Kecerdasan
Emosional
1. Pengertian Emosi
Setiap manusia diciptakan memiliki
emosi, pada masa lampau emosi biasanya diabaikan dalam masa perkembangan anak,
padahal emosi seharusnya diperhatikan sebagai panduan perkembangan anak.
Berikut ini ada beberapa pendapat tentang emosi, yaitu:
a. Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh.
Arti kata ini mengisyaratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi.
b. Abdul Mujib
menyatakan bahwa asal kata emosi adalah movere
yang berbentuk kata kerja, beradal dari bahasa latin yang berarti menggerakkan atau bergerak dan ditambah dengan huruf e emovere yang memberi arti bergerak jauh. Maksudnya adalah
kecendrungan bertindak merupakan suatu hal yang mutlak dalam emosi.[1]
c. Menurut
Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu
keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[2]
Kemudian Daniel Goleman mengemukakan beberapa macam bentuk emosi yang ada pada
manusia, yaitu:
1) Amarah.
Sikap ini bisa terlihat dari tindakan seseorang yang beringas, mengamuk, benci,
jengkel, kesal hati, dan lainnya.
2) Kesedihan.
Terlihat dari keadaan seseorang yang merasa pedih, sedih, muram, suram,
melankolis, mengasihi diri, dan putus asa.
3) Rasa
takut. Bisa berupa rasa cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
waspada, tidak tenang, dan ngeri.
4) Kenikmatan
terlihat dari perasaan bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur,
bangga.
5) Cinta.
Sikap ini memperlihatkan bentuk penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan
hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, dan kasih.
6) Terkejut.
Terlihat pada ekspresi terkesiap, terkejut.
7) Jengkel,
bisa berbentuk rasa hina, jijik, muak, mual, dan tidak suka.
d. Emosi
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi
terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong
perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa,
emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi berkaitan dengan
perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu
aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator
perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional
manusia.
e. Menurut
John W. Santrock. Emosi sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika
sesorang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting
olehnya.[3] Emosi adalah perasaan yang dialami individu
sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari
orang lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat dikelompokkan kedalam kategori
emosi seperti; marah, takut, sedih, gembira, kasih sayang dan takjub.
f. Emosi
adalah persepsi perubahan jasmaniah yang terjadi dalam memberikan tanggapan
(respon) terhadap suatu peristiwa. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk
bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara
berangsur-angsur oleh evolusi.
Dari beberapa pengertian di atas
dapat disimpilkan bahwa emosi adalah gambaran perasaan atau perilaku seseorang
yang terlihat sesuai dengan keadaan saat itu yang mengekspresikan kenyamanan
dan ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami.
Ekspresi perasaan dan perilaku tersebut juga bisa berupa empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemampuan
kemandirian, kemampuan menyesuaikan
diri, diskusi, kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, ketekunan, kesetiakawanan,
keramahan, dan sikap hormat.
2. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama
kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan. Fenomena yang menampilkan banyaknya anak yang memiliki kecerdasan
intelektual yang baik selama masa pendidikannya namun belum berhasil ketika
menghadapi dunia kerja.
Hal ini dilatarbelakangi oleh
lemahnya kecerdasan emosional yang sangat penting dalam beradaptasi di dunia
kerja, seperti kemampuan dasar untuk mendengarkan orang lain, kreativitas,
kepercayaan diri, motivasi, ketahanan mental terhadap kegagalan, dan lainnya.
Semua itu merupakan gambaran dari kecerdasan emosional yang baik. Berikut ini,
beberapa pendapat tentang kecerdasan emosional:
a. Menurut
Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan emosinal merupakan kemampuan untuk merasa,
kecerdasan emosi yang merujuk pada kejujuran terhadap suara hati sendiri, yang
akan menjadi pusat prinsip yang mampu member rasa aman, pedoman, kekuatan serta
kebijaksanaan.[4]
b. Mahmud al-Zaky
mengemukakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya mempunyai hubungan yang
erat dengan kecerdaan uluhiyyah (ketuhanan). Jika seseorang mempunyai tingkat
pemahaman dan pengalaman nilai niai ketuhanan yang tinggi dalam hidupnya, maka
berarti dia telah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula.[5]
c. Kecerdasan
emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan
mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan
intelektual.
d. Kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif
yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan
tekanan lingkungan. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seperti kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan
berdo’a.[6]
e.
Abdul Rahman al-Aisu mengatakan bahwa
terdapat hubungan yang erat antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan
ketuhanan.[7]
Di dalam al-Quran surat al-Nazi’at ayat 40-42.
M. Qhuraish Shibab menafsirkan maksud
dari ayat di atas bahwa barang siapa yang takut menghadapi keadaannya pada hari
kemudian dikarenakan hawa nafsunya kemudian menjadikannya takut untuk melakukan
larangan Allah dan menjadikannya patuh dan taat kepadanya maka dia akan
mendapatkan surganya.[8]
Emosi menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati
kebenaran ajaran agama.
f. Salovey
dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ
sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan.[9]
g. Daniel
Goleman mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan
pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil
dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan.[10]
h. Kecerdasan
emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan
mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu
mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi
manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
i.
Kecerdasan emosional merupakan
kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri, emosi orang lain,
memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri sendiri
dalam berhubungan dengan orang lain.[11]
Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat
dari EQ adalah "qalbu" .
Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang
dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang
tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat ,
integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam
yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan
melayani.
Dalam surat Ar-Rum ayat 30, Allah menjelaskan mengenai
fitrah manusia yang berbunyi:
َفَأقِم وج ه ك لِل
دينِ حنِيًفا فِطْرَة اللهِ الَّتِى
َف َ طر النا س عَلي ها َ لا
تبدِي َ ل
( لِ خلْقِ اللهِ ذلِ
ك الدي ن الَْقي م وَلكِ
ن َأكَْثر الناسِ َ لايعَلمو َ ن (الروم: 30
Artinya: Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah). (Tetapkanlah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.
Manusia adalah makhluk psikologis dan sekaligus sebagai
makhluk sosial. Al-Qur'an menyebut manusia dengan sebutan insan yang bermakna
psikologis bahwa manusia dianugerahi potensi kejiwaan yang paling prima.
Manusia juga disebut an-Nās yang bermakna manusia sebagai makhluk
sosial. Hal ini mengarahkan manusia untuk cerdas dalam mengoptimalkan potensi
kejiwaannya dan potensi sosial semaksimalmungkin sehingga melahirkan kecerdasan
emosional.[12]
Pengembangan
kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi manusia selaras dengan tugas
pendidikan adalah menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki
peserta didik, sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan dasar ini mencakup semua aspek yang dimiliki oleh peserta didik,
bukan hanya kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual yang perlu dibina
melainkan kecerdasan emosional perlu mendapat porsi dalam pembelajaran secara
proporsional.
Semua kecerdasan itu terintegrasi menjadi
kesatuan bukan parsial. Kecerdasan emosional juga terkait dengan potensi
manusia sebagai mahluk sosial. Manusia harus mampu menempatkan diri dan
berperan sesuai dengan statusnya dalam masyarakat dan lingkungan dimanapun manusia
itu berada. Kehidupan sosial diawali dari tingkat sosial yang terkecil, yaitu
keluarga, kerabat, tetangga, suku atau etnis, bangsa hingga ke masyarakat
dunia. Pemeliharaan dan pengembangan kecerdasan emosional sebagai salah satu
potensi manusia selaras dengan fungsi pendidikan yaitu sebagai upaya
mengembangkan semua potensi manusia secara maksimal menuju kepribadian yang
utama (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.
Aktualisasi dari
kecerdasan emosional dapat membentuk kepribadian manusia. Meskipun demikian
dalam aktualiasasinya kercerdasan emosional itu juga dipengaruhi oleh faktor
heriditas dan lingkungan, sehingga tingkat kecerdasan emosional antara manusia
sangat bervariatif. Jadi
dari pendapat para ahli di atas dapat dipahami bahwa, kecerdasan emosional
sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah
setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa
kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Karena
kecerdasan intelektual atau keterampilan kognitif bukanlah lawan dari
keterampilan kecerdasan emosional, namun keduanya berinteraksi secara dinamis,
baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata dan kecerdasan emosional tidak
begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.
Manusia dengan kecerdasan emosional
yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada pekerjaan,
mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan berpegang
pada komitmen. Makanya, orang yang kecerdasan emosionalnya bagus mampu
mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih baik. Dapat dikatakan kecerdasan
emosional merupakan kemampuan untuk mendengar suara hati sebagai sumber
informasi. Untuk pemilik kecerdasan emosional yang baik, baginya infomasi tidak
hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam
dirinya sendiri yakni suara hati. Orang yang kecerdasan emosionalnya baik dapat
memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat,
dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan
menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya.
Di samping itu, kecerdasan emosional
mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreativitas, ketahanan
mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu kecerdasan emosional
mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya seperti: percaya
diri, memotivasi diri, mengatur diri. Kemudian sikap terhadap orang lain
seperti: empati, kemampuan
memahami orang lain dan social skill
yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara
baik .
3. Faktor-faktor Kecerdasan Emosional
Keterampilan kecerdasan emosi
bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif, orang-orang yang
berprestasi tinggi memiliki keduanya. Makin kompleks pekerjaan seseorang makin
penting kecerdasan emosi. Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai
menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan mampu menggunakan
kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum.
Kecerdasan emosional bukanlah muncul
dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi dari pekerjaan hati manusia. Kecerdasan
emosional bukanlah trik-trik tentang penjualan atau menata sebuah ruangan, dan
bukan tentang memakai topeng kemunafikan atau psikologi untuk mengendalikan,
mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Berbeda dari kecerdasan
intelektual yang merupakan faktor genetik sehingga tidak dapat berubah dan
dibawa sejak lahir, kecerdasan emosional dapat disempurnakan dengan
kesungguhan, pelatihan, pengetahuan, dan kemauan.
Ada beberapa faktor utama yang harus
dimiliki oleh seseorang untuk mengoptimalkan kecerdasan emosional yang
dimiikinya, yaitu:
a. Mengenali Emosi Diri. Mengenali emosi diri sendiri
merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Para ahli
psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Kesadaran
diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati,
bila individu kurang waspada terhadap suara hati maka individu menjadi mudah
larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum
menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. [13]
b. Mengelola Emosi. Mengelola emosi merupakan
kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat
atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar
emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan
emosi. Emosi berlebihan yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan
mengoyak kestabilan kita.[14]
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang
menekan.
c.
Memotivasi
Diri Sendiri.
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif,
yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d.
Mengenali
Emosi Orang Lain.
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan
seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati
seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan
orang lain. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki
kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu
mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan
untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan. Kemampuan dalam membina hubungan
merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi.[15]
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan
membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan
sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang
yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang
apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar
pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman
yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati,
hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa
mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa
berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Dari beberapa penjelasan di atas,
orang yang memiliki kecerdasan emosional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki pengaruh: melakukan taktik
persuasi secara efektif.
b. Mampu berkomuniasi: mengirimkan
pesan secara jelas dan meyakinkan.
c. Manajemen konflik: merundingkan dan
menyelesaikan pendapat.
d. Kepemimpinan: menjadi pemandu dan
member ilham.
e. Katalisator perubahan: mengawali,
mendoroang, atau mengelola perubahan.[16]
Jika ciri-ciri dari kecerdasan
emosional di atas sudah dimiliki dengan baik oleh siswa, maka siswatersebut
akan memiliki lima ranah kecerdasan, yaitu:
a. Ranah
intrapribadi, meliputi: kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan
diri, dan aktualisasi diri.
b. Ranah
antarpribadi, meliputi: empati, tanggung jawab sosial, hubungan antarpribadi
c. Ranah
penyesuaian diri, mencakup: Uji realitas, sikap fleksibel dan pemecahan
masalah.
d. Ranah
pengendalian stress, meliputi: ketahanan menanggung stress,dan pengendalian
impuls.
e.
Ranah suasana hati umum, terdiri dari:
optimisme, kebahagiaan.
[3]John W. Santrock, Child Development, eleventh edition (Perkembangan
Anak Jilid.II, Terjemahan.Mila
Rahmawati dan Anna Kuswanti), ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 6-7.
[4] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (The ESQ way 165). (Jakarta:
Arga Publisning, 2001),h. 9.
[6] Munif Chatib, sekolahnya manusia, Sekolah Berbasis
Multiple Intellegences di Indonesia, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009),
h.74.
[7] Abdul Rahman
al-Aisu, Ilmu Nafs Fi al-Hayyah
al-Ma’ashirah, (Beirut: Dar al- Ma’arif, 1980), h. 42
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan
dan Keserasian al_quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.48
[9] Lawrence E Saphiro, How To Raise A Child With A High EQ: A
Present Guide to Emotional Intelligence (Mengajarkan Emosional Inteligensi Pada Anak, Terjemahan Alex Tri
Kantjono), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1997), h. 8.
[10] Daniel Goleman. Working With
Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, Terjemahan
Alex Tri Kantjono Widodo), (Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama 2000), h. 57.
[12] M. Quraish Shihab, Fitrah Manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir.
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 284.
[14] Ibid., h. 78-79.
[15] Ibid., h. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar