1. Ilmu Lingkungan Hidup Dalam Perspektif
Islam
Kajian Islam tentang Ilmu Lingkungan Hidup dapat dilihat
dalam hal: pertama Fiqih,
Fiqih yang
memberi tuntunan atau acuan kepada Muslim tentang perilakunya dalam hubungan
antara manusia dengan Tuhan yang disebut ”fiqih ibadah”
dan antara manusia dengan sesamanya atau fiqih
mu’amalah. Sebenarnya fiqih juga
bisa menentukan hukum yang memberikan pedoman perilaku manusia dalam
hubungannya dengan alam, misalnya dengan hewan. Sebagai contoh, hewan kurban
dalam Idul Adha itu tidak boleh diambil dari yang muda, tetapi dari yang telah
benar-benar tua. Hal ini menimbulkan etika untuk tidak menyembelih hewan muda.
Tetapi fiqih Ekologi”
itu belum pernah ada, walaupun kasusnya bisa terselip di sana-sini dalam
pembahasan fiqih umumnya.[1]
Perkembangan fiqih yang
menyangkut Ilmu Lingkungan Hidup agaknya tergantung dari beberapa hal. Pertama
adalah pengenalan para ulama terhadap masalah-masalah Ilmu Lingkungan Hidup.
Pengenalan ini bisa terjadi lewat cendekiawan atau sarjana Ilmu Lingkungan
Hidup khususnya. Fiqih bisa menangkap dan
memberikan penilaian tentang masalah ini. Sebagai contoh, dalam ilmu ushul fiqih, yaitu ilmu tentang
metodologi fiqih atau asas-asas hukum fiqih yang
dapat dipakai untuk mempertimbangkan suatu hal, terdapat asas untuk
mengutamakan mencegah kerugian, keburukan dan dampak negatifnya, dari pada
mengambil suatu manfaat dari suatu kegiatan atau konsumsi. Misalnya jika
memproduksi suatu barang itu dipandang sebagai kegiatan yang bermanfaat, tetapi
jika diketahui mendatangkan dampak negatif, misalnya menimbulkan pencemaran
terhadap lingkungan hidup, maka kegiatan itu harus dicegah, kecuali jika telah
ditemukan cara untuk mencegah dampak negatif tersebut. Masalahnya adalah apakah
ada kasus yang diajukan untuk dipertimbangkan oleh fiqih?
Fiqih dewasa ini dinilai
lebih banyak membahas aspek-aspek hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan
perkataan lain, yang terutama berkembang adalah fiqih ibadah.
Misalnya membahas soal shalat, haji, puasa atau zakat. Fiqih mu’amalah juga masih terbatas
perkembangannya, misalnya menyangkut beberapa jenis perjanjian ekonomi yang
terdapat pada masyarakat yang masih belum berkembang perekonomiannya. Namun,
dalam masalah mu’amalah
itu dapat pula dikemukakan kasus-kasus lingkungan hidup, seperti misalnya
tentang soal konsumsi rokok yang menimbulkan polusi udara itu. Sudah barang
tentu, soal-soal Ilmu Lingkungan Hidup yang lebih luas dapat pula dibahas dalam
hukum fiqih tersebut.[2]
Kedua adalah
perkembangan di bidang teologi. Dewasa ini, teologi sudah membahas soal-soal
yang lebih luas, misalnya tentang kemiskinan dan keadilan sosial. Agaknya
pembahasan soal-soal Ilmu Lingkungan Hidup dalam ilmu fiqih bisa
lebih mudah dipengaruhi lewat pembahasan-pembahasan teologis terlebih dahulu.
Soalnya sekali lagi adalah cakupan perhatian teologi itu sendiri. Di lingkungan
ulama, teologi dipahami sebagai ilmu kalam. Padahal, pusat perhatian ilmu kalam
adalah soal-soal ketuhanan, khususnya tentang keesaan Tuhan dan sifat-sifat
Tuhan, di sekitar al asma’al husna
atau nama-nama indah Tuhan yang dilukiskan dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain,
diskurus teologi di kalangan ulama pada dasarnya bersifat teosentris.
Sebenarnya teologi yang
teosentris itu mengandung perspektif perkembangan ke arah konsep deep ecology, yaitu
Ilmu Lingkungan Hidup yang bertolak dari etika ekosentris. Dalam etika
ekosentris, diskursus mengenai lingkungan hidup mendasarkan diri pada sistem
yang tunggal dan menyeluruh, dalam hal ini ekosistem dari keseluruhan alam
semesta. Dalam kenyataannya, diskursus teologi akhir-akhir ini yang berkembang
di kalangan cendekiawan muslim lebih banyak mengarah ke etika; homosentris,
yang nilai sentralnya adalah kemasyarakatan atau kebersamaan antarindividu. [3]
Perkembangan etika homosentris
bertolak dari konsep manusia sebagai khalifah,
yaitu wakil Allah di muka bumi. Dalam konsep ini, manusia adalah makhluk atau
ciptaan Allah yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia itu terletak dalam
kemampuannya untuk "…mengeja nama-nama benda…” (Q.S. al Baqarah: 30-33).
Dengan kemampuan mengenal benda-benda di sekelilingnya itu, manusia menciptakan
simbol-simbol. Dengan simbol-simbol itulah, manusia mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Manusia, dalam konsep khalifah, adalah manager of resources,
pengelola sumber daya di bumi. Allah sendiri
memuliakan manusia. Oleh sebab itu, manusia wajib memuliakan dirinya sendiri.
Untuk itu, Allah menundukkan segala ciptaan-Nya, khususnya dalam cakupan
biosfer bagi kesejahteraan manusia. Manusia memang berhasil menundukkan alam
dengan kemampuan ilmu dan ketrampilan yang dianugerahkan oleh Allah.
Konsep ini memang
mendorong manusia untuk senantiasa memperbaiki taraf hidupnya dan membangun
lingkungannya. Manusia, menuruti konsep ini, adalah suatu makhluk pembangun
kebudayaan. Oleh filsuf dan penyair Iqbal, konsep khalifah fi al arth atau wakil Allah
di muka bumi ini dijadikan sebuah model Muslim yang mampu membangun peradaban
besar, seperti pada masa lampau.[4]
[1] M. Dawam Rahardjo, Iman,
Ekonomi dan Ilmu Lingkungan Hidup,
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 61
[2] Ibid., h. 62
[4] Ibid., h. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar