Cari Blog Ini

Minggu, 01 September 2019

Ilmu Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Islam


1.      Ilmu Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Islam
Kajian Islam tentang Ilmu Lingkungan Hidup dapat dilihat dalam hal: pertama Fiqih,  Fiqih yang memberi tuntunan atau acuan kepada Muslim tentang perilakunya dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan yang disebut ”fiqih ibadah” dan antara manusia dengan sesamanya atau fiqih mu’amalah. Sebenarnya fiqih juga bisa menentukan hukum yang memberikan pedoman perilaku manusia da­lam hubungannya dengan alam, misalnya dengan hewan. Sebagai con­toh, hewan kurban dalam Idul Adha itu tidak boleh diambil dari yang muda, tetapi dari yang telah benar-benar tua. Hal ini menimbulkan etika untuk tidak menyembelih hewan muda. Tetapi fiqih Ekologi” itu belum pernah ada, walaupun kasusnya bisa terselip di sana-sini dalam pembahasan fiqih umumnya.[1]
Perkembangan fiqih yang menyangkut Ilmu Lingkungan Hidup agaknya tergantung dari beberapa hal. Pertama adalah pengenalan para ulama terhadap masalah-masalah Ilmu Lingkungan Hidup. Pengenalan ini bisa terjadi lewat cendekiawan atau sarjana Ilmu Lingkungan Hidup khususnya. Fiqih bisa menangkap dan memberikan penilaian tentang masalah ini. Sebagai contoh, dalam ilmu ushul fiqih, yaitu ilmu tentang metodologi fiqih atau asas-asas hukum fiqih yang dapat dipakai untuk mempertimbangkan suatu hal, terdapat asas untuk mengutamakan mencegah kerugian, keburukan dan dampak negatif­nya, dari pada mengambil suatu manfaat dari suatu kegiatan atau kon­sumsi. Misalnya jika memproduksi suatu barang itu dipandang sebagai kegiatan yang bermanfaat, tetapi jika diketahui mendatangkan dampak negatif, misalnya menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan hi­dup, maka kegiatan itu harus dicegah, kecuali jika telah ditemukan cara untuk mencegah dampak negatif tersebut. Masalahnya adalah apakah ada kasus yang diajukan untuk dipertimbangkan oleh fiqih?
Fiqih dewasa ini dinilai lebih banyak membahas aspek-aspek hu­bungan manusia dengan Tuhan. Dengan perkataan lain, yang teruta­ma berkembang adalah fiqih ibadah. Misalnya membahas soal shalat, haji, puasa atau zakat. Fiqih mu’amalah juga masih terbatas perkem­bangannya, misalnya menyangkut beberapa jenis perjanjian ekonomi yang terdapat pada masyarakat yang masih belum berkembang per­ekonomiannya. Namun, dalam masalah mu’amalah itu dapat pula dikemukakan kasus-kasus lingkungan hidup, seperti misalnya tentang soal konsumsi rokok yang menimbulkan polusi udara itu. Sudah barang tentu, soal-soal Ilmu Lingkungan Hidup yang lebih luas dapat pula dibahas dalam hukum fiqih tersebut.[2]
Kedua adalah perkembangan di bidang teologi. Dewasa ini, teologi sudah membahas soal-soal yang lebih luas, misalnya tentang kemiskin­an dan keadilan sosial. Agaknya pembahasan soal-soal Ilmu Lingkungan Hidup dalam ilmu fiqih bisa lebih mudah dipengaruhi lewat pembahasan-pembahasan teologis terlebih dahulu. Soalnya sekali lagi adalah cakupan perhatian teologi itu sendiri. Di lingkungan ulama, teologi dipahami sebagai ilmu kalam. Padahal, pusat perhatian ilmu kalam adalah soal-soal ketuhan­an, khususnya tentang keesaan Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, di sekitar al asma’al husna atau nama-nama indah Tuhan yang dilukiskan dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, diskurus teologi di kalangan ulama pada dasarnya bersifat teosentris.
Sebenarnya teologi yang teosentris itu mengandung perspektif per­kembangan ke arah konsep deep ecology, yaitu Ilmu Lingkungan Hidup yang bertolak dari etika ekosentris. Dalam etika ekosentris, diskursus mengenai ling­kungan hidup mendasarkan diri pada sistem yang tunggal dan menyelu­ruh, dalam hal ini ekosistem dari keseluruhan alam semesta. Dalam kenyataannya, diskursus teologi akhir-akhir ini yang berkem­bang di kalangan cendekiawan muslim lebih banyak mengarah ke etika; homosentris, yang nilai sentralnya adalah kemasyarakatan atau kebersamaan antarindividu. [3]
Perkembangan etika homosentris bertolak dari konsep manusia sebagai khalifah, yaitu wakil Allah di muka bumi. Dalam konsep ini, manusia adalah makhluk atau ciptaan Allah yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia itu terletak dalam kemampuannya untuk "…mengeja nama-nama benda…” (Q.S. al Baqarah: 30-33). Dengan kemam­puan mengenal benda-benda di sekelilingnya itu, manusia menciptakan simbol-simbol. Dengan simbol-simbol itulah, manusia mengembang­kan ilmu pengetahuan.
Manusia, dalam konsep khalifah, adalah manager of resources, pe­ngelola sumber daya di bumi. Allah sendiri memuliakan manusia. Oleh sebab itu, manusia wajib memuliakan dirinya sendiri. Untuk itu, Allah menundukkan segala ciptaan-Nya, khususnya dalam cakupan biosfer bagi kesejahteraan manusia. Manusia memang berhasil menundukkan alam dengan kemampuan ilmu dan ketrampilan yang dianugerahkan oleh Allah.
Konsep ini memang mendorong manusia untuk senantiasa memperbaiki taraf hidupnya dan membangun lingkungannya. Manusia, menu­ruti konsep ini, adalah suatu makhluk pembangun kebudayaan. Oleh filsuf dan penyair Iqbal, konsep khalifah fi al arth atau wakil Allah di muka bumi ini dijadikan sebuah model Muslim yang mampu memba­ngun peradaban besar, seperti pada masa lampau.[4]


[1] M. Dawam Rahardjo, Iman, Ekonomi dan Ilmu Lingkungan Hidup,  (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 61
[2] Ibid., h. 62
[3]Ibid., h. 63
[4] Ibid., h. 64

Tidak ada komentar: