A.
Pengertian Pembentukan Karakter
Berbicara tentang karakter manusia merupakan sebuah penelusuran
yang sangat kompleks dan membutuhkan berbagai pendekatan dan pemahaman yang
utuh. Beragamnya penafsiran karakter tersebut mengindikasikan bahwa semua itu
mesti dipahami dalam konteks yang diinginkan. Namun, tetap saja hal ini menyisakan
perdebatan dalam menentukan pengertian
karakter.
Penafsiran karakter dengan perspektif atau sudut pandang tertentu, pada
satu sisi, memiliki kesamaan yang dapat dijadikan titik temu, namun pada sisi
lain terdapat perbedaan sesuai dengan sifat dasar ilmu yang digunakan. Karena
itu dibutuhkan penelusuran yang akurat terkait dengan makna karakter yang akan
dijadikan dalam penelitian ini.
Secara etimologis, karakter berasal dari bahasa Inggris; character
yang berarti sifat atau watak.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa sifat merupakan keadaan
yang tampak pada suatu benda yang bersifat lahiriah. Sedangkan watak merupakan
sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.[2] Ini
berarti, karakter identik dengan sifat atau watak yang mengacu kepada gejala-gejala
kebatinan atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi pikiran dalam melahirkan suatu
perbuatan, tindakan, perilaku yang tampak secara lahiriyah.
Secara terminologis, karakter dapat dipahami dalam berbagai
pendekatan keilmuan. Dari perspektif psikologis, karakter disebut watak,
perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap, terus-menerus
dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi.[3] Pengertian
ini mendikasikan karakter sebagai suatu potensi batiniah yang sudah melekat
dalam diri seseorang, sekaligus menjadi ciri khas yang membedakannya dengan
orang lain.
Ibn Miskawaih cenderung mengidentikan karakter dengan akhlak yang
berarti sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa paling dalam dan dapat melahirkan
suatu perbuatan secara spontan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[4] Sebuah perbuatan dapat dikategorikan akhlak,
sejalan dengan apa yang dijelaskan Abuddin Nata, apabila memiliki ciri sebagai
berikut: (1) Perbuatan tersebut sudah mendarah daging dan tertanam kuat dalam
jiwa, (2) Perbuatan tersebut lahir secara spontan, sebagai refleksi dari sifat
yang sudah tertanam, (3) Perbuatan tersebut lahir bukan didasarkan pada
paksaan, melainkan sebagai pilihan bebas yang sudah tertanam dalam jiwa, (4)
Perbuatan tersebut bukan rekayasa, melainkan perbuatan yang sungguh-sungguh,
dan (5) Perbuatan tersebut dilakukan secara ikhlas karena Allah swt.[5] Dengan
demikian, istilah karakter menunjukan keadaan sifat batin manusia yang
teraktual dalam setiap sikap dan perilaku.
Dalam ilmu genetika, karakter berarti penggambaran sifat-sifat
makhluk hidup yang tersusun dalam gen atau kromoson, dimana keberadaannya sudah
ada sejak lahir. Karakter secara genetika dapat diubah apabila terjadi proses
manipulasi terhadap inti sel. Karakter dalam konteks genetika ini merupakan
ciri khas seseorang secara biologis yang dapat menggambarkan dan membedakan
dirinya dengan orang lain. Sifat laki-laki berbeda dengan sifat perempuan yang dapat
dilihat secara lahiriah, seperti warna rambut, warna kulit, bentuk wajah,
tinggi dan rendahnya badan, cara bicara dan sebagainya.[6]
Prayitno dan Afriva Khaidir menjelaskan karakter sebagai sifat yang
relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan
perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi.[7]
Pengertian ini menekankan inti karakter pada ciri-ciri yang sudah menjadi
kepribadian. Kepribadian tergambar atau diaktualkan dalam bentuk perbuatan atau
tingkah laku. Sifat stabil berarti satu sifat yang sudah terbentuk dan sulit
untuk diubah. Perbuatan yang merupakan gambaran karakter terbentuk berdasarkan
nilai atau norma yang tinggi. Ini mengisyaratkan bahwa karakter merupakan
gambaran sifat batin yang relatif sudah menetap dalam diri atau sifat yang
sudah terbentuk sehingga tidak mudah untuk diubah.
Lebih lanjut, Prayitno dan Afriva Khaidir menjelaskan bahwa indikator karakter yang terwujud dalam
perilaku individu yang mencerminkan karakter adalah sebagai sebagai berikut;
iman dan takwa, pengendalian diri, sabar, disiplin, kerja keras dan ulet,
bertanggung jawab dan jujur, membela kebenaran, kepatutan, kesopanan dan
kesantunan, ketaatan pada peraturan, loyal, demokratis, sikap kebersamaan,
musyawarah dan gotong royong, toleran, tertib, damai dan anti kekerasaan, hemat
dan konsisten.[8]
Indikator tersebut dapat diklasifikasikan kepada indikator khusus yang terkait
dengan keterampilan, kecerdasan, dan sikap.
Hamka Abdul Aziz menjelaskan karakter sebagai kualitas atau
kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan
kepribadian khusus yang membedakanya dengan orang lain.[9] Pengertian
ini juga sejalan dengan pengertian yang diberikan Abdul Majid dan Dian Andayani
dalam bukunya Pendidikan Karakter Perspektif Islam mengatakan bahwa
karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi menjadi
identitas yang mengatasi pengalaman yang selalu berubah.[10] Terlihat
dari dua pengertian ini, bahwa karakter identik dengan akhlak.
Abuddin Nata menjelaskan karakter sebagai sifat yang melekat, yang
sudah dibiasakan, dipraktekkan, dikerjakan, ditradisikan, diinternalisasikan
dan ditransformasikan melalui proses pendidikan ke dalam diri seseorang.[11] Muchlas
Samani dan Hariyanto yang menjelaskan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku
yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.[12] Sama
halnya dengan pengertian karakter yang dikemukakan oleh Doni Kusuma dimana
karakter dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat dari
diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan.[13]
Tiga pengertian ini menegaskan bahwa karakter menjadi sangat mapan karena
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Karenanya, karakter tidak bisa dilepaskan
dengan pendidikan.
Pengertian ini di dipertegas oleh Duski Samad yang mendefinisikan
karakter sebagai upaya pengembangan kompetensi dasar, agar berpikiran, berhati, dan berperilaku baik.[14] Pengertian ini menegaskan bahwa karakter
bukan sesuatu yang dapat diwariskan kepada seseorang, akan tetapi ia merupakan
sesuatu yang harus dibangun atau dibentuk secara berkesinambungan melalui proses
pendidikan terhadap pikiran, sikap, perilaku atau perbuatan sehari-hari.
Karakter dan pendidikan dua hal saling mendukung. Pendidikan
menjadi elemen penting dalam menentukan terbentuknya karakter yang baik,
sedangkan karakter merupakan pencapaian dari sebuah proses pendidikan. Maka, pembentukan
karakter identik dengan pendidikan karakter. Sebab, pembentukan karakter tidak
bisa dilepaskan dengan berbagai kegiatan pendidikan dalam memberikan
pengetahuan membina dengan menerapkan berbagai kebiasaan-kebiasaan yang
diterapkan dalam kegiatan sekolah. Kebiasaan inilah yang sebenarnya inheren
dengan proses pembentukan karakter.
Idealnya pendidikan harus meliputi tiga pilar utama,
yaitu rumah, sekolah dan masyarakat. Artinya, ketiga pilar utama tersebut harus
saling mendukung menciptakan lingkungan yang kondusif agar pendidikan karakter
bukan sekedar memberikan pengetahuan secara kognitif, bahkan bisa mengaktualkan
berbagai nilai-nilai pendidikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. [15] Maka,
sebenarnya pada ketiga pilar pendidikan tersebut mesti saling mendukung dalam
proses pembinaan terhadap peserta didik agar fungsi pendidikan untuk membentuk
karakter dapat tercapai secara maksimal.
Berdasarkan pengertian di atas kaitannya dengan penelitian ini,
maka pembentukan karakter yang dimaksud adalah sebuah proses membentuk karakter
dengan berbagai kegiatan pembiasaan dalam rangka menanamkan sifat atau watak yang
baik (berpikir, bersikap dan berperilaku baik sesuai dengan citra lingkungan
yang mempengaruhinya, yaitu nilai-nilai ajaran Islam) dalam kehidupan peserta didik.
Proses pembentukan karakter
ini sebenarnya relatif sudah
dilaksanakan di Perguruan Islam ar-Risalah dengan mengintegrasikan tiga pilar
pendidikan di atas. Sekolah dan asrama yang diawasi oleh pengasuh asrama
sebagai pengganti orang tua dan sekaligus suasana tersebut menjadi lingkungan
yang bisa dibentuk sesuai dengan prinsip penerapan dan tujuan pendidikan
karakter. Pengintegrasian tiga pilar pendidikan di Perguruan Islam ar-Risalah
merupakan salah satu strategi pembentukan karakter, dengan menjadikan elemen yang terkait dengan sekolah dan asrama sebagai
instrumen yang diberdayakan secara sinergis dalam menciptakan suasana
kondusif bagi proses pembentukan
karakter peserta didik.
B.
Dasar-dasar Pembentukan Karakter
Pentingnya proses pembentukan karakter terhadap peserta didik harus dilihat dalam berbagai perspektif. Secara
lebih spesifik, pembentukan karakter tersebut sejalan dengan tujuan penciptaan manusia
sebagai makhluk yang sempurna, yang sudah memiliki berbagai potensi konstruktif
dalam mengembangkan dirinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di
permukaan bumi ini. Bila dilihat dari perspektif filsafat pendidikan, maka pembentukan karakter
mempunyai dasar yang kuat sebagai upaya untuk mengembangkan berbagai potensi
konstruktif yang sudah ada dalam diri manusia. Sebab, Islam sebagai sebuah
sistem nilai memandang pendidikan sebagai usaha untuk menanamkan ajaran Islam
yang intinya adalah membangun karakter manusia secara utuh (kaffah).
Dasar-dasar pembentukan karakter tersebut dapat dilihat dari
perspektif al-Qur’an dan Hadis, perspektif landasan filosofis kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam hal ini dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, dan perspektif pendidikan Islam yang bertujuan
untuk menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dalam rangka pembentukan karakter.
1.
Dasar Pembentukan Karakter dari Perspektif al-Qur’an dan Sunnah
Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sember utama
yang menjadi pedoman dalam kehidupan umat Islam. Sebagai pedoman dalam
kehidupan manusia, al-Qur’an dan Sunnah tentu mempunyai fungsi signifikan dalam
kehidupan umat Islam untuk memberi arah kehidupan, memberikan ketenangan,
petunjuk, dan menjadi pembeda dalam kehidupan sehari-hari terhadap
persoalan-persoalan yang baik dan yang tidak baik, yang halal dan yang haram
dan sebagainya. Memahami fungsi al-Qur’an dan Hadis ini, maka pantas kalau
berbagai fenomena kehidupan manusia, termasuk dalam memahami pembentukan
karakter manusia, harus didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Ramayulis
dalam bukunya berjudul Psikologi Agama, yang cenderung menjadikan
al-Qur’an inheren dengan agama menjelaskan bahwa dalam kehidupan umat manusia
agama atau al-Qur’an berfungsi sebagai berikut:
a)
Sumber Nilai dalam menjaga
Kesusilaan
Setiap
manusia, baik secara individu maupun secara kolektif (bermasyarakat) akan
tumbuh menjadi dewasa dan berkembang, sehingga perkembangan tersebut
membutuhkan sebuah sistem nilai sebagai tuntunan untuk mengarahkan perbuatan
itu dalam mencapai tujuan akhirnya.
b)
Sarana untuk Mengatasi Frustrasi
Dalam
menjalani kehidupan, manusia tentu tidak bisa lepas dari berbagai persoalan
hidup. Persoalan tersebut ada yang bisa diatasi, namun tidak jarang persoalan
tersebut justeru membingungkan yang menyebabkan sikap frustrasi dalam
kehidupan. Di sinilah fungsi al-Qur’an memberikan bimbingan agar seseorang
tidak menemui jalan buntu, yang berakibat pada stress atau frustrasi.
c)
Sarana untuk Mengatasi Ketakutan
Setiap
manusia pasti memiliki keterbatasan dalam mengetahui atau memprediksikan
berbagai persoalan kehidupannya. Fenomena kaya dan miskin adalah dua hal yang
tidak bisa dielakkan dalam kehidupan. Tidak jarang orang kaya takut jatuh
miskin, dan sebaliknya orang miskin takut karena tidak ada jaminan hidup. Semua
fenomena ini merupakan ketakutan yang tidak pernah berujung, atau bahkan tidak
ada objeknya. Karena itu, al-Qur’an memberikan solusi atas persoalan yang
muncul seperti ini dalam kehidupan manusia sehari-hari.
d)
Sarana untuk Memuaskan Keingintahuan
Manusia
adalah makhluk yang serba ingin tahun. Dalam proses pencarian tersebut, tentu
tidak semua hal yang bisa diketahui oleh manusia. Namun terkadang keterbatasan
tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa dipecahkan sehingga terjadi kerisauan
intelektual. Di sinilah fungsi al-Qur’an memberikan penjelasan tentang sesuatu
yang tidak bisa dipercahkan oleh kemampuan logika manusia.[16]
Berdasarkan
pandangan Ramayulis di atas, maka dapat dipahami bahwa al-Qur’an mempunyai
multi fungsi bagi kehidupan manusia. Terkait dengan persoalan karakter,
al-Qur’an banyak memberikan nilai-nilai yang dijadikan prinsip dalam membentuk
pemahaman tentang karakter, meskipun hanya bersifat umum, yang dijadikan
prinsip dalam pembentukan karakter. Karena itulah, al-Qur’an memiliki kedudukan
yang penting dan strategis dalam memberikan tuntunan sebagai dasar dalam
memahami pembentukan karakter manusia.
Menurut Abuddin Nata, karakter dalam
perspektif al-Qur’an lebih menekankan pada upaya membiasakan orang untuk
mempraktekan dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan (perintah untuk beribadah
atau beramal saleh) dan perintah untuk menjauhi larangan-larangan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan yang buruk. Di samping itu, al-Qur’an dalam proses
pembentukan karakter juga menekankan pada upaya agar manusia dapat mengetahui,
memahami dan menyadari tentang cara hidup, atau bagaimana seharusnya manusia
hidup. Bila karakter identik dengan akhlak, maka karakter adalah suatu sifat
untuk mengetahui, memahami mana yang baik dan seharusnya bagi manusia untuk
dilakukan dan mana yang tidak baik yang tidak mesti dilakukan oleh manusia.[17]
Bila dikaitkan
dengan al-Qur’an, maka karakter dengan berbagai indikatornya sebagaimana
dijelaskan dalam pengertian di atas, mempunyai berbagai kesamaan. Sebab,
karakter dalam bahasa Arab cenderung disebut dengan istilah akhlaq atau khuluq
yang berarti budi pekerti atau tingkah laku. Di dalam al-Qur’an, penggambaran
karakter didentikan dengan penteladanan akhlak pada diri Rasulullah. Seperti Firman
Allah SWT. :
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya telah pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Q.S. al-Ahzab/33:21)
Perkatan uswah
dalam ayat di atas, bermakna dua kemungkinan. Pertama, uswah dalam arti
kepribadian Rasulullah secara totalitasnya adalah teladan. Kedua, uswah
dalam arti terdapat pada kepribadian Rasulullah hal-hal yang patut diteladani.[18] Ayat
ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mempunyai kepribadian yang patut dijadikan
teladan bagi manusia. Inilah salah satu bentuk keagungan Nabi sebagai pribadi
yang mempunyai karakter. Bahkan
dalam surat lain, al-Qur’an menjelaskan dan mempertegas
keagungan akhlak Nabi Muhammad sebagaimana firman Allah SWT. :
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung”. (Q.S. al-Qalam/68:4)
Kedua
ayat di atas menjadi acuan atau dasar dalam menjelaskan pentingnya karakter
dalam kehidupan manusia. Ayat di atas menggambarkan tentang pribadi Nabi
Muhammad SAW yang mempunyai budi pekerti yang agung, sehingga ia menjadi
pribadi yang layak untuk dijadikan teladan bagi umat Islam. Dalam hal ini,
akhlak yang ditujukan kepada Nabi Muhammad, bukan hanya tertuju kepada sejumlah
sikap atau perilaku tertentu dari kepribadian yang dimilikinya, namun ini
tertuju kepada totalitas kehidupan Nabi Muhammad yang mengindikasikan kandungan
berbagai karakter yang baik, yang didasarkan pada nilai-nilai positif yang berasal dari al-Qur’an. Terbentuknya akhlak mulia bukan sekedar perilaku biasa
yang tidak terkait dengan kondisi batin, akan tetapi ia menggambarkan
kematangan dan konsistensi sifat batiniah yang terdapat dalam diri Rasulullah,
yang tidak mudah untuk diubah. Karena itu, ayat di atas dijadikan dasar
pentingnya akhlak dalam kehidupan umat Islam dan pentingnya kedudukan
Rasulullah sebagai teladan dalam mentradisikan, membiasakan, dan membudayakan
hal-hal yang baik, sehingga ia mengkristal menjadi karakter dalam diri.
Selanjutnya,
karakter dalam al-Qur’an juga
diasosiasikan pada pribadi atau manusia yang sudah terbebas dari kehidupan yang
sesat atau kehidupan gelap kepada kehidupan yang lurus atau terang benderang.
Hal ini diisyaratkan dalam Firman Allah SWT. :
uqèd Ï%©!$# Ìj?|Áã öNä3øn=tæ ¼çmçGs3Í´¯»n=tBur /ä3y_Ì÷ãÏ9 z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# 4 tb%2ur tûüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ $VJÏmu ÇÍÌÈ
Artinya: “Dialah yang memberi
rahmat kepadamu dan Malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia
mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia
Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Q.S. al-Ahsab/33:43)
Dalam
proses pembentukan karakter, al-Qur’an memberikan gambaran tentang usaha Lukman
al-Hakim dalam menanamkan karakter kepada anaknya. Dalam hal ini, ia memberikan
nasihat kepada putranya untuk senantiasa memelihara dan memupuk rasa keimanan
dan ketakwaan kepada Allah dengan senantiasa melakukan komunikasi dengan Allah
melalui ibadah shalat, mengerjakan segala kebaikan dan mencegah setiap
kemungkaran serta bersabar atas setiap sesuatu yang menimpanya. Hal ini
diisyaratkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
¢Óo_ç6»t ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷É9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºs ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
Artinya: “Hai
anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah)”. (Q.S. Luqman/31:17)
Masih
dalam konteks nasihat Lukman kepada anaknya supaya menjaga, memelihara dan
menampilkan akhlak mulia. Dalam Firman Allah SWT. :
ôÅÁø%$#ur Îû Íô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎÏJptø:$# ÇÊÒÈ
Artinya: “Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman/31:19)
Dalam
hal menanamkan kecerdasan[19]
terhadap anaknya, Luqman juga tidak segan-segan membawa anaknya untuk turun secara
langsung ketengah-tengah masyarakat berinteraksi
dengan kesulitan orang lain. Diharapkan
hal ini bisa menanamkan kecerdasan terhadap kejiwaan anaknya.[20]
Isyarat
al-Qur’an yang mengindikasikan pembentukan karakter juga dikaitkan dengan upaya
al-Qur’an memberikan arahan atau petunjuk kepada manusia agar keluar dari
kehidupan yang keliru kepada kehidupan yang benar, perilaku untuk mendamaikan
manusia yang saling bermusuhan dan menyelamatkan manusia yang sedang berada di
tepi jurang kehancuran. Terkait dengan dengan hal ini, al-Qur’an
menjelaskan sebagai berikut:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
Artinya: “Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan hikmah (as-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Jumu’ah/62 :2)
Dalam
firman lain Allah SWT. menjelaskan:
øÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù't br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏGs?r& #Yrâèd ( tA$s% èqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ
Artinya: “Dan
(ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata:
"Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab:
"Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang jahil". (Q.S. al-Baqarah/2: 67)
Dalam
surat yang lain Allah SWT. telah berfirman:
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.ø$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ã ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ
Artinya: “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Q.S. Ali Imran/3: 103)
Di
samping ayat-ayat di atas, al-Qur’an juga memperkenalkan istilah-istilah yang
mengisyaratkan pribadi yang sudah memiliki karakter yang baik. Istilah-istilah
tersebut adalah al-Mukminun, al-Muttaqin, al-Muslimun, al-Mukhlishun dan
sebagainya. Beberapa istilah tersebut menggambarkan orang yang sudah memiliki
sifat-sifat terpuji sesuai dengan prosesnya. Al-Mukminun berarti orang-orang
yang sudah memiliki secara mantap tanda-tanda atau sifat keimanan, al-Muttaqin
berarti menggambarkan orang-orang yang sudah memiliki sifat-sifat ketakwaan,
al-Muslimun berarti gambaran orang-orang yang sudah memiliki sifat-sifat
kepasrahan kepada Tuhan dan al-Mukhlishun berarti gambaran yang orang
sudah memiliki sifat-sifat keikhlasan.
Istilah
al-Mukminun dalam al-Qur’an menggambarkan orang yang mempunyai karakter
yang apabila disebutkan nama Allah bergetar hatinya sebagai berikut:
$yJ¯RÎ) cqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sÎ) tÏ.è ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍkön=tã ¼çmçG»t#uä öNåkøEy#y $YZ»yJÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u tbqè=©.uqtGt ÇËÈ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman yaitu mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Q.S. al-Anfal/8:2)
Istilah
al-Muttaqin dalam al-Qur’an menggambarkan orang yang mempunyai karakter kepekaan
dan empati sosial yang kuat dan mampu membangun hubungan baik dengan Allah dengan
melakukan berbagai ibadah dan kesalehan individu yang lainnya serta mampu
menjalin hubungan baik antara sesama manusia. Hal ini diisyaratkan Allah SWT. dalam Firman-Nya:
}§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
Artinya: “Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta, dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.
al-Baqarah/2: 177)
Di
samping menggambarkan sifat-sifat yang baik, al-Qur’an juga menggambarkan sifat
atau perilaku yang tidak baik yang harus dijauhi oleh umat Islam. Beberapa
karakter buruk tersebut merupakan penyakit hati, seperti pesimis, dusta,
munafik, ghibah, suka mencari kesalahan orang lain, dengki, sombong, zhalim dan
sebagainya. Beberapa sifat-sifat tersebut merupakan gambaran kehidupan manusia
yang jauh dari karakter yang diinginkan
al-Qur’an.
Al-Qur’an
sebagai dasar pembentukan karakter dalam
Islam dapat dipahami dari berbagai variasi istilah yang harus dipahami secara
kontekstual. Abuddin Nata menjelaskan bahwa al-Qur’an tidak meminta manusia
untuk menjadi amanu, tapi menjadi mukminun, bukan ittaqa,
tapi muttaqin, bukan aslama, tapi muslimun, bukan akhlasha,
tapi mukhlishun. Amanu, ittaqa, aslama dan akhlasha adalah
gambaran sebuah proses yang masih berlangsung, yang membutuhkan komitmen dan
konsistensi agar menjadi sifat yang tetap dan mengkristal dalam batin.
Sedangkan mukminun, muslimun, muttaqin, dan mukhlishun merupakan
gambaran bahwa berbagai predikat tersebut telah mengkristal atau mendarah
daging, sehingga menjadi karakter.[21]
Ajaran
Islam tentang aqidah, ibadah, dan mu`amalah, kisah, dan sejarah di dalamnya
selalu berkaitan dengan nilai-nilai karakter. Dalam aspek ibadah misalnya,
setiap ibadah mengandung unsur pendidikan karakter di dalamnya. Shalat
mengajarkan karakter taqwa, tawaddhu`, disiplin, jujur. Ibadah puasa mendidik
karakter taqwa, sehat, empati, jujur, disiplin. Zakat mengajarkan karakter
taqwa, kasih sayang, peduli, empati. Intinya semua ibadah dalam Islam sarat
dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Ali
Ahmad al-Jurjawiy mengatakan bahwa:
Ketahuilah, bahwa tujuan
seluruh ajaran samawi dimaksudkan untuk menghasilkan empat perkara. 1) Mengetahui,
mengesakan, dan memuji mengetahui, mengesakan dan memuji Allah dengan segala
sifatnya yang sempurna, sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz
bagi-Nya. 2) Untuk mengajarkan cara melaksanakan pengabdian
yang di dalamnya mengandung tujuan untuk mengagungkan dan mensyukuri nikmat-Nya
yang tidak terbilang. 3) Untuk mendorong (umat manusia) untuk melakukan
perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan yang buruk serta menghiasinya dengan
sopan santun yang utama dan akhlak yang suci, serta berbagai keutamaan yang
dapat mengangkat harkat dan martabat manusia ke tempat yang mulia dan tinggi,
seperti menjauhi perbuatan yang tak
senonoh (al-maruah), memelihara tetangga, memelihara amanah, bersabar dan yang
serupa dengan itu. 4) Membiasakan melakukan sesuatu sesuai dengan batas-batasnya
dengan meletakkan hukumnya yang kokoh dalam pergaulan hidup.[22]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembentukan karakter dalam Islam memiliki dasar yang kuat dalam al-Qur’an.
Sebagai pedoman bagi umat Islam, al-Qur’an dengan berbagai variasi, baik dalam
perspektif pengistilahan maupun dalam
konteks makna, sarat dengan nilai yang mendukung pembentukan karakter manusia.
Secara teknis operasional, pembentukan karakter dalam diri seseorang memerlukan
perjuangan yang solid, konsisten dan kesungguhan yang kuat, terutama dalam
mengendalikan hawa nafsu, dimana tidak tertutup kemungkinan menjadi penghalang
utama ketika manusia berjuang melaksanakan proses pembentukan karakter.
Di
samping al-Qur’an, pembentukan karakter juga didukung oleh Hadis Rasulullah,
sebagai sumber hukum kedua sesudah al-Qur’an. Bahkan implementasi akhlak
tersimpul dalam pribadi Rasulullah Saw. Dalam hadis banyak dijumpai berbagai
pesan dan ajaran yang berasal dari Rasulullah. Bahkan, Rasulullah memberikan
penegasan kepada umatnya tentang pentingnya pembentukan karakter. Demikian juga
setiap ibadah dalam Islam mengandung
dimensi pembentukan karakter di dalamnya.[23]
Sebagai
nilai yang menjadi landasan pembentukan karakter yang berasal dari Hadis
Rasulullah sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya
aku diutus untuk memuliakan akhlak mulia”. (Hadis riwayat Imam Malik).
Artinya: “Tidak
ada satu pemberian yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya yang lebih
utama dari pemberian budi pekerti yang baik.” (Hadis riwayat at-Turmuzy)
Artinya: “Di
antara hak orang tua terhadap anaknya adalah mendidiknya dengan budi pekeri
yang mulia dan memberinya nama yang baik ( Hadir Riwayat al-Baihaqiy dari Ibn
‘Abbas)
2.
Dasar Pembentukan Karakter dari Perspektif Landasan filosofis
kehidupan berbangsa dan bernegara
Pembentukan
karakter juga bisa dilihat dari perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara. The
founding fathers menyadari ada tantangan besar yang akan dihadapi bangsa
Indonesia. Pertama, bagaimana mendirikan negara yang bersatu dan
berdaulat, kedua, bagaimana membangun bangsa dan yang ketiga,
adalah bagaimana membangun karakter.[27]
Dalam implementasinya, mendirikan negara dan membangun bangsa relatif lebih
cepat dan mudah bila dibandingkan membangun karakter bangsa. Dibutuhkan sebuah
komitmen yang kuat dari berbagai elemen bangsa untuk melakukan berbagai upaya
menanamkan karakter terhadap anak bangsa. Karena itu, proses membangun atau
membentuk karakter merupakan pekerjaan panjang yang harus ditata secara sistematis
dan diimplementasikan melalui dukungan para pemerhati pendidikan, cendikiawan,
pemerintah, politisi, bahkan setiap elemen masyarakat. Sebab, membangun
karakter bukan sekedar mentransfer ilmu yang dilakukan oleh praktisi pendidikan,
melainkan terkait dengan dukungan lingkungan dan keteladanan dari semua pihak.
Pentingnya
pembentukan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya bisa
dilihat dalam konteks tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
melainkan ini juga dipahami karena memang dalam konteks bernegara sudah
mengakar dasar-dasar yang kuat untuk melakukan proses pembentukan karakter anak
bangsa. Hal ini mengindikasikan bahwa pentingnya pembentukan karakter dapat
dipahami dari dua perspektif, yaitu perspektif intern yang merupakan landasan filosofis
berbangsa dan bernegara yang didukung oleh nilai-nilai agama. Dari sisi lain,
dari perspektif eksternal, pembentukan karakter menjadi penting sebagai upaya
mempertahankan diri dari tantangan bahkan ancaman nilai atau norma yang datang
dari budaya lain. Bahkan, pembentukan karakter dari perspektif ekstern
merupakan upaya mengembangkan potensi diri sendiri di tengah-tengah semrautnya
nilai-nilai sekuler. Karena itu, setiap anak bangsa harus memiliki karakter sesuai
dengan tujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana
landasan filosofis tersebut merupakan kristalisasi berbagai nilai, budaya, adat
bahkan agama yang berkembang di Indonesia.
Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan
bahwa di antara tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dalam versi amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang keempat tahun
2002, Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.” Selanjutnya pada Pasal 31 ayat 5 juga disebutkan bahwa “Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.[28]
Landasan
filosofis ini menjadi acuan dalam merumuskan proses dan tujuan pendidikan
nasional. Bila awalnya tujuan pendidikan tersebut diarahkan untuk mencerdaskan
bangsa, namun hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebelumnya lebih
menegaskan dan fokus untuk meningkatan keimanan dan ketakwaan. Bahkan kewajiban
pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi harus bernuansa untuk
meningkatkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memajukan peradaban
manusia serta untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia.
Dilihat
dari perspektif ini, negara sudah memberikan dukungan dalam pembentukan
kepribadian atau karakter dengan indikator kepada keimanan dan ketakwaan.
Karena itu, pembentukan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dikaitkan landasan filosofis sebenarnya sejalan dengan arah dan tujuan
pendidikan Islam, yaitu pembentukan karakter. Keimanan dan ketakwaan adalah
salah satu indikator karakter peserta didik.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU SISDIKNAS sangat mendasar dalam
memberikan landasan filosofis dan memberikan berbagai prinsip dasar dalam
pembangunan pendidikan. Filosofi pendidikan nasional yang didasari falsafah Pancasila
adalah acuan untuk membentuk paradigma pendidikan dan pemberdayaan manusia
seutuhnya, paradigma pembelajaran sepanjang hayat yang berorientasi pada
peserta didik, dimana pendidikan bukan sekedar memandang peserta didik sebagai
“bahan mentah” yang harus dibentuk, sebagaimana sebuah produk perusahan, melainkan
harus dilihat sebagai objek pendidikan yang memiliki potensi, dinamik dan
punyai keinginan dan cita-cita.
Landasan
filosofis tersebut dijabarkan dalam konsep pendidikan yang tertuang dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Pasal 3 yang
menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[29]
Bahkan Kementerian
Pendidikan Nasional sebagai penanggung jawab sistem pendidikan nasional
bertekad mewujudkan cita-cita luhur tersebut dengan mengacu pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 dan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
Tahun 2005-2025.
Bila
dilihat dari urutan pencapaian dari proses pendidikan yang tertuang dalam
landasan filosofis dan landasan konstitusional di atas, maka keimanan dan
ketakwaan menjadi inti dari semua materi pendidikan. Dari keimanan dan
ketakwaan inilah, semuanya dirumuskan dalam upaya menanamkan nilai, menanamkan
karakter, mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan bangsa. Karena itu, bila
ditarik pemaknaan pendidikan yang dikaitkan dengan landasan filosofis dan
konstitusional tersebut, maka pendidikan bukan hanya identik transfer ilmu yang
dapat menjadi orang menjadi pintar secara kognitif, akan tetapi pendidikan
adalah sebuah proses untuk membentuk karakter bangsa agar lebih bermartabat dan
sejahtera.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan karakter memiliki
landasan yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi
pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas merupakan sesuatu
yang tidak bisa ditawar, lebih-lebih untuk membentuk pendidikan berkarakter.
Spirit landasan filosofis dan konsititusional secara tidak langsung menjadi
landasan bagi setiap anak bangsa untuk berinisiatif ikut menyelenggarakan
membentuk model pendidikan karakter
[1]John
M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 1979), h. 107
[2]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 389
[3]Ramayulis,
Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 160
[4]Ibn
Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-‘Araq, (Mesir: al-Mathba’ah
al-Mishriyyah, 1934), h. 40
[5]Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4 dan 7
[6]Fachri
Ahmad, “Aplikasi Pendidikan Karakter Guna Menumbuhkembangkan Kepribadian”, Dalam
Acara Seminar Pembentukan Karakter Mahasiswa yang Diselenggarakan Oleh
Universitas Andalas Padang, Makalah, di Aula Bank Indonesia Padang,
Tanggal 28 November 2011.
[7]Standar
nilai yang tinggi berarti kondisi yang mengacu kepada kaedah-kaedah agama, ilmu
dan teknologi, hukum, adat, dan kebiasaan, yang tercermin dalam perilaku
sehari-hari. Lihat Prayitno dan Afriva Khaidir, Model Pendidikan
Karakter-Cerdas, (Padang: UNP Press,
2011), h. 18
[9]Hamka
Abdul Aziz, Pendidikan Karakter berpusat pada Hati Akhlak Mulia Pondasi
Membangun Karakter Bangsa, (Jakarta Selatan: Al-Mawardi Prima, 2011), h.
198
[10]Abdul
Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 8
[11]Abuddin
Nata, “Paradigma Nilai Pendidikan
Karakter dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis”, Makalah, Disampaikan
pada Acara Seminar Nasional Pendidikan Karakter yang Dilaksanakan di Aula
Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang (Padang: IAIN Pascasarjana IAIN
Imam Bonjol Padang, Kamis /25 November
2010), h. 6-7
[12]Muchlas
Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 41
[13]Doni
Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(Jakarta: Grasindo, 2007), h. 80
[14]Duski
Samad, , Mengembangkan Pendidikan Berkarakter: Menguak Tradisi Pesantren Hingga
Jami`ah, Makalah, Seminar Pendidikan Karakter di Pangeran Beach Hotel,
(Padang: Jum`at, 02 Desember 2011), h.3
[15]Doni
Koesoema A, op.cit, h. 224-268
[16]Ramayulis,
Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 228-231
[17]Murtadha
Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Terjemah Ibrahim Husain al-Habsyi
dkk., (Jakarta: Pustaka al-Zahra, 2003), h. 263
[18]M.Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. II, h. 242-243.
[19]Kecerdasan
berarti kemampuan memanipulasi unsur-unsur kondisi yang dihadapi untuk sukses
mencapai tujuan. Indikatornya adalah aktif, dinamis dan terarah, analitis dan
objektif, aspiratif, kreatif dan inovatif, dan antisipatif, berpikiran terbuka
dan maju, serta mencari solusi. Lihat Prayitno dan Afriva Khaidir, op.cit.,
h. 20-21
[20]Abdul
Majid dan Dian Andayani, op.cit., h. 212
[21]Makalah,
Abuddin Nata, loc.cit.
[22] Ali Ahmad al-Jurjawiy, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Juz I
dan II, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.), hal.
7.
[23]Jalaluddin
Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik Membuka Tirai Kegaiban, (Bandung:
Mizan, 2000), h. 40
[24]Imam
Malik bin Anas, al-Muwatha’, (t.tp.: dar
al-Fikr, 1989), h. 604
[25]Abdullah
Nashih Ulwan, Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, Penerjemah kamalie dan Her
Noer, judul Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Syifa’,
1981), h. 149
[27]Muchlas
Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 1
[28]UUD
1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama
1999- Keempat 2002), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 58-59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar