Cari Blog Ini

Sabtu, 14 Juli 2018

Etika dalam Tinjauan Islam


  1. Etika dalam Tinjauan Islam
Etika bangsa Arab sebelum masuknya Islam sangat buruk dan jelek. Para kaum lelaki suka berzina, berjudi, menganiaya, dan mabuk-mabukan. Etika mereka pada saat itu menjijikkan. Anak perempuan yang baru lahir harus dibunuh atau diberikan kepada orang lain untuk dijual. Mereka menyembah berhala yang mereka buat sendiri.
Setelah datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang mengajak supaya orang-orang percaya kepada Allah dari segala sumber yang ada di alam. Nabi Muhammad datang untuk menjalankan perintah Allah. Mengajak bangsa Arab untuk menyembah Allah. Namun pada mulanya tidak begitu saja menerima ajaran yang dibawa oleh nabi tersebut. Etika bangsa Arab pada waktu itu terhadap nabi sangat keji. Mereka mencemoohkan ajaran yang dibawah oleh beliau. Ada yang melempar dengan kotoran unta, meludahi, mencaci, menghina dan segala bentuk. Namun nabi tidak putus asa.
Pada sejarah awalnya ajaran Nabi Muhammad SAW ditujukan pada keluarga, kaum kerabatnya, banyak yang menentang, tetapi banyak  pula yang menerima. Akhirnya ajaran Nabi dapat diterima bangsa arab.[1]
Dalam agama Islam, etika baik dipandang sangat mulia. Karena etika baik merupakan perintah yang Maha Kuasa. Allah sangat membenci orang yang tidak beretika mulia. Beda dari agama-agama lainnya dogmatis ialah adanya pengakuan terhadap kekuasaan Allah SWT, dan memerintahkan manusia beretika mulia.
Dalam ilmu sufi dibicarakan tentang perjalanan hijrah yang dilakukan oleh jiwa untuk menunggal (menyatukan) diri dengan Allah. Etika mempunyai peranan di dalam tingkatan itu, yaitu taubat, melemahkan nafsu dan menghambakan diri pada-Nya. Etika dalam mistik panteheistik mempunyai fungsi disiplin etika semacam ecersice (latihan) jiwa. Akan tetapi, jika keadaan exercise dilaksanakan, puncak-puncak pengetahuan tercapai. Jika tercapai fana-fananya, fungsi etika lenyap bagaikan setetes air hujan di dalam samudera. Dalam mistik hubungan antara Allah dan etika manusia tidak mendapat tempat yang semestinya. Allah dan manusia diidentikkan secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, disitulah hilangnya etika[2]
Setelah kelahiran Islam, para pengikutnya mempunyai tujuan hidup yang jelas. Tujuan hidup seorang muslim adalah menghambakan dirinya kepada Allah, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Juga mencapai keridhaan-Nya, hidup sejahtera lahir dan batin, dalam kehidupan masa kini maupun kehidupan masa yang akan datang, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Keyakinan terhadap kebenaran wahyu Allah dan sunnah rasul-Nya, membawa konsekuensi logis sebagai setandar pedoman bagi setiap etika baik. Ia memberi sangsi terhadap etika dalam kecintaan dan ketakutannya kepada Allah tanpa perasaan tanpa adanya tekanan-tekanan dari luar.
b.      Keyakinan adanya hari akhir, mendorong manusia berbuat baik dan berusaha menjadi yang sebaik-baiknya dengan pengabdian setulus-tulusnya kepada Allah.
c.       Keyakinan bahwa etika yang dilakukan tidak bertentangan dengan ajaran dan jiwa Islam, berasaskan Alquran dan Hadis, dapat diinterpretasikan oleh ulama mujtahid dan diakui kebenaran dan kebaikannya.
d.      Keyakinan bahwa etika Islam meliputi segala segi hidup dan kehidupan manusia berasaskan asas kebaikan dan bebas dari segala kejahatan. Islam bukan hanya mengajarkan etika, tetapi menegakkannya, dengan janji dan sanksi billahi yang Maha Adil. Tuntunan Islam sesuai dengan hati nurani yang menurut kodratnya cenderung kepada kebaikan dan membenci sifat-sifat buruk.
Etika Islam berdasarkan al-Quran dan hadis. Ilmunya disebut ilmu etika, yaitu suatu pengetahuan yang mempelajari tentang etika manusia berdasarkan al-Quran dan hadis. Ajaran etika Islam menentukan bentuk yang sempurna, dengan titik pangkalnya pada Allah dan akal manusia. Intinya mengajak manusia agar percaya kepada Allah. Dialah pencipta, pemilik, pemelihara, pelindung pemberi rahmat, pengasih dan penyayang terhadap makhluk-makhluk-Nya.
Etika Islam merupakan jalan hidup manusia yang paling sempurna. Menuntun ummat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua itu terkandung dalam firman Allah dan Hadis. Yaitu, sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam, hukum-hukum Islam yang mengandung pengetahuan akidah, pokok-pokok etika dan kemuliaan manusia. Allah berfirman :

!$¯RÎ) Nßg»oYóÁn=÷zr& 7p|ÁÏ9$sƒ¿2 tò2ÏŒ Í#¤$!$# ÇÍÏÈ  
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi Yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat”. (Q.S. Shad : 46)

¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ  
Artinya  :   “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. Al-Isra’ : 9)

ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ  
Artinya  :    “Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Q.S. Al-Isra’ : 70)

Allah menjadikan kebaikan dunia tergantung etika manusia. Jika manusia mengutamakan keadilan, kebenaran, kejujuran, maka dunia ini dapat mendatangkan sejahtera. Jika manusia menjadikan kerusakan dunia karena sebaliknya, kehancuranlah yang mereka terima. Tujuan yang tertinggi etika manusia adalah mendapatkan ridha Allah SWT. Oleh karena itu, setiap manusia wajib berbuat kebajikan, yaitu beretika mulia.
Ahli pikir Islam terkemuka yang giat menyuarakan etika dan mengajak manusia berbuat kebaikan-kebaikan, juga membuat berbagai teori etika adalah sebagai berikut :
1.                                                                              Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub (Ibnu Maskawih 170-241 H)
Ibnu Maskawaih semula beragama Majusi, ia menampilkan tinjauan etika, sumber-sumber pemikirannya bercorak Islam dan bahan-bahan filsafat yunani. Ia terkenal karena ilmu yang di amalkan. Uraian mengenai etika Ibnu Maskawaih dituangkan dalam bukunya Tahdzibul Akhlak. Uraian yang ditonjolkan adalah jiwa manusia mempunyai tiga tingkatan yaitu :
a.       Annafsul bahimiyah (nafsu binatang buas), yang buruk.
b.      Annafsu suburayah (nafsu binatang melata), yang sedang.
c.       Annafsul nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik menurut anggapannya.
Etika buruk dari jiwa manusia mempunyai kelakuan pengecut, sombong dan penipu. Sifat dari jiwa yang cerdas mempunyai  sifat adil, berani, pemurah, benar, sabar, tawakal dan kerja keras. Kebajikan bagi suatu makhluk hidup dan berkemampuan adalah apa yang dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan wujudnya.
Menurutnya, diantara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun juga, karena memang sesuatu yang dari asal takkan berobah. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan jahat dari asalnya adalah mayoritas. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kebajikan.
Ibnu Maskawaih menerangkan bahwa kebajikan ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Kebajikan hanya diperuntukkan bagi setiap individu. Kebajikan mempunyai bentuk tertentu. Perasaan beruntung bersifat relatif dapat berubah sifat dan bentuknya menurut perasaan orang yang hendak mencapainya. Demikianlah pandangan Ibnu Maskawaih tentang etika.[3]
2.                                                                             Ikhwanussafa (922-1012 M)
Ikhwanussafa ialah ahli pikir abad kesepuluh masehi di Bashrah. Ia mengadakan diskusi rahasia dalam masalah masalah Filsafat umat Islam pada masa itu yang banyak dikacaukan  oleh alam pikiran yang datang dari luar Islam. Ia menjelaskan pokok-pokok pikirannya tentang etika manusia secara gamblang dan jelas. Adapun pokok-pokok pemikiran yang dikemukakannya sebagai berikut :
a.       Bahwa syariat Islam yang suci, pada masa mereka telah dimasuki kejahilan, dan kekeliruan orang-orang Islam.
b.      Kecenderungan kepada sikap zuhud dan kerohanian.
c.       Manusia menjadi baik bila bertindak sesuai dengan tabiat aslinya, yakni perbuatan yang terbit dari renungan akal pikiran.
d.      Perasaan cinta adalah budi pekerti yang paling luhur terutama cinta kepada Allah SWT. Perasaan cinta dalam penghidupan di dunia adalah bentuk harga-menghargai dan toleransi.
e.       Jasad manusia adalah kejadian yang rendah dan hakikat manusia adalah jiwanya, walaupun demikian, manusia juga perlu memperhatikan jasadnya agar dapat memperoleh kemajuan.[4]
     

  1. Imam Al-Ghazali (1058-1111 M)
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhamad al-Ghazali (1058-1111 M) dengan kitabnya Ihya ‘Ulumuddin. Ia menjelaskan pokok-pokok pikirannya tentang etika manusia secara jelas. Adapun pokok-pokok pikiran yang dikemukakan adalah :
a.       Etika berarti bentuk jiwa dan sifat-sifat yang buruk kepada sifat-sifat yang baik sebagaimana perangai ulama, syuhada, shiddiqin, dan nabi-nabi.
b.      Etika yang baik dapat mengadakan pertimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah. Etika yang baik acapkali menentang apa yang digemari manusia.
c.       Etika itu jalan kebiasaan jiwa yang tetap terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku  manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakanlah etika yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakan etika yang buruk.
d.      Tingkah laku seseorang itu adalah lukisan hatinya.
e.       Kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima sesuatu pembentukan, tetapi lebih condong kepada kebajikan dibandingkan kejahatan.
f.       Jiwa itu dapat dilatih, dikuasai, diubah kepada etika yang mulia dan terpuji. Tiap tumbuh dari hati manusia memancurkan akibatnya kepada anggota tubuhnya.[5]
  1. Al-Farabi (879-950 M)
Nama lengkapnya Abu Nasher Muhammad bin Quzlaq bin Thurkan al-Farabi  (879-950 M). Ahli pikir Islam yang menitik beratkan pandangan etika pada masalah kenegaraan. Dalam bukunya yang berjudul Ar-Ra’yu Madinat al-Fadhilah, ia menjelaskan pokok-pokok pikirannya tentang etika yang dikemukakannya sebagai berikut :
a.       Negeri yang utama (madinatul fadhilah) ialah negeri yang menjunjung tinggi etika baik, memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga negerinya.
b.      Untuk kepentingan itu, haruslah berpedoman pada contoh teraturnya hubungan antara Allah dengan alam semesta dan antara isi alam dengan yang lainnya.
c.       Timbulnya masyarakat karena tuga macam :
1)      karena adanya kekuatan seseorang yang kuat seperti raja atau panglima yang memimpin dan mempersatukan masyarakat.
2)      karena persamaan keturunan atau pertalian darah diantara warganya.
3)      karena hubungan perkawinan antara keluarga
d.      Klasifikasi masyarakat memegang teguh etika ada dua macam ;
1)      masyarakat sempurna ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan yang ada pada diri manusia.
2)      masyarakat yang tidak sempurna, yaitu masyarakat yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau membantu orang lain.
e.       Setiap keadaan mengandung unsur pertentangan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam kehidupan bahwa yang kuat menindas yang lemah, yang meunutut keadilan.
  1. Ibnu Bayah (880-975 M)
Ahli pikir Islam ini lahir di Saragosa (Spanyol) sebagai filosof Islam pertama  di dunia Barat (Andalusia). Macam-macam ilmu pengetahuan yang dikuasaianya. Khusus dalam masalah etika, ia menjelaskan pokok-pokok pikirannya secara gamblang dan jelas. Adapun pokok-pokok pikiran yang dikemukannya sebagai berikut :
a.       Faktor rohanilah yang menggerakkan manusia melakukan perbuatan baik-buruk.
b.      Etika manusia ada yang sama dengan hewan, misalnya sifat beraninya macan, sombongnya buruk merak, sifat rakus, malu dan patuh dari berbagai binatang. Manusia yang tidak mengindahkan sifat kesempurnaan (akalnya) berarti hanya  mencukupkan dirinya pada sifat-sifat hewani saja dan keutamaannya menjadi hilang.[6]


                [1]Ahmad Amin, op. cit., h.  149-150
                [2] M. Yatimin Abdullah, op. cit., h. 524
[3] Ibid., h. 525
[4] Ibid
[5] Ibid., h. 526
[6] Ibid., h. 530

Tidak ada komentar: