebut meliputi hubungan manusia dengan Allah yang teraktual
dalam bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hubungan manusia dengan
manusia yang teraktual dalam bentuk kemampuan dalam mengembangkan dimensi
keindividualan, kesosialan, kesusilaan, bahkan keberagamaan. Hubungan manusia sebagai makhluk yang
memiliki kemampuan untuk dikembangkan, yaitu kemampuan takwa, cipta, rasa, karsa
dan karya.[16]
Dengan demikian, pembentukan karakter memiliki fungsi yang sangat strategis
dalam rangka memuliakan kemanusiaan manusia.
[1]Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 147
[2]Zahara
Idris, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia,
1992), h. 83
[3]Hadari
Nawawi, Organsiasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta: Haji
Masagung, 1989), h. 8
[4]Suwarno,
Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), h. 66
[5]Abdurrahman
an Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), h. 150
[7]Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
h. 158
[8]Zakiah
Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
44
[9]Q.S.
Adz-Dzariyyat/51:56, yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
[10]Muchlas
Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 9
[11]Masnur
Muslich, op.cit., h. 32
[13]Q.S. at-Tin/95:4-6 yang artinya “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala ang tiada
putus-putusnya”.
[14]Prayitno
dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 5
[15]Muchlas
Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 9
[16]Prayitno
dan Afriva Khaidir, loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar