Cari Blog Ini

Minggu, 01 September 2019

Pendidikan Islam Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup


Pendidikan Islam Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup
Paling tidak ada tiga masalah yang harus dibahas di sini, yaitu implikasi pendidikan tauhid, pendidikan akhlak dan pendidikan akal[1]
a.      Implikasi Pendidikan Tauhid
Dalam pendidikan tauhid manusia diajari bahwa alam semesta ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan diciptakan. Oleh sebab itu alam disebut “makhluk” sementara Tuhan yang menciptakannya disebut “Khalik”. Manusia sebagai makhluk yang mendapat keper­cayaan dari Tuhan untuk mengelola bumi dan memanfaatkan sumber daya alamnya harus senantiasa berkomunikasi, mengadakan kontak dengan Tuhan agar ia tidak salah langkah dalam mengambil suatu keputusan atau merencanakan suatu kegiatan dalam pengelolaan alam tersebut. Kesalahan dalam perencanaan akan mengakibatkan dampak negatif terhadap kehidupan di muka bumi ini. Terjadinya berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan tak dapat dilepaskan dari kesalahan manusia.
Dari itu pendidikan tauhid merupakan salah satu sarana untuk menyadarkan umat bahwa kehidupan di dunia ini adalah tempat bercocok tanam untuk dipetik buahnya kemudian. Dengan ungkapan lain, tanpa dunia, tidak akan mungkin kita meraih kebahagiaan di akhirat nanti. Selain itu pendidikan tauhid juga memberikan tuntunan bahwa semua yang dilakukan oleh manusia di dunia ini akan dipertanggungjawabkannya kelak di muka pengadilan Tuhan.
¢OèO £`è=t«ó¡çFs9 >ͳtBöqtƒ Ç`tã ÉOŠÏè¨Z9$# ÇÑÈ  
Artinya :  kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (Q.S Attakasur: 8)[2]
Jika umat Islam yang mayoritas di Negeri Pancasila ini mem­punyai mental tauhid seperti yang digambarkan itu, maka kelestarian lingkungan hidup di negeri kita ini akan menjadi kenyataan, sebab kendala yang menghadang kelestarian tersebut seperti kemiskinan, ledakan penduduk dan sebagainya akan dapat diatasi lewat pendidikan tauhid tersebut. Hal itu disebabkan karena mentalitas tauhid yang telah tertanam kuat di dalam dirinya senantiasa berfungsi secara efektif dalam meluruskan perjalanan hidupnya; bahkan iblis sekalipun tak akan mampu menggoda dan menyesatkannya.
Upaya melestarikan lingkungan hidup ialah suatu perbuatan atau kegiatan nyata di tengah masyarakat. Tindakan itu tak dapat dilepaskan dari sikap tauhid yang ada di dalam diri seseorang. Dengan ungkapan lain seseorang yang bertauhid akan merasakan bahwa apa saja yang dilakukannya di muka bumi ini nilainya ibadah sesuai dengan firman Tuhan di dalam Alqur’an surat al-Dzariyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
Artinya : dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[3]
Dengan pendidikan tauhid, umat manusia kreatif dalam menjaga lingkungan hidup. Sebab ajaran tauhid yang tertanam kuat di dalam dirinya selalu mendorongnya untuk berbuat ibadah, mengabdi kepada Tuhan. Di antara ibadah itu ada yang memerlukan berbagai peralatan, sarana dan prasarana. Untuk dapat melaksanakan berbagai ibadah dengan baik, seperti shalat wajib, hams dipenuhi beberapa kriteria antara lain: bersih dari hadas dan najis, menutup aurat, berwudhu’ dengan air yang bersih, berdiri di tempat yang bersih dan menghadap kiblat. Semua kriteria itu berhubungan erat dengan masalah lingkungan hidup. Misalnya, suci diri dari hadas dan najis tak mungkin dicapai jika kita tidak mau menjaga kebersihan lingkungan kita. Mungkinkah kita membersihkan diri dari hadas dan najis jika air yang dipakai untuk bersuci tidak bersih? Mungkinkah kita dapat berdiri di tempat yang suci menghadap kiblat, jika lingkungan tempat kita melakukan shalat tidak dijaga kebersihannya dengan baik? Selain itu umat Islam sangat dianjurkan untuk shalat berjamaah setiap waktu. Anjuran ini mengandung makna, bahwa mereka harus berinisiatif menyediakan tempat khusus untuk shalat berjamaah yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pembinaan mental dan sentral kegiatan umat. Dari sini lahirlah upaya mendirikan tempat ibadah seperti mesjid, mushalla, surau dan sebagainya.
Dari pembahasan yang dikemukakan di atas nampak dengan jelas bahwa tauhid mendorong orang kreatif dan berfikir rasional di alam duniawi ini. Tuntutan menutup aurat, mendorongnya untuk menanam kapas, lalu kapas dipintal untuk jadi benang, kemudian benang ditenun jadi kain. Tuntutan mendirikan tempat-tempat ibadah juga mendorong orang untuk memeras otak guna mengolah bahan mentah supaya jadi bahan siap pakai sebab tak mungkin memakai kayu yang di hutan, atau batu yang terpendam di dalam tanah tanpa diolah lebih dulu. Selain itu, supaya kelihatan lebih bagus dan menarik, maka lahirlah berbagai seni: seni ukir, seni pahat, seni bangunan (arsitektur) dan sebagainya.
Jadi semua yang dilakukan manusia di dunia tak dapat bebas dari pengaruh ajaran yang mendominasi dirinya. Jika yang mendomi­nasi keseluruhan dirinya sikap anti Tuhan, seumpama Fir’aun dan Titov yang dicontohkan di atas maka akan lahirlah perbuatan dan tindakan-tindakan yang melawan Tuhan, sebaliknya jika yang tertanam di dalam dirinya ajaran tauhid maka semua kegiatan dan kreasinya akan dijiwai oleh tauhid tersebut. Dari orang yang bermental seperti inilah keselamatan dan kelestarian lingkungan hidup dapat diharapkan, karena ia selalu merasakan dirinya bagian dari alam apa yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkannya kelak di hadapan Tuhan, sebagaimana telah diuraikan di depan, dari itu ia akan senantiasa berhati-hati dalam hidup ini.

b.      Pendidikan Akhlak
Pengelolaan lingkungan hidup dan juga dalam kehidupan sehari-hari Islam mengajarkan akhlak bukan etika. Berangkat dari pandangan seperti itulah maka di sini kita menggunakan term “akhlak” tidak etika, meskipun banyak para ahli lingkungan hidup dewasa ini menyebutnya “etika lingkungan” (environmental ethics) seperti yang dipopulerkan oleh Scoby. Suma T. Djayadiningrat dalam majalah Serasi yang diterbitkan Kantor Menteri KLH juga memakai istilah “etika”
Akhlak lingkungan yang diaj arkan Islam bersumber dari Alqur ’an dan hadis dengan menjadikan tauhid sebagai acuan dasar. Dengan demikian boleh dikatakan akhlak itu perwujudan dari sikap tauhid yang telah mendarah-daging di dalam diri seseorang. Jadi tidak bisa dipisahkan tauhid dari akhlak, tapi dapat dibedakan. Artinya seseorang yang mengaku bertauhid, mau tidak mau ia akan mempunyai akhlak yang mulia sebab akhlak yang mulia itu cerminan yang tepat dari tauhid yang terpendam di dalam dirinya. Lahirnya tingkah laku, perbuatan-perbuatan yang terpuji dan sebagainya dari seseorang berkaitan erat dengan tauhid yang tertanam kokoh di dalam dirinya.
Dari kenyataan hidup di abad modem, kita dihadapkan kepada suatu pertanyaan yang mendasar: mengapa manusia tega berbuat begitu kejam kepada sesamanya dan juga kepada alam lingkungannya? Tidakkah dia sadar bahwa eksistensinya amat tergantung kepada manusia lain dan kelestarian sumber daya alami, hewani dan nabati?  Di sinilah nampak salah satu fungsi penting dari pendidikan akhlak yakni menyadarkan umat manusia dari kealpaan. Saking pentingnya fungsi tersebut sampai-sampai Nabi menyatakan bahwa tujuan beliau diutus ke muka bumi hanyalah untuk menyem­purnakan budi pekerti yang baik.
Tujuan pendidikan akhlak: melahirkan “insan kamil” atau “manusia yang utuh lahir batin” . Untuk mencapai tujuan itu, secara vertikal, seseorang harus berhu­bungan terus menerus dengan Allah, dan secara horizontal harus menjalin hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan hidupnya.
c.       Pendidikan Akal
Fakta sejarah menjelaskan bahwa pendidikan akal adalah salah satu komponen pendidikan Islam yang amat penting dan perlu digalakkan, kalau kita memang ingin maju dan berkembang. Dalam hal ini tidak terkecuali permasalahan lingkungan hidup. Artinya pengelolaan dan pembinaannya harus ditangani secara rasional yang berorientasikan Alqur’an (Quranic oriented). Term ini merupakan kata kunci di dalam segala bentuk pemikiran yang akan dikembangkan sebab bila acuan pemikiran tidak lagi kepada Alqur’an maka pintu untuk berlaku curang dalam pengelolaan lingkungan hidup terbuka lebar.
Islam menginginkan lingkungan hidup itu dikelola secara rasional lagi professional; bukan emosional plus amatiran.
Pencemaran air dan udara, kekeringan, penyakit menular, pro­gram sanitasi dan sebagainya,  semua itu membutuhkan pemikiran- pemikiran yang matang dan rasional. Hindarkan sejauh mungkin pemikiran-pemikiran emosional yang akan merugikan lingkungan hidup. Namun umat beragama, biasanya kurang tertarik oleh imbauan- imbauan yang gersang dari ajaran agama, apalagi jika mereka diajak berpikir rasional an sich. Oleh karenanya pendidikan akal itu - sebagai telah disebut - harus berorientasikan Alqur’an dan hadis. Pengin­tegrasian pemikiran rasional ke dalam pemahaman ayat Alqur’an, bukan hanya sekedar untuk meluruskan jalan pikiran dalam menalar, melainkan sekaligus berfungsi sebagai daya tarik tersendiri bagi umat, khususnya mereka yang terpelajar, untuk menjadikan ajaran Islam sebagai dasar dalam pengelolaan dan menjaga lingkungan hidup sehingga kualitasnya tidak menurun dan daya dukungnya tidak berkurang; kondisi semacam inilah yang disebut lingkungan yang lestari itu.
Dari bahasan yang dipaparkan itu jelaslah, bahwa pemikiran rasional amat dibutuhkan dalam pengelolaan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dari itu pendidikan akal harus diberikan secara berkesinambungan kepada peserta didik sesuai dengan tingkat kemampuannya dalam mencerna dan menyerap pelajaran.


[1] Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Islam , (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2013), h. 62
[2]Al-Qur’an Dan Terjemah,  ( Bandung: Diponegoro,2008), h. 600
[3] Al-Qur’an Dan Terjemah,  ( Bandung: Diponegoro,2008), h. 520

Tidak ada komentar: