. Teori-teori
Pembelajaran
Berdasarkan perkembangan yang ada hingga saat ini,
paling kurang ada empat macam teori pembelajaran.[1] Keempat macam teori ini dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1) Teori
Constructivism
Teori ini lahir sebagai akibat dari ketidakpuasan
terhadap penemuan para ahli sebelumnya yang mengatakan bahwa belajar sebagai
proses hubungan stimulus-respons-reinforcement. Teori ini dibangun atas
beberapa teori kognitif yang meliputi teori belajar Gestalt, cognitif
field, cognitif development, discovery, dan teori belajar humanitis. Dengan
demikian, teori constructism ini termasuk teori yang paling kokoh, lengkap dan
utuh. [2]
Teori constructism beranggapan bahwa pengetahuan yang
dimiliki manusia adalah hasil konstruksi dan usaha manusia sendiri. Pengetahuan
bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang
diciptakan oleh seseorang yang mempelajarinya. Seseorang yang melakukan
kegiatan pembelajaran adalah seseorang yang sedang membentuk pengertian.
Belajar dalam teori constructism adalah merupakan
proses aktif peserta didik untuk merekonstruksi makna dengan cara memahami
teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik, dan sebagainya. Belajar merupakan
proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari
dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.
Dengan mengacu kepada teori belajar teori constructism
ini, maka pembelajaran constructism memiliki ciri-ciri : a) menghargai dan
menerima eksplorasi pengetahuan siswa, b) memerhatikan ide dan problem yang
dimunculkan oleh peserta didik dan menggunakannya sebagai bagian dalm merancang
pembelajaran, c) memberikan peluang kepada para siswa untuk menemukan
pengetahuan baru melalui proses pelibatan dalam dunia, d) menciptakan proses inquiry peserta didik
melalui kajian dan eksperimen, e) merangsang peserta didik untuk berdialog
dengan sesama peserta didik lainnya dan juga dengan guru, f) menganggap proses
pembelajaran sama pentingnya dengan hasil, g) memerhatikan sikap dan pembawaan
peserta didik, h) mendorong terbentuknya pembelajaran secara koperatif, i)
memerhatikan dan mengapresiasi hasil kajian peserta didik terhadap sesuatu
masalah, dan j) para peserta didik membangun pemahamannya sendiri dari hasil
belajarnya, bukan karena hasil yang diajarkan guru.[3]
2) Teori
Operant Conditioning
Kata ”operant” berasal dari bahasa Inggris yang dapat
diartikan, sebagai sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek terhadap
lingkungan yang dekat. Sedang kata ”conditioning”, dapat diartikan sebagai
sebuah keadaan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, kata
”operant conditioning” dapat diartikan sebagai keadaan atau lingkungan yang
dapat memberikan efek kepada orang yang berada di sekitarnya, Tidak sebagaimana
responding conditioning yang responnya datang melalui
stimulus tertentu, pada operant opening, respopns yang terjadi
tanpa didahului oleh stimulus tertentu, melainkan yang ditimbulkan oleh efek reinforce, yaitu sejumlah stimulus
yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu yang diadakan
tanpa sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya.[4]
Dalam kegiatan pembelajaran, operant conditioning
menjamin respons-respons terhadap stimulasi. Apabila peserta didik tidak
menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulasi, maka pendidik tidak mungkin dapat
membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior.[5] Dalam keadaan demikian, pendidik
berperanan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan
belajar kearah tercapainya tujuan yang ditentukan.
Menurut Martinis Yamin – sebagaimana dikutip Abuddin
Nata – mengatakan bahwa dalam dalam hubungannya dengan pembelajaran di kelas,
tanggapan-tanggapan dapat diamati. Misalnya, ketika peserta didik secara
spontan menjawab pertanyaan yang diberikan pendidik, maka reinforcer terhadap respons itu mungkin
timbul dalam bentuk diberi giliran oloeh guru. Selanjutnya, bila respons yang
muncul berupa jawaban atas pertanyaan, maka reinforcer
yang berupa
catatan guru dapat dikemukakan dalam bentuk ”bagus, benar sekali”, dan
sebagainya.[6]
Dengan demikian kegiatan operant
conditioning ini pada dasarnya adalah merupakan sebuah upaya menciptakan lingkungan
yang memungkinkan timbulnya inisiatif pada peserta didik untuk melakukan
kegiatan belajar. Kondisi lingkungan ini harus diciptakan oleh guru, dan setiap
respons yang diberikan peserta didik terhadap lingkungan tersebut harus
diberikan apresiasi yang pantas dan memuaskan peserta didik.
3) Teori
Conditioning
Secara harfiah, conditioning berarti penciptaan
keadaan. Teori ini di kembangkan oleh Ivan Paplop (1849-1936) dengan
berdasarkan pada hasil percobaan dengan menggunakan anjing, Berdasarkan
percobaan ini, Paplov merumuskan teori belajar sebagai berikut ; a) bahwa suatu
perbuatan atau refleks dapat dipindahkan ke perbuatan atau refleks yang lainnya,
b) hahwa belajar erat kaitannya dengan prinsip penguatan kembali, atau dengan
kata lain, bahwa pengulangan dalam hal belajar adalah penting dilakukan.[7]
Dalam perkembangan selanjutnya E.R. Guthrie
(1886-1959), memperluas teori ini dengan menggunakan prinsip ”the law of
association” dalam belajar, yaitu bahwa sebuah kombinasi stimulasi yang telah
menyertai suatu gerakan cenderung akan menimbulkan gerakan itu apabila
kombinasi stimulasi itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika seseorang
mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama, ia
akan mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama,
ia akan mengerjakan lagi perbuatan yang serupa. Berdasarkan teori ini, maka
dalam belajar diperlukan adanya reward dan kedekatan antara
stimulus dan respons.
Dalam kaitannya dengan hukuman (funishment) teori ini mengatakan,
bahwa hukuman itu sifatnya netral, tidak baik dan tidak buruk. Efektif atau
tidaknya sebuah hukuman amat bergantung pada efek dari hukuman tersebut
terhadap peserta didik yang dalam mengambil bentuk apakah dengan hukuman
tersebut menyebabkan murid mau belajar atau
tidak.[8]
4) Teori
Connectionism
Teori pembelajaran ini ditemukan oleh Edward L.
Thorndike (1874-1949). Menurut teori ini, bahwa belajar pada dasarnya merupakan
sebuah proses asosiasi antara kesan pancaindra (sense of
impressions) dengan impuls (tekanan) untuk bertindak (impuls
to action).
Asosiasi yang demikian itu direncanakan sedemikian rupa yang disebut dengan
”connecting”. Dengan ungkapan lain, bahwa pada dasarnya belajar itu adalah
suatu proses pembentukan hubungan yang intens dan interaktif antara stimulus
dan respons, atau antara aksi dan reaksi. Hubungan antara stimulus dan respons
itu akan terjadi sedemikian rupa dan erat sekali, apabila selalu diadakan
latihan. Dengan latihan yang dilakukan secara terus menerus, maka hubungan antara
stimulus dan respons akan menjadi terbentuk dengan sendirinya dan otomatis.[9]
[1]
Abuddin Nata, op. cit., h. 87
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), h. 120
[4] Lihat Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis ; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), h. 128
[5] Abuddin Nata, Perspektif..., op. cit.,
h. 91
[7] Alex Sobur, Psikologi Umum dalam
Lintas Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 225
[8] Sardiaman AM, Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), h. 36
[9] Abuddin Nata, op. cit., h. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar