A.
Tradisi Maulid
1.
Pengertian Tradisi
Tradisi adalah sebuah kata yang sangat akrab
terdengar dan terdapat di segala bidang. Tradisi menurut etimologi adalah kata yang
mengacu pada adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan
masyarakat.[1]
Secara langsung, bila adat atau tradisi disandingkan dengan stuktur masyarakat melahirkan
makna kata kolot, kuno, murni tanpa pengaruh,
atau sesuatu yang dipenuhi dengan sifat takliq.
Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya”
yang keduanya merupakan hasil karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun
dengan budaya. Keduanya saling mempengaruhi. Kedua kata ini merupakan personafikasi
dari sebuah makna hukum tidak tertulis, dan hukum tak tertulis ini menjadi patokan
norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar.[2]
Tradisi menurut terminologi, seperti
yang dinyatakan oleh Siti Nur Aryani dalam karyanya, Oposisi Pasca Tradisi,
tercantum bahwa tradisi merupakan produk sosial dan hasil dari pertarungan
sosial politik yang keberadaannya terkait dengan manusia.[3]
Atau dapat dikatakan pula bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang turun
temurun.[4]
yang terjadi atas interaksi antara klan yang satu dengan klan yang lain.[5]
yang kemudian membuat kebiasaan-kebiasaan satu sama lain yang terdapat dalam
klan itu kemudian berbaur menjadi satu kebiasaan. Dan apabila interaksi yang
terjadi semakin meluas maka kebiasaan dalam klan menjadi tradisi atau
kebudayaan dalam suatu ras atau bangsa yang menjadi kebanggaan mereka.
Tradisi merupakan segala sesuatu yang
berupa adat, kepercayaan dan kebiasaan. Kemudian adat, kepercayaan dan
kebiasaan itu menjadi ajaran-ajaran atau paham-paham yang turun temurun dari
para pendahulu kepada generasi-generasi paska mereka.[6]
berdasarkan dari mitos-mitos.[7]
yang tercipta atas manifestasi kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu
dilakukan oleh klan-klan yang tergabung dalam suatu bangsa.
Secara pasti, tradisi lahir bersama
dengan kemunculan manusia dimuka bumi. Tradisi berevolusi menjadi budaya.
Itulah sebab sehingga keduanya merupakan personifikasi. Budaya adalah cara
hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat atas dasar kesepakatan bersama.[8]
Kedua kata ini merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam
perwujudan ide, nilai, norma, dan hukum, sehingga keduanya merupakan dwitunggal.
Istilah
“tradisi” sering kita mendengar dalam kehidupan sehari-hari seperti ungkapan
tradisi jawa, tradisi kraton, tradisi petani, tradisi pesantren dan lain-lain.
Tetapi istilah “tradisi” biasanya secara umum dimaksudkan untuk menunjuk kepada
suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang berbau lama, dan yang lama tersebut
hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh masyarakat
tertentu.[9]
Menurut
khazanah Bahasa Indonesia, tradisi berarti segala sesuatu seperti adat,
kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun-temurun dari nenek moyang.[10]
ada pula yang menginformasikan, bahwa tradisi berasal dari kata traditium
yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa
sekarang,[11]
berdasarkan sumber tersebut jelaslah bahwa inti tradisi adalah warisan masa
lalu yang dilestarikan terus hingga sekarang. Warisan masa lalu itu dapat
berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat-kebiasaan lain yang
merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan.[12]
2.
Tradisi
Maulid
Kata ‘maulid’ terambil dari
perpindahan kata ‘walada, yu ladu, maulidan’, yang arti kata ‘maulidan’
adalah kelahiran. ‘Maulid Nabi Muhammad Saw’ berarti
kelahiran Nabi Muhammad Saw.[13]
Secara praktis bukan hanya memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw,
melainkan juga berbagai hal yang berkenaan dengan eksistensi Nabi Muhammad Saw sejak
dari peristiwa-peristiwa berkenaan dengan sebelum maupun saat-saat kelahirannya
hingga pengaruhnya dalam peradaban dunia setelah beliau wafat. Pribadi Nabi
Muhammad Saw adalah orang yang paling berpengaruh di dunia hingga sekarang.
Menurut catatan sejarah, hari kelahiran
Nabi Muhammad Saw bervariatif. Antara lain tanggal kelahiran beliau disebutkan
9 Rabi’ul Awwal dan 12 Rabi’ul Awwal. Berkenaan dengan ini, Abdullah bin Baz
menyatakan sebagai berikut:
“Secara historis sosiologis tanggal
kelahiran Rasulullah Saw tidak diketahui secara pasti. Bahkan, sebagian ahli
sejarah di masa kini yang mengadakan penelitian (research) menyatakan
bahwa tanggal kelahiran Nabi Saw adalah 9 Rabi’ul Awwal bukan 12 Rabi’ul Awwal.
Dengan demikian perayaan memperingati Maulid Nabi Saw pada tanggal 12 Rabi’ul
Awwal dari sisi sejarah tidak ada dasarnya”[14]
Hanya saja penetapan peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw menurut kalender Masehi yang berlaku secara Nasional di Negeri
kita (Indonesia) adalah pada tanggal 12 Rabiul Awal (identik dengan bulan ini
masyarakat di mesjid Muhammadan istilah bulan ini dinamakan bulan Maulud atau
Mulud). Pada tanggal ini ditetapkan secara Nasional sabagai hari libur
dan berlaku sejak dahulu hingga sekarang tanpa ada peninjauan sama sekali,
dengan demikian penetapan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw pada tanggal ini
telah menjadi kesepakan Nasional, meskipun dari tinjauan sekarang kurang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
3.
Sejarah
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
tidak dilaksanakan pada masa generasi pertama dalam Islam yaitu sahabat,
generasi kedua yaitu tabi’in, maupun generasi ketiga yaitu tabi’ut tabi’in.[15]
Karena memang tidak ada anjuran apalagi perintah baik dari Allah Swt
maupun Rasulullah Swt sendiri. Memperingati seseorang yang sudah meninggal tidak
dikenal dalam tradisi Rasulullah Swt hingga generasi ketiga (tabi’ut tabi’in), atau
dengan kata lain di luar kawasan yang mereka pikirkan. Maka amatlah wajar kalau
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw menjadi khilafiah di kalangan
umat Islam, ada yang mengatakan bid’ah dan ada yang mengatakan sunnah
terhadapnya.
Orang yang mengadakan perayaan
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah bani ‘Ubaid al-Qadah atau
‘Ibadiyyuun kumpulan dari Syi’ah Isma’liyyah atau Syi’ah Bathiniyyah. Nenek moyang
mereka Ibnu Disham yang dikenal al-Qadah. Semula ia adalah budak (mawali)
Ja’far bin Muhammad bin Shadiq dan berasal dari Ahwaz. Ibnu Dirham adalah salah
satu pendiri Syi’ah Bathiniyyah. Dari Ahwaz pindah ke Maghrib kemudian
menisbatkan diri kepada ‘Aqil bin Abu Thalib dan mengaku sebagai keturunan
Muhammad bin Isma’il bin Ja’far ash-Shadiq, padahal orang ini meninggal tanpa
meninggalkan keturunan[16]
sama sekali.
Peringatan Maulid Nabi bagi sebagian
golongan dalam Islam hanya dirayakan dengan murni pengajian umum dan membahas
tema-tema berkenaan dengan Nabi Muhammad Saw atau Islam secara umum. Kalaupun
disertai unsur lain semuanya bersifat tidak sakral, seperti lomba pidato,
dakwah, azan, membaca al Qur’an, musabaqah tilawatil Qur’an, olah raga dan yang
lainnya untuk anak-anak, remaja Masjid atau umum.
Upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad
Saw berpengaruh luas di kalangan masyarakat Islam, termasuk di Indonesia tanpa
menyadari asal-usulnya. Peringatan Maulid Nabi Saw diterima dengan baik atas
dasar perasaan agama sebagai sesuatu yang baik (taken for granted).
Orang yang tidak mau melaksanakan peringatan maulid Nabi justru dikatakan
bid’ah dan tidak mencintai Rasul-Nya. Sementara itu ‘Ibad al-Qadah ketika mencetuskan upacara
peringatan ini menyatakan sebagai bid’ah hasanah.[17]
4. Makna Tradisi bagi Masyarakat
Islam
di kawasan Asia Tenggara[18]
memiliki sejarah paling tidak tujuh abad,
dan selama itu Islam telah dipengaruhi oleh lingkungan Asia Tenggara yang unik.
Dengan kata lain, Islam telah menjadi suatu tradisi tersendiri yang secara kokoh
tertanam dalam konteks sosio ekonomi dan politik selama tujuh abad sejarah
kawasan ini. Lebih jauh semakin disadari bahwa pemahaman kita terhadap tradisi ini
semakin rumit, hal ini bisa terjadi karena adanya keharusan menerima banyak hal
yang telah melalui jaringan kebijakan dan penafsiran kolonial, yang banyak di antaranya
cenderung mengenyampingkan tradisi Islam untuk disesuaikan dengan aspirasi kolonial
dan kepentingan administratif.
Tradisi
rupanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, bahkan ia dapat menjadi demikian
penting bagi masyarakat karena memberikan banyak makna bagi mereka, seperti dikatakan
Malik Fajar bahwa siapapun yang hidup dan ingin mengembangkan kehidupan maka
dia harus punya tradisi. Sebuah masyarakat tidaklah akan mempertahankan dan mewariskan
tradisi kecuali mereka meyakini bahwa tradisi
yang mereka pertahankan dan yang mereka wariskan itu mempunyai makna bagi
mereka.
Adapun
makna tradisi bagi masyarakat, menurut Imam Bawani adalah:[19]
a.
Sebagai
Wadah Ekspresi Keagamaan
Tradisi
mempunyai makna sebagai wadah ekspresi keagamaan masyarakat selalu ditemui pada
setiap agama karena agama menuntut pengamalan secara rutin pada pemeluknya. Berarti,
tradisi bisa muncul dari amaliah keagamaan, baik yang dilakukan kelompok maupun
perorangan.
b.
Sebagai
Alat Pengikat Kelompok
Sesungguhnya
apa yang ada dan menjadi kebiasaan bersama suatu kelompok, biasanya berwujud
tradisi, atau paling tidak mempunyai kaitan dengan tradisi. Bahkan demi menegakkan
tradisi, suatu masyarakat ada yang memberikan sanksi tertentu kepada yang
melanggarnya.
c.
Sebagai
Benteng Pertahanan Kelompok
Makna
tradisi sebagai benteng pertahanan kelompok tradisional, sesungguhnya tidaklah sulit dipahami,
oleh karena ciri khas tradisionalis kelompok tersebut, tidak lain terletak pada
kecenderungan dan upayanya untuk mempertahankan tradisi secara turun temurun.
Terkadang dengan dalih bahwa tradisi leluhur sudah sepantasnya dilestarikan, sesungguhnya
dimaksudkan untuk melindungi diri dan kelompok dari bermacam-macam sentuhan
budaya modern yang pada umumnya ingkar terhadap apa yang mereka pertahankan
selama ini.
d.
Sebagai
Penjaga Keseimbangan Lahir dan Batin
Makna
tradisi sebagai penjaga keseimbangan lahir-batin dapat diambil contohnya dari sikap
mendua dikalangan sementara elite kota, di mana satu segi mereka menampilkan diri
sebagai pribadi modern, tetapi di segi lain masih lengket dengan sejumlah atribut
ketradisionalan. Persandingan kontras antara sebuah rumah mewah di satu fihak,
dan sebilah keris kuno yang tertata apik di ruang tamu pada pihak lain, adalah
satu dari banyak contoh yang cukup aktual tentang makna tradisi sebagai penjaga
keseimbangan lahir dan batin.
Sedangkan
menurut penulis makna dan fungsi tradisi baik bagi individu maupun masyarakat
adalah: (1). Sebagai penguat kehidupan beragama/ kesalehan. (2). Tradisi
sebagai pendorong untuk berkreasi. (3). Tradisi sebagai ciri khas suatu komunitas/daerah.
(4). Tradisi sebagai lapangan kerja/sumber penghasilan.(5). Sebagai sarana
pertemuan. (6). Sebagai penguat tali kekeluargaan/ keturunan seperti tradisi perkawinan
antar keluarga (7). Sebagai penguat tali nasionalisme. (8). Sebagai sarana untuk
menaikkan status sosial. (9). Sebagai sarana menghegemoni masyarakat (10). Sebagai
penjaga tingkah laku, dan seakan-akan dijadikan sebagai agamanya.
[1] Tim Penyusun
Kamus Besar Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed-3. Cet-1 Jakarta ;
Balai Pustaka 2001) h. 1208
[3]Siti Nur Aryani: Oposisi
Paska Tradisi. Islam agama perlawanan. (online)
.(http//Islamliberal.com/id/indeks) diakses 8 Agustus 2013
[4] Eddy Soetrisno.
Kamus Populer Bahasa Indonesia ( Jakarta: Ladang Pustaka dan Inti Media),
h. 209
[7] Alexander Dante
Vorhess. Wikipedia Free Enciclopedy: Myth,Culture and a pride of Nation,(online).
(http//www.Wikipedia.com di akses 5 juni 2006). Lihat pula dalam Cervantes De
Leon. Ogdru-eb jahd : History of Hispanian Myth.(online).
(http//www.deity.com di akses tanggal 5 Juni 2006). Bandingkan dengan E.E.
Evans Pritchard. Theories of Primitive Religion. (Cet.-1 Yogyakarta,
PLP2M) Januari 1984, h.26-62
[9]
Imam Bawani, Tradisionalisme (Surabaya:Al-Ikhlas, 1993), h. 23
[10] WJB. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:
Penerbit Balai Pustaka, 1982), h. 108
[11] D.A.Peransi,Retradisionalisasi dalam Kebudayaan,” Majalah
Prisma, (No. 6, 1985), h. 9
[12] Imam Bawani, op.,cit.,
h. 24
[13] Syarif Mursal al Batawiy, Keagungan Maulid Nabi Muhammad SAW.,
(Jakarta: Al-Syarifiyyah, 2006), h. 13
[14] ‘Izzat
‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah Tahdiduha Wa Maufiqul Islam Minha, (Kairo: Dar
Al-Quttub Al-Haditsah, t.t), h.286-287
[15] Suhaimin, et al, Membongkar Kesesatan Tahlilan, Yasinan,
Ruwahan, Tawassul, Istigasah, Ziarah, Maulid Nabi SAW, ( Bandung; Mujahid
Perss, 2007), h. 171
[17] Ibid., h.
174
[18] Taufik
Abdullah, et.al, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,
(Jakarta: PT. Karya Unipress, 1988), h.1
[19] Ibid.,h. 36-42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar