Cari Blog Ini

Minggu, 01 September 2019

Gerakan Pendidikan Lingkungan


Gerakan Pendidikan Lingkungan
Upaya mencegah bencana, misalnya bahaya banjir, memang sudah banyak dilaksanakan. Berbagai upaya seperti pembuatan saluran pembuangan air yang benar, reboisasi, rehabilitasi hutan dan lahan, sampai aksi tanam sejuta pohon. Namun sayangnya, hingga saat ini, upaya tersebut belum mampu menahan industri kehutanan yang sampai sekarang terus menebang hutan dan terus percepatan penurunan jumlah hutan. Akibatnya, banjir menggenang tiap musim hujan, bahkan yang terparah justru terjadi di Ibu Kota Jakarta. Perekonomian lumpuh, infrastruktur rusak, sampai kerugian materi puluhan triliun rupiah.[1]
Gerakan lingkungan tadi bisa menjadi yang tidak efektif karena peran serta masyarakat yang minim. Jika dilihat lebih jauh, banyak kalangan, termasuk oknum pejabat yang tindakannya justru berlawanan dengan gerakan ini. Masyarakat mulai menanam bibit tanaman, pada saat yang sama si oknum menebangnya di hutan. [2]
Membangun kesadaran lingkungan hidup akan memakan waktu yang sangat lama. Bisa jadi berpuluh tahun lamanya. Karena itu, hal terpenting adalah kesadaran yang keberlanjutan dan semangat terus menerus. Kita harus yakin mampu melakukan pemulihan lahan kritis secara bertahap tapi pasti. Gerakan ini harus dilakukan secara bersamaan, satu orang dengan orang yang lain, anak-orang tuanya juga bersamaan ikut partisipasi. Guru dan murid saling mendukung. Kehidupan di masyarakat, tokoh politik, birokrat, pengusaha, pemuka agama , artis, LSM, ormas, jurnalis, media massa, dan terutama pemerintah juga bersemangat menyukseskan gerakan peduli lingkungan ini.[3]
Gerakan ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Semua pihak harus bergandengan tangan. Satu dengan yang lain saling mendukung dan tidak bisa sendiri-sendiri. Misalnya, para selebritis atau pekerja seni dapat melakukan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan. Demikian sebaliknya, para pekerja lingkungan dapat melakukan kerja seni untuk menopang kampanye pelestarian. Para pemuka agama seperti kiai di pesantren juga dapat menjadi ujung tombak gerakan pelestarian lingkungan ini. Baru-baru ini kita mendengar ada sebuah pesantren di Yogyakarta yang menerapkan pelatihan mengenai berbagai materi lingkungan seperti pemanfaatan energi air dan matahari. Mereka juga melakukan pengelolaan sampah dan prospek bisnisnya. Mereka patut ditiru karena telah melakukan program pendidikan lingkungan secara mandiri.[4]
Yang sangat diharapkan adalah peran pemerintah. Mereka harus lebih kreatif lagi dalam membentuk budaya cinta lingkungan. Misalkan, untuk menjamin pendidikan lingkungan dalam arti luas. Misalnya melakukan kampanye peduli lingkungan melalui media cetak (koran dan majalah), media elektronik (televisi dan radio], termasuk melalui leaflet dan poster-poster. Peran media massa fungsinya sangat penting dalam membangun opini masyarakat tentang kerusakan lingkungan. Dan sekaligus media massa dapat digunakan untuk menangkap para penjahat lingkungan.
Pemutaran film tentang lingkungan yang menghadirkan para pakar dan praktisi lingkungan.. Masyarakat awam lebih mudah memahami dengan melihat film ketimbang membaca dari buku. Film yang dikategorikan bagus, Mysteries of Ei Nino, misalnya, dapat dijadikan acuan dalam mendidik masyarakat. Film ini berkisah tentang ancaman EI-Nino bagi masa depan manusia. Di Indonesia, peristiwa El Nino sendiri pernah terjadi pada tahun 1997-1998. Atau yang masih anget adalah film An inconvenient Truth karya Al Gore, misalnya. Di sinilah efektivitas film dalam kaitannya dengan pendidikan dan kesiapan masyarakat menghadapi bencana dan kerusakan lingkungan.[5]
Pendidikan lingkungan hidup bisa dirintis melalui jalur formal seperti di sekolah dengan menggunakan kurikulum, dan pendidikan luas dengan cara nonformal yang di luar sekolah. Pendidikan kepemudaan, pelatihan kerja, diskusi, kursus-kursus, sampai iklan layanan masyarakat bisa ditempuh sebagai pendidikan lingkungan hidup dalam arti seluas-luasnya. Semua ini adalah tugas pemerintah berikut seluruh wagra negaranya.[6]
Jangan menunggu sampai bencana datang baru memikirkan solusinya. Dari sekarang kita semua bisa menentukan sikap menjaga lingkungan hidup.



[1] Arifin Arief, Politik dan Lingkungan, (Jakarta: Pustaka Belajar, 2011),  h.45
[2] Ibid.
[3] Ibid., h. 46
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 47
[6] Ibid.

Tidak ada komentar: