Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Fungsi Pembentukan Karakter


A.    Fungsi Pembentukan Karakter
Mengingat ruang lingkup dan pentingnya pembentukan karakter terhadap peserta didik, terutama bila dikaitkan dengan hakekat manusia dan tujuan pendidikan Islam, maka pembentukan karakter menjadi sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan dalam kehidupan. Bahkan, menurut penulis, pembentukan karakter menjadi sebuah proses yang relevan dalam mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan zaman. Karena itu, kerangka berpikir atau paradigma pembentukan karakter sebagai proses pendidikan yang membutuhkan komitmen dan konsistensi dari berbagai pihak harus terpadu dan terintegral antara fungsi pembentukan karakter dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengintegrasikan bebagai pilar pendidikan dan meliputi berbagai dimensi kependidikan, mulai dari aspek kognitif sampai pada aspek psikomotorik. Pilar pendidikan merupakan lingkungan yang dapat mempengaruhi peserta didik dalam membentuk karakter yang terbentuk. Dalam artian, segala yang ada di sekitar peserta didik yang berupa peristiwa yang terjadi, kondisi masyarakat, terutama tempat  yang dapat memberi pengaruh kuat dalam perkembangan jiwa anak, yaitu di tempat proses pendidikan berlangsung dan tempat bergaul sehari-hari.[1] Pilar pendidikan ini mencakup tiga wilayah pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan suatu kesatuan, dimana anggota-anggotanya mengabdikan diri kepada kepentingan dan tujuan kelompok tersebut.[2] Keluarga merupakan komunitas pertama yang menjadi tempat bagi seseorang untuk belajar baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah.  Dengan kata lain di lingkungan keluargalah seseorang belajar tata nilai. Di dalam lingkungan keluarga, pendidikan tidak mempunyai sistem tertentu sebagaimana di sekolah. Pendidikan dalam keluarga berlangsung sejalan dengan mengikuti kehidupan nyata, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak. Dengan demikian, kependidikan bagi anak berlangsung tidak secara sistematis,[3] yang tidak akan ditemukan daftar pelajaran secara tertulis dan resmi dalam bentuk yang sistematis.[4] Dengan demikian, pilar pendidikan lingkungan keluarga tumbuh dan berkembang secara manusiawi dalam mencapai kedewasaan. Namun demikian, anak senantiasa akan memperoleh pengaruh mendasar dari lingkungan keluarga ini sebagai landasan pembentukan karakter.
Di samping keluarga, pilar kedua yang tidak kalah penting proses pembentukan karakter adalah sekolah. Berbeda dengan keluarga, sekolah merupakan kegiatan kependidikan yang memiliki sistem tertentu. Dalam hal ini, di sekolah telah ditetapkan dasar-dasar dan tujuan pendidikan, yaitu merealisasikan pendidikan Islam demi mewujudkan ketaatan kepada Allah. Di lingkungan inilah peserta didik berkiprah dan mengikuti berbagai kegiatan kependidikan sesuai dengan kurikulum yang telah ditentukan, sehingga peserta didik dapat mencapai kemanfaatan dalam berbagai dimensi kehidupan, baik kognitif, afektif dan psikomotorik secara sistematis.[5] Kendatipun ada perbedaan bentuk lingkungannya, namun mesti ada kesatuan pemahaman antara keluarga dengan sekolah dalam memberikan kegiatan pendidikan kepada peserta didik agar tidak terjadi kontra produktif antara keduanya, sehingga menyebabkan kebingungan pada anak yang pada akhirnya berujung pada proses pembentukan karakter. Secara lebih spesifik tujuan pendidikan karakter di sekolah mencakup:
a.    Membantu para siswa untuk mengembangkan potensi kebajikan mereka masing-masing secara maksimal dan mewujudkannya dalam kebiasaan baik: baik dalam pikiran, sikap, hati, perkataan, dan perbuatan.
b.   Membantu para siswa menyiapkan diri menjadi warga negara yang baik.
c.    Dengan modal karakter yang kuat dan baik, para siswa diharapkan dapat mengembangkan kebajikan dan potensi dirinya secara penuh dan membangun kehidupan yang baik, berguna, dan bermakna.
d.   Dengan karakter yang kuat dan baik, para siswa diharapkan mampu menghadapi tantangan yang muncul dari makin derasnya arus globalisasi dan pada saat yang sama mampu menjadikannya sebagai peluang untuk berkembang dan berkontribusi bagi masyarakat luas dan kemanusiaan.[6]

Pilar yang juga ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan masyarakat. Anak-anak atau peserta didik adalah bagian dari makhluk sosial yang tidak bisa mengelak sebagai anggota dari berbagai golongan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan sejumlah keluarga, dimana di dalamnya terdapat aturan, hukum, adat kebiasaan atau tata tertib yang tertulis maupun yang tidak tertulis.[7] Sebagai lingkungan yang memiliki ikatan kesatuan sosial, kebudayaan dan agama, masyarakat tentu juga tidak kalah penting menjadi bagian yang sangat memberikan pengaruh terhadap anak-anak atau peserta didik.[8] Ketiga pilar pendidikan tersebut tidak bisa saling menafikan, karena keberadaannya praktis dilalui oleh anak-anak atau peserta didik dalam kehidupan. Karena itulah, pembentukan karakter harus meliputi tiga pilar pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas.
             Pertimbangan lain dalam pembentukan karakter adalah dimensi hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dan memiliki berbagai potensi positif. Kedudukan dan keberadaan hakikat manusia yang memang memiliki kualitas dibandingkan makhluk lain, menjadi dasar pemahaman bahwa pendidikan bukan untuk menciptakan sesuatu yang belum ada dalam diri manusia, melainkan untuk mengembangkan potensi tersebut agar dapat teraktual dalam bentuk perilaku sehari-hari. Bahkan, bila dikaitkan dengan landasan normatif, yaitu al-Quran, maka hakikat tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah.[9] Aktualisasi dari pengabdian tersebut merupakan gambaran tercapainya indikator karakter dalam diri anak dalam bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka mempertimbangkan manusia sebagai makhluk yang telah mempunyai potensi (fitrah) dan tujuan pendidikan Islam merupakan dua hal yang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan proses pembentukan karakter. Kedua dimensi ini tidak bisa dilihat secara parsial, melainkan harus dipahami dalam lingkup integral. Keduanya harus dipahami dua sisi yang saling membutuhkan dan saling memberikan dukungan bagi kelancaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan untuk menjadi pengabdi Tuhan dan khalifah di permukaan bumi atas dasar keimanan dan ketakwaan. Sedangkan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, memiliki tujuan untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa untuk mendapatkan atau mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, maka fungsi pembentukan karakter tentu tidak bisa dilepaskan dari dua faktor tersebut, yaitu faktor manusia sebagai makhluk yang telah dianugerahkan berbagai potensi kemanusiaannya dan faktor pendidikan yang dijadikan sebagai media untuk mengaktualkan berbagai potensi tersebut agar bisa teraktual dalam kehidupan. Manusia dengan berbagai potensi positif yang ada di dalamnya tidak akan teraktual apabila tidak didukung oleh proses pembinaan secara berkesinambungan. Sejalan dengan hal itu, pendidikan dengan format kurikulum yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia juga secara konsisten harus mengarah dan mendukung upaya untuk untuk mengaktualkan berbagai potensi tersebut secara baik dan mampu mengangkat sisi kemanusiaan manusia pada tingkat kemuliaan. Kemuliaan tidak diukur oleh nilai-nilai pragmatis-hedonis, melainkan nilai-nilai yang tinggi yang didasarkan oleh agama, pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itulah, fungsi pembentukan karakter adalah untuk mengembangkan berbagai potensi dasar yang dimiliki manusia.[10]
Untuk mencapai tujuan pembentukan karakter tersebut, dalam perspektif pendidikan, dibutuhkan kurikulum yang bersifat holistik atau kurikulum yang berbasis karakter sebagai pendukung utamanya. Artinya, kurikulum pendidikan karakter tersebut mesti menyentuh berbagai dimensi kehidupan peserta didik atau harus memenuhi seluruh potensi positif yang telah diciptakan dalam diri manusia. Kurikulum pendidikan harus merefleksikan berbagai dimensi atau potensi, mulai dari kognitif, keterampilan atau dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.[11] Dengan demikian, pendekatan holistik dalam pembentukan karakter bukan sekedar tertuju pada pembinaan berbagai potensi kemanusiaan, bahkan juga mengarah pada upaya mempersiapkan diri anak terhadap fenomena sosial kontemporer agar anak betul-betul mampu berhadapan dengan persoalan hidupnya.
Fenomena sosial atau kejadian-kejadian alamiah yang diformat melalui kurikulum adalah salah satu cara untuk memberdayakan kemampuan ekslopratif siswa sebagai proses pembelajaran bermakna untuk memberikan kemampuan dalam mencerdaskan sikap hidup.
Sebuah pembelajaran yang bersifat holistik dapat dirancang dan dilakukan dengan baik, apabila pembelajaran tersebut bersifat alami, nyata, dekat dengan kehidupan diri dan guru yang melaksanakannya mempunyai konsep yang terpadu dengan baik.[12] Konsep ini merupakan salah satu upaya untuk memahami segala sesuatu dengan mencari makna. Pencarian siswa tentang sesuatu, sebenarnya menjadi kesempatan bagi siswa untuk memberdayakan berbagai potensi diri secara mandiri, sehingga pada akhirnya membentuk pemahaman secara utuh dengan mengembangkan kemampuan aspek fisik, emosi, sosial, kreatifitas, spiritual dan intelektual. Dengan demikian, pembentukan karakter juga harus memanfaatkan dan mengembangkan sifat dasar alamiah manusia dengan menjadikan fenomena kehidupan sebagai bahan pembelajaran. Bahkan, proses ini akan memberdayakan kemandirian siswa dalam menyikapi berbagai fenomena kehidupan berdasarkan karakter yang ditanamkan.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka pembentukan karakter melalui pendidikan (kurikulum) berbasis karakter sangat penting dan memiliki fungsi strategis dalam kehidupan peserta didik atau manusia pada umumnya. Bahkan, pembentukan karakter dalam bentuk pengembangan karakter merupakan basis untuk mencapai kesuksesan. Dengan demikian, pembentukan karakter bukan sekedar terfokus pada proses pembinaan potensi secara integral, bahkan lebih dari itu adalah untuk memberikan kemampuan peserta didik agar dapat sukses dalam kehidupannya. Sebab, salah satu peluang kesuksesan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan individu dalam memaknai segenap fenomena sosial sebagai peluang yang harus dimanfaatkan.
Bila dilihat dari perspektif manusia, maka pembentukan karakter harus mengarah kepada upaya untuk memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti memuliakan kemanusiaan manusia. Sebab, Agama sendiri pada hakikatnya telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.[13] Kesempurnaan atau kemuliaan manusia bukan sekedar ditentukan oleh bentuk fisik bila dibandingkan dengan makhluk lain, akan tetapi kemuliaan itu ditentukan oleh kemampuan untuk memberdayakan kemampuan untuk taat kepada penciptanya, yaitu untuk beriman dan beramal saleh.
             Prayitno dan Afriva Khaidir menjelaskan bahwa hakikat manusia meliputi kepada sejumlah unsur yang terdiri dari beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan paling sempurna, berderajat paling tinggi, berstatus sebagai khalifah dibumi dan menyandang hak asasi manusia.[14] Sejumlah unsur-unsur tersebut secara potensial melekat pada diri manusia, akan tetapi masih membutuhkan proses aktualisasi yang memadai dan berkesinambungan. Pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan tersebut diharapkan dapat menjadi kepribadian atau disebut juga sebagai karakter, sehingga menempatkan manusia pada posisi mulia, bukan sekedar dihadapan manusia, tapi juga dalam pandangan Allah swt.
Sejalan dengan pandangan di atas, Muchlas Samani dan Hariyanto juga menjelaskan bahwa pembentukan karakter dari perspektif hakikat manusia berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku baik.[15] Semua unsur atau sifat dasar yang berbentuk potensi diri, sebagaimana dijelaskan di atas, hendaknya berujung pada upaya untuk membina hati agar menjadi baik, membina pikiran agar terbiasa berpikiran positif, dan berupaya membiasakan diri dengan kebiasaan yang baik agar memiliki perilaku yang baik. Dengan demikian, pembentukan karakter yang berpusat kepada manusia berfungsi untuk memberdayakan dan mengembangkan berbagai potensi tersebut agar menjadi manusia yang berkarakter.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa pembentukan karakter memiliki fungsi untuk memberdayakan, membangun, mengembangkan, serta memperkuat berbagai potensi positif yang terdapat dalam diri manusia. Potensi yang dikembangkan tersebut meliputi hubungan manusia dengan Allah yang teraktual dalam bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hubungan manusia dengan manusia yang teraktual dalam bentuk kemampuan dalam mengembangkan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, bahkan keberagamaan.  Hubungan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk dikembangkan, yaitu kemampuan takwa, cipta, rasa, karsa dan karya.[16] Dengan demikian, pembentukan karakter memiliki fungsi yang sangat strategis dalam rangka memuliakan kemanusiaan manusia.


[1]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 147

[2]Zahara Idris, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992), h. 83

[3]Hadari Nawawi, Organsiasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), h. 8

[4]Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), h. 66

[5]Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 150

[6] Gede Raka dkk, op.cit, h. 47-48

[7]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 158

[8]Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 44

[9]Q.S. Adz-Dzariyyat/51:56, yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
[10]Muchlas Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 9

[11]Masnur Muslich, op.cit., h. 32

[12]Ibid.
[13]Q.S.  at-Tin/95:4-6 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala ang tiada putus-putusnya”.

[14]Prayitno dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 5

[15]Muchlas Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 9

[16]Prayitno dan Afriva Khaidir, loc.cit.


Tidak ada komentar: