Kepemimpinan Kepala
Sekolah
1.
Pengertian
Pemimpin memiliki peranan yang dominan dalam sebuah organisasi.
Peranan yang dominan tersebut dapat mempengaruhi moral kepuasan kerja
keamanan,kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu
organisasi.Sebagaimana dikatakan Hani Handoko bahwa pemimpin juga
memainkanperanan kritis dalam membantu kelompok organisasi, atau masyarakat
untukmencapai tujuan mereka.[1]
Bagaimanapun juga kemampuan dan ketrampilan kepemimpinan dalam pengarahan
adalah faktor penting efektifitas manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan
kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan kemampuan mengidentifikasikan
perilaku dan tehnik-tehnik kepemimpinanefektif, Kepemimpinan dalam bahasa
inggris disebut leadership berarti .being a leader power of leading .
atau the qualities of leader.[2]
Secara bahasa, makna kepemimpinan itu adalah kekuatan atau kualitas seseorang
pemimpin dalam mengarahkan apa yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan. Seperti
halnya manajemen, kepemimpinan atau leadership telah didefinisikan oleh banyak
para ahli antaranya adalah Stoner mengemukakan bahwa kepemimpinan manajerial
dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengarahkan pemberian pengaruh pada
kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang selain berhubungan dengan
tugasnya. Kepemimpinan adalah bagian penting manjemen, tetapi tidak sama dengan
manajemen.
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk
mempengaruhi orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran. Manajemen
mencakup kepemimpinan tetapi juga mencakup fungsi-fungsi lainnya seperti
perencanaan, penorganisasian , pengawasan dan evaluasi.[3]
Kepemimpinan atau leadership dalam pengertian umum menunjukkan suatu
proses kegiatan dalam hal memimpin, membimbing, mengontrol perilaku, perasaan
serta tingkah laku terhadap orang lain yang ada dibawahpengawasannya.[4]
Disinilah peranan kepemimpinan berpengaruh besar dalam pembentukan perilaku
bawahan. menurut Handoko kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi orang lain agar mencapai tujuan dan sasaran.[5]
2.
Pendekatan Kepemimpinan
Pendidikan dipandang sebagai suatu proses melalui
sistem yang terdiri dari komponen‑komponen yang saling berkaitan, dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan strategi kepemimpinan kepala sekolah.
Strategi merupakan pendekatan, cara, dan teknik yang digunakan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Selain itu, strategi juga dapat diartikan sebagai jalan
yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Sebahagian dari komponen‑komponen atau sub sistem
dari pendidikan itu di antaranya adalah pendekatan. Orientasi pendekatan
tersebut dititik beratkan kepada usaha pencapaian satu strategi dan beberapa
metode yang tepat yang dijalankan sesuai dengan langkah yang sistematik untuk
memperoleh hasil yang lebih maksimal.
Dalam kepemimpinan, terdapat berbagai pendekatan
yang dapat digunakan, di antaranya :
a. Pendekatan paedagogis dan psikologis
Menurut pendekatan ini
menuntut agar kita berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan yang
berada dalam proses perkembangan jasmani dan rohani yang memerlukan bimbingan
dan pengarahan. Maka dalam
hal ini yang berperan penting di dalamnya adalah pendidikan.
Bimbingan merupakan faktor
yang sangat menentukan terhadap bimbingan dan pengarahan terhadap perkembangan
jiwa seseorang, karena orientasi kepemimpinan adalah manusia. Sedangkan
perkembangan dan pertumbuhan harus didasarkan terhadap, perkembangan
psikologis.
Tanpa disadari dengan
pandangan psikologis, bimbingan dan arahan bimbingan serta arahan yang bernilai
psikologis tidak akan menemukan sasaran yang tepat. Artinya
antara bimbingan dan arahan yang sifatnya paedagogis secara tidak langsung
telah mengarah pada nilai‑nilai psikologis peserta didik. Dalam hal ini
paedagogis dan psikologis saling memperkokoh terhadap perkembangan lebih
lanjut.
Dalam
pelaksanaannya tidak tertutup kemungkinan adanya rintangan yang bersifat
paedagogis dalam diri seseorang. Karena sesungguhnya proses kepemimpinan dalam
mentransferkan ilmu manajemen kepada guru merupakan transfer of knowledge
selalu mengalami hambatan‑hambatan jika tidak disiasati dengan teliti. Ini
semua disebabkan karena seseorang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Di antara pendekatan yang
mendukung terlaksananya pendekatan psikologis dan paedagogis dalam kepemimpinan
adalah :
a. Pendekatan individual
Sewaktu proses kepemimpinan
berlangsung di dalam organisasi, guru sesungguhnya mempunyai gaya yang berbeda‑beda
baik cara mengajar, mengungkapkan pendapat, daya serap, tingkat kecerdasan dan
sebagainya, yang disebabkan oleh faktor jasmani dan rohaninya.
Perbedaan individual ini
memberikan gambaran bahwa dalam proses kepemimpinan, kepala sekolah harus
memperhatikan perbedaan individual yang ada dalam diri guru. Dalam hal ini dituntut kepala sekolah dapat
memainkan strategi dalam kepemimpinan, jika kepala sekolah tidak mampu
memainkan strategi yang bagus, kinerja guru tidak akan pernah jadi kenyataan.
Kepala sekolah harus mampu
menguasai hal-hal yang berkenaan dengan organisasi dengan baik dan menghidupkan
suasana, karena jika tidak maka organisasi pada waktu itu akan menjadi vakum
dan kaku. Oleh karena-nya kepala
sekolah harus bisa mensiasatinya dengan
pendekatan individual.
Di antara prosedur yang harus
dilalui adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ambo Andre Abdullah bahwa aspek kompetensi mendorong dan menggalakkan
keterlibatan siswa dalam proses kepemimpinan terdiri atas aktifitas :
1) Menggunakan prosedur
yang melibatkan guru pada setiap kegiatan sekolah
2)
Memberikan kesempatan kepada guru untuk
berprestasi
3)
Memelihara keterlibatan guru dalam
kegiatan pendidikan
Dalam kepemimpinan, kepala sekolah harus
mampu mengaktifkan guru selama proses kepemimpinan.
b. Pendekatan kelompok
Manusia pada hakekatnya adalah
homo socius yang mempunyai kecenderungan hidup bersama. Maka potensi
seperti ini haruslah ditumbuhkembangkan untuk menumbuhkan rasa jiwa sosial di
antara mereka yang tujuannya untuk mengendalikan rasa egois yang ada pada tiap
diri masing‑masing individu.
Guru di sekolah harus
dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok. Mereka akan menyadari
kekurangan yang ada dalam dirinya dan secara perlahan mereka juga akan mau
belajar dengan orang yang lebih pintar dari dirinya.
Dalam
kepemimpinan, kepala sekolah haruslah mempunyai perencanaan yang matang, karena
pendekatan kelompok harus sesuai dengan tujuan, fasilitas yang mendukung,
metode yang akan dipakai sudah dikuasai, dan bahan yang akan diberikan guru
memang cocok didekati dengan pendekatan kelompok.
Perbedaan individu guru pada
aspek biologis, intelektual dan psikologis dijadikan landasan utama pendekatan
kelompok. Dengan adanya pendekatan kelompok diharapkan guru lebih mudah lagi
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dalam proses kepemimpinan, kepala
sekolah dapat menggunakan pendekatan kelompok dengan memberikan perhatian
secara merata kepada setiap guru. Dengan kata lain, kepala sekolah tidak
membedakan guru.
c. Pendekatan
bervariasi
Ketika kepala sekolah
berhadapan dengan guru yang bermasalah, maka kepala sekolah akan dihadapkan
kepada permasalahan guru yang bervariasi. Setiap permasalahan yang dihadapi
oleh guru tidaklah sama, terkadang ada perbedaan.
Dalam melaksanakan
tugasnya, di antara guru mempunyai motivasi kinerja yang berbeda, ada guru yang
berkinerja tinggi, ada guru yang
kinerjanya rendah. Guru yang satu bergairah dalam mengajar, guru yang
lain kurang bergairah dalam mengajar.
Permasalahan yang dihadapi guru
bervariasi maka pendekatan yang digunakan pun harus bervariasi pula.
Permasalahan pendekatan bertolak dari konsepsi bahwa masalah yang dihadapi guru
bermacam-macam.
d. Pendekatan edukatif
Guru yang melakukan
kesalahan yakni mengabaikan tugasnya, misalnya dengan dipanggil di depan guru
lainnya atau dengan mengutamakan memberikan peringatan tertulis. Ini adalah
sanksi atau hukuman yang tidak bernilai pendidikan, kepala sekolah telah
melakukan pendekatan yang salah yaitu pendekatan kekuasaan, akan tetapi pendekatan
yang benar bagi kepala sekolah adalah pendekatan edukatif setiap sikap dan
tindakan yang dilakukan oleh kepala sekolah bernilai pendidikan, agar mereka
dapat menghargai nilai‑nilai norma yang sama, baik norma hukum sosial moral dan
norma agama.
Dari berbagai kasus yang
terjadi di sekolah, kepala sekolah harus melakukan pendekatan yang ada agar
kinerja guru tepat pada sasaran yang dlinginkan. Di samping kepala sekolah melakukan
pendekatan individual, kelompok dan pendekatan bervariasi sebagai sarana untuk
menunjang pendekatan itu. Pada masing‑masing pendekatan haruslah berdampingan
dengan edukatif. Dan semua pendekatan yang diberikan oleh
haruslah bernilai edukatif.
e. Pendekatan pengalaman
Pendekatan ini bertujuan agar guru
dapat menarik kesimpulan dari pengalaman yang diberikan kepala sekolah dalam
berorganisasi, terutama pengalaman berorganisasi dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan yang dilaluinya. Yang perlu dipertimbangkan dalam pendekatan ini
adalah metode meningkatkan kinerja guru berkaitan dengan pengalaman guru. Dalam proses kepemimpinan, kepala sekolah dapat menggunakan pendekatan ini
dengan memberikan kesempatan kepada guru untuk dapat menunjukkan kemampuannya.
f. Pendekatan pembiasaan
Pendekatan pembiasaan ini sangat penting
peranannya dalam proses kepemimpinan, pembiasaan yang baik dengan sendirinya akan
menuntut guru menunjukkan kinerja yang baik, sebaliknya pembiasaan yang buruk
akan membentuk kinerja guru menjadi buruk.
Pendekatan
pembiasaan yang dilakukan oleh kepala sekolah tidaklah mudah, kadang‑kadang
memerlukan waktu yang lama dalam proses kepemimpinan. Akan tetapi sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan sulit untuk mengubahnya, maka penting dalam kehidupan
dikembangkan pembiasaan yang sifatnya positif. Pendekatan
ini dilakukan dalam kepemimpinan pendidikan, karena dengan pembiasaan itulah
diharapkan guru dapat senantiasa menunjukkan kinerja yang tinggi.
g. Pendekatan emosional
Emosi adalah gejala kejiwaan
yang ada dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah perasaan,
seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik perasaan
jasmaniah ataupun rohaniyah.[7]
Di dalamnya ada perasaan
intelektual, perasaan sosial dan perasaan harga diri. Dalam kehidupan sehari‑hari,
orang yang tergugah perasaannya, emosionalnya tergugah. Orang yang emosional
adalah orang yang cepat tergugah perasaannya. Emosi atau perasaan adalah
sesuatu yang peka, emosi akan memberi tanggapan bila ada rangsangan baik
rangsangan itu sifatnya verbal atau rangsangan yang sifatnya non verbal.
Menurut Mazhahiri, emosi yang sifatnya verbal misalnya ceramah, pujian,
sindiran, ejekan, cerita, dialog, anjuran, perintah dan sebagainya. Sedangkan rangsangan non verbal dalam bentuk
prilaku berupa sikap dan perbuatan.[8]
Dalam kepemimpinan pendidikan,
pendekatan emosional sangat penting peranannya dalam meningkatkan kinerja guru.
Pendekatan emosional dalam hal ini adalah usaha dalam menggugah emosi guru dalam meyakini, memahami dan menghayati serta
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. untuk mendukung tujuan dari
pendekatan emosional ini. Penggunaan pendekatan dalam proses pembelajaran, guru
menggugah perasaan guru bahwa ia mampu melaksanakan tugas yang diberikan kepala
sekolah.
h. Pendekatan melalui nasehat
Memberi
nasehat merupakan salah satu metode pembinaan yang sangat penting dalam proses
pencapaian tujuan kepemimpinan. Dengan metode ini kepala sekolah dapat mengembangkan
pengaruh yang baik ke dalam jiwa guru dengan cara mengetuk jiwa. Bahkan dengan
metode pembinaan ini dapat mengarahkan guru kepada berbagai kebaikan dan
kemaslahatan.
Nasehat
merupakan penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan
menghindarkan orang yang dinasehati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan
yang mendatangan kebahagiaan dan manfaat.
Dalam
menyampaikan nasehat, kepala sekolah harus meng-gunakan bahasa yang lemah
lembut yang dapat menyentuh perasaan guru dan dengan nasehat yang tulus akan
berbekas dan berpengaruh ke dalam jiwanya. Dalam meningkatkan kinerja guru,
nasehat yang diberikan oleh kepala sekolah hendaknya dilaksanakan dengan cara
yang lemah lembut sehingga guru mudah menerimanya.[9]
i.
Pendekatan melalui pemberian ganjaran dan
hukuman
Pendekatan ganjaran dan hukuman diberikan kepada guru
merupakan jalan terakhir yang harus dilakukan oleh kepala sekolah. Dalam
memberikan hukuman haruslah mengandung sifat pendidikan dan hukuman baru
diberikan apabila pembinaan melalui keteladanan dan nasehat tidak mempan
digunakan. Dengan kata lain, pendekatan dengan memberikan ganjaran dan hukuman
merupakan metode pembinaan yang sebaiknya dihindarkan penggunaannya, tetapi
dalam kondisi tertentu harus digunakan.
Dalam penggunaan pendekatan ini, ada beberapa yang
harus diperhatikan kepala sekolah, yaitu :
1)
Lemah lembut dan kasih sayang, jadi tidak dengan
kebencian.
2)
Menjaga tabiat seseorang yang salah dalam
menggunakan hukuman (jangan sampai merusak dan menghancurkan hidupnya).
3)
Dalam upaya memperbaiki, hendaknya dilakukan
secara bertahap dan yang paling ringan hingga yang paling keras, dengan :
a)
Menunjukkan
kesalahan dengan pengarahan
b)
Menunjukkan
dengan keramah-tamahan.
c)
Menunjukkan
kesalahan dengan memberi isyarat.
d)
Menunjukkan
kesalahan dengan memberi isyarat.
e)
Menunjukkan
kesalahan dengan kecaman.
f) Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan
setelah diperingati berkali-kali.
Dalam
proses pembelajaran, kepala sekolah dapat menggunakan pendekatan pemberian
ganjaran dan hukuman manakala pendekatan ini pantas dan patut digunakan.
Misalnya; kepala sekolah menegur guru yang tidak masuk mengajar ketika
seharusnya guru mengajar, setelah ditegur dan dinasehati beberapa kali namun guru
tidak mengindahkan nasehat kepala sekolah.
j.
Pendekatan keagamaan
Sedangkan orientasi dan
pendekatan keagamaan ini adalah mencari keridhaan Allah SWT, karena di samping
seorang murid, siswa juga adalah makhluk Tuhan yang harus mengabdi kepada Nya,
baik pengajaran itu sifatnya ritual keagamaan atau sosial kemasyarakatan.
Pendekatan keagamaan
didasarkan kepada pandangan religius yang berpendapat bahwa, pertama,
tiap manusia adalah makhluk ber-ketuhanan yang mampu mengembangkan dirinya
menjadi manusia yang bertaqwa dan taat kepada Allah Swt. Kedua, proses
pendidikan diarahkan pada proses terbentuknya manusia yang dedikatif kepada
Allah yang menyerahkan dirinya secara total kepada Allah Swt. Ketiga,
proses pendidikan harus diisi dengan materi pelajaran yang mengandung nilai
spiritual. Keempat, strategi operasionalisasinya adalah meletakkan
manusia didik berada dalam proses pendidikan sepanjang hayat dari sejak lahir
sampai meninggal dunia.[11]
Penggunaan pendekatan
keagamaan dalam memimpin lembaga pendidikan dapat dilakukan dengan membawa guru
kepada nilai-nilai agamis, yang dapat membawa guru tunduk dan patuh kepada
Allah.
Selain
menggunakan pendekatan di atas, kepemimpinan kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas
sekolah juga dapat menggunakan pendekatan berikut ini, di antaranya :
a. Pendekatan otoriter
Pendekatan
otoriter memandang bahwa manajerial pendidikan sebagai suatu pendekatan
pengendalian perilaku guru. Pendekatan ini menempatkan kepala sekolah dalam
peranan menciptakan dan memelihara ketertiban
sekolah dengan menggunakan
strategi pengendalian. Kepala sekolah bertanggung jawab mengendalikan perilaku
guru karena kepala sekolah yang paling mengetahui dan berurusan dengan
bawahannya. Tugas ini dilakukan kepala sekolah dengan menciptakan dan
menjalankan pertauran dan hukum.
Pendekatan
otoriter bukanlah pendekatan yang bersifat bertindak secara tegas, merendahkan
guru dan bertindak kasar. Akan tetapi pendekatan otoriter adalah pendekatan
yang bertujuan dalam rangka penegakan disiplin dan meningkatkan kinerja.
b. Pendekatan intimidasi
Pedekatan
intimidasi adalah pendekatan yang mengandung manajemen sekolah sebagai proses
pengendalian tingkah laku guru. Berbeda dengan pendekatan otoriter yang
menekankan perilaku yang manusiawi. Pendekatan ini menuntut peranan kepala
sekolah untuk mampu membantu guru memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan
kata lain, pendekatan ini menekankan peranan kepala sekolah sebagai pembimbing
terhadap guru, di mana kepala sekolah membimbing dan menuntun guru untuk mampu
memecahkan masalah yang dihadapinya.
c. Pendekatan permisif
Pendekatan
permisif adalah pendekatan yang menekankan kebebasan guru, karena pendekatan
ini akan dapat membantu perkembangan guru secara wajar. Campur tangan kepala
sekolah hendaknya seminimal mungkin, dan berperan sebagai pendorong
mengembangkan potensi dan meningkatkan kinerja guru. Namun dalam pendekatan ini
kepala sekolah perlu menyarankan guru untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat,
misalnya diskusi bersama.
d. Pendekatan
instruksional
Pendekatan
instruksional didasarkan kepada suatu anggapan bahwa dalam suatu pemecahan
masalah dan pelaksanaan akan mencegah munculnya masalah tingkah laku guru dan
memecahkan masalah itu bila tidak bisa dicegah. Pendekatan ini mengajarkan
tingkah laku kepala sekolah dan menghentikan tingkah laku guru yang kurang pada
tempatnya.
Peranan
kepala sekolah dalam pendekatan ini adalah merencanakan dan
mengimpelementasikan pengembangan dan peningkatan kinerja guru dengan baik.
e. Pendekatan pengubahan
perilaku
Pendekatan
pengubahan perilaku adalah pengubahan perilaku yang tidak baik menjadi baik,
perilaku yang kurang wajar menjadi wajar. Misalnya apabila guru kurang
memperhatikan nasehat kepala sekolah pada waktu rapat, maka dalam hal ini
kepala sekolah melakukan pendekatan dengan cara yang bijaksana bagaimana guru
dapat meningkatkan perhatiannya.
f. Pendekatan
sosio-emosional
Menurut
pendekatan ini, lembaga pendidikan merupakan suatu proses menciptakan iklim dan
suasana emosional dan hubungan sosial yang positif, artinya ada hubungan timbal
balik antara kepala sekolah dan guru, antara guru dengan staf dan dengan anak
didik. Dalam pendekatan ini akan muncul kerja sama baik antara kepala sekolah
dengan guru maupun antara guru dengan guru lainnya.
Peranan
kepala sekolah dalam hal ini adalah menciptakan hubungan pribadi yang sehat,
yang akhirnya secara ototmatis mendorong peningkatan kinerja guru. Pendekatan
ini dikenal dengan konsep menciptakan persaudaraan di antara sesama.
Dalam
menigkatkan kualitas guru dan pegawai di sekolah, perlu dipahami bahwa setiap pemimpin bertanggung
jawab mengarahkan apa yang baik bagi guru dan pegawainya, dan dia
sendiri harus berbuat baik. Dalam meningkatkan kinerja
guru, kepala sekolah sebagai pimpinan harus memiliki berbagai kemampuan dalam menggunakan berbagai strategi diantaranya :
a. Pembinaan disiplin
Seorang
pemimpin harus mampu menumbuhkan disiplin, terutama disiplin diri. Dalam kaitan
ini, pemimpin harus mampu membantu pegawai mengembangkan pola dan meningkatkan
standar perilakunya, serta menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin.
Disiplin merupakan sesuatu yang penting untuk menanamkan rasa hormat terhadap
kewenangan, menamkan kerjasama, dan merupakan kebutuhan untuk berorganisasi,
serta untuk menanamkan rasa hormat terhadap orang lain.
Peningkatan
kinerja guru perlu dimulai dengan sikap demokratis. Oleh karena itu dalam membina
disiplin perlu berpedoman pada sikap tersebut, yakni dari, oleh dan untuk
pegawai.
b. Peningkatan motivasi
Motivasi
merupakan perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling
dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.[12]
Motivasi merupakan salah faktor yang turut menentukan
keefektifan kerja. Para pegawai akan bekerja dengan sungguh-sungguh apabila
memiliki motifasi yang tinggi. Apabila pegawai memiliki motivasi yang positif, ia akan
memperlihatkan minat, mempunyai perhatian, dan ikut serta dalam suatu tugas
atau kegiatan. Dengan kata lain, seorang pegawai akan melakukan semua
pekerjaannya dengan baik apabila ada
faktor motivasi. Dalam kaitan ini pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan
membangkitkan motifasi para pegawai sehingga kinerja mereka meningkat.
Ada
dua jenis motivasi yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri seseorang sedangkan
motivasi
ekstrinsik adalah motivasi yang datang dari luar diri seseorang.
Berdasarkan
pengertian di atas, terdapat beberapa prinsip yang dapat diterapkan untuk
memotivasi guru agar mau dan mampu meningkatkan kinerjanya, di antaranya guru akan
bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan.
Tujuan
kegiatan harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada guru sehingga mengetahui
tujuan bekerja. Guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut. Guru
harus selalu diberitahu tentang hasil pekerjaannya dan pemberian hadiah lebih
baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan. Manfaatkan
sikap-sikap, cita-cita, dan rasa ingin tahu pegawai.
c. Memberikan penghargaan
Penghargaan
sangat penting untuk meningkatkan kegiatan yang produktif dan mengurangi
kegiatan yang kurang produktif. dengan penghargaan, guru akan terangsang untuk
meningkatkan kinerja yang positif dan produktif. pengharaan ini akan bermakna
apabila dikaitkan dengan prestasi guru secara terbuka sehingga setiap guru memiliki
peluang untuk meraihnya. Penggunaan penghargaan ini perlu dilakukan secara
tepat, efektif, dan efisien agar tidak menimbulkan dampak negatif.
Selain menggunakan berbagai
pendekatan di atas, kepala sekolah juga dapat menggunakan strategi atau
pendekatan lain dalam meningkatkan mutu sekolah, di antaranya :
a. Pendekatan Sifat
Pendekatan sifat mencoba menerangkan
sifat-sifat yang membuat seseorang berhasil. Pendekatan bertolak dari asumsi
bahwa individu merupakan pusat kepemimpinan. Kepemimpinan dipandang sebagai
sesuatu yang mengandung lebih banyak unsur individu. Penganut pendekatan ini
berusaha mengidentifikasikan sifat-sifat kepribadian yang dimiliki oleh
pemimpin yang berhasil dan tidak berhasil.
Pendekatan
sifat berpendapat bahwa terdapat sifat-sifat tertentu, seperti kekuatan fisik
atau keramahan yang esensial, pada kepemimpinan yang efektif. Sifat-sifat yang
tak terpisahkan ini seperti intelegensi, dianggap bisa dialihkan dari satu
situasi ke situasi lain. Karena tidak semua orang memiliki sifat-sifat ini,
hanyalah mereka yang memiliki ini yang bisa dipertimbangkan untuk menempati
kedudukan kepemimpinan.
Dengan
demikian ada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat bawaan yang
membedakannya dari yang bukan pemimpin. Pendekatan ini menyarankan beberapa
syarat yang harus dimiliki pemimpin yaitu : 1) kekuatan fisik dan susunan
syaraf, 2) penghayatan terhadap arah dan tujuan, 3)antusiasme, 4)
keramah-tamahan, 5) integritas, 6) keahlian teknis, 7) kemampuan mengambil
keputusan, 8) intelegensi, 9) keterampilan memimpin, 10) kepercayaan.
b. Pendekatan perilaku
Setelah
pendekatan sifat kepribadian tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan,
perhatian para pakar berbalik dan engarahkan studi mereka kepada perilaku
pemimpin. Studi ini memfokuskan dan mengidentifikasi perilaku yang khas dari
pemimpin dalam kegiatannya mempengaruhi orang lain.
c. Pendekatan Situasional
Pendekatan
situasional berpandangan bahwa keefektifan kepemimpinan bergantung pada
kecocokan antara pribadi, tugas, kekuasaan, sikap, dan persepsi.[13]
Pendekatan situasional hampir sama dengan dengan pendekatan prilaku, keduanya menyoroti
perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu.
Menurut
pandangan perilaku, dengan mengkaji kekepimpinan dari beberapa variabel yang
mempengaruhi perilaku akan memudahkan menentukan gaya kepemimpinan yang paling
cocok. Pendekatan ini menitikberatkan pada berbagai gaya kepemimpinan yang
paling efektif diterapkan pada situasi tertentu.
Berbagai
pendekatan dalam kepemimpinan kepala sekolah sebagaimana dikemukakan di atas
merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan kepala sekolah untuk meningkatkan
kinerja guru.
3. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah
teori kepemimpinan dari pendekatan perilaku pemimpin. Dari satu segi pendekatan
ini masih difokuskan lagi pada gaya kepemimpinan (leadership style),
sebab gaya kepemimpinan bagian dari pendekatan perilaku pemimpin yang
memusatkan perhatian pada proses dinamika kepemimpinan dalam usaha mempengaruhi
aktivitas individu untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu situasi tertentu.
Gaya kepemimpinan ialah pola-pola perilaku
pemimpin yang digunakan untuk mempengaruhi aktuivitas orang-orang yang dipimpin
untuk mencapai tujuan dalam suatu situasi organisasinya dapat berubah bagaimana
pemimpin mengembangkan program organisasinya, menegakkan disiplin yang sejalan
dengan tata tertib yang telah dibuat, memperhatikan bawahannya dengan
meningkatkan kesejahteraanya serta bagaimana pimpinan berkomunikasi dengan
bawahannya.
Para peneliti telah mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yaitu
gaya dengan orientasi tugas (Task Oriented) dan gaya dengan orientasi
karyawan (Employee Oriented).[14] Manajer
berorientasi tugas mengarahkan dan mengawasi bawahan secara tertutup untuk
menjamin bahwa tugas dilaksanakan sesuai yang diinginkannya. Manajer dengan
gaya kepemimpinan ini lebih memperhatikan Sifat-sifat Perilaku Situasional
Contingency, pelaksanaan pekerjaan dari pada pengembangan dan pertumbuhan
karyawan. Sedangkan manajer berorientasi karyawan mencoba untuk lebih
memotivasi bawahan dibanding mengawasi mereka. Mereka mendorong para anggota kelompok
untuk melaksanakan tugas-tugas dengan memberikan kesempatan bawahan untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan suasana persahabatan
serta hubungan-hubungan saling mempercayai dan menghormati dengan para anggota
kelompok.[15]
Gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan bawahan dalam mengambil keputusan,
akan mengakibatkan bawahan merasa tidak diperlukan, karena pengambilan
keputusan tersebut terkait dengan tugas bawahan sehari-hari. Pemaksaan kehendak
oleh atasan mestinya tidak dilakukan. Namun pemimpin dalam menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat merupakan tindakan yang bijaksana kepada bawahan, maka
akan terjadi kegagalan dalam pencapaian tujuan organisasi.
Selanjutnya gaya kepemimpinan digunakan dalam berinteraksi dengan bawahannya,
melalui berinteraksi ini antara atasan dan bawahan masing-masing memilki status
yang berbeda. Berinteraksinya dua status yang berbeda terjadi, apabila status
pemimpin dapat mengerti keadaan bawahannya. Pada umumnya bawahan merasa
dilindungi oleh pimpinan apabila pimpinan dapat menyejukkan hati bawahan terhadap
tugas yang dibebankan kepadanya. Cara berinteraksi oleh pimpinan akan
mempengaruhi tujuan organisasi. Bawahan umumnya lebih senang menerima atasan
yang mengayomi bawahan sehingga perasaan senang akan tugas timbul, yang pada
akhirnya meningkatkan kinerja karyawan.
Pemimpin yang bijaksana umumnya lebih memperhatikan kondisi bawahan guna
pencapaian tujuan organisasi. Gaya yang akan digunakan mendapat sambutan hangat
oleh bawahan sehingga proses mempengaruhi bawahan berjalan baik dan disatu sisi
timbul kesadaran untuk bekerja sama dan bekerja produktif.Bermacam-macam cara
mempengaruhi bawahan tersebut guna kepentingan pemimpin yaitu tujuan
organisasi.
Pimpinan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan pada tugas
dan fungsi, melalui proses komunikasi dengan bawahannya sebagai dimensi dalam kepemimpinan
dan teknik-teknik untuk memaksimalkan pengambilan keputusan.
Pola dasar terhadap gaya kepemimpinan yang lebih mementingkan pelaksanaan
tugas oleh para bawahannya, menuntut penyelesaian tugas yang dibebankan padanya
sesuai dengan keinginan pimpinan. Pemimpin menuntut agar setiap anggota seperti
dirinya, menaruh perhatian yang besar dan keinginan yang kuat dalam melaksanakn
tugas-tugasnya. Pemimpin beranggapan bahwa bila setiap anggota melaksanakn tugasnya
secara efektif dan efisien, pasti akan dicapai hasil yang diharapkan sebagai
penggabungan hasil yang dicapai masing-masing anggota.
Gaya kepemimpinan yang berpola untuk mementingkan pelaksanaan kerjasama,
pemimpin berkeyakinan bahwa dengan kerjasama yang intensif, efektif, dan
efisien, semua tugas dapat dilaksanakan secara optimal. Pelaksanakan dan
bagaimana tugas dilaksanakan berada diluar perhatian pemimpin, karena yang
penting adalah hasilnya bukan prosesnya. Namun jika hasilnya tidak seperti yang
diharapkan, tidak ada pilihan lain, selain mengganti pelaksananya tanpa menghiraukan
siapa orangnya. Pola dasar ini menggambarkan kecenderungan, jika dalam
organisasi tidak ada yang mampu, mencari pengganti dari luar meskipun harus
menyewa serta membayar tinggi.
Pemimpin hanya membuat beberapa keputusan penting pada tingkat
tertinggi dengan pemahaman yang konseptual. Pemimpin yang efektif dalam
organisasi menggunakan desentralisasi dalam membuat keputusannya. Hal tersebut memberikan
kewenangan pada bawahan serta melaksanakan sharing dalam memutuskan suatu keputusan.
a. Gaya dalam Pendekatan Perilaku Kepemimpinan
Prilaku kepemimpinan cenderung diekspreikan dalam dua gaya kepemimpinan
yang berbeda. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada karyawan.[16]
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas menekankan pada pengawasan yang
ketat. Dengan pengawasan yang ketat dapat dipastikan bahwa tugas yang diberikan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gaya kepemimpinan ini lebih menekankan pada
tugas dan kurang dalam pembinaan karyawan. Sedangakan gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada karyawan, mengutamakan untuk memotivasi dari mengontrol
bawahan, dan bahkan dalam beberapa hal bawahan ikut berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang terkait dengan bawahan.
Kedua gaya kepemimpinan tersebut, dapat dirasakan oleh bawahan secara
langsung ketika pimpinan berinteraksi dengan bawahannya. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang
berbeda, karena banyak factor yang
mempengaruhinya. Bawahan pada umumnya cenderung lebih menyukai gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan atau bawahan, karena merasa lebih
dihargai dan diperlakukan secara manusiawi, memanusiakan manusia sehingga kan
mempengaruhi tingkat produktivitas kerja dan kepuasan kerja karyawan. Gaya
kepemimpinan yang berorintasi pada
tugas, lebih menekankan pada penyelesaian tugas-tugas yang dibebankan pada
karyawan. Pimpinan pada umunya lebih memperhatikan hasil daripada proses.
Keadaan tersebut membentuk kondisi tempat kerja menjadi kurang kondusif, karena
masing-masing karyawan berkonsentrasi pada tugas yang harus diselesaikan karena
terikat waktu dan tanggungjawab.
b. Gaya
Managerial Grid
Menurut Blake dan Mountoun, ada empat gaya kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai gaya yang ekstrem[17],
sedangkan lainnya hanya satu gaya yang ditengah-tengah gaya ekstrem tersebut.
Gaya kepemimpinan dalam managerial grid yaitu: (1) Manajer tim yang
nyata (the real team manager), (2) Manajemen club (the country club
management), (3) Tugas secara otokratis (authocratic task managers),
dan (4) Manajemen perantara(organizational man management).
c. Teori Kepemimpinan Situasional
Dalam mengembangkan teori kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard
mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif berbeda-beda sesuai
dengan kematangan bawahan. Kematangan atau kedewasaan bukan sebagai sebatas
usia atau emosional melainkan sebagai keinginan untuk menerima tanggungjawab,
dan kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas. Hubungan antara
pimpinan dan bawahan bergerak melalui empat tahap yaitu: (a) hubungan tinggi
dan tugas rendah, (b)tugas rendah dan hubungan rendah, (c) tugas tinggi dan
hubungan tinggi, dan (d) tugas tinggi dan hubungan rendah.
Pimpinan perlu mengubah gaya kepemimpinan sesuai dengan perkembangan
setiap tahap, dan pada gambar di atas terdapat empat tahap. Pada tahap awal,
ketika bawahan pertama kali memasuki organisasi, gaya kepemimpina yang
berorientasi tugas paling tepat. Pada tahap dua, gaya kepemimpina yang
berorientasi tugas masih penting karena belum mampu menerima tanggungjawab yang
penuh. Namun kepercayaan dan dukungan pimpinan terhadap bawahan dapat meningkat
sejalan dengan makin akrabnya dengan bawahan dan dorongan yang diberikan kepada
bawahan untuk berupaya lebih lanjut. Sedangkan pada tahap ketiga, kemampuan dan
motivasi prestasi bawahan meningkat, dan bawahan secara aktif mencari tanggungjawab
lebih besar, sehingga pemimpin tidak perlu lagi bersifat otoriter. Dan pada
tahap empat (akhir), bawahan lebih yakin dan mampu mengarahkan diri,
berpengalaman serta pimpinan dapat mnegurangi jumlah dukungan dan dorongan.
Bawahan sudah mampu berdiri sendiri dan tidak memerlukan atau mengharapkan
pengarahan yang detil dari pimpinannya. Pelaksanaan gaya kepemimpinan
situasional sangat tergantung dengan kematangan bawahan, sehingga perlakuan
terhadap bawahan tidak akan sama baik dilihat dari umur atau masa kerja.
d. Gaya Kepemimpinan Fiedler
Di sini Fiedler mengembangkan suatu model yang dinamakan model Kontingensi
Kepemimpian yang Efektif(A Contingency Model of Leadership Effectiveness)
berhubungan anatar gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan. Adapun
situasi yang menyenangkan itu diterangkan dalam hubungannya dengan
dimensi-dimensi sebagai berikut:
1) Derajat situasi dimana
pemimpin menguasai, mengendalikan dan mempengaruhi situasi.
2) Derajat situasi yang menghadapkan manajer
dengan tidak kepastian.[18]
Gaya kepemimpinan diatas, sama dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada karyawan dan berorientasi pada tugas, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Fiedler mengukur gaya
kepemimpinan dengan skala yang menunjukan tingkat seseorang menguraikan secara
menguntungkan atau merugikan rekan sekerjanya yang paling tidak disukai (LPC,
Least Preferred Co-worker), karyuawan yang hampir tidak dapat diajak
bekerjasama dengan orang tadi. Dalam hal ini ditentukan delapan kombinasi yang
mungkin dari tiga variabel dalam situasi kepemimpinan tersebut dapat menunjukan
hubungan antara pemimpin dengan anggota dapat baik atau buruk, tugas dapat struktur,
dan kekuasaan dapat kuat atau lemah. Pemimpin dengan LPC rendah yang
berorientasi tugas atau otoriter paling efekif dalam situasi ekstrem, pemimpin
mempunyai kekuasaan dan pengaruh amat besar atau mempunyai kekuasaan dan
pengaruh amat kecil.
b.
Gaya
Kepemimpinan Kontinum.
Tannenbaum dan Schmidt mengusulkan bahwa, seorang manajer perlu mempertimbangkan
tiga perangkat kekuatan sebelum memilih gaya kepemimpinan yaitu: kekuatan yang
ada dalam diri manajer sendiri, kekuatan yang ada pada bawahan, dan kekuatan
yang ada dalam situasi.
Sehubungan dengan teori
tersebut terdapat tujuh tingkat hubungan pemimpin dengan bawahan yaitu: (1)
manajer mengambil keputusan dan mengumumkannya, (2) manajer menjual keputusan,
(3) manajer menyajikan gagasan dan mengundang pertanyaan, (4) manajer
menawarkan keputusan sementara yang masih diubah, (5) manajer menyajikan
masalah, menerima saran, membuat keputusan, (6) manajer menentukan batas-batas,
meminta kelompok untuk mengambil keputusan, dan (7) manajer membolehkan bawahan
dalam batas yang ditetapkan atasan.
f. Gaya Kepemimpinan menurut Likert
Menurut Likert, bahwa pemimpin itu dapat berhasil jika bergaya participative
management, yaitu keberhasilan pemimpin adalah jika berorientasi pada
bawahan, dan mendasarkan komunikasi.[19] Selanjutnya
ada empat sistem kepemimpinan dalam manajemen yaitu sebagai berikut:
1)
Sistem 1,
dalam sistem ini pemimpin bergaya otoriter (ekspoitiveauthoritive). Pemimpin
hanya mau memperhatikan pada komunikasi
yang turun ke bawah, dan hanya membatasi proses pengambilan keputusan di
tingkat atas saja.
2)
Sistem 2,
dalam sistem ini pemimpin dinamakan otokratis yang baik hati (benevalent
autthoritive). Pemimpin mempunyai kepercayaan yang terselubung, percaya
kepada bawahan, mau memotivasi dengan hadiah-hadiah tetapi bawahan merasa tidak
bebas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan tugas pekerjaannya
dengan atasannya.
3)
Sistem 3,
dalam sistem ini gaya kepemimpinan yang konsultatif. Pemimpin menentukan
tujuan, dan mengemukakan pendapat berbagai ketentuan yang bersifat umum,
sesudah melalui proses diskusi dengan para bawahan. Bawahan di sini merasa
sedikit bebas untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan tugas pekerjaan
bersama atasannya.
4)
Sistem 4,
dalam sistem ini dinamakan pemimpin yang bergaya kelompok berparsipatif (participative
group). Karena pemimpin dalam penentuan tujuan dan pengambilan keputusan
ditentukan bersama. Bawahan merasa secara mutlak mendapat kebebasan untuk membicarakan
sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya bersama atasannya.
Dari keempat sistem diatas, sistem ke 4 mempunyai kesempatan untuk sukses
sebagai pemimpin, karena mempunyai organisasi yang lebih produktif.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud
dengan gaya kepemimpinan dalam tulisan ini adalah penilaian karyawan terhadap
gaya kepemimpinan pemimpin atau atasan dalam mempengaruhi bawahan untuk
mencapai tujuan organisasi yang mencakup ke dalam tiga aspek yaitu: gaya
kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas, gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada bawahan, dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tingkat
kematangan bawahan. Gaya kepemimpinan pada tugas terdiri dari empat indikator
yaitu: (1) Pengawasan yang ketat, (2) pelaksanaan tugas, (3) memberi petunjuk,
dan (4) mengutamakan hasil daripada proses. Gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada bawahan terdiri dari empat indikator yaitu: (1) melibatkan bawahan dalam
pengambilan keputusan, (2) memberi dukungan, (3) kekeluargaan, dan (4)
kerjasama. Dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tingkat kematangan
bawahan terdiri dari empat indikator yaitu: (1) ketekunan bekerja, (2) aktif,
(3) pengalaman
g. Kepemimpinan Transformasional Dalam MBS
Dalam Undang-Undang No.25 tahun 2000 tentang program pembangunan
nasional 2000-2004 untuk sektor pendidikan disebutkan akan perlunya pelaksanaan
manajemen otonomi pendidikan. Perubahan manajemen pendidikan dari sentralistik
ke disentralistik menuntut proses pengambilan keputusan pendidikan menjadi
lebih terbuka, dinamik dan demokratis. Untuk pendidikan dasar dan menengah,
proses pengambilan keputusan yang otonom seperti itu dapat dilaksanakan secara
efektif dengan menerapkan MBS. Dalam melaksanakan MBS menurut Komite Reformasi
Pendidikan, kepala sekolah perlu memiliki kepemimpinan yang kuat, partisipatif,
dan demokratis.
Kepemimpinan transformasional dapat dicirikan dengan adanya proses untuk
membangun komitmen bersama terhadap sasaran organisasi dan memberikan
kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran. Dalam kepemimpinan
transformasional menurut Burns, pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran dari
para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang
lebih tinggi dan nilai-nilai moral. Masih menurut Burns, kepemimpinan transformasional
berbeda dengan kepemimpinan transaksional yang didasarkan atas kekuasaan
birokratis dan memotivasi para pengikutnya demi kepentingan diri sendiri.
Kepemimpinan transformational mampu mentransformasi dan memotivasi para
pengikutnya dengan cara; (1) membuat mereka sadar mengenai pentingnya suatu pekerjaan,(2)
mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan diri
sendiri, dan (3) mengaktifkan kebutuhankebutuhan pengikut pada tarap yang lebih
tinggi. Tipe kepemimpinan transformasional dapat sejalan dengan fungsi
manajemen model MBS.Pertama, adanya kesamaan yang paling utama, yaitu jalannya
organisasi yang tidak digerakkan oleh birokrasi, tetapi oleh kesadaran bersama.
Kedua, para pelaku mengutamakan kepentingan organisasi bukan kepentingan
pribadi.Ketiga, adanya partisipasi aktif dari pengikut atau orang yang
dipimpin.
[6] Amvo Andre Abdullah, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Bandung :
Sinar Maju, 2008), h. 54
[7] Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta : Bina Aksara, 2004),
h. 76
[8] Husain Mazhahiri, Kepemimpinan (Tinjauan Agamis), (Surabaya
: Usaha Nasional, 2009), h. 32
[9] Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Aneka
Ilmu, 2001), h. 87
[10] Abdullah Nasih Ulwan, Kepemimpinan yang Bermasyarakat,
(Semarang : Aneka Ilmu, 2004), h. 48
[11] Ibid., h. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar