Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Pengertian Pembentukan Karakter


A.    Pengertian Pembentukan Karakter
Berbicara tentang karakter manusia merupakan sebuah penelusuran yang sangat kompleks dan membutuhkan berbagai pendekatan dan pemahaman yang utuh. Beragamnya penafsiran karakter tersebut mengindikasikan bahwa semua itu mesti dipahami dalam konteks yang diinginkan. Namun, tetap saja hal ini menyisakan perdebatan dalam  menentukan pengertian karakter.
Penafsiran karakter dengan perspektif atau sudut pandang tertentu, pada satu sisi, memiliki kesamaan yang dapat dijadikan titik temu, namun pada sisi lain terdapat perbedaan sesuai dengan sifat dasar ilmu yang digunakan. Karena itu dibutuhkan penelusuran yang akurat terkait dengan makna karakter yang akan dijadikan dalam penelitian ini.
Secara etimologis, karakter berasal dari bahasa Inggris; character yang berarti sifat atau watak.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa sifat merupakan keadaan yang tampak pada suatu benda yang bersifat lahiriah. Sedangkan watak merupakan sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.[2] Ini berarti, karakter identik dengan sifat atau watak yang mengacu kepada gejala-gejala kebatinan atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi pikiran dalam melahirkan suatu perbuatan, tindakan, perilaku yang tampak secara lahiriyah.
Secara terminologis, karakter dapat dipahami dalam berbagai pendekatan keilmuan. Dari perspektif psikologis, karakter disebut watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap, terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi.[3] Pengertian ini mendikasikan karakter sebagai suatu potensi batiniah yang sudah melekat dalam diri seseorang, sekaligus menjadi ciri khas yang membedakannya dengan orang lain.
Ibn Miskawaih cenderung mengidentikan karakter dengan akhlak yang berarti sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa paling dalam dan dapat melahirkan suatu perbuatan secara spontan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[4]  Sebuah perbuatan dapat dikategorikan akhlak, sejalan dengan apa yang dijelaskan Abuddin Nata, apabila memiliki ciri sebagai berikut: (1) Perbuatan tersebut sudah mendarah daging dan tertanam kuat dalam jiwa, (2) Perbuatan tersebut lahir secara spontan, sebagai refleksi dari sifat yang sudah tertanam, (3) Perbuatan tersebut lahir bukan didasarkan pada paksaan, melainkan sebagai pilihan bebas yang sudah tertanam dalam jiwa, (4) Perbuatan tersebut bukan rekayasa, melainkan perbuatan yang sungguh-sungguh, dan (5) Perbuatan tersebut dilakukan secara ikhlas karena Allah swt.[5] Dengan demikian, istilah karakter menunjukan keadaan sifat batin manusia yang teraktual dalam setiap sikap dan perilaku.
Dalam ilmu genetika, karakter berarti penggambaran sifat-sifat makhluk hidup yang tersusun dalam gen atau kromoson, dimana keberadaannya sudah ada sejak lahir. Karakter secara genetika dapat diubah apabila terjadi proses manipulasi terhadap inti sel. Karakter dalam konteks genetika ini merupakan ciri khas seseorang secara biologis yang dapat menggambarkan dan membedakan dirinya dengan orang lain. Sifat laki-laki berbeda dengan sifat perempuan yang dapat dilihat secara lahiriah, seperti warna rambut, warna kulit, bentuk wajah, tinggi dan rendahnya badan, cara bicara dan sebagainya.[6]
Prayitno dan Afriva Khaidir menjelaskan karakter sebagai sifat yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi.[7] Pengertian ini menekankan inti karakter pada ciri-ciri yang sudah menjadi kepribadian. Kepribadian tergambar atau diaktualkan dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku. Sifat stabil berarti satu sifat yang sudah terbentuk dan sulit untuk diubah. Perbuatan yang merupakan gambaran karakter terbentuk berdasarkan nilai atau norma yang tinggi. Ini mengisyaratkan bahwa karakter merupakan gambaran sifat batin yang relatif sudah menetap dalam diri atau sifat yang sudah terbentuk sehingga tidak mudah untuk diubah.
Lebih lanjut, Prayitno dan Afriva Khaidir menjelaskan bahwa  indikator karakter yang terwujud dalam perilaku individu yang mencerminkan karakter adalah sebagai sebagai berikut; iman dan takwa, pengendalian diri, sabar, disiplin, kerja keras dan ulet, bertanggung jawab dan jujur, membela kebenaran, kepatutan, kesopanan dan kesantunan, ketaatan pada peraturan, loyal, demokratis, sikap kebersamaan, musyawarah dan gotong royong, toleran, tertib, damai dan anti kekerasaan, hemat dan konsisten.[8] Indikator tersebut dapat diklasifikasikan kepada indikator khusus yang terkait dengan keterampilan, kecerdasan, dan sikap.
Hamka Abdul Aziz menjelaskan karakter sebagai kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakanya dengan orang lain.[9] Pengertian ini juga sejalan dengan pengertian yang diberikan Abdul Majid dan Dian Andayani dalam bukunya Pendidikan Karakter Perspektif Islam mengatakan bahwa karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi menjadi identitas yang mengatasi pengalaman yang selalu berubah.[10] Terlihat dari dua pengertian ini, bahwa karakter identik dengan akhlak.
Abuddin Nata menjelaskan karakter sebagai sifat yang melekat, yang sudah dibiasakan, dipraktekkan, dikerjakan, ditradisikan, diinternalisasikan dan ditransformasikan melalui proses pendidikan ke dalam diri seseorang.[11] Muchlas Samani dan Hariyanto yang menjelaskan   karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.[12] Sama halnya dengan pengertian karakter yang dikemukakan oleh Doni Kusuma dimana karakter dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.[13] Tiga pengertian ini menegaskan bahwa karakter menjadi sangat mapan karena banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Karenanya, karakter tidak bisa dilepaskan dengan pendidikan.
Pengertian ini di dipertegas oleh Duski Samad yang mendefinisikan karakter sebagai upaya pengembangan kompetensi dasar, agar  berpikiran, berhati, dan berperilaku baik.[14]  Pengertian ini menegaskan bahwa karakter bukan sesuatu yang dapat diwariskan kepada seseorang, akan tetapi ia merupakan sesuatu yang harus dibangun atau dibentuk secara berkesinambungan melalui proses pendidikan terhadap pikiran, sikap, perilaku atau perbuatan sehari-hari.
Karakter dan pendidikan dua hal saling mendukung. Pendidikan menjadi elemen penting dalam menentukan terbentuknya karakter yang baik, sedangkan karakter merupakan pencapaian dari sebuah proses pendidikan. Maka, pembentukan karakter identik dengan pendidikan karakter. Sebab, pembentukan karakter tidak bisa dilepaskan dengan berbagai kegiatan pendidikan dalam memberikan pengetahuan membina dengan menerapkan berbagai kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan dalam kegiatan sekolah. Kebiasaan inilah yang sebenarnya inheren dengan proses pembentukan karakter.
 Idealnya  pendidikan harus meliputi tiga pilar utama, yaitu rumah, sekolah dan masyarakat. Artinya, ketiga pilar utama tersebut harus saling mendukung menciptakan lingkungan yang kondusif agar pendidikan karakter bukan sekedar memberikan pengetahuan secara kognitif, bahkan bisa mengaktualkan berbagai nilai-nilai pendidikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. [15] Maka, sebenarnya pada ketiga pilar pendidikan tersebut mesti saling mendukung dalam proses pembinaan terhadap peserta didik agar fungsi pendidikan untuk membentuk karakter dapat tercapai secara maksimal.
Berdasarkan pengertian di atas kaitannya dengan penelitian ini, maka pembentukan karakter yang dimaksud adalah sebuah proses membentuk karakter dengan berbagai kegiatan pembiasaan dalam rangka menanamkan sifat atau watak yang baik (berpikir, bersikap dan berperilaku baik sesuai dengan citra lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu nilai-nilai ajaran Islam) dalam kehidupan peserta didik.
 Proses pembentukan karakter ini sebenarnya relatif  sudah dilaksanakan di Perguruan Islam ar-Risalah dengan mengintegrasikan tiga pilar pendidikan di atas. Sekolah dan asrama yang diawasi oleh pengasuh asrama sebagai pengganti orang tua dan sekaligus suasana tersebut menjadi lingkungan yang bisa dibentuk sesuai dengan prinsip penerapan dan tujuan pendidikan karakter. Pengintegrasian tiga pilar pendidikan di Perguruan Islam ar-Risalah merupakan salah satu strategi pembentukan karakter, dengan menjadikan elemen  yang terkait dengan sekolah dan asrama sebagai instrumen yang diberdayakan secara sinergis dalam menciptakan suasana kondusif  bagi proses pembentukan karakter peserta didik.
B.     Dasar-dasar Pembentukan Karakter
Pentingnya proses pembentukan karakter terhadap peserta didik  harus dilihat dalam berbagai perspektif. Secara lebih spesifik, pembentukan karakter tersebut  sejalan dengan tujuan penciptaan manusia sebagai makhluk yang sempurna, yang sudah memiliki berbagai potensi konstruktif dalam mengembangkan dirinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di permukaan bumi ini. Bila dilihat dari perspektif  filsafat pendidikan, maka pembentukan karakter mempunyai dasar yang kuat sebagai upaya untuk mengembangkan berbagai potensi konstruktif yang sudah ada dalam diri manusia. Sebab, Islam sebagai sebuah sistem nilai memandang pendidikan sebagai usaha untuk menanamkan ajaran Islam yang intinya adalah membangun karakter manusia secara utuh (kaffah).
Dasar-dasar pembentukan karakter tersebut dapat dilihat dari perspektif al-Qur’an dan Hadis, perspektif  landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara dalam hal ini dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945,  dan perspektif pendidikan Islam yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dalam rangka pembentukan karakter.
1.      Dasar Pembentukan Karakter dari Perspektif al-Qur’an dan Sunnah
  Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sember utama yang menjadi pedoman dalam kehidupan umat Islam. Sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, al-Qur’an dan Sunnah tentu mempunyai fungsi signifikan dalam kehidupan umat Islam untuk memberi arah kehidupan, memberikan ketenangan, petunjuk, dan menjadi pembeda dalam kehidupan sehari-hari terhadap persoalan-persoalan yang baik dan yang tidak baik, yang halal dan yang haram dan sebagainya. Memahami fungsi al-Qur’an dan Hadis ini, maka pantas kalau berbagai fenomena kehidupan manusia, termasuk dalam memahami pembentukan karakter manusia, harus didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Ramayulis dalam bukunya berjudul Psikologi Agama, yang cenderung menjadikan al-Qur’an inheren dengan agama menjelaskan bahwa dalam kehidupan umat manusia agama atau al-Qur’an berfungsi sebagai berikut:
a)      Sumber  Nilai dalam menjaga Kesusilaan
Setiap manusia, baik secara individu maupun secara kolektif (bermasyarakat) akan tumbuh menjadi dewasa dan berkembang, sehingga perkembangan tersebut membutuhkan sebuah sistem nilai sebagai tuntunan untuk mengarahkan perbuatan itu dalam mencapai tujuan akhirnya.
b)      Sarana untuk Mengatasi Frustrasi
Dalam menjalani kehidupan, manusia tentu tidak bisa lepas dari berbagai persoalan hidup. Persoalan tersebut ada yang bisa diatasi, namun tidak jarang persoalan tersebut justeru membingungkan yang menyebabkan sikap frustrasi dalam kehidupan. Di sinilah fungsi al-Qur’an memberikan bimbingan agar seseorang tidak menemui jalan buntu, yang berakibat pada stress atau frustrasi.
c)      Sarana untuk Mengatasi Ketakutan
Setiap manusia pasti memiliki keterbatasan dalam mengetahui atau memprediksikan berbagai persoalan kehidupannya. Fenomena kaya dan miskin adalah dua hal yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan. Tidak jarang orang kaya takut jatuh miskin, dan sebaliknya orang miskin takut karena tidak ada jaminan hidup. Semua fenomena ini merupakan ketakutan yang tidak pernah berujung, atau bahkan tidak ada objeknya. Karena itu, al-Qur’an memberikan solusi atas persoalan yang muncul seperti ini dalam kehidupan manusia sehari-hari.
d)     Sarana untuk Memuaskan Keingintahuan
Manusia adalah makhluk yang serba ingin tahun. Dalam proses pencarian tersebut, tentu tidak semua hal yang bisa diketahui oleh manusia. Namun terkadang keterbatasan tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa dipecahkan sehingga terjadi kerisauan intelektual. Di sinilah fungsi al-Qur’an memberikan penjelasan tentang sesuatu yang tidak bisa dipercahkan oleh kemampuan logika manusia.[16]
Berdasarkan pandangan Ramayulis di atas, maka dapat dipahami bahwa al-Qur’an mempunyai multi fungsi bagi kehidupan manusia. Terkait dengan persoalan karakter, al-Qur’an banyak memberikan nilai-nilai yang dijadikan prinsip dalam membentuk pemahaman tentang karakter, meskipun hanya bersifat umum, yang dijadikan prinsip dalam pembentukan karakter. Karena itulah, al-Qur’an memiliki kedudukan yang penting dan strategis dalam memberikan tuntunan sebagai dasar dalam memahami pembentukan karakter manusia.
  Menurut Abuddin Nata, karakter dalam perspektif al-Qur’an lebih menekankan pada upaya membiasakan orang untuk mempraktekan dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan (perintah untuk beribadah atau beramal saleh) dan perintah untuk menjauhi larangan-larangan atau menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk. Di samping itu, al-Qur’an dalam proses pembentukan karakter juga menekankan pada upaya agar manusia dapat mengetahui, memahami dan menyadari tentang cara hidup, atau bagaimana seharusnya manusia hidup. Bila karakter identik dengan akhlak, maka karakter adalah suatu sifat untuk mengetahui, memahami mana yang baik dan seharusnya bagi manusia untuk dilakukan dan mana yang tidak baik yang tidak mesti dilakukan oleh manusia.[17]
Bila dikaitkan dengan al-Qur’an, maka karakter dengan berbagai indikatornya sebagaimana dijelaskan dalam pengertian di atas, mempunyai berbagai kesamaan. Sebab, karakter dalam bahasa Arab cenderung disebut dengan istilah akhlaq atau khuluq yang berarti budi pekerti atau tingkah laku. Di dalam al-Qur’an, penggambaran karakter didentikan dengan penteladanan akhlak pada diri Rasulullah. Seperti Firman Allah SWT. :
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ
Artinya:  Sesungguhnya telah pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(Q.S. al-Ahzab/33:21)

Perkatan uswah dalam ayat di atas, bermakna dua kemungkinan. Pertama, uswah dalam arti kepribadian Rasulullah secara totalitasnya adalah teladan. Kedua, uswah dalam arti terdapat pada kepribadian Rasulullah hal-hal yang patut diteladani.[18] Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mempunyai kepribadian yang patut dijadikan teladan bagi manusia. Inilah salah satu bentuk keagungan Nabi sebagai pribadi yang mempunyai karakter. Bahkan dalam surat lain, al-Qur’an menjelaskan dan mempertegas keagungan akhlak Nabi Muhammad sebagaimana firman Allah SWT. :
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. al-Qalam/68:4)

Kedua ayat di atas menjadi acuan atau dasar dalam menjelaskan pentingnya karakter dalam kehidupan manusia. Ayat di atas menggambarkan tentang pribadi Nabi Muhammad SAW yang mempunyai budi pekerti yang agung, sehingga ia menjadi pribadi yang layak untuk dijadikan teladan bagi umat Islam. Dalam hal ini, akhlak yang ditujukan kepada Nabi Muhammad, bukan hanya tertuju kepada sejumlah sikap atau perilaku tertentu dari kepribadian yang dimilikinya, namun ini tertuju kepada totalitas kehidupan Nabi Muhammad yang mengindikasikan kandungan berbagai karakter yang baik, yang didasarkan pada nilai-nilai positif  yang berasal dari al-Qur’an. Terbentuknya akhlak mulia bukan sekedar perilaku biasa yang tidak terkait dengan kondisi batin, akan tetapi ia menggambarkan kematangan dan konsistensi sifat batiniah yang terdapat dalam diri Rasulullah, yang tidak mudah untuk diubah. Karena itu, ayat di atas dijadikan dasar pentingnya akhlak dalam kehidupan umat Islam dan pentingnya kedudukan Rasulullah sebagai teladan dalam mentradisikan, membiasakan, dan membudayakan hal-hal yang baik, sehingga ia mengkristal menjadi karakter dalam diri.
Selanjutnya, karakter dalam al-Qur’an juga diasosiasikan pada pribadi atau manusia yang sudah terbebas dari kehidupan yang sesat atau kehidupan gelap kepada kehidupan yang lurus atau terang benderang. Hal ini diisyaratkan dalam Firman Allah SWT. :
uqèd Ï%©!$# Ìj?|ÁムöNä3øn=tæ ¼çmçGs3Í´¯»n=tBur /ä3y_̍÷ãÏ9 z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# 4 tb%Ÿ2ur tûüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ $VJŠÏmu ÇÍÌÈ
Artinya: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan Malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Q.S. al-Ahsab/33:43)

Dalam proses pembentukan karakter, al-Qur’an memberikan gambaran tentang usaha Lukman al-Hakim dalam menanamkan karakter kepada anaknya. Dalam hal ini, ia memberikan nasihat kepada putranya untuk senantiasa memelihara dan memupuk rasa keimanan dan ketakwaan kepada Allah dengan senantiasa melakukan komunikasi dengan Allah melalui ibadah shalat, mengerjakan segala kebaikan dan mencegah setiap kemungkaran serta bersabar atas setiap sesuatu yang menimpanya. Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
Artinya: “Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (Q.S. Luqman/31:17)
Masih dalam konteks nasihat Lukman kepada anaknya supaya menjaga, memelihara dan menampilkan akhlak mulia. Dalam Firman Allah SWT. :
ôÅÁø%$#ur Îû šÍô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ
Artinya: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman/31:19)
Dalam hal menanamkan kecerdasan[19] terhadap anaknya, Luqman juga tidak segan-segan membawa anaknya untuk turun secara langsung  ketengah-tengah masyarakat berinteraksi dengan kesulitan orang lain. Diharapkan  hal ini bisa menanamkan kecerdasan terhadap kejiwaan anaknya.[20]
Isyarat al-Qur’an yang mengindikasikan pembentukan karakter juga dikaitkan dengan upaya al-Qur’an memberikan arahan atau petunjuk kepada manusia agar keluar dari kehidupan yang keliru kepada kehidupan yang benar, perilaku untuk mendamaikan manusia yang saling bermusuhan dan menyelamatkan manusia yang sedang berada di tepi jurang kehancuran. Terkait dengan dengan hal ini, al-Qur’an menjelaskan   sebagai berikut:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (as-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Jumu’ah/62 :2)
Dalam firman lain Allah SWT. menjelaskan:
øŒÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù'tƒ br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏ­Gs?r& #Yrâèd ( tA$s% èŒqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (Q.S. al-Baqarah/2: 67)
Dalam surat yang lain Allah SWT. telah berfirman:
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øŒÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran/3: 103)

Di samping ayat-ayat di atas, al-Qur’an juga memperkenalkan istilah-istilah yang mengisyaratkan pribadi yang sudah memiliki karakter yang baik. Istilah-istilah tersebut adalah al-Mukminun, al-Muttaqin, al-Muslimun, al-Mukhlishun dan sebagainya. Beberapa istilah tersebut menggambarkan orang yang sudah memiliki sifat-sifat terpuji sesuai dengan prosesnya. Al-Mukminun berarti orang-orang yang sudah memiliki secara mantap tanda-tanda atau sifat keimanan, al-Muttaqin berarti menggambarkan orang-orang yang sudah memiliki sifat-sifat ketakwaan, al-Muslimun berarti gambaran orang-orang yang sudah memiliki sifat-sifat kepasrahan kepada Tuhan dan al-Mukhlishun berarti gambaran yang orang sudah memiliki sifat-sifat keikhlasan.
Istilah al-Mukminun dalam al-Qur’an menggambarkan orang yang mempunyai karakter yang apabila disebutkan nama Allah bergetar hatinya sebagai berikut:
$yJ¯RÎ) šcqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sŒÎ) tÏ.èŒ ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sŒÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍköŽn=tã ¼çmçG»tƒ#uä öNåkøEyŠ#y $YZ»yJƒÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u tbqè=©.uqtGtƒ ÇËÈ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman yaitu mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Q.S. al-Anfal/8:2)
Istilah al-Muttaqin dalam al-Qur’an menggambarkan orang yang mempunyai karakter kepekaan dan empati sosial yang kuat dan mampu membangun hubungan baik dengan Allah dengan melakukan berbagai ibadah dan kesalehan individu yang lainnya serta mampu menjalin hubungan baik antara sesama manusia. Hal ini diisyaratkan Allah SWT.  dalam Firman-Nya:
}§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta,  dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2: 177)
Di samping menggambarkan sifat-sifat yang baik, al-Qur’an juga menggambarkan sifat atau perilaku yang tidak baik yang harus dijauhi oleh umat Islam. Beberapa karakter buruk tersebut merupakan penyakit hati, seperti pesimis, dusta, munafik, ghibah, suka mencari kesalahan orang lain, dengki, sombong, zhalim dan sebagainya. Beberapa sifat-sifat tersebut merupakan gambaran kehidupan manusia yang jauh dari karakter  yang diinginkan al-Qur’an.
Al-Qur’an  sebagai dasar pembentukan karakter dalam Islam dapat dipahami dari berbagai variasi istilah yang harus dipahami secara kontekstual. Abuddin Nata menjelaskan bahwa al-Qur’an tidak meminta manusia untuk menjadi amanu, tapi menjadi mukminun, bukan ittaqa, tapi muttaqin, bukan aslama, tapi muslimun, bukan akhlasha, tapi mukhlishun. Amanu, ittaqa, aslama dan akhlasha adalah gambaran sebuah proses yang masih berlangsung, yang membutuhkan komitmen dan konsistensi agar menjadi sifat yang tetap dan mengkristal dalam batin. Sedangkan mukminun, muslimun, muttaqin, dan mukhlishun merupakan gambaran bahwa berbagai predikat tersebut telah mengkristal atau mendarah daging, sehingga menjadi karakter.[21]
Ajaran Islam tentang aqidah, ibadah, dan mu`amalah, kisah, dan sejarah di dalamnya selalu berkaitan dengan nilai-nilai karakter. Dalam aspek ibadah misalnya, setiap ibadah mengandung unsur pendidikan karakter di dalamnya. Shalat mengajarkan karakter taqwa, tawaddhu`, disiplin, jujur. Ibadah puasa mendidik karakter taqwa, sehat, empati, jujur, disiplin. Zakat mengajarkan karakter taqwa, kasih sayang, peduli, empati. Intinya semua ibadah dalam Islam sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Ali Ahmad al-Jurjawiy mengatakan bahwa:
     Ketahuilah, bahwa tujuan seluruh ajaran samawi dimaksudkan untuk menghasilkan empat perkara. 1) Mengetahui, mengesakan, dan memuji mengetahui, mengesakan dan memuji Allah dengan segala sifatnya yang sempurna, sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz bagi-Nya. 2) Untuk mengajarkan cara melaksanakan pengabdian yang di dalamnya mengandung tujuan untuk mengagungkan dan mensyukuri nikmat-Nya yang tidak terbilang. 3) Untuk mendorong (umat manusia) untuk melakukan perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan yang buruk serta menghiasinya dengan sopan santun yang utama dan akhlak yang suci, serta berbagai keutamaan yang dapat mengangkat harkat dan martabat manusia ke tempat yang mulia dan tinggi, seperti  menjauhi perbuatan yang tak senonoh (al-maruah), memelihara tetangga, memelihara amanah, bersabar dan yang serupa dengan itu. 4) Membiasakan melakukan sesuatu sesuai dengan batas-batasnya dengan meletakkan hukumnya yang kokoh dalam pergaulan hidup.[22]
   Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter dalam Islam memiliki dasar yang kuat dalam al-Qur’an. Sebagai pedoman bagi umat Islam, al-Qur’an dengan berbagai variasi, baik dalam perspektif  pengistilahan maupun dalam konteks makna, sarat dengan nilai yang mendukung pembentukan karakter manusia. Secara teknis operasional, pembentukan karakter dalam diri seseorang memerlukan perjuangan yang solid, konsisten dan kesungguhan yang kuat, terutama dalam mengendalikan hawa nafsu, dimana tidak tertutup kemungkinan menjadi penghalang utama ketika manusia berjuang melaksanakan proses pembentukan karakter.
Di samping al-Qur’an, pembentukan karakter juga didukung oleh Hadis Rasulullah, sebagai sumber hukum kedua sesudah al-Qur’an. Bahkan implementasi akhlak tersimpul dalam pribadi Rasulullah Saw. Dalam hadis banyak dijumpai berbagai pesan dan ajaran yang berasal dari Rasulullah. Bahkan, Rasulullah memberikan penegasan kepada umatnya tentang pentingnya pembentukan karakter. Demikian juga setiap ibadah dalam Islam mengandung  dimensi pembentukan karakter di dalamnya.[23]
Sebagai nilai yang menjadi landasan pembentukan karakter yang berasal dari Hadis Rasulullah sebagai berikut:
إنما بثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه إمام مالك)[24]
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk memuliakan akhlak mulia”. (Hadis riwayat Imam Malik).

ما تحل والد ولدا من تحل أفضل من أدب حسن (رواه الترمذى)[25]
Artinya: “Tidak ada satu pemberian yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama dari pemberian budi pekerti yang baik.” (Hadis riwayat at-Turmuzy)

من حق الوالد على الولد أن يحسن أدبهم وبهم ويحسن اسمه (رواه البيهقى عن ابن عباس) [26]

Artinya: “Di antara hak orang tua terhadap anaknya adalah mendidiknya dengan budi pekeri yang mulia dan memberinya nama yang baik ( Hadir Riwayat al-Baihaqiy dari Ibn ‘Abbas)

2.      Dasar Pembentukan Karakter dari Perspektif Landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara
Pembentukan karakter juga bisa dilihat dari perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara. The founding fathers menyadari ada tantangan besar yang akan dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, bagaimana mendirikan negara yang bersatu dan berdaulat, kedua, bagaimana membangun bangsa dan yang ketiga, adalah bagaimana membangun karakter.[27] Dalam implementasinya, mendirikan negara dan membangun bangsa relatif lebih cepat dan mudah bila dibandingkan membangun karakter bangsa. Dibutuhkan sebuah komitmen yang kuat dari berbagai elemen bangsa untuk melakukan berbagai upaya menanamkan karakter terhadap anak bangsa. Karena itu, proses membangun atau membentuk karakter merupakan pekerjaan panjang yang harus ditata secara sistematis dan diimplementasikan melalui dukungan para pemerhati pendidikan, cendikiawan, pemerintah, politisi, bahkan setiap elemen masyarakat. Sebab, membangun karakter bukan sekedar mentransfer ilmu yang dilakukan oleh praktisi pendidikan, melainkan terkait dengan dukungan lingkungan dan keteladanan dari semua pihak.
Pentingnya pembentukan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya bisa dilihat dalam konteks tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan ini juga dipahami karena memang dalam konteks bernegara sudah mengakar dasar-dasar yang kuat untuk melakukan proses pembentukan karakter anak bangsa. Hal ini mengindikasikan bahwa pentingnya pembentukan karakter dapat dipahami dari dua perspektif, yaitu perspektif  intern yang merupakan landasan filosofis berbangsa dan bernegara yang didukung oleh nilai-nilai agama. Dari sisi lain, dari perspektif eksternal, pembentukan karakter menjadi penting sebagai upaya mempertahankan diri dari tantangan bahkan ancaman nilai atau norma yang datang dari budaya lain. Bahkan, pembentukan karakter dari perspektif ekstern merupakan upaya mengembangkan potensi diri sendiri di tengah-tengah semrautnya nilai-nilai sekuler. Karena itu, setiap anak bangsa harus memiliki karakter sesuai dengan tujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana landasan filosofis tersebut merupakan kristalisasi berbagai nilai, budaya, adat bahkan agama yang berkembang di Indonesia.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa di antara tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam versi amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang keempat tahun 2002, Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya pada Pasal 31 ayat 5 juga disebutkan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.[28]
Landasan filosofis ini menjadi acuan dalam merumuskan proses dan tujuan pendidikan nasional. Bila awalnya tujuan pendidikan tersebut diarahkan untuk mencerdaskan bangsa, namun hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebelumnya lebih menegaskan dan fokus untuk meningkatan keimanan dan ketakwaan. Bahkan kewajiban pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi harus bernuansa untuk meningkatkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memajukan peradaban manusia serta untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia.
Dilihat dari perspektif ini, negara sudah memberikan dukungan dalam pembentukan kepribadian atau karakter dengan indikator kepada keimanan dan ketakwaan. Karena itu, pembentukan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikaitkan landasan filosofis sebenarnya sejalan dengan arah dan tujuan pendidikan Islam, yaitu pembentukan karakter. Keimanan dan ketakwaan adalah salah satu indikator karakter peserta didik.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU SISDIKNAS sangat mendasar dalam memberikan landasan filosofis dan memberikan berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan. Filosofi pendidikan nasional yang didasari falsafah Pancasila adalah acuan untuk membentuk paradigma pendidikan dan pemberdayaan manusia seutuhnya, paradigma pembelajaran sepanjang hayat yang berorientasi pada peserta didik, dimana pendidikan bukan sekedar memandang peserta didik sebagai “bahan mentah” yang harus dibentuk, sebagaimana sebuah produk perusahan, melainkan harus dilihat sebagai objek pendidikan yang memiliki potensi, dinamik dan punyai keinginan dan cita-cita.
Landasan filosofis tersebut dijabarkan dalam konsep pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Pasal 3 yang menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[29] Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai penanggung jawab sistem pendidikan nasional bertekad mewujudkan cita-cita luhur tersebut dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Bila dilihat dari urutan pencapaian dari proses pendidikan yang tertuang dalam landasan filosofis dan landasan konstitusional di atas, maka keimanan dan ketakwaan menjadi inti dari semua materi pendidikan. Dari keimanan dan ketakwaan inilah, semuanya dirumuskan dalam upaya menanamkan nilai, menanamkan karakter, mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan bangsa. Karena itu, bila ditarik pemaknaan pendidikan yang dikaitkan dengan landasan filosofis dan konstitusional tersebut, maka pendidikan bukan hanya identik transfer ilmu yang dapat menjadi orang menjadi pintar secara kognitif, akan tetapi pendidikan adalah sebuah proses untuk membentuk karakter bangsa agar lebih bermartabat dan sejahtera.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan karakter memiliki landasan yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar, lebih-lebih untuk membentuk pendidikan berkarakter. Spirit landasan filosofis dan konsititusional secara tidak langsung menjadi landasan bagi setiap anak bangsa untuk berinisiatif ikut menyelenggarakan membentuk model pendidikan karakter


[1]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 107

[2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 389
[3]Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 160

[4]Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-‘Araq, (Mesir: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1934), h. 40

[5]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4 dan 7

[6]Fachri Ahmad, “Aplikasi Pendidikan Karakter Guna Menumbuhkembangkan Kepribadian”, Dalam Acara Seminar Pembentukan Karakter Mahasiswa yang Diselenggarakan Oleh Universitas Andalas Padang, Makalah, di Aula Bank Indonesia Padang, Tanggal 28 November 2011.

[7]Standar nilai yang tinggi berarti kondisi yang mengacu kepada kaedah-kaedah agama, ilmu dan teknologi, hukum, adat, dan kebiasaan, yang tercermin dalam perilaku sehari-hari. Lihat Prayitno dan Afriva Khaidir, Model Pendidikan Karakter-Cerdas,  (Padang: UNP Press, 2011), h. 18

[8]Ibid.

[9]Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter berpusat pada Hati Akhlak Mulia Pondasi Membangun Karakter Bangsa, (Jakarta Selatan: Al-Mawardi Prima, 2011), h. 198

[10]Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 8

[11]Abuddin Nata,  “Paradigma Nilai Pendidikan Karakter dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis”, Makalah, Disampaikan pada Acara Seminar Nasional Pendidikan Karakter yang Dilaksanakan di Aula Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang (Padang: IAIN Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang,  Kamis /25 November 2010), h. 6-7

[12]Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 41

[13]Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 80

[14]Duski Samad, , Mengembangkan Pendidikan Berkarakter: Menguak Tradisi Pesantren Hingga Jami`ah, Makalah, Seminar Pendidikan Karakter di Pangeran Beach Hotel, (Padang: Jum`at, 02 Desember 2011), h.3   

[15]Doni Koesoema A, op.cit, h. 224-268
[16]Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 228-231

[17]Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Terjemah Ibrahim Husain al-Habsyi dkk., (Jakarta: Pustaka al-Zahra, 2003), h. 263
[18]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. II, h. 242-243.
[19]Kecerdasan berarti kemampuan memanipulasi unsur-unsur kondisi yang dihadapi untuk sukses mencapai tujuan. Indikatornya adalah aktif, dinamis dan terarah, analitis dan objektif, aspiratif, kreatif dan inovatif, dan antisipatif, berpikiran terbuka dan maju, serta mencari solusi. Lihat Prayitno dan Afriva Khaidir, op.cit., h. 20-21

[20]Abdul Majid dan Dian Andayani, op.cit., h. 212
[21]Makalah, Abuddin Nata, loc.cit.

[22] Ali Ahmad al-Jurjawiy, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Juz I dan II, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.), hal.  7.

[23]Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik Membuka Tirai Kegaiban, (Bandung: Mizan, 2000), h. 40

[24]Imam Malik bin Anas, al-Muwatha’, (t.tp.: dar  al-Fikr, 1989), h. 604

[25]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, Penerjemah kamalie dan Her Noer, judul Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Syifa’, 1981), h. 149

[26]Ibid., h. 178

[27]Muchlas Samani dan Hariyanto, op.cit., h. 1
[28]UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999- Keempat 2002), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 58-59
[29]Ibid.

Tidak ada komentar: