Pendidikan Islam Dalam Melestarikan
Lingkungan Hidup
Paling tidak ada tiga masalah yang harus
dibahas di sini, yaitu implikasi pendidikan tauhid, pendidikan akhlak dan
pendidikan akal[1]
a. Implikasi Pendidikan Tauhid
Dalam pendidikan tauhid
manusia diajari bahwa alam semesta ini tidak terjadi dengan sendirinya,
melainkan diciptakan. Oleh sebab itu alam disebut “makhluk” sementara Tuhan
yang menciptakannya disebut “Khalik”. Manusia sebagai makhluk yang mendapat
kepercayaan dari Tuhan untuk mengelola bumi dan memanfaatkan sumber daya
alamnya harus senantiasa berkomunikasi, mengadakan kontak dengan Tuhan agar ia
tidak salah langkah dalam mengambil suatu keputusan atau merencanakan suatu
kegiatan dalam pengelolaan alam tersebut. Kesalahan dalam perencanaan akan
mengakibatkan dampak negatif terhadap kehidupan di muka bumi ini. Terjadinya
berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan tak dapat dilepaskan dari
kesalahan manusia.
Dari itu pendidikan
tauhid merupakan salah satu sarana untuk menyadarkan umat bahwa kehidupan di
dunia ini adalah tempat bercocok tanam untuk dipetik buahnya kemudian. Dengan
ungkapan lain, tanpa dunia, tidak akan mungkin kita meraih kebahagiaan di
akhirat nanti. Selain itu pendidikan tauhid juga memberikan tuntunan bahwa
semua yang dilakukan oleh manusia di dunia ini akan dipertanggungjawabkannya
kelak di muka pengadilan Tuhan.
¢OèO £`è=t«ó¡çFs9 >ͳtBöqt Ç`tã ÉOÏè¨Z9$# ÇÑÈ
Artinya : kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari
itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (Q.S
Attakasur: 8)[2]
Jika umat Islam yang
mayoritas di Negeri Pancasila ini mempunyai mental tauhid seperti yang
digambarkan itu, maka kelestarian lingkungan hidup di negeri kita ini akan
menjadi kenyataan, sebab kendala yang menghadang kelestarian tersebut seperti
kemiskinan, ledakan penduduk dan sebagainya akan dapat diatasi lewat pendidikan
tauhid tersebut. Hal itu disebabkan karena mentalitas tauhid yang telah
tertanam kuat di dalam dirinya senantiasa berfungsi secara efektif dalam
meluruskan perjalanan hidupnya; bahkan iblis sekalipun tak akan mampu menggoda
dan menyesatkannya.
Upaya melestarikan
lingkungan hidup ialah suatu perbuatan atau kegiatan nyata di tengah
masyarakat. Tindakan itu tak dapat dilepaskan dari sikap tauhid yang ada di
dalam diri seseorang. Dengan ungkapan lain seseorang yang bertauhid akan
merasakan bahwa apa saja yang dilakukannya di muka bumi ini nilainya ibadah
sesuai dengan firman Tuhan di dalam Alqur’an surat
al-Dzariyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya : dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[3]
Dengan pendidikan
tauhid, umat manusia kreatif dalam menjaga lingkungan hidup. Sebab ajaran
tauhid yang tertanam kuat di dalam dirinya selalu mendorongnya untuk berbuat
ibadah, mengabdi kepada Tuhan. Di antara ibadah itu ada yang memerlukan
berbagai peralatan, sarana dan prasarana. Untuk dapat melaksanakan berbagai
ibadah dengan baik, seperti shalat wajib, hams dipenuhi beberapa
kriteria antara lain: bersih dari hadas dan najis, menutup aurat, berwudhu’
dengan air yang bersih, berdiri di tempat yang bersih dan menghadap kiblat.
Semua kriteria itu berhubungan erat dengan masalah lingkungan hidup. Misalnya,
suci diri dari hadas dan najis tak mungkin dicapai jika kita tidak mau menjaga
kebersihan lingkungan kita. Mungkinkah kita membersihkan diri dari hadas dan
najis jika air yang dipakai untuk bersuci tidak bersih? Mungkinkah kita dapat
berdiri di tempat yang suci menghadap kiblat, jika lingkungan tempat kita
melakukan shalat tidak dijaga kebersihannya dengan baik? Selain itu umat Islam
sangat dianjurkan untuk shalat berjamaah setiap waktu. Anjuran ini mengandung
makna, bahwa mereka harus berinisiatif menyediakan tempat khusus untuk shalat
berjamaah yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pembinaan mental dan sentral kegiatan
umat. Dari sini lahirlah upaya mendirikan tempat ibadah seperti mesjid,
mushalla, surau dan sebagainya.
Dari pembahasan yang
dikemukakan di atas nampak dengan jelas bahwa tauhid mendorong orang kreatif
dan berfikir rasional di alam duniawi ini. Tuntutan menutup aurat, mendorongnya
untuk menanam kapas, lalu kapas dipintal untuk jadi benang, kemudian benang
ditenun jadi kain. Tuntutan mendirikan tempat-tempat ibadah juga mendorong
orang untuk memeras otak guna mengolah bahan mentah supaya jadi bahan siap
pakai sebab tak mungkin memakai kayu yang di hutan, atau batu yang terpendam di
dalam tanah tanpa diolah lebih dulu. Selain itu, supaya kelihatan lebih bagus
dan menarik, maka lahirlah berbagai seni: seni ukir, seni pahat, seni bangunan
(arsitektur) dan sebagainya.
Jadi semua yang
dilakukan manusia di dunia tak dapat bebas dari pengaruh ajaran yang
mendominasi dirinya. Jika yang mendominasi keseluruhan dirinya sikap anti
Tuhan, seumpama Fir’aun dan Titov yang dicontohkan di atas maka akan lahirlah
perbuatan dan tindakan-tindakan yang melawan Tuhan, sebaliknya jika yang
tertanam di dalam dirinya ajaran tauhid maka semua kegiatan dan kreasinya akan
dijiwai oleh tauhid tersebut. Dari orang yang bermental seperti inilah
keselamatan dan kelestarian lingkungan hidup dapat diharapkan, karena ia selalu
merasakan dirinya bagian dari alam apa yang dilakukannya akan
dipertanggungjawabkannya kelak di hadapan Tuhan, sebagaimana telah diuraikan di
depan, dari itu ia akan senantiasa berhati-hati dalam hidup ini.
b. Pendidikan Akhlak
Pengelolaan lingkungan
hidup dan juga dalam kehidupan sehari-hari Islam mengajarkan akhlak bukan
etika. Berangkat dari pandangan seperti itulah maka di sini kita menggunakan
term “akhlak” tidak etika, meskipun banyak para ahli lingkungan hidup dewasa
ini menyebutnya “etika lingkungan” (environmental ethics)
seperti yang dipopulerkan oleh Scoby. Suma T. Djayadiningrat dalam majalah
Serasi yang diterbitkan Kantor Menteri KLH juga memakai istilah “etika”
Akhlak lingkungan yang
diaj arkan Islam bersumber dari Alqur
’an dan hadis dengan menjadikan tauhid sebagai acuan
dasar. Dengan demikian boleh dikatakan akhlak itu perwujudan dari sikap tauhid
yang telah mendarah-daging di dalam diri seseorang. Jadi tidak bisa dipisahkan
tauhid dari akhlak, tapi dapat dibedakan. Artinya seseorang yang mengaku
bertauhid, mau tidak mau ia akan mempunyai akhlak yang mulia sebab akhlak yang
mulia itu cerminan yang tepat dari tauhid yang terpendam di dalam dirinya.
Lahirnya tingkah laku, perbuatan-perbuatan yang terpuji dan sebagainya dari
seseorang berkaitan erat dengan tauhid yang tertanam kokoh di dalam dirinya.
Dari kenyataan hidup di
abad modem, kita dihadapkan kepada suatu pertanyaan yang mendasar: mengapa
manusia tega berbuat begitu kejam kepada sesamanya dan juga kepada alam
lingkungannya? Tidakkah dia sadar bahwa eksistensinya amat tergantung kepada
manusia lain dan kelestarian sumber daya alami, hewani dan nabati? Di sinilah nampak salah satu fungsi penting
dari pendidikan akhlak yakni menyadarkan umat manusia dari kealpaan. Saking
pentingnya fungsi tersebut sampai-sampai Nabi menyatakan bahwa tujuan beliau
diutus ke muka bumi hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang baik.
Tujuan pendidikan
akhlak: melahirkan “insan kamil”
atau “manusia yang utuh lahir batin” . Untuk mencapai tujuan itu, secara
vertikal, seseorang harus berhubungan terus menerus dengan Allah, dan secara
horizontal harus menjalin hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan
hidupnya.
c. Pendidikan Akal
Fakta sejarah menjelaskan bahwa
pendidikan akal adalah salah satu komponen pendidikan Islam yang amat penting
dan perlu digalakkan, kalau kita memang ingin maju dan berkembang. Dalam hal
ini tidak terkecuali permasalahan lingkungan hidup. Artinya pengelolaan dan
pembinaannya harus ditangani secara rasional yang berorientasikan Alqur’an (Quranic
oriented). Term ini merupakan
kata kunci di dalam segala bentuk pemikiran yang akan dikembangkan sebab bila
acuan pemikiran tidak lagi kepada Alqur’an maka pintu untuk berlaku curang dalam pengelolaan lingkungan
hidup terbuka lebar.
Islam menginginkan lingkungan hidup itu dikelola secara
rasional lagi professional; bukan
emosional plus amatiran.
Pencemaran air dan udara, kekeringan, penyakit
menular, program sanitasi dan sebagainya, semua itu membutuhkan pemikiran- pemikiran
yang matang dan rasional. Hindarkan sejauh mungkin pemikiran-pemikiran
emosional yang akan merugikan lingkungan hidup. Namun umat beragama, biasanya
kurang tertarik oleh imbauan- imbauan yang gersang dari ajaran agama, apalagi
jika mereka diajak berpikir rasional an sich. Oleh karenanya
pendidikan akal itu - sebagai telah disebut -
harus
berorientasikan Alqur’an dan hadis.
Pengintegrasian pemikiran rasional ke dalam pemahaman ayat Alqur’an, bukan hanya
sekedar untuk meluruskan jalan pikiran dalam menalar, melainkan sekaligus
berfungsi sebagai daya tarik tersendiri bagi umat, khususnya mereka yang
terpelajar, untuk menjadikan ajaran Islam sebagai dasar dalam pengelolaan dan
menjaga lingkungan hidup sehingga kualitasnya tidak menurun dan daya dukungnya
tidak berkurang; kondisi semacam inilah yang disebut lingkungan yang lestari
itu.
Dari bahasan yang dipaparkan itu jelaslah, bahwa
pemikiran rasional amat dibutuhkan dalam pengelolaan dan menjaga kelestarian
lingkungan hidup. Dari itu pendidikan akal harus diberikan secara
berkesinambungan kepada peserta didik sesuai dengan tingkat kemampuannya dalam
mencerna dan menyerap pelajaran.
[1] Erwati Aziz, Upaya
Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Islam , (Yogyakarta:
pustaka pelajar, 2013), h. 62
[3] Al-Qur’an Dan
Terjemah, ( Bandung:
Diponegoro,2008), h. 520
Tidak ada komentar:
Posting Komentar