Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Dasar Pembentukan Karakter dari Perspektif Tujuan Pendidikan Islam


1.      Dasar Pembentukan Karakter dari Perspektif Tujuan Pendidikan Islam
Karakter merupakan kepribadian yang sudah dihiasi sifat-sifat yang baik dan relatif stabil yang ditampilkan dalam satu perilaku berdasarkan nilai-nilai standar yang tinggi.[1] Sebuah perbuatan atau perilaku tidak dianggap sebagai fenomena lahiriah semata, melainkan sebuah gambaran lahiriah yang merupakan pencerminan dari berbagai sifat yang terdapat dalam diri seseorang. Dengan demikian, kemunculan karakter merupakan perwujudan dari kualitas berpikir dan kondisi batin seseorang, dimana sebelumnya telah menjadi sifat yang tertanam dalam jiwa. Sifat yang sudah tertanam tidak muncul dengan sendirinya, melainkan melalui proses pendidikan. Oleh Karena itu, karakter bukan sesuatu yang sudah ada sejak lama, akan tetapi ia merupakan sesuatu yang harus diupayakan dan dibiasakan melalui proses pendidikan yang baik dan integral.
Pendidikan, sebagaimana dijelaskan Wahjoetomo yang mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, merupakan pengajaran yang terpadu dan dipengeruhi oleh lingkungan peserta didik.[2] Pengajaran terpadu meliputi pendidikan yang melibatkan berbagai elemen yang ikut berperan dalam memerankan diri sebagai pendidik. Bahkan, bila dilihat dalam konteks lingkup lingkungan pendidikan, maka pengajaran yang diberikan hendaknya melibatkan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan masyarakat adalah pendidik yang bersifat tidak langsung, dimana fungsinya untuk mendukung pendidikan yang diberikan secara langsung. Sementara pendidikan yang bersifat langsung berasal dari pendidik itu sendiri. Pendidik atau guru merupakan profesi yang memiliki keahlian, pengetahuan bahkan keterampilan tertentu dalam melihat dan mengembangkan potensi yang terdapat pada peserta didik.[3] Karenanya, pendidikan merupakan usaha sadar atau suatu tindakan, perbuatan atau situasi yang diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan.[4] Di sinilah pentingnya pendidikan. Ia menjadi syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan, terkait dengan pembentukan kepribadian. Bahkan pendidikan menjadi sangat penting untuk menentukan maju-mundurnya suatu bangsa, karena pendidikan-lah yang akan mencerdaskan anak bangsa.[5]
Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai atau menciptakan manusia berbahagia hidup di dunia dan akhirat.[6] Pencapaian tujuan pendidikan dalam rangka mengantarkan manusia mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, tidak mungkin tercapai apabila tidak menjalani proses pembinaan diri menjadi orang yang mempunyai keimanan dan ketakwaan. Sedangkan Syamsul Nizar yang mengutip pendapat Hasan Langgulung menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah bagaimana mengembangkan fitrah perserta didik, baik ruh, fisik, kemauan dan akalnya secara dinamis. Proses pengembangan berbagai potensi yang ada pada manusia akan terbentuk dan membentuk pribadi yang utuh dan mendukung fungsinya sebagai khalifah di permukaan bumi.[7]
Tujuan pendidikan Islam ini, sesungguhnya tidak berbeda dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi beserta didik (fitrah peserta didik seperti ruh, fisik, kemauan dan akal) agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[8]
Upaya untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada pada manusia tentu tidak bisa berhasil bila tidak berkesinambungan. Kontuinitas sebuah proses harus tetap terjaga agar tujuan yang diinginkan bisa tercapai. Kesinambungan pendidikan karakter ini harus terjadi berdasarkan lima prinsip, di antaranya:
     Pertama, prinsip integrasi (tauhid). Prinsip ini memandang adanya wujud kesatuan dunia-akhirat. Oleh karena pendidikan akan meletakan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat
     Kedua, prinsip keseimbangan. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi. Keseimbanan yang proporsional antara muatan ruhaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan ilmu terapan, antara teori dan praktik, dan antara nilai yang menyangkut aqidah, syariah dan akhlak.
     Ketiga, prinsip persamaan dan pembebasan. Pendidikan Islam adalah suatu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai-nilai tauhid yang bersih dan mulia. Manusia dengan pendidikan diharapkan bisa terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kejumudan.
     Keempat, prinsip kontinuitas dan berkelanjutan. Prinsip ini mendasari konsep pendidikan sepanjang hayat (long life education). Sebab, dalam Islam belajar adalah kewajiban yang tidak boleh berhenti. Seruan membaca dalam al-Qur’an merupakan perintah yang tak kenal batas waktu, demikian juga tak kenal batas objek kajian. Dengan menuntut ilmu secara terus menerus dan mencakup aspek yang luas, maka murid akan tumbuh kesadaran diri dan lingkungannya. Dan yang lebih penting adalah kesadaran akan kebesaran Tuhan.
    Kelima, prinsip kemaslahatan dan keutamaan. Prinsip ini adalah turunan dari konsep tauhid, keseimbangan, persamaan dan kebebasan. Pendidikan Islam harus berprinsip bahwa ilmu harus dimanifestasikan dalam gerak langkah manusia, dalam praksis sosial untuk kemaslahatan hidup manusia dan keutamaannya.[9]

Kelima prinsip di atas menjadi sangat penting untuk memberikan rumusan, terkait dengan tujuan pendidikan Islam. Karena itu, pendidikan Islam harus melengkapi berbagai elemen guna mengaktualisasikan kelima prinsip di atas. Pembentukan karakter juga berorientasi kepada kelima prinsip tersebut, yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Sebab, pendidikan atau pembentukan karakter harus dilakukan secara berkesinambungan, sehingga dapat menanamkan karakter tersebut dalam kehidupan batin manusia.
 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pembentukan karakter merupakan sebuah proses untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan ini akan tercapai apabila seseorang telah mampu memiliki dan memelihara keimanan dan ketakwaan kepada Allah, dimana keimanan dan ketakwaan merupakan indikator dari karakter itu sendiri. Terdapat hubungan yang signifikan antara indikator karakter dengan tujuan pendidikan Islam. Karena itulah, dilihat dalam perspektif tujuan pendidikan Islam, maka pendidikan karakter memiliki dasar yang kuat dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
A.    Ruang Lingkup Pembentukan Karakter
             Pendidikan secara umum merupakan upaya untuk memberdayakan semua potensi diri yang ada pada manusia. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan secara utuh dan integral, karenanya pendidikan diarahkan untuk mematangkan manusia secara utuh yang meliputi dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketidakberhasilan pendidikan, salah satunya karena hanya mengejar salah satu dari dimensi tersebut dan mengabaikan dimensi yang lain. Bila pendidikan hanya mengejar kematangan dimensi kognitif dengan memaksimalkan proses transfer ilmu ke dalam otak, maka tentu belum sampai pada upaya untuk menciptakan kematangan dalam berbuat baik. Karenanya, penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik, meskipun sudah mempunyai pengetahuan tentang kebaikan tersebut adalah karena tidak terlatih untuk melakukan kebaikan.[10]
Terkait dengan lingkup pembentukan karakter ini, Abdul Majid dan Dian Andayani menjelaskan bahwa ada beberapa pilar pendidikan karakter dalam membentuk karakter di antaranya sebagai berikut:
1.      Moral  Knowing (pengetahuan tentang kebaikan) yang meliputi:
a.    Kesadaran moral (moral awareness)
b.   Pengetahuan tentang nilai-nilai (knowing moral values)
c.    Penentuan sudut pandang (perspective taking)
d.   Logika moral (moral reasoning)
e.  Keberanian mengambil menentukan sikap (Decision making)
f.  Dan pengenalan diri (self knowledge)
2.      Moral Loving atau Moral Feeling berarti penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap, terutama dalam hal kesadaran akan jati diri, yaitu:
a.    Percaya diri (self Esteem)
b.   Kepekaan terhadap derita orang lain (empathy)
c.  Cinta kebenaran (loving the good)
d.   Pengendalian diri (self control)
e.  Kerendahan hati (humility)
3.      Moral Doing/moral action, bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.[11]

Anak mengetahui bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik, mencontek juga perbuatan yang tidak baik, akan tetapi banyak yang melakukannya. Jadi ada kesenjangan antara apa yang diketahui dengan apa yang  dilakukannya. Dengan demikian orang tua atau guru harus bisa mengarahkan anak untuk bertindak konsisten antara pikiran dengan tindakannya.
Berpedoman kepada tiga pilar pendidikan karakter di atas, berarti secara kognitif anak mengetahui (moral knowing), akan tetapi tidak terlatih melakukannya (moral action). Untuk itu orang tua atau guru tidak cukup memberi pengetahuan tentang kebaikan, akan tetapi harus membimbing anak sampai pada tahap implementasi pada kehidupan kesehariannya.
Pada sisi lain, yang perlu disadari adalah mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai nilai-nilai kebaikan. Misalnya, seseorang tidak mencuri karena mengetahui sanksi hukumnya, bukan karena keinginannya untuk menghargai nilai kejujuran. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (moral feeling), yaitu kecintaan untuk berbuat baik.
Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling adalah dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberi komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian perlunya penekanan ketiga pilar ini dalam rangka agar anak mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebaikan.
Berkaitan dengan kompleksnya lingkup pembentukan karakter, sehingga prosesnya mesti mencakup dan mengembangkan berbagai dimensi atau unsur-unsur secara kompleks, maka pendekatan yang digunakan harus bersifat multi dimensi pendekatan. Bahkan, proses pembentukan karakter dengan media pendidikan juga tidak bisa mempertimbangkan lingkungan dimana peserta didik berinteraksi. Karenanya, pihak yang mempunyai peran dalam pengembangan karakter meliputi lingkungan sekolah dengan berbagai unsur-unsur yang terkait dengan proses pendidikan, keluarga sebagai lingkungan inti peserta didik dan masyarakat sebagai lingkungan yang dapat mendukung bagi pembentukan karakter.
Di samping itu, pembentukan karakter peserta didik harus mengacu kepada pengembangan berbagai potensi atau unsur-unsur  harkat dan martabat yang secara keseluruhan bersesuaian dengan nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila) dan nilai-nilai yang dilandasi ajaran Islam. Sejalan dengan hal ini, Prayitno dan Afriva Khaidir memberikan perincian bahwa harkat dan martabat manusia tersebut meliputi tiga komponen, yaitu sebagai berikut:
1.   Hakikat manusia yang meliputi lima unsur, yaitu bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, paling sempurna, paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, dan penyandang HAM. Pembentukan karakter sepenuhnya mengacu kepada kelima unsur hakikat manusia itu.
2.   Dimensi kemanusiaan, meliputi lima dimensi, yaitu dimensi kefitrahan (dengan kata kunci kebenaran dan keluhuran), dimensi keindividualan (dengan kata kunci potensi dan perbedaan), dimensi kesosialan (dengan kata kunci komunikasi dan kebersamaan), dimensi kesusilaan (dengan kata kunci nilai dan norma), dan dimensi keberagamaan (dengan kata kunci iman dan takwa). Penampilan kelima unsur dimensi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari akan mencerminkan karakter individu yang bersangkutan.
3.   Pancadaya kemanusiaan, meliputi lima potensi dasar, yaitu daya takwa, daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya. Melalui pengembangan seluruh unsur pancadaya inilah pribadi berkarakter dibangun.[12]

Berhubungan dengan panca daya kemanusian maka karakter yang ditanamkan disesuaikan daya-daya yang ada dalam diri manusia. Pemerintah telah mengembangkan Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 (Pemerintah Republik Indonesia, 2010), yang didasarkan pada Pancasila antara lain dapat dikemukakan berikut ini: 
1.   Karakter yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa, bersyukur, jujur, adil, tertib, sabar, disiplin, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, punya rasa iba, berani mengambil resiko, pantang menyerah, menghargai lingkungan, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
2.   Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, analitis, ingin tahu, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif.
3.   Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, ulet, dan gigih.
4.   Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, saling mengasihi, gotong royong, kebersamaan, ramah, peduli hormat, toleran, nasionalis, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.[13]

Gambar 1: Desain Induk Pembentukan Karakter Bangsa
Tahun 2010-2025[14]
Mencermati berbagai komponen pembentukan karakter di atas, maka pembentukan karakter adalah gambaran upaya untuk membina berbagai unsur atau potensi yang terdapat dalam diri manusia, terutama yang terkait dengan keimanan dan ketakwaan. Karena dimensi keimanan dan ketakwaan menjadi hal yang mendasar dalam membina kepribadian manusia. Dimensi ini menjadi landasan untuk membina dimensi kemanusiaan yang meliputi kehidupan individu, sosial, aspek moralitas serta keberagamaan. Dengan demikian, pembentukan karakter harus meliputi pembinaan sejumlah dimensi kemanusiaan di atas. Secara metodologis tentu berbagai dimensi tersebut harus diberikan pembinaan yang meliputi dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik.


[1]Prayitno & Afriva Khaidir, loc.cit.

[2]Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 21

[3]Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 3

[4]H. M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 110

[5]Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Melton Putra, t.th.), h. 68

[6]Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 36

[7]Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 36

[8]UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 5-6
[9]Mohd. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 32-33
[10]Abdul Majid dan Dian Andayani, op.cit., h. 31

[11]Ibid., h. 31-36

[12]Prayitno dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 19-20

[13]Muchlas Samani dan Heriyanto, op.cit., h. 25

[14]Ibid

Tidak ada komentar: