Cari Blog Ini

Sabtu, 14 Juli 2018

Konsep Etika


Konsep Etika
  1. Pengertian Etika
Dalam kehidupan manusia di atas permukaan bumi ini, perbuatan manusia yang dilakukan manusia tidak terlepas dari hukum baik dan buruk, benar atau salah. Hukum yang demikian merupakan yang berlaku secara merata bagi seluruh manusia, baik ia yang berkedudukan tinggi maupun rendah, baik dalam perbuatan yang besar maupun yang kecil. Perbuatan yang dilakukan manusia itu sering dikaitkan dengan nama “etika”.
Kedudukan etika dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana etikanya. Apabila etikanya baik, sejahteralah batinnya, dan bila etikanya rusak, rusaklah lahir batinnya.[1]
28
 
Manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, di dalam kehidupannya ada masalah lahiriah, material, batiniah, spiritual dan etika. Apabila seseorang tidak ada rohani, maka ia akan mati, sebaliknya apabila tidak ada jasmani tidak dapat disebut manusia. Sejalan kehidupan tersebut, problema yang bersifat material tidak tetap. Contohnya keinginan manusia terhadap yang bersifat material tidak pernah puas-puasnya. Jika sudah mendapatkan sesuatu, ia akan berusaha mendapatkan yang lainnya, sesudah mendapatkannya, ia ingin yang berikutnya. Hal ini wajar, tetapi dapat dinetralisasikan jika dalam kehidupannya kembali kepada spiritual, sebab jiwalah yang yang mempunyai kebahagiaan hakiki.
Untuk mencapai kebahagiaan, manusia mencari jalan menuju tempat tujuan, yaitu dengan segala upaya dan sarana yang ada pada masing-masing manusia yang telah dianugerahkan oleh Sang Khalik. Sesuai dengan fitrah manusia ia akan mencari menuju jalan yang universal pada masa kini dan nanti, maka Allah akan memberikan apa yang dicari manusia, yaitu sesuatu jalan yang lurus. Apabila dijalani sesuai aturan, ia dapat sampai kepada tujuannya, jalan itu adalah agama (al-din al-Islam).[2]
Dewasa ini terlihat gejala-gejala kemerosotan etika, di mana secara pasti sulit untuk mendefenisikan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Namun, tak dapat pula dikesampingkan bahwa faktor kemajuan teknologi dan ekonomi juga ikut berperan di dalamnya.
Harga diri seseorang bukan ditentukan oleh kekayaan materi ketinggian intelektualnya, tetapi yang lebih diperhatikan adalah soal etikanya. Etika ini adalah masalah utama pada manusia mengenai perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Etika adalah nilai sosial dalam masyarakat. Nilai merupakan salah satu cabang dari filsafat. Manusia mengerti apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk. Pengertian tentang itu tidak didapat dari pengalaman, tetapi telah ada dalam diri sejak manusia dalam kandungan. Pengertian ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ  
Artinya : Demi jiwa (manusia) serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (dua jalan) kefasikan dan ketakwaannya (yang buruk dan jalan yang baik)”.  (Q.S. Al-Samsy ; 7-8).

Agama merupakan tujuan yang lurus (shirat al-mustaqim) menuju tempat kebahagiaan, menuju tujuan manusia di dunia dan di akhirat. Iman, Islam, dan Ihsan merupakan tiga unsur  yang berjalin. Beretika mulia sebagai ajaran Rasulullah SAW, menjalani agama (dalam bentuk amal shaleh) dengan cara yang ihsan merupakan kewajiban.
Etika baik adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, menjauihi segala larangan-larangannya, memberikan hak kepada Allah, makhluk, sesama manusia dan alam sekitarnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan fitrah manusia.
Dari keterangan di atas nampaknya perbuatan yang menyangkut dengan manusia, baik ia pebuatan yang baik maupun yang buruk secara keseluruhan dapat dikelompokkan kepada etika. Untuk lebih lanjut, akan diuraikan tentang pengertian etika secara etimologi (bahasa) dan secara terminologi (istilah) serta pendapat dari beberapa pakar mengenai pengertian etika dan yang berkaitan dengannya.
Menurut bahasa (etimologi) istilah etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat-istiadat (kebiasaan).[3] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[4] Hal yang senada diungkapkan Suhrawadi K. Lubis, secara etimologi kata etika berasal dari kata ethos yang diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan dalam kehidupan di atas dunia ini.[5] Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Kata ethos dalam bahasa Indonesia ternyata juga cukup banyak dipakai misalnya dalam kombinasi etos kerja, etos profesi, etos imajinasi, etos dedikasi, etos kinerja dan masih banyak istilah lainnya. Etika termasuk ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku yang berarti juga :
a.       ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban.
b.      kumpulan asas atau nilai yang berkaitan dengan tingkah laku manusia.
c.       nilai mengenai benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk, dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat.[6]
Etika juga dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannnya yang dapat merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata adab, melainkan membahas tata sifat dasar, atau adat istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan menerapkan pada situasi kehidupan konkrit.[7]
Untuk membedakan arti mengenai defenisi etika ini, perumusannya menurut M. Yatimin Abdullah dapat diperjelas lagi sebagai berikut :
  1. Etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang membicarkan tentang “Etika suku-suku Indian, Etika agama Budha, Etika protestan, Etika Islam, Etika Conghucu”, tidak dimaksudkan ilmu melainkan arti pertama tadi. Secara singkat arti dapat dirumuskan juga sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
  2. Etika dapat dipakai dalam arti asas norma tingkah laku, tata cara melakukan, sistem perilaku, tata karma. Lebih tegasnya lagi ialah kode etik. Misalnya, “kode etik guru, kode etik jurnalistik, kode etik muballigh, kode etik pegawai negeri”, di sini tidak dimaksudkan ilmu melainkan tata cara. Secara singkat, arti ini dapat dirumuskan juga sebagai sistem aturan atas peraturan-peraturan.
  3. Etika dapat dipakai dalam arti perilaku baik buruk, boleh tidak boleh, suka tidak suka, senang tidak senang. Etika semacam ini diakui apabila perilaku etis asas-asas dan nilai-nilai yang terkandung menjadi ukuran baik buruk secara umum, diterima masyarakat di suatu tempat, menjadi persetujuan bersama dan dilaksanakan bersama.
  4. Etika dapat dipakai dalam arti ilmu tentang perbuatan baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara metodis dan sistematis yang terdiri dari asas-asas dan nilai-nilai baik dan buruk. Dalam masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan rujuakn (referensi) bagi suatu penelitian perilaku etika yang disusun secara sistematis dan metodis mengarah pada filsafat. Etika di sini sama artinya dengan filsasat etika.[8]
Ilmu etika ini juga telah disebut-sebut sejak zaman Socrates (470-399 SM). Ia berpendapat bahwa etika membahas baik buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia, dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat dan bertindak.[9]
Pengertian etika juga dapat diartikan dengan membedakan tiga arti dari penjelasan etika, yaitu :
  1. Etika membahas ilmu yang mempersoalkan tentang perbuatan-perbuatan manusia mulai dari yang terbaik sampai kepada yang terburuk dan pelanggaran-pelanggaran hak dan kewajiban.[10]
  2. Etika membahas masalah-masalah nilai tingkah laku manusia mulai dari tidur, kegiatan siang hari, istirahat, sampai tidur kembali, dimulai dari bayi hingga dewasa, tua renta dan sampai wafat.[11]
  3. Etika membahas adat-istiadat suatu tempat, mengenai benar-salah kebiasaan yang dianut suatu golongan atau masyarakat baik masyarakat primitif, pedesaan, perkotaan hingga masyarakat modern.[12]
Adapun arti etika dari segi istilah (terminologi) telah dikemukakan oleh para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Berikut ini padangan para ahli mengenai etika :
  1. Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melaksanakan apa yang seharusnya diperbuat.[13]
  2. Soegarda Poerbakawatja manegartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan  tentang nilai-nilai itu sendiri.[14]
  3. Asmaran AS mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik atau buruk, sedangkan ukuran menetapkan nilainya adalah pakai akal pikiran manusia.[15]
  4. Hamzah Ya’cub, menyatakan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.[16]
  5. Burhanuddin Salam mengartikan etika sebagai sebuah refleksi kritis dan rasional menyamai nilai-nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.[17]
  6. M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlaq al-karimah), praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.[18]
  7. Lewis  Mustafa Adam mengartikan etika sebagai ilmu tentang filsafat, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya.[19]
Dari beberapa defenisi etika tersebut di atas dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama dilihat dari obyek pembahasaannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya. Selain itu etika juga memamfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia. Ketiga dilihat dari fungsinya, etika berfungsi sebgai penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dialkukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan terebut akan bernilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran nmengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan poisi atau status yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntunan zaman.[20]
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukan para filosof  barat mengenai perbuatan etika baikk atau buruk dapat dikelompokkan kepada etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian, etika sifatnya humanistis atau anthroprocentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa sama etika dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang  berlainan. Setiap golongan mempunyai konsep sendiri-sendiri.
Sebagi cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal pikiran, tidak dari agama. Di sinilah letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan  mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya, ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah dan akal pikiran yang lurus.[21]
Untuk menghilangkan kesamaran tersebut, menurut Hamzah Ya’cub perlu diuraikan karakteristik etika Islam yang membedadakannya dengan etika filsafat, sebagai berikut :
a.       Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b.      Etika Islam menetapkan bahan yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah SWT (al-Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
c.       Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat  manusia di segala waktu dan tempat.
d.      Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
e.       Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT, menuju keridhaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.[22]
Dari uraian karakteristik etika Islam di atas dapat dilihat bahwa etika Islam merupakan ilmu yang mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk sesuai dengan ajaran Islam yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.
Etika Islam mengandung berbagai manfaat, karena itu, mempelajari ilmu dapat membuahkan hikmah yang sangat besar, diantaranya :
  1. Kemajuan rohani. Orang yang berilmu, mempunyai keutamaan dengan derajat yang lebih tinggi. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an :
 ..... ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ  
Artinya  :    ….."Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Az-Zumar : 9)

šù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎŽôØnS Ĩ$¨Z=Ï9 ( $tBur !$ygè=É)÷ètƒ žwÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ  
Artinya :    Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”. (Q.S. Al-Ankabut : 43)

  1. Penutup kebaikan. Etika Islam bukan sekedar memberitahukan mana yang baik dan mana yang buruk, melainkan juga memengaruhi dan menorong umatnya supaya membentuk hidup yang suci. Rasulullah SAW justru memiliki etika mulia dan mencontohkannya kepada pengikutnya supaya beretika yang baik kepada sesamanya. Ini disebutkan dalan Al-Qur’an :
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ  
Artinya :  “Dan Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. Al-Qalam : 4)

  1. Kesempurnaan iman. Iman yang sempurna melahirkan kesempurnaan akal dan etika. Keindahan etika merupakan manifestasi dari kesempurnaan akal, iman, dan ihsan. Ini melahirkan akal budi yang tinggi dan keluhuran jiwa. Untuk penyempurnaan iman, haruslah menyempurnakan etika dengan mempelajari ilmu agama sebagai penerang.[23]


[1] M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 02
[2] Ibid., h. 3
[3] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1980), h. 13
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), h. 278.
[5] Suhrawadi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994). h. 1
[6] M. Yatimin Abdullah, op. cit., h. 5
[7] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yoyakarta : Kanisius, 1996), h. 62
[8] M. Yatimin Abdullah, loc. cit., h. 5-6
[9] Ibid
[10] Juhaya S. Praja, Filsafat dan Etika, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 59
[11] Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 43
[12] K. Bertens, Etika, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 231
[13] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj, KH. Faridl Ma’ruf dari judul asli. Al-Akhlaq, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 3
[14] Soegarda Poerbakawatja, Ensklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1979), h. 82
[15] Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1992), h. 7
[16] Hamzah Ya’cub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1983), h. 12
[17] Burhanuddin Salam, Etika Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 3
[18] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, (Bandung : Mizan, 2002), h. 15
[19] Lewis Mustafa Adam, New Masters Pictorial Encyclopedia, (New York : Publisher. Co, 1963), h. 40
[20] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 91-92
[21] Hamzah Ya’cub, op. cit., h. 13
[22] Ibid., h. 13-14
[23] M. Yatimin Abdullah, op. cit., h. 11-12

Tidak ada komentar: