Cari Blog Ini

Kamis, 05 Juli 2018

Kecerdasan Emosional Untuk Hasil Belajar


Kecerdasan Emosional
1.      Pengertian Emosi
Setiap manusia diciptakan memiliki emosi, pada masa lampau emosi biasanya diabaikan dalam masa perkembangan anak, padahal emosi seharusnya diperhatikan sebagai panduan perkembangan anak. Berikut ini ada beberapa pendapat tentang emosi, yaitu:
a.        Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini mengisyaratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
b.      Abdul Mujib menyatakan bahwa asal kata emosi adalah movere yang berbentuk kata kerja, beradal dari bahasa latin yang berarti menggerakkan atau bergerak dan ditambah dengan huruf e emovere yang memberi arti bergerak jauh. Maksudnya adalah kecendrungan bertindak merupakan suatu hal yang mutlak dalam emosi.[1]
c.       Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[2] Kemudian Daniel Goleman mengemukakan beberapa macam bentuk emosi yang ada pada manusia, yaitu:
1)      Amarah. Sikap ini bisa terlihat dari tindakan seseorang yang beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, dan lainnya.
2)      Kesedihan. Terlihat dari keadaan seseorang yang merasa pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, dan putus asa.
3)      Rasa takut. Bisa berupa rasa cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, dan ngeri.
4)      Kenikmatan terlihat dari perasaan bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga.
5)      Cinta. Sikap ini memperlihatkan bentuk penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, dan kasih.
6)      Terkejut. Terlihat pada ekspresi terkesiap, terkejut.
7)      Jengkel, bisa berbentuk rasa hina, jijik, muak, mual, dan tidak suka.
d.      Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.  Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.
e.       Menurut John W. Santrock. Emosi sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika sesorang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya.[3]  Emosi adalah perasaan yang dialami individu sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat dikelompokkan kedalam kategori emosi seperti; marah, takut, sedih, gembira, kasih sayang dan takjub.
f.       Emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah yang terjadi dalam memberikan tanggapan (respon) terhadap suatu peristiwa. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpilkan bahwa emosi adalah gambaran perasaan atau perilaku seseorang yang terlihat sesuai dengan keadaan saat itu yang mengekspresikan kenyamanan dan ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Ekspresi perasaan dan perilaku tersebut juga bisa berupa empati,  mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,  kemampuan kemandirian,  kemampuan menyesuaikan diri, diskusi, kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
2.      Pengertian  Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Fenomena yang menampilkan banyaknya anak yang memiliki kecerdasan intelektual yang baik selama masa pendidikannya namun belum berhasil ketika menghadapi dunia kerja.
Hal ini dilatarbelakangi oleh lemahnya kecerdasan emosional yang sangat penting dalam beradaptasi di dunia kerja, seperti kemampuan dasar untuk mendengarkan orang lain, kreativitas, kepercayaan diri, motivasi, ketahanan mental terhadap kegagalan, dan lainnya. Semua itu merupakan gambaran dari kecerdasan emosional yang baik. Berikut ini, beberapa pendapat tentang kecerdasan emosional:
a.       Menurut Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan emosinal merupakan kemampuan untuk merasa, kecerdasan emosi yang merujuk pada kejujuran terhadap suara hati sendiri, yang akan menjadi pusat prinsip yang mampu member rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan.[4]
b.      Mahmud al-Zaky mengemukakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat dengan kecerdaan uluhiyyah (ketuhanan). Jika seseorang mempunyai tingkat pemahaman dan pengalaman nilai niai ketuhanan yang tinggi dalam hidupnya, maka berarti dia telah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula.[5]
c.       Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
d.      Kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.[6]
e.       Abdul Rahman al-Aisu mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan ketuhanan.[7] Di dalam al-Quran surat al-Nazi’at ayat 40-42.
M. Qhuraish Shibab menafsirkan maksud dari ayat di atas bahwa barang siapa yang takut menghadapi keadaannya pada hari kemudian dikarenakan hawa nafsunya kemudian menjadikannya takut untuk melakukan larangan Allah dan menjadikannya patuh dan taat kepadanya maka dia akan mendapatkan surganya.[8] Emosi menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
f.       Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.[9]
g.      Daniel Goleman mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan  dan tekanan lingkungan.[10]
h.      Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
i.        Kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri, emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain.[11]
Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ adalah "qalbu" . Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
Dalam surat Ar-Rum ayat 30, Allah menjelaskan mengenai fitrah manusia yang berbunyi:

َفَأقِم وج ه ك لِل دينِ حنِيًفا فِطْرَة اللهِ الَّتِى َف َ طر النا س عَلي ها َ لا تبدِي َ ل
( لِ خلْقِ اللهِ ذلِ ك الدي ن الَْقي م وَلكِ ن َأكَْثر الناسِ َ لايعَلمو َ ن (الروم: 30

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah). (Tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Manusia adalah makhluk psikologis dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Al-Qur'an menyebut manusia dengan sebutan insan yang bermakna psikologis bahwa manusia dianugerahi potensi kejiwaan yang paling prima. Manusia juga disebut an-Nās yang bermakna manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini mengarahkan manusia untuk cerdas dalam mengoptimalkan potensi kejiwaannya dan potensi sosial semaksimalmungkin sehingga melahirkan kecerdasan emosional.[12]

Pengembangan kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi manusia selaras dengan tugas pendidikan adalah menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan dasar ini mencakup semua aspek yang dimiliki oleh peserta didik, bukan hanya kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual yang perlu dibina melainkan kecerdasan emosional perlu mendapat porsi dalam pembelajaran secara proporsional.
 Semua kecerdasan itu terintegrasi menjadi kesatuan bukan parsial. Kecerdasan emosional juga terkait dengan potensi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia harus mampu menempatkan diri dan berperan sesuai dengan statusnya dalam masyarakat dan lingkungan dimanapun manusia itu berada. Kehidupan sosial diawali dari tingkat sosial yang terkecil, yaitu keluarga, kerabat, tetangga, suku atau etnis, bangsa hingga ke masyarakat dunia. Pemeliharaan dan pengembangan kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi manusia selaras dengan fungsi pendidikan yaitu sebagai upaya mengembangkan semua potensi manusia secara maksimal menuju kepribadian yang utama (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.
Aktualisasi dari kecerdasan emosional dapat membentuk kepribadian manusia. Meskipun demikian dalam aktualiasasinya kercerdasan emosional itu juga dipengaruhi oleh faktor heriditas dan lingkungan, sehingga tingkat kecerdasan emosional antara manusia sangat bervariatif. Jadi dari pendapat para ahli di atas dapat dipahami bahwa, kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual atau keterampilan kognitif bukanlah lawan dari keterampilan kecerdasan emosional, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata dan kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.
Manusia dengan kecerdasan emosional yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada pekerjaan, mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan berpegang pada komitmen. Makanya, orang yang kecerdasan emosionalnya bagus mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih baik. Dapat dikatakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik kecerdasan emosional yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Orang yang kecerdasan emosionalnya baik dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya.
Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu kecerdasan emosional mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya seperti:  percaya diri, memotivasi diri,  mengatur diri. Kemudian sikap terhadap orang lain seperti: empati, kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik .
3.      Faktor-faktor Kecerdasan Emosional
Keterampilan kecerdasan emosi bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif, orang-orang yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Makin kompleks pekerjaan seseorang makin penting kecerdasan emosi. Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan mampu menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum.
Kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi dari pekerjaan hati manusia. Kecerdasan emosional bukanlah trik-trik tentang penjualan atau menata sebuah ruangan, dan bukan tentang memakai topeng kemunafikan atau psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Berbeda dari kecerdasan intelektual yang merupakan faktor genetik sehingga tidak dapat berubah dan dibawa sejak lahir, kecerdasan emosional dapat disempurnakan dengan kesungguhan, pelatihan, pengetahuan, dan kemauan.
Ada beberapa faktor utama yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mengoptimalkan kecerdasan emosional yang dimiikinya, yaitu:
a.       Mengenali Emosi Diri. Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila individu kurang waspada terhadap suara hati maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. [13]
b.      Mengelola Emosi. Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita.[14] Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c.       Memotivasi Diri Sendiri. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d.      Mengenali Emosi Orang Lain. Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e.       Membina Hubungan. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.[15] Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
4.      Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Dari beberapa penjelasan di atas, orang yang memiliki kecerdasan emosional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Memiliki pengaruh: melakukan taktik persuasi secara efektif.
b.      Mampu berkomuniasi: mengirimkan pesan secara jelas dan meyakinkan.
c.       Manajemen konflik: merundingkan dan menyelesaikan pendapat.
d.      Kepemimpinan: menjadi pemandu dan member ilham.
e.       Katalisator perubahan: mengawali, mendoroang, atau mengelola perubahan.[16]

Jika ciri-ciri dari kecerdasan emosional di atas sudah dimiliki dengan baik oleh siswa, maka siswatersebut akan memiliki lima ranah kecerdasan, yaitu:
a.       Ranah intrapribadi, meliputi: kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.
b.      Ranah antarpribadi, meliputi: empati, tanggung jawab sosial, hubungan antarpribadi
c.       Ranah penyesuaian diri, mencakup: Uji realitas, sikap fleksibel dan pemecahan masalah.
d.      Ranah pengendalian stress, meliputi: ketahanan menanggung stress,dan pengendalian impuls.
e.       Ranah suasana hati umum, terdiri dari: optimisme, kebahagiaan.


[1] Abdul Mujib, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 320
[2] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, op cit., h.441.
[3]John W. Santrock, Child Development, eleventh edition (Perkembangan Anak Jilid.II, Terjemahan.Mila Rahmawati dan Anna Kuswanti), ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 6-7.
[4] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (The ESQ way 165). (Jakarta: Arga Publisning, 2001),h. 9.
[5] Mahmud al-Zaky, Ilmu Nafs, tathawwuruhu’, (Beirut: Dar-al-Fikr, 1984), h.203
[6] Munif Chatib, sekolahnya manusia, Sekolah Berbasis Multiple Intellegences di Indonesia, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), h.74.
[7] Abdul Rahman al-Aisu, Ilmu Nafs Fi al-Hayyah al-Ma’ashirah, (Beirut: Dar al- Ma’arif, 1980), h. 42
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al_quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.48
[9] Lawrence E Saphiro, How To Raise A Child With A High EQ: A Present Guide to Emotional Intelligence (Mengajarkan Emosional Inteligensi Pada Anak, Terjemahan Alex Tri Kantjono), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1997), h. 8.
[10] Daniel Goleman. Working With Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, Terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo), (Jakarta : PT. Gramedia  Pustaka Utama 2000), h. 57.
[11] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, op. cit., h. 442.
[12] M. Quraish Shihab, Fitrah Manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 284.
[13] Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, op. cit., h. 58-59
[14] Ibid., h. 78-79.
[15] Ibid., h. 57.
[16] Toto Tasmara,  Kecerdasan Ruhaniyah, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 229.

Tidak ada komentar: