Cari Blog Ini

Sabtu, 14 Juli 2018

Teori-teori Pembelajaran


.  Teori-teori Pembelajaran
Berdasarkan perkembangan yang ada hingga saat ini, paling kurang ada empat macam teori pembelajaran.[1] Keempat macam teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1)  Teori Constructivism
Teori ini lahir sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap penemuan para ahli sebelumnya yang mengatakan bahwa belajar sebagai proses hubungan stimulus-respons-reinforcement. Teori ini dibangun atas beberapa teori kognitif yang meliputi teori belajar Gestalt, cognitif field, cognitif development, discovery, dan teori belajar humanitis. Dengan demikian, teori constructism ini termasuk teori yang paling kokoh, lengkap dan utuh. [2]
Teori constructism beranggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia adalah hasil konstruksi dan usaha manusia sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan oleh seseorang yang mempelajarinya. Seseorang yang melakukan kegiatan pembelajaran adalah seseorang yang sedang membentuk pengertian.
Belajar dalam teori constructism adalah merupakan proses aktif peserta didik untuk merekonstruksi makna dengan cara memahami teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik, dan sebagainya. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.
Dengan mengacu kepada teori belajar teori constructism ini, maka pembelajaran constructism memiliki ciri-ciri : a) menghargai dan menerima eksplorasi pengetahuan siswa, b) memerhatikan ide dan problem yang dimunculkan oleh peserta didik dan menggunakannya sebagai bagian dalm merancang pembelajaran, c) memberikan peluang kepada para siswa untuk menemukan pengetahuan baru melalui proses pelibatan dalam dunia,  d) menciptakan proses inquiry peserta didik melalui kajian dan eksperimen, e) merangsang peserta didik untuk berdialog dengan sesama peserta didik lainnya dan juga dengan guru, f) menganggap proses pembelajaran sama pentingnya dengan hasil, g) memerhatikan sikap dan pembawaan peserta didik, h) mendorong terbentuknya pembelajaran secara koperatif, i) memerhatikan dan mengapresiasi hasil kajian peserta didik terhadap sesuatu masalah, dan j) para peserta didik membangun pemahamannya sendiri dari hasil belajarnya, bukan karena hasil yang diajarkan guru.[3]
2)  Teori Operant Conditioning
Kata ”operant” berasal dari bahasa Inggris yang dapat diartikan, sebagai sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek terhadap lingkungan yang dekat. Sedang kata ”conditioning”, dapat diartikan sebagai sebuah keadaan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, kata ”operant conditioning” dapat diartikan sebagai keadaan atau lingkungan yang dapat memberikan efek kepada orang yang berada di sekitarnya, Tidak sebagaimana responding conditioning yang responnya datang melalui stimulus tertentu, pada operant opening, respopns yang terjadi tanpa didahului oleh stimulus tertentu, melainkan yang ditimbulkan oleh efek reinforce, yaitu sejumlah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu yang diadakan tanpa sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya.[4]
Dalam kegiatan pembelajaran, operant conditioning menjamin respons-respons terhadap stimulasi. Apabila peserta didik tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulasi, maka pendidik tidak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior.[5] Dalam keadaan demikian, pendidik berperanan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar kearah tercapainya tujuan yang ditentukan.
Menurut Martinis Yamin – sebagaimana dikutip Abuddin Nata – mengatakan bahwa dalam dalam hubungannya dengan pembelajaran di kelas, tanggapan-tanggapan dapat diamati. Misalnya, ketika peserta didik secara spontan menjawab pertanyaan yang diberikan pendidik, maka reinforcer terhadap respons itu mungkin timbul dalam bentuk diberi giliran oloeh guru. Selanjutnya, bila respons yang muncul berupa jawaban atas pertanyaan, maka reinforcer yang berupa catatan guru dapat dikemukakan dalam bentuk ”bagus, benar sekali”, dan sebagainya.[6]
Dengan demikian kegiatan operant conditioning ini pada dasarnya adalah merupakan sebuah upaya menciptakan lingkungan yang memungkinkan timbulnya inisiatif pada peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar. Kondisi lingkungan ini harus diciptakan oleh guru, dan setiap respons yang diberikan peserta didik terhadap lingkungan tersebut harus diberikan apresiasi yang pantas dan memuaskan peserta didik.
3)  Teori Conditioning
Secara harfiah, conditioning berarti penciptaan keadaan. Teori ini di kembangkan oleh Ivan Paplop (1849-1936) dengan berdasarkan pada hasil percobaan dengan menggunakan anjing, Berdasarkan percobaan ini, Paplov merumuskan teori belajar sebagai berikut ; a) bahwa suatu perbuatan atau refleks dapat dipindahkan ke perbuatan atau refleks yang lainnya, b) hahwa belajar erat kaitannya dengan prinsip penguatan kembali, atau dengan kata lain, bahwa pengulangan dalam hal belajar adalah penting dilakukan.[7]
Dalam perkembangan selanjutnya E.R. Guthrie (1886-1959), memperluas teori ini dengan menggunakan prinsip ”the law of association” dalam belajar, yaitu bahwa sebuah kombinasi stimulasi yang telah menyertai suatu gerakan cenderung akan menimbulkan gerakan itu apabila kombinasi stimulasi itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika seseorang mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama, ia akan mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama, ia akan mengerjakan lagi perbuatan yang serupa. Berdasarkan teori ini, maka dalam belajar diperlukan adanya reward dan kedekatan antara stimulus dan respons.
Dalam kaitannya dengan hukuman (funishment) teori ini mengatakan, bahwa hukuman itu sifatnya netral, tidak baik dan tidak buruk. Efektif atau tidaknya sebuah hukuman amat bergantung pada efek dari hukuman tersebut terhadap peserta didik yang dalam mengambil bentuk apakah dengan hukuman tersebut menyebabkan murid mau belajar atau  tidak.[8]
4)  Teori Connectionism
Teori pembelajaran ini ditemukan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Menurut teori ini, bahwa belajar pada dasarnya merupakan sebuah proses asosiasi antara kesan pancaindra (sense of impressions) dengan impuls (tekanan) untuk bertindak (impuls to action). Asosiasi yang demikian itu direncanakan sedemikian rupa yang disebut dengan ”connecting”. Dengan ungkapan lain, bahwa pada dasarnya belajar itu adalah suatu proses pembentukan hubungan yang intens dan interaktif antara stimulus dan respons, atau antara aksi dan reaksi. Hubungan antara stimulus dan respons itu akan terjadi sedemikian rupa dan erat sekali, apabila selalu diadakan latihan. Dengan latihan yang dilakukan secara terus menerus, maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi terbentuk dengan sendirinya dan otomatis.[9]


[1]  Abuddin Nata, op. cit., h. 87
[2] Ibid
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), h. 120
[4] Lihat Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis ; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), h. 128
[5] Abuddin Nata, Perspektif..., op. cit., h. 91
[6] Ibid
[7] Alex Sobur, Psikologi Umum dalam Lintas Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 225
[8] Sardiaman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), h. 36
[9] Abuddin Nata, op. cit., h. 93

Tidak ada komentar: