1.
Dasar Pembentukan Karakter dari Perspektif Tujuan Pendidikan Islam
Karakter merupakan kepribadian yang
sudah dihiasi sifat-sifat yang baik dan relatif stabil yang ditampilkan dalam
satu perilaku berdasarkan nilai-nilai standar yang tinggi.[1]
Sebuah perbuatan atau perilaku tidak dianggap sebagai fenomena lahiriah semata,
melainkan sebuah gambaran lahiriah yang merupakan pencerminan dari berbagai
sifat yang terdapat dalam diri seseorang. Dengan demikian, kemunculan karakter merupakan
perwujudan dari kualitas berpikir dan kondisi batin seseorang, dimana
sebelumnya telah menjadi sifat yang tertanam dalam jiwa. Sifat yang sudah
tertanam tidak muncul dengan sendirinya, melainkan melalui proses pendidikan.
Oleh Karena itu, karakter bukan sesuatu yang sudah ada sejak lama, akan tetapi
ia merupakan sesuatu yang harus diupayakan dan dibiasakan melalui proses
pendidikan yang baik dan integral.
Pendidikan, sebagaimana dijelaskan
Wahjoetomo yang mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, merupakan pengajaran yang
terpadu dan dipengeruhi oleh lingkungan peserta didik.[2] Pengajaran
terpadu meliputi pendidikan yang melibatkan berbagai elemen yang ikut berperan
dalam memerankan diri sebagai pendidik. Bahkan, bila dilihat dalam konteks
lingkup lingkungan pendidikan, maka pengajaran yang diberikan hendaknya
melibatkan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan masyarakat
adalah pendidik yang bersifat tidak langsung, dimana fungsinya untuk mendukung
pendidikan yang diberikan secara langsung. Sementara pendidikan yang bersifat
langsung berasal dari pendidik itu sendiri. Pendidik atau guru merupakan
profesi yang memiliki keahlian, pengetahuan bahkan keterampilan tertentu dalam
melihat dan mengembangkan potensi yang terdapat pada peserta didik.[3]
Karenanya, pendidikan merupakan usaha sadar atau suatu tindakan, perbuatan atau
situasi yang diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan.[4] Di
sinilah pentingnya pendidikan. Ia menjadi syarat mutlak yang tidak bisa
diabaikan, terkait dengan pembentukan kepribadian. Bahkan pendidikan menjadi
sangat penting untuk menentukan maju-mundurnya suatu bangsa, karena pendidikan-lah
yang akan mencerdaskan anak bangsa.[5]
Secara filosofis, pendidikan Islam
bertujuan untuk mencapai atau menciptakan manusia berbahagia hidup di dunia dan
akhirat.[6]
Pencapaian tujuan pendidikan dalam rangka mengantarkan manusia mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, tidak mungkin tercapai apabila tidak
menjalani proses pembinaan diri menjadi orang yang mempunyai keimanan dan
ketakwaan. Sedangkan Syamsul Nizar yang mengutip pendapat Hasan Langgulung
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah bagaimana mengembangkan fitrah
perserta didik, baik ruh, fisik, kemauan dan akalnya secara dinamis. Proses
pengembangan berbagai potensi yang ada pada manusia akan terbentuk dan
membentuk pribadi yang utuh dan mendukung fungsinya sebagai khalifah di
permukaan bumi.[7]
Tujuan pendidikan Islam ini,
sesungguhnya tidak berbeda dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi
beserta didik (fitrah peserta didik seperti ruh, fisik, kemauan dan akal) agar
menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[8]
Upaya untuk mengembangkan berbagai
potensi yang ada pada manusia tentu tidak bisa berhasil bila tidak
berkesinambungan. Kontuinitas sebuah proses harus tetap terjaga agar tujuan
yang diinginkan bisa tercapai. Kesinambungan pendidikan karakter ini harus
terjadi berdasarkan lima prinsip, di antaranya:
Pertama,
prinsip integrasi (tauhid). Prinsip ini memandang adanya wujud kesatuan
dunia-akhirat. Oleh karena pendidikan akan meletakan porsi yang seimbang untuk
mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat
Kedua,
prinsip keseimbangan. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi.
Keseimbanan yang proporsional antara muatan ruhaniah dan jasmaniah, antara ilmu
murni dan ilmu terapan, antara teori dan praktik, dan antara nilai yang
menyangkut aqidah, syariah dan akhlak.
Ketiga,
prinsip persamaan dan pembebasan. Pendidikan Islam adalah suatu upaya untuk
membebaskan manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai-nilai tauhid
yang bersih dan mulia. Manusia dengan pendidikan diharapkan bisa terbebas dari
belenggu kebodohan, kemiskinan dan kejumudan.
Keempat,
prinsip kontinuitas dan berkelanjutan. Prinsip ini mendasari konsep pendidikan
sepanjang hayat (long life education). Sebab, dalam Islam belajar adalah
kewajiban yang tidak boleh berhenti. Seruan membaca dalam al-Qur’an merupakan
perintah yang tak kenal batas waktu, demikian juga tak kenal batas objek
kajian. Dengan menuntut ilmu secara terus menerus dan mencakup aspek yang luas,
maka murid akan tumbuh kesadaran diri dan lingkungannya. Dan yang lebih penting
adalah kesadaran akan kebesaran Tuhan.
Kelima, prinsip kemaslahatan dan keutamaan. Prinsip ini adalah turunan
dari konsep tauhid, keseimbangan, persamaan dan kebebasan. Pendidikan Islam
harus berprinsip bahwa ilmu harus dimanifestasikan dalam gerak langkah manusia,
dalam praksis sosial untuk kemaslahatan hidup manusia dan keutamaannya.[9]
Kelima prinsip di atas menjadi
sangat penting untuk memberikan rumusan, terkait dengan tujuan pendidikan
Islam. Karena itu, pendidikan Islam harus melengkapi berbagai elemen guna
mengaktualisasikan kelima prinsip di atas. Pembentukan karakter juga
berorientasi kepada kelima prinsip tersebut, yang harus dilakukan secara
berkesinambungan. Sebab, pendidikan atau pembentukan karakter harus dilakukan
secara berkesinambungan, sehingga dapat menanamkan karakter tersebut dalam
kehidupan batin manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa pembentukan karakter merupakan sebuah proses
untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat. Tujuan ini akan tercapai apabila seseorang telah
mampu memiliki dan memelihara keimanan dan ketakwaan kepada Allah, dimana
keimanan dan ketakwaan merupakan indikator dari karakter itu sendiri. Terdapat
hubungan yang signifikan antara indikator karakter dengan tujuan pendidikan
Islam. Karena itulah, dilihat dalam perspektif tujuan pendidikan Islam, maka
pendidikan karakter memiliki dasar yang kuat dalam rangka pencapaian tujuan
pendidikan Islam itu sendiri.
A.
Ruang Lingkup Pembentukan Karakter
Pendidikan secara umum merupakan
upaya untuk memberdayakan semua potensi diri yang ada pada manusia. Proses
pemberdayaan tersebut dilakukan secara utuh dan integral, karenanya pendidikan
diarahkan untuk mematangkan manusia secara utuh yang meliputi dimensi kognitif,
afektif dan psikomotorik. Ketidakberhasilan pendidikan, salah satunya karena
hanya mengejar salah satu dari dimensi tersebut dan mengabaikan dimensi yang
lain. Bila pendidikan hanya mengejar kematangan dimensi kognitif dengan
memaksimalkan proses transfer ilmu ke dalam otak, maka tentu belum sampai pada
upaya untuk menciptakan kematangan dalam berbuat baik. Karenanya, penyebab
ketidakmampuan seseorang berlaku baik, meskipun sudah mempunyai pengetahuan
tentang kebaikan tersebut adalah karena tidak terlatih untuk melakukan
kebaikan.[10]
Terkait dengan lingkup pembentukan karakter ini, Abdul Majid dan
Dian Andayani menjelaskan bahwa ada beberapa pilar pendidikan karakter dalam
membentuk karakter di antaranya sebagai berikut:
1.
Moral Knowing
(pengetahuan tentang kebaikan) yang meliputi:
a.
Kesadaran
moral (moral awareness)
b.
Pengetahuan
tentang nilai-nilai (knowing moral values)
c.
Penentuan
sudut pandang (perspective taking)
d.
Logika
moral (moral reasoning)
e. Keberanian mengambil
menentukan sikap (Decision making)
f. Dan pengenalan diri (self
knowledge)
2.
Moral
Loving atau Moral Feeling berarti penguatan aspek emosi siswa
untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk
sikap, terutama dalam hal kesadaran akan jati diri, yaitu:
a.
Percaya
diri (self Esteem)
b.
Kepekaan
terhadap derita orang lain (empathy)
c. Cinta kebenaran (loving
the good)
d.
Pengendalian
diri (self control)
e. Kerendahan hati (humility)
3.
Moral
Doing/moral action, bagaimana
membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.[11]
Anak mengetahui bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik,
mencontek juga perbuatan yang tidak baik, akan tetapi banyak yang melakukannya.
Jadi ada kesenjangan antara apa yang diketahui dengan apa yang dilakukannya. Dengan demikian orang tua atau
guru harus bisa mengarahkan anak untuk bertindak konsisten antara pikiran
dengan tindakannya.
Berpedoman kepada tiga pilar pendidikan karakter di atas, berarti
secara kognitif anak mengetahui (moral knowing), akan tetapi tidak
terlatih melakukannya (moral action). Untuk itu orang tua atau guru
tidak cukup memberi pengetahuan tentang kebaikan, akan tetapi harus membimbing
anak sampai pada tahap implementasi pada kehidupan kesehariannya.
Pada sisi lain, yang perlu disadari adalah mendidik kebiasaan baik
saja tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai
nilai-nilai kebaikan. Misalnya, seseorang tidak mencuri karena mengetahui
sanksi hukumnya, bukan karena keinginannya untuk menghargai nilai kejujuran.
Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (moral
feeling), yaitu kecintaan untuk berbuat baik.
Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling adalah
dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberi komitmen
terhadap nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian perlunya penekanan ketiga pilar
ini dalam rangka agar anak mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan
nilai-nilai kebaikan.
Berkaitan dengan kompleksnya lingkup pembentukan karakter, sehingga
prosesnya mesti mencakup dan mengembangkan berbagai dimensi atau unsur-unsur
secara kompleks, maka pendekatan yang digunakan harus bersifat multi dimensi
pendekatan. Bahkan, proses pembentukan karakter dengan media pendidikan juga
tidak bisa mempertimbangkan lingkungan dimana peserta didik berinteraksi.
Karenanya, pihak yang mempunyai peran dalam pengembangan karakter meliputi
lingkungan sekolah dengan berbagai unsur-unsur yang terkait dengan proses
pendidikan, keluarga sebagai lingkungan inti peserta didik dan masyarakat
sebagai lingkungan yang dapat mendukung bagi pembentukan karakter.
Di samping itu, pembentukan karakter peserta didik harus mengacu
kepada pengembangan berbagai potensi atau unsur-unsur harkat dan martabat yang secara keseluruhan
bersesuaian dengan nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
(Pancasila) dan nilai-nilai yang dilandasi ajaran Islam. Sejalan dengan hal
ini, Prayitno dan Afriva Khaidir memberikan perincian bahwa harkat dan martabat
manusia tersebut meliputi tiga komponen, yaitu sebagai berikut:
1.
Hakikat
manusia yang meliputi lima unsur, yaitu bahwa manusia diciptakan sebagai
makhluk yang beriman dan bertakwa, paling sempurna, paling tinggi derajatnya,
khalifah di muka bumi, dan penyandang HAM. Pembentukan karakter sepenuhnya
mengacu kepada kelima unsur hakikat manusia itu.
2.
Dimensi
kemanusiaan, meliputi lima dimensi, yaitu dimensi kefitrahan (dengan kata kunci
kebenaran dan keluhuran), dimensi keindividualan (dengan kata kunci potensi dan
perbedaan), dimensi kesosialan (dengan kata kunci komunikasi dan kebersamaan),
dimensi kesusilaan (dengan kata kunci nilai dan norma), dan dimensi
keberagamaan (dengan kata kunci iman dan takwa). Penampilan kelima unsur
dimensi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari akan mencerminkan karakter
individu yang bersangkutan.
3.
Pancadaya
kemanusiaan, meliputi lima potensi dasar, yaitu daya takwa, daya cipta, daya
rasa, daya karsa dan daya karya. Melalui pengembangan seluruh unsur pancadaya
inilah pribadi berkarakter dibangun.[12]
Berhubungan dengan panca daya kemanusian maka karakter yang
ditanamkan disesuaikan daya-daya yang ada dalam diri manusia. Pemerintah telah
mengembangkan Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 (Pemerintah
Republik Indonesia, 2010), yang didasarkan pada Pancasila antara lain dapat
dikemukakan berikut ini:
1.
Karakter
yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa, bersyukur,
jujur, adil, tertib, sabar, disiplin, taat aturan, bertanggung jawab,
berempati, punya rasa iba, berani mengambil resiko, pantang menyerah,
menghargai lingkungan, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
2.
Karakter
yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif,
analitis, ingin tahu, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif.
3.
Karakter
yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih dan sehat,
sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif,
kompetitif, ceria, ulet, dan gigih.
4.
Karakter
yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai,
saling mengasihi, gotong royong, kebersamaan, ramah, peduli hormat, toleran,
nasionalis, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah
air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja
keras, dan beretos kerja.[13]
Gambar 1:
Desain Induk Pembentukan Karakter Bangsa
Tahun 2010-2025[14]
Mencermati berbagai komponen pembentukan karakter di atas, maka pembentukan
karakter adalah gambaran upaya untuk membina berbagai unsur atau potensi yang
terdapat dalam diri manusia, terutama yang terkait dengan keimanan dan
ketakwaan. Karena dimensi keimanan dan ketakwaan menjadi hal yang mendasar
dalam membina kepribadian manusia. Dimensi ini menjadi landasan untuk membina
dimensi kemanusiaan yang meliputi kehidupan individu, sosial, aspek moralitas
serta keberagamaan. Dengan demikian, pembentukan karakter harus meliputi
pembinaan sejumlah dimensi kemanusiaan di atas. Secara metodologis tentu
berbagai dimensi tersebut harus diberikan pembinaan yang meliputi dimensi kognitif,
afektif dan psikomotorik.
[1]Prayitno
& Afriva Khaidir, loc.cit.
[2]Wahjoetomo,
Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), h. 21
[3]Oemar
Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2002), h. 3
[4]H.
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 110
[5]Abu
Ahmad dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Melton Putra, t.th.),
h. 68
[6]Omar
Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), h. 36
[7]Syamsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 36
[8]UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h. 5-6
[9]Mohd.
Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 32-33
[10]Abdul
Majid dan Dian Andayani, op.cit., h. 31
[12]Prayitno
dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 19-20
[13]Muchlas
Samani dan Heriyanto, op.cit., h. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar