Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI MAULID


A.    Tradisi Maulid
1.      Pengertian Tradisi
Tradisi adalah sebuah kata yang sangat akrab terdengar dan terdapat di segala bidang. Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacu pada adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat.[1] Secara langsung, bila adat atau tradisi disandingkan dengan stuktur masyarakat melahirkan  makna kata kolot, kuno, murni tanpa pengaruh, atau sesuatu yang dipenuhi dengan  sifat takliq.
Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” yang keduanya merupakan hasil karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun dengan budaya. Keduanya saling mempengaruhi. Kedua kata ini merupakan personafikasi dari sebuah makna hukum tidak tertulis, dan hukum tak tertulis ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar.[2]
Tradisi menurut terminologi, seperti yang dinyatakan oleh Siti Nur Aryani dalam karyanya, Oposisi Pasca Tradisi, tercantum bahwa tradisi merupakan produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial politik yang keberadaannya terkait dengan manusia.[3] Atau dapat dikatakan pula bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang turun temurun.[4] yang terjadi atas interaksi antara klan yang satu dengan klan yang lain.[5] yang kemudian membuat kebiasaan-kebiasaan satu sama lain yang terdapat dalam klan itu kemudian berbaur menjadi satu kebiasaan. Dan apabila interaksi yang terjadi semakin meluas maka kebiasaan dalam klan menjadi tradisi atau kebudayaan dalam suatu ras atau bangsa yang menjadi kebanggaan mereka.
Tradisi merupakan segala sesuatu yang berupa adat, kepercayaan dan kebiasaan. Kemudian adat, kepercayaan dan kebiasaan itu menjadi ajaran-ajaran atau paham-paham yang turun temurun dari para pendahulu kepada generasi-generasi paska mereka.[6] berdasarkan dari mitos-mitos.[7] yang tercipta atas manifestasi kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu dilakukan oleh klan-klan yang tergabung dalam suatu bangsa.
Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi. Tradisi berevolusi menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya merupakan personifikasi. Budaya adalah cara hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat atas dasar kesepakatan bersama.[8] Kedua kata ini merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam perwujudan ide, nilai, norma, dan hukum, sehingga keduanya merupakan dwitunggal.
Istilah “tradisi” sering kita mendengar dalam kehidupan sehari-hari seperti ungkapan tradisi jawa, tradisi kraton, tradisi petani, tradisi pesantren dan lain-lain. Tetapi istilah “tradisi” biasanya secara umum dimaksudkan untuk menunjuk kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang berbau lama, dan yang lama tersebut hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh masyarakat tertentu.[9]
Menurut khazanah Bahasa Indonesia, tradisi berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun-temurun dari nenek moyang.[10] ada pula yang menginformasikan, bahwa tradisi berasal dari kata traditium yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang,[11] berdasarkan sumber tersebut jelaslah bahwa inti tradisi adalah warisan masa lalu yang dilestarikan terus hingga sekarang. Warisan masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat-kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan.[12]
2.      Tradisi Maulid
Kata ‘maulid’ terambil dari perpindahan kata ‘walada, yu ladu, maulidan’, yang arti kata ‘maulidan’ adalah kelahiran. ‘Maulid Nabi Muhammad Saw’ berarti kelahiran Nabi Muhammad Saw.[13] Secara praktis bukan hanya memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, melainkan juga berbagai hal yang berkenaan dengan eksistensi Nabi Muhammad Saw sejak dari peristiwa-peristiwa berkenaan dengan sebelum maupun saat-saat kelahirannya hingga pengaruhnya dalam peradaban dunia setelah beliau wafat. Pribadi Nabi Muhammad Saw adalah orang yang paling berpengaruh di dunia hingga sekarang.
Menurut catatan sejarah, hari kelahiran Nabi Muhammad Saw bervariatif. Antara lain tanggal kelahiran beliau disebutkan 9 Rabi’ul Awwal dan 12 Rabi’ul Awwal. Berkenaan dengan ini, Abdullah bin Baz menyatakan sebagai berikut:
“Secara historis sosiologis tanggal kelahiran Rasulullah Saw tidak diketahui secara pasti. Bahkan, sebagian ahli sejarah di masa kini yang mengadakan penelitian (research) menyatakan bahwa tanggal kelahiran Nabi Saw adalah 9 Rabi’ul Awwal bukan 12 Rabi’ul Awwal. Dengan demikian perayaan memperingati Maulid Nabi Saw pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal dari sisi sejarah tidak ada dasarnya”[14]

Hanya saja penetapan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw menurut kalender Masehi yang berlaku secara Nasional di Negeri kita (Indonesia) adalah pada tanggal 12 Rabiul Awal (identik dengan bulan ini masyarakat di mesjid Muhammadan istilah bulan ini dinamakan bulan Maulud atau Mulud). Pada tanggal ini ditetapkan secara Nasional sabagai hari libur dan berlaku sejak dahulu hingga sekarang tanpa ada peninjauan sama sekali, dengan demikian penetapan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw pada tanggal ini telah menjadi kesepakan Nasional, meskipun dari tinjauan sekarang kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
3.      Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw tidak dilaksanakan pada masa generasi pertama dalam Islam yaitu sahabat, generasi kedua yaitu tabi’in, maupun generasi ketiga yaitu tabi’ut tabi’in.[15] Karena memang tidak ada anjuran apalagi perintah baik dari Allah Swt maupun Rasulullah Swt sendiri. Memperingati seseorang yang sudah meninggal tidak dikenal dalam tradisi Rasulullah Swt hingga generasi ketiga (tabi’ut tabi’in), atau dengan kata lain di luar kawasan yang mereka pikirkan. Maka amatlah wajar kalau memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw menjadi khilafiah di kalangan umat Islam, ada yang mengatakan bid’ah dan ada yang mengatakan sunnah terhadapnya.
Orang yang mengadakan perayaan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah bani ‘Ubaid al-Qadah atau ‘Ibadiyyuun kumpulan dari Syi’ah Isma’liyyah atau Syi’ah Bathiniyyah. Nenek moyang mereka Ibnu Disham yang dikenal al-Qadah. Semula ia adalah budak (mawali) Ja’far bin Muhammad bin Shadiq dan berasal dari Ahwaz. Ibnu Dirham adalah salah satu pendiri Syi’ah Bathiniyyah. Dari Ahwaz pindah ke Maghrib kemudian menisbatkan diri kepada ‘Aqil bin Abu Thalib dan mengaku sebagai keturunan Muhammad bin Isma’il bin Ja’far ash-Shadiq, padahal orang ini meninggal tanpa meninggalkan keturunan[16] sama sekali.
Peringatan Maulid Nabi bagi sebagian golongan dalam Islam hanya dirayakan dengan murni pengajian umum dan membahas tema-tema berkenaan dengan Nabi Muhammad Saw atau Islam secara umum. Kalaupun disertai unsur lain semuanya bersifat tidak sakral, seperti lomba pidato, dakwah, azan, membaca al Qur’an, musabaqah tilawatil Qur’an, olah raga dan yang lainnya untuk anak-anak, remaja Masjid atau umum.
Upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw berpengaruh luas di kalangan masyarakat Islam, termasuk di Indonesia tanpa menyadari asal-usulnya. Peringatan Maulid Nabi Saw diterima dengan baik atas dasar perasaan agama sebagai sesuatu yang baik (taken for granted). Orang yang tidak mau melaksanakan peringatan maulid Nabi justru dikatakan bid’ah dan tidak mencintai Rasul-Nya. Sementara itu ‘Ibad al-Qadah ketika mencetuskan upacara peringatan ini menyatakan sebagai bid’ah hasanah.[17]
4.      Makna Tradisi bagi Masyarakat
Islam di kawasan Asia Tenggara[18] memiliki sejarah  paling tidak tujuh abad, dan selama itu Islam telah dipengaruhi oleh lingkungan Asia Tenggara yang unik. Dengan kata lain, Islam telah menjadi suatu tradisi tersendiri yang secara kokoh tertanam dalam konteks sosio ekonomi dan politik selama tujuh abad sejarah kawasan ini. Lebih jauh semakin disadari bahwa pemahaman kita terhadap tradisi ini semakin rumit, hal ini bisa terjadi karena adanya keharusan menerima banyak hal yang telah melalui jaringan kebijakan dan penafsiran kolonial, yang banyak di antaranya cenderung mengenyampingkan tradisi Islam untuk disesuaikan dengan aspirasi kolonial dan kepentingan administratif.
Tradisi rupanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, bahkan ia dapat menjadi demikian penting bagi masyarakat karena memberikan banyak makna bagi mereka, seperti dikatakan Malik Fajar bahwa siapapun yang hidup dan ingin mengembangkan kehidupan maka dia harus punya tradisi. Sebuah masyarakat tidaklah akan mempertahankan dan mewariskan  tradisi kecuali mereka meyakini bahwa tradisi yang mereka pertahankan dan yang mereka wariskan itu mempunyai makna bagi mereka.
Adapun makna tradisi bagi masyarakat, menurut Imam Bawani adalah:[19]
a.       Sebagai Wadah Ekspresi Keagamaan
Tradisi mempunyai makna sebagai wadah ekspresi keagamaan masyarakat selalu ditemui pada setiap agama karena agama menuntut pengamalan secara rutin pada pemeluknya. Berarti, tradisi bisa muncul dari amaliah keagamaan, baik yang dilakukan kelompok maupun perorangan.

b.      Sebagai Alat Pengikat Kelompok
Sesungguhnya apa yang ada dan menjadi kebiasaan bersama suatu kelompok, biasanya berwujud tradisi, atau paling tidak mempunyai kaitan dengan tradisi. Bahkan demi menegakkan tradisi, suatu masyarakat ada yang memberikan sanksi tertentu kepada yang melanggarnya.

c.       Sebagai Benteng Pertahanan Kelompok
Makna tradisi sebagai benteng pertahanan kelompok  tradisional, sesungguhnya tidaklah sulit dipahami, oleh karena ciri khas tradisionalis kelompok tersebut, tidak lain terletak pada kecenderungan dan upayanya untuk mempertahankan tradisi secara turun temurun. Terkadang dengan dalih bahwa tradisi leluhur sudah sepantasnya dilestarikan, sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi diri dan kelompok dari bermacam-macam sentuhan budaya modern yang pada umumnya ingkar terhadap apa yang mereka pertahankan selama ini.
d.      Sebagai Penjaga Keseimbangan Lahir dan Batin
Makna tradisi sebagai penjaga keseimbangan lahir-batin dapat diambil contohnya dari sikap mendua dikalangan sementara elite kota, di mana satu segi mereka menampilkan diri sebagai pribadi modern, tetapi di segi lain masih lengket dengan sejumlah atribut ketradisionalan. Persandingan kontras antara sebuah rumah mewah di satu fihak, dan sebilah keris kuno yang tertata apik di ruang tamu pada pihak lain, adalah satu dari banyak contoh yang cukup aktual tentang makna tradisi sebagai penjaga keseimbangan lahir dan batin.
Sedangkan menurut penulis makna dan fungsi tradisi baik bagi individu maupun masyarakat adalah: (1). Sebagai penguat kehidupan beragama/ kesalehan. (2). Tradisi sebagai pendorong untuk berkreasi. (3). Tradisi sebagai ciri khas suatu komunitas/daerah. (4). Tradisi sebagai lapangan kerja/sumber penghasilan.(5). Sebagai sarana pertemuan. (6). Sebagai penguat tali kekeluargaan/ keturunan seperti tradisi perkawinan antar keluarga (7). Sebagai penguat tali nasionalisme. (8). Sebagai sarana untuk menaikkan status sosial. (9). Sebagai sarana menghegemoni masyarakat (10). Sebagai penjaga tingkah laku, dan seakan-akan dijadikan sebagai agamanya.


[1] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed-3. Cet-1 Jakarta ; Balai Pustaka 2001) h. 1208
[2] Ibid., h. 120
[3]Siti Nur Aryani: Oposisi Paska Tradisi. Islam agama perlawanan. (online) .(http//Islamliberal.com/id/indeks) diakses 8 Agustus 2013
[4] Eddy Soetrisno. Kamus Populer Bahasa Indonesia ( Jakarta: Ladang Pustaka dan Inti Media), h. 209
[5] Hartono. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. (Cet-2 Jakarta; Rineka Cipta), h. 166
[6] Eddy Soetrisno. op. cit., h. 209
[7] Alexander Dante Vorhess. Wikipedia Free Enciclopedy: Myth,Culture and a pride of Nation,(online). (http//www.Wikipedia.com di akses 5 juni 2006). Lihat pula dalam Cervantes De Leon. Ogdru-eb jahd : History of Hispanian Myth.(online). (http//www.deity.com di akses tanggal 5 Juni 2006). Bandingkan dengan E.E. Evans Pritchard. Theories of Primitive Religion. (Cet.-1 Yogyakarta, PLP2M) Januari 1984, h.26-62
[8] Abdul Syani. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat (Cet-1.Dunia Pustaka Jaya), 1995. h. 53
[9] Imam Bawani, Tradisionalisme (Surabaya:Al-Ikhlas, 1993), h. 23
[10] WJB. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1982), h. 108
[11] D.A.Peransi,Retradisionalisasi dalam Kebudayaan,” Majalah Prisma, (No. 6, 1985), h. 9
[12] Imam Bawani, op.,cit., h. 24
[13] Syarif Mursal al Batawiy, Keagungan Maulid Nabi Muhammad SAW., (Jakarta: Al-Syarifiyyah, 2006), h. 13
[14] ‘Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah Tahdiduha Wa Maufiqul Islam Minha, (Kairo: Dar Al-Quttub Al-Haditsah, t.t), h.286-287
[15] Suhaimin, et al, Membongkar Kesesatan Tahlilan, Yasinan, Ruwahan, Tawassul, Istigasah, Ziarah, Maulid Nabi SAW, ( Bandung; Mujahid Perss, 2007), h. 171
[16] Ibid., h. 172
[17] Ibid., h. 174
[18] Taufik Abdullah, et.al, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1988), h.1
[19] Ibid.,h. 36-42.

Tidak ada komentar: