A.
Nilai-Nilai
Pendidikan Islam
1.
Pengertian
Nilai
Nilai
artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.[1]
Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan.[2]
Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga
secara objektif di dalam masyarakat.[3]
Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha mengartikan nilai sebagai
berikut: Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta,
tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik,
melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.[4]
Adapun
menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem
kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia
yang meyakini).[5] Jadi
nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan
tingkah laku serta dengan nilai itu manusia bisa membedakan yang baik dan buruk
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu nilai juga merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sebab nilai dapat memberikan kepuasan
tersendiri dalam pribadi manusia.
2.
Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan
dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata education. Menurut
Frederick J. MC. Donald adalah : “Education in the sense used here, is a
process or an activity which is directed at producing desirable changes in the
behavior of human being”[6]
(pendidikan adalah proses yang berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang
diperlukan dalam tingkah laku manusia). Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah
usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian
serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non
formal.[7]
Adapun
menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.[8]
Adapun pengertian pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja ialah semua
perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai
usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun
rohani.[9]
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan
bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu,
melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman,
intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai
dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang
dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian
yang utama.
Sedang
pendidikan Islam menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan jasmani maupun
rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.[10]
Senada dengan pendapat di atas, menurut Chabib Thoha pendidikan Islam adalah
pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk
melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang
terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits.[11]
Menurut Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada
pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian
muslim[12]
Masih
banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli, namun dari sekian
banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik, pada dasarnya
pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat
kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan
hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil) yang
berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan
penjelasan di atas, nilai-nilai pendidikan Islam adalah sifat-sifat atau
hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia
untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi pada Allah Swt. Nilai-nilai
tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil, karena pada waktu itu adalah masa
yang tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik padanya.
3.
Landasan
dan Tujuan Nilai Pendidikan Islam
a.
Landasan
Nilai Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa
penganutnya pada pengaplikasian Islam dan ajaran-ajarannya ke dalam tingkah
laku sehari-hari. Karena itu, keberadaan sumber dan landasan pendidikan Islam
harus sama dengan sumber Islam itu sendiri, yaitu al Qur’an dan as Sunah.[13]
Pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan Islam ialah padangan
hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal yakni al
Qur’an dan as Sunnah yang shahih juga pendapat para sahabat dan ulama sebagai
tambahan. Hal ini senada dengan pendapat Ahmad D. Marimba yang menjelaskan
bahwa yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah
bangunan sehingga isi al Qur’an dan al Hadits menjadi pondamen, karena menjadi
sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan.[14]
1)
Al
Qur’an
Kedudukan
al Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan surat al Baqarah ayat 2,
yaitu:
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$#
w
|=÷u
¡
ÏmÏù
¡
Wèd
z`É)FßJù=Ïj9
Artinya:
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi orang yang bertaqwa. (QS. Al Baqarah: 2).[15]
Selanjutnya
firman Allah Swt dalam surat Asy Syura ayat17:
ª!$# üÏ%©!$#
tAtRr&
|=»tGÅ3ø9$#
Èd,ptø:$$Î/
tb#uÏJø9$#ur
3
$tBur
y7Íôã
¨@yès9
sptã$¡¡9$#
Ò=Ìs%
Artinya: Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan
(membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh
jadi hari kiamat itu (sudah) dekat.( Q.S Asy Syura: 17) [16]
Kandungan
al Qur’an terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan
kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman
yang mengajari anaknya dalam surat Luqman.[17]
Al Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipalajari akan membantu menemukan
nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup, apabila
dihayati dan diamalkan menjadi pikiran, rasa dan karsa mengarah pada realitas
keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan
masyarakat.[18]
2)
As
Sunah
Setelah
al Qur’an, pendidikan Islam menjadikan as Sunnah sebagai dasar dan sumber
kurikulumnya. Secara harfiah Sunnah berarti jalan, metode dan program. Secara
istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik
itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw.[19]
Sebagaimana al Qur’an, sunah juga berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan
manusia dalam segala aspeknya dan akan membina manusia menjadi muslim yang
bertaqwa. Dalam dunia pendidikan Sunnah memiliki dua faedah yang sangat besar,
yaitu :
a)
Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang
terdapat dalam al Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya.
b)
Menyimpulkan
metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah Saw bersama anak-anaknya dan
penanaman keimanan ke dalam jiwa yang dilakukan-nya. [20]
b.
Tujuan
Nilai Pendidikan Islam
Tujuan
adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan selesai dan memerlukan
usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian tujuan pendidikan adalah
perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan
baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan
masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu hidup.[21]
Adapun tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan para ahli antara lain. Menurut
Ahmadi, tujuan pendidikan Islam adalah sejalan dengan pendidikan hidup manusia
dan peranannya sebagai makhluk Allah Swt yaitu semata-mata hanya beribadah
kepada-Nya.[22] Firman
Allah Swt dalam al Qur’an :
$tBur àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
Artinya:
Dan tidaklah aku menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembahku (QS. Adz-Dzariyat : 56)[23]
Yusuf
Amir Faisal merinci tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a.
Membentuk
manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdhah
b.
Membentuk
manusia muslim disamping dapat melaksanakan ibadah mahdah dapat juga
melaksanakn ibadah muamalah dalam kedudukannya sebagai orang per orang atau sebagai
anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu.
c.
Membentuk warga
negara yang bertanggung jawab pada Allah Swt sebagai pencipta-Nya
d.
Membentuk dan
mengembangkan tenaga professional yang siap dan terampil atau tenaga setengah
terampil untuk memungkinkan memasuki masyarakat.
e.
Mengembangkan
tenaga ahli dibidang ilmu agama dan ilmu -ilmu Islam yang lainnya.[24]
Berdasarkan
penjelasan dan rincian tentang tujuan pendidikan di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa tujuan nilai pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
a.
Menyiapkan
dan membiasakan anak dengan ajaran Islam sejak dalam kecil agar menjadi hamba
Allah Swt yang beriman.
b.
Membentuk
anak muslim dengan perawatan, bimbingan, asuhan, dan pendidikan pra natal
sehingga dalam dirinya tertanan kuat nilai-nilai keislaman yang sesuai
fitrahnya
c.
Mengembangkan
potensi, bakat dan kecerdasan anak sehingga mereka dapat merealisasikan dirinya
sebagai pribadi muslim.
d.
Memperluas
pandangan hidup dan wawasan
keilmuan bagi
anak sebagai makhluk individu dan sosial
4.
Nilai-Nilai
Pendidikan Islam
Institusional
nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan, Pandangan Freeman But dalam
bukunya Cultural History Of Western
Education yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib menyatakan bahwa hakikat
pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses
pembiasaan terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian
terhadap nilai.[25] Lebih
dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai diinul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga kerja
disemua tingkat dan bidang pembangunan agar terwujudnya kesejahteraan
masyarakat.
Nilai
pendidikan Islam perlu
ditanamkan pada anak sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam
kehidupannya.[26] Dalam
pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam
pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatui rangkaian atau sistem di dalamnya.
Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak sehingga bisa memberi out
put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas. Dengan
banyaknya nilai-nilai Islam yang terdapat dalam pendidikan Islam, maka penulis
membatasi bahasan nilai-nilai pendidikan Islam kepada tiga nilai pokok dalam
ajaran Islam, yaitu: nilai keimanan, nilai akhlak, dan nilai ibadah. Dalam hal
ini orang tua perlu membekali anaknya dengan materi-materi atau pokok-pokok
dasar pendidikan sebagai pondasi hidup yang sesuai dengan arah perkembangan
jiwanya.
a.
Nilai
Pendidikan keimanan (Akidah Islamiyah)
Iman
adalah kepercayaan yang terhujam ke
dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak ada perasaan syak
(ragu-ragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas
keseharian.[27] al
Ghazali mengatakan “iman adalah megucapkan dengan lidah, mengakui benarnya
dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.”[28]
Pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut mendapat perhatian
yang pertama dan utama dari orang tua. Memberikan pendidikan ini pada anak
merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Pasalnya iman
merupakan pilar yang mendasari ke-Islaman seseorang. Pembentukan iman harus
diberikan pada anak sejak kecil, sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya.
Nilai-nilai keimanan harus mulai diperkenalkan pada anak dengan cara :
1)
memperkenalkan
nama Allah Swt dan Rasul-Nya
2)
memberikan
gambaran tentang siapa pencipta alam raya ini melalui kisah-kisah teladan
3)
memperkenalkan
ke-Maha-Agungan Allah Swt .[29]
Rasulullah
Saw adalah orang yang menjadi suri tauladan (Uswatun Hasanah) bagi umatnya, baik sebagai pemimpin maupun orang tua.
Beliau mengajarkan pada umatnya bagaimana menanamkan nilai-nilai keimanan pada
anak-anaknya. Ada lima pola dasar pembinaan iman (Akidah) yang harus diberikan
pada anak, yaitu membacakan kalimat tauhid pada anak, menanamkan kecintaan
kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, mengajarkan al Qur’an dan menanamkan
nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan.[30]
Orang
tua memiliki tanggung jawab mengajarkan al Qur’an pada anak-anaknya sejak
kecil. Pengajaran al Qur’an mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan iman
(akidah) yang kuat bagi anak. Pada saat pelajaran al Qur’an berlangsung secara
bertahap mereka mulai dikenalkan pada satu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan
mereka dan al Qur’an adalah firman-firman-Nya yang diturunkan pada Nabi
Muhammad SAW, sebab pengajaran al Qur’an pada anak merupakan dasar pendidikan
Islam terutama yang harus diajarkan.
Ketika
anak masih berjalan pada fitrahnya selaku manusia suci tanpa dosa, merupakan
lahan yang paling terbuka untuk mendapatkan cahaya hikmah yang terpendam dalam
al Qur’an, sebelum hawa nafsu yang ada dalam diri anak mulai mempengaruhinya.[31]
Iman (akidah) yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseorang merupakan hal yang
penting dalam perkembangan pendidikan anak. Salah satu yang bisa menguatkan akidah
adalah dengan memiliki nilai pengorbanan dalam dirinya demi membela akidah yang
diyakini kebenarannya. Semakin kuat nilai pengorbanannnya akan semakin kokoh
akidah yang ia miliki.[32]
Nilai
pendidikan keimanan merupakan landasan pokok bagi kehidupan yang sesuai
fitrahnya, karena manusia mempunyai sifat dan kecenderungan untuk mengalami dan
mempercayai adanya Tuhan. Oleh karena itu penanaman keimanan harus diperhatikan
dan tidak boleh dilupakan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat ar Ruum:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9
$ZÿÏZym
4
|NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$#
tsÜsù
}¨$¨Z9$#
$pkön=tæ
4
w
@Ïö7s?
È,ù=yÜÏ9
«!$#
4
Ï9ºs
ÚúïÏe$!$#
ÞOÍhs)ø9$#
ÆÅ3»s9ur
usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w
tbqßJn=ôèt
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrahitu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (fitrah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum :
30).[33]
Fitrah
manusia yang telah ditetapkan oleh Allah Swt sebagaimana dalam ayat di atas
maka setiap orang mempunyai kewajiban untuk memelihara fitrah dan
mengembangkannya. Hal ini telah ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw sebagai
berikut: [34]
عن ابي هريرة
رضي الله عنه قال ان رسول الله ص م يقول :ما من مولود يولدعلي الفطرة فا بواه
يوهدان اوينصران او يمجسان (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. berkata :
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :“Tidaklah seseorang yang dilahirkan kecuali
dalam keadaan fitrah(suci dari kesalahan dan dosa), maka orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.(HR. Muslim).
Melihat
ayat dan Hadis di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah dan perkembangan selanjutnya tergantung pada orang tua dan
pendidiknya, maka orang tua wajib mengarahkan anaknya agar sesuai dengan
fitrahnya. Nilai pendidikan keimanan termasuk aspek-aspek pendidikan yang patut
mendapatkan perhatian pertama dan utama dari orang tua.
Memberikan
pendidikan ini kepada anak merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh
ditinggalkan oleh orang tua dengan penuh kesungguhan. Sebab iman merupakan
pilar yang mendasari ke-Islaman seseorang, pembentukan iman seharusnya
diberikan kepada anak sejak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan
kepribadiannya. Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa
janin di dalam kandungan telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi
ibu yang mengandungya.[35]
Nilai-nilai
keimanan yang diberikan sejak anak masih kecil, dapat mengenalkannya pada
Tuhannya, bagaimana ia bersikap pada Tuhannya dan apa yang mesti diperbuat di
dunia ini. Sebagaimana dikisahkan dalam al Qur’an tentang Luqmanul Hakim adalah
orang yang diangkat Allah sebagai contoh orang tua dalam mendidik anak, ia
telah dibekali Allah dengan keimanan dan sifat-sifat terpuji.
Orang
tua perlu mencontoh Luqman dalam mendidik anaknya, karena ia sebagai contoh
baik bagi anak-anaknya. perbuatan yang baik akan ditiru oleh anak anaknya
begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, pendidikan keimanan, harus dijadikan
sebagai salah satu pokok dari pendidikan kesalehan anak. Dengan demikian dapat
diharapkan bahwa kelak ia akan tumbuh dewasa menjadi insan yang beriman kepada
Allah Swt, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
serta dengan keimanan yang sejati bisa membentengi dirinya dari berbuat dan
berkebiasaan buruk.
b.
Nilai
Pendidikan Ibadah
Ibadah
merupakan kepatuhan yang bergerak dari perasaan hati untuk mengagungkan yang
disembah.[36]
Kepatuhan yang dimaksud adalah seorang hamba yang mengabdikan diri pada Allah Swt.
Ibadah merupakan bukti nyata bagi seorang muslim dalam meyakini dan mempedomani
akidah Islamiyah. Sejak dini anak-anak harus diperkenalkan dengan nilai-nilai
ibadah dengan cara :
1)
mengajak
anak ke tempat ibadah
2)
memperlihatkan
bentuk-bentuk ibadah
3)
memperkenalkan
arti ibadah.[37]
Pendidikan
anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pendidikan akidah.
Karena nilai ibadah yang didapat dari anak akan menambah keyakinan kebenaran
ajarannya. Semakin nilai tinggi ibadah yang ia miliki maka akan semakin tinggi
nilai keimanannya.[38]
Ibadah merupakan penyerahan diri seorang hamba pada Allah Swt. ibadah yang
dilakukan secara benar sesuai dengan syari’at Islam merupakan implementasi
secara langsung dari sebuah penghambaan diri pada Allah Swt. Manusia merasa
bahwa ia diciptakan di dunia ini hanya untuk menghamba kepada-Nya.
Pembinaan
ketaatan ibadah pada anak juga dimulai dalam keluarga kegiatan ibadah yang
dapat menarik bagi anak yang masih kecil adalah yang mengandung gerak.
Anak-anak suka melakukan shalat, meniru orang tuanya kendatipun ia tidak
mengerti apa yang dilakukannya itu.[39]
Nilai pendidikan ibadah bagi anak akan membiasakannya melaksanakan kewajiban.
Pendidikan yang diberikan Luqman pada anak-anaknya merupakan
contoh baik bagi orang tua. Luqman menyuruh anak-anaknya shalat ketika mereka
masih kecil dalam al Qur’an Allah Swt berfirman :
¢Óo_ç6»t ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
öãBù&ur
Å$rã÷èyJø9$$Î/
tm÷R$#ur
Ç`tã
Ìs3ZßJø9$#
÷É9ô¹$#ur
4n?tã
!$tB
y7t/$|¹r&
(
¨bÎ)
y7Ï9ºs
ô`ÏB
ÇP÷tã
ÍqãBW{$#
Artinya:
Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (QS. Luqman : 17).[40]
Ayat
ini menjelaskan, bahwa Luqman menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah kepada
anak-anaknya sejak dini. Luqman bermaksud agar anak-anaknya mengenal tujuan
hidup manusia, yaitu menghambakan diri kepada Allah Swt. bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah Swt. Apa yang dilakukan Luqman
kepada anak-anaknya bisa dicontoh orang tua zaman sekarang ini. Rasulullah Saw
memberikan tauladan pada umatnya tentang nilai pendidikan ibadah. Beliau
mengajarkan anak yang berusia tujuh tahun harus sudah dilatih shalat dan ketika
berusia sepuluh tahun mulai disiplin shalatnya, penejelasan ini dapat dilihat
dari riwayat yang disampaikan oleh Abu Daud yaitu: “Dari Umar bin Syuaib
dari bapaknya dari kakeknya dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Suruhlah
anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukullah
mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur
mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. Abu Dawud). [41]
Pendidikan
ibadah merupakan salah satu aspek pendidikan Islam yang perlu diperhatikan.
Semua ibadah dalam Islam bertujuan membawa manusia supaya selalu ingat kepada
Allah. oleh karena itu ibadah merupakan tujuan manusia diciptakan dimuka bumi.
Allah berfirman dalam surat Adz Dzariyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
Artinya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembahKu.
( QS. Adz Dzaariyat: 56 )[42]
Ibadah
yang dimaksud bukan ibadah ritual saja tetapi ibadah yang dimaksud di sini
adalah ibadah dalam arti umum dan khusus. Ibadah umum yaitu segala amalan yang
dizinkan Allah SWT. sedangan ibadah khusus yaitu segala sesuatu (apa) yang
telah ditetapkan Allah Swt. akan perincian-perinciannya, tingkat dan
cara-caranya yang tertentu. Usia baligh merupakan batas Taklif (pembebanan
hukum Syar’i) apa yang diwajibkan syar'i’at pada seorang muslim maka wajib
dilakukannya, sedang yang diharamkan wajib menjauhinya.
Salah
satu kewajiban yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah shalat
lima waktu. Orang tua wajib mendidik anak-anaknya melaksanakan shalat, apabila
ia tidak melaksanakan maka orang tua wajib memukulnya. Oleh karena itu, nilai
pendidikan ibadah yang benar-benar Islamiyyah mesti dijadikan salah satu pokok
pendidikan anak. Orang tua dapat menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah pada
anak dan berharap kelak ia akan tumbuh menjadi insan yang tekun beribadah
secara benar sesuai ajaran Islam.
c. Nilai Pendidikan Akhlak
Secara etimologi “akhlak” berasal dari bahasa Arab jamak dari bentuk
mufradatnya “khulqun” ( خُلق )
yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Kata tersebut mengandung segi- segi persesuaian dengan perkataan “khalqun”
( خَلق ) yang berarti
kejadian yang erat hubungannya dengan “khaliq” ( خَالقْ ) yang berarti penciptaan, demikian pula dengan makhluqun
( مخلوق ) yang berarti yang
diciptakan. [43]
Sedangkan pengertian secara terminologi
Beberapa pakar mengemukakan beberapa defenisi akhlak menurut istilah:
1)
Menurut
Abdul Hamid Hakim yang dikutip oleh Azwir Ma’ruf, akhlak yaitu sifat yang
berurat akar pada diri seseorang yang terbit padanya amal perbuatan dengan
mudah tanpa difikir-fikir dan ditimbang-
timbang secara spontan.[44]
2)
Menuut
Ibnu Miskawaih dalam bukunya “Tahzibul Akhlak Wathirul A’raq”. Akhlak adalah
keadaan jika seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuata-perbuatan
tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.[45]
3)
Menurut
Imam Al- Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumuddin”. Akhlak ialah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang dari padanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan
pikiran lebih dahulu.[46]
Menurut Al- Ghazali akhlak harus mencakup dua syarat
yaitu:
1)
Perbuatan
itu harus konstan yaitu dilakukan berulang kali (kontiniu) dalam bentuk yang
sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan
2)
Perbuatan
yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya
tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan dan paksaan dari orang
lain, pengaruh atau bujukan-bujukan yang indah dan sebagainya.[47]
Berdasarkan
defenisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, akhlak merupakan sikap yang
terjadi dengan kemauan sendiri, dengan spontan tanpa dipikirkan dan
dipertimbangkan terlebih dahulu, seperti seseorang yang melihat anak kecil
terjatuh dari sepedanya, dengan spontan ia akan menolongnya. Apabila dalam
kondisi tersebut timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut syariat dan akal
pikiran maka ia dinamakan budi pekerti yang mulia dan apabila yang lahir
kelakuan yang buruk maka disebutlah budi pekerti yang tercela.
Akhlak
juga merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh
terhadap berbagai potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia. Jika
program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik, sistematis dan
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka akan menghasilkan anak- anak atau
orang yang baik akhlaknya. Adapun ruang lingkup pendidikan akhlak
mencakup tiga pola hubungan:
1)
Pola hubungan manusia dengan Allah Swt, seperti
mentauhidkan Allah Swt dengan menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon
pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir di waktu siang atau pun
malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk atau pun berbaring dan bertawakkal
kepada-Nya.
2)
Pola hubungan manusia dengan sesama manusia.
Pola hubungan ini
mencakup semua manusia sebagai makhluk Allah Swt, baik itu Rasulullah Saw, kedua orang tua, dan masyarakat. Pola hubungan dengan Rasulullah Saw, seperti menegakkan sunnahnya,
menziarahi kuburnya di Madinah, membacakan shalawat dan mentaati perintahnya
serta meninggalkan larangannya. Pola hubungan dengan kedua ibu bapak, seperti
berbuat baik kepada keduanya, mengucapkan kata yang sopan, tidak menyakiti
perasaannya, tidak membentak, mendo’akan untuk keduanya. Pola hubungan dengan
masyarakat, seperti bergaul dan tolong menolong, memenuhi aturan yang telah
disepakati bersama dalam masyarakat, mentaati pemimpin, menegakkan ukhuwah
Islamiyah dan solidaritas antar umat.
3)
Pola hubungan manusia dengan alam semesta, seperti
menjaga kelestarian alam, melindungi hutan dari kegersangan akibat penebangan
hutan tanpa ditanami lagi, dan memelihara keindahan alam.
Pembinaan akhlak
adalah suatu proses penanaman, dan pengajaran, pada manusia dengan tujuan
menciptakan dan mensukseskan tujuan tertinggi agama Islam, yaitu kebahagiaan
dua kampung (dunia dan akhirat), kesempurnaan jiwa masyarakat, mendapat
keridoan, keamanan, rahmat, dan mendapat kenikmatan yang telah dijanjikan oleh
Allah Swt yang berlaku pada orang-orang yang baik dan bertaqwa.[48]
Karena akhlak
merupakan pondasi (dasar) yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang
seutuhnya, maka pendidikan yang mengarah terbentuknya pribadi yang berakhlak,
merupakan hal yang pertama yang harus dilakukan, sebab akan melandasi
kestabilan kepribadian manusia secara keseluruhan. Rasulullah Saw bersabda:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: انما بعثت لاتمم صا لح الاخلاق (رواه احمد)[49]
Artinya: Dari Abu Hurairah r. a.
Rasulullah Saw telah bersabda : aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi
pekerti yang luhur (HR Ahmad).[50]
Islam
menginginkan akhlak yang mulia, karena akhlak yang mulia ini di samping akan
membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak
utama yang ditampilkan seseorang manfaatnya adalah orang yang bersangkutan.
Manfaat tersebut, yaitu:
1) Memperkuat dan menyempurnakan agama
2) Mempermudah perhitungan amal di akhirat
3) Menghilangkan kesulitan
Dengan memiliki akhlak
yang kharimah maka seseorang akan dapat berhubungan dengan baik dengan sang
pencipta, dapat diterima dalam setiap pergaulannya, juga melestarikan alam
ciptaan Allah Swt, oleh karena itu penanaman akhlakul kharimah perlu ditanamkan
sejak dini pada anak.
Nilai-nilai yang
hendak dibentuk atau diwujudkan dalam pribadi agar fungsional dan aktual dalam
perilaku muslim, adalah nilai Islami yang melandasi moralitas (akhlak), ada
beberapa faktor penting yang terdapat dalam diri (jiwa) anak yang perlu
diketahui, karena hal ini menjadi acuan dalam pembahasan nilai-nilai pendidikan
akhlak yang dibutuhkan dalam mengembangkan kepribadian . Faktor-faktor penting
tersebut antara lain:
1)
Instink
Instink merupakan
faktor penting dalam akhlak karena instink terdapat dalam manusia. Instink
merupakan suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan tanpa didahului latihan
perbuatan itu.[52]
2)
Kebiasaan
Kebiasaan adalah
Bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan
yang mengandung unsur afektif perasaan.[53] Apabila
dihubungkan dengan perbuatan, maka kebiasaan pada mulanya dipengaruhi oleh kerja
pikir, didahului oleh pertimbangan dan perencanaan, sehingga kebiasaan
merupakan faktor penting dalam rangka pembentukan karakteristik manusia dalam
perilakunya. Untuk memperoleh perilaku yang baik dan terpuji harus dipupuk
dengan nilai-nilai kharimah yang ada
dalam Islam.
3)
Kehendak
Kehendak adalah suatu kekuatan, seperti
uap atau listrik. Kehendak merupakan penggerak manusia yang mendorong segala
perbuatan yang seakan-akan tidur menjadi gerak dan bangkit.[54]
Walaupun seseorang mampu
melaksanakan sesuatu, namun ia tidak mempunyai kehendak, maka tidak akan
terjadi sesuatu yang diinginkan atau yang diangan-angankan.
4)
Nafsu
Nafsu merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari diri manusia, karena nafsu memiliki pertalian dengan instink,
tetapi gejalanya tidak sama. Nafsu tampak dalam berbagai bentuk dan cara,
sedang instink tidak tampak dari luar, dan sulit untuk dilihat.
5)
Akal
Akal merupakan sumber pengetahuan dan pemahaman yang terdapat dalam manusia, namun juga
akal menjadi tanda kodrati keutamaan dan sumber setiap adab.[55] Dengan
penyempurnaan akal, Allah Swt telah memberikan tugas untuk bertanggung jawab,
menjadikan dunia teratur dan sejahtera, dan melaksanakan perintah Allah Swt lainnya.
Dalam pendidikan akhlak aktualisasi
nilai-nilai Islam perlu dipandang sebagai suatu persoalan yang penting dalam
usaha penanaman ideologis Islam sebagai pandangan hidup. Namun demikian dalam
usaha aktualisasi nilai-nilai moral Islam memerlukan proses yang lama, agar
penanaman tersebut bukan sekedar dalam formalitas namun telah masuk dalam
dataran praktis. Untuk itu, perlulah kiranya menghubungkan faktor penting
kebiasaan, memperhatikan potensi anak didik, juga memerlukan bentuk-bentuk dan
metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan anak didiknya.
Bentuk pendidikan akhlak ada yang
secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung yaitu cara-cara tertentu
yang ditujukan langsung kepada pembentukan akhlak, antara lain: tauladan,
nasehat, latihan, dan hadiah. Sementara pendidikan akhlak yang tidak langsung
yaitu cara-cara tertentu yang bersifat pencegahan dan penekanan, antara lain:
koreksi dan pengawasan, larangan, hukuman dan sebagainya. Dari bentuk-bentuk
pendidikan akhlak ini diharapkan nilai-nilai Islam (akhlak) dapat menjadi
kepribadian anak didik, artinya bukan hanya bersifat formal dalam ucapan dan
teori belaka, akan tetapi sampai pada tingkat pelaksanaan dalam kehidupan.
Beberapa nilai atau hikmah yang dapat
diraih berdasarkan ajaran-ajaran amaliah Islam (akhlak) antara lain: al-amanah
(berlaku jujur), al-rahman (kasih sayang), al-haya’ (sifat malu),
al-shidq (berlaku benar), al-syaja’ah (berani), qana’ah
atau zuhud , al-ta’awun (tolong-menolong) dan lain-lain.
Menurut Ibnu Miskawaih, manusia mempunyai
tiga potensi, Yaitu potensi bernafsu (an-nafs al-bahimiyyah), potensi
berani (an-nafs as-subuiyyat) dan potensi berfikir (an-nas
an-nathiqiyah). Potensi bernafsu dan potensi berani berasal dari unsur
materi sehingga akan hancur pada suatu saat, sedangkan potensi berfikir berasal
dari ruh Tuhan sehingga bersifat kekal.[56]
Nilai-nilai pendidikan akhlak yang
harus ditanamkan bukan sekedar akhlaul karimah, melainkan akhlak
madzmumah juga harus di sampaikan dan diajarkan kepada anak. Bila akhlak yang
buruk itu tidak disampaikan kepada anak maka anak akan melakukan perbuatan yang
tidak sesuai dan melanggar etika yang ada di masyarakat itu.
Pendidikan akhlak yang harus ditanamkan
pada anak, penulis bagi menjadi tiga skala besar yaitu; akhlak terhadap Allah
Swt ,akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan.
1)
Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Allah Swt
Allah Swt adalah khalik dan manusia adalah
mahluk. Sebagai makhluk tentu saja manusia sangat tergantung kepadanya.
Sebagaimana firman-Nya:
اللَّهُ الصَّمَدُ (الإحلاص : ٢)
Artinya: “Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. (QS. Al Ikhlas: 2)[57]
Sebagai yang Maha
Agung dan yang Maha Tinggi Dialah yang wajib disembah dan ditaati oleh segenap
manusia, dalam diri manusia hanya ada kewajiban beribadah kepada Allah Swt,
Dalam hubungannya dengan pendidikan akhlak pada masa kanak-kanak nilai-nilai
yang perlu ditanamkan adalah:
a)
Tidak
Mempersekutukan Allah Swt
b) Cinta Kepada Allah Swt
Penanaman rasa cinta kepada Allah Swt
adalah prinsip yang harus ditanamkan pada anak. Anak harus dibiasakan untuk
mencintai Allah Swt dengan diwujudkan dalam bentuk sikap bersyukur segala
nikmat yang diberikan Allah Swt kepada setiap manusia. Karena itu Allah Swt
memerintahkan untuk mensyukuri nikmat Allah Swt yang tidak terhingga.
c)
Takut Kepada Allah Swt
Takut kepada
Allah Swt adalah penting
dalam kehidupan seorang mukmin. Sebab rasa takut itu
mendorongnya untuk taqwa kepadanya dan mencari ridhonya, mengikuti
ajaran–ajarannya, meninggalkan larangannya dan melaksanakan perintahnya. Rasa
takut kepada Allah Swt dipandang
sebagai salah satu tiang penyangga iman kepadanya dan merupakan landasan
penting dalam pembentukan seorang mukmin.[58]
2)
Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Setiap diri
memiliki tiga macam potensi yang bila dikembangkan dapat mengarah kepada kutub
positif, tetapi dapat juga ke kutub negatif. Ketiga potensi yang dimaksud
adalah nafsu, amarah, dan kecerdasan. Bila dikembangkan secara positif, nafsu
dapat menjadi suci, amarah bisa menjadi berani dan kecerdasan bisa menjadi
bijak. Sebaliknya, bila dikembangkan dalam kutub negatif, nafsu dapat mengarah
kepengumbaran hawa nafsu dan serakah, amarah dapat menghasilkan berani secara
sembrono atau gegabah dan pengecut dan potensi kecerdasan bisa menjadi bodoh
dan jumud.[59]
Sehubungan dengan
hal tersebut di atas seorang anak harus diberi pengertian bahwa pahala dan dosa
akan kembali pada diri kita sendiri. Adapun sikap-sikap yang perlu ditanamkan
pada diri anak yaitu:
a.
Tidak
Bersikap Sombong
b.
Kejujuran
c.
Sifat
Qona’ah
3)
Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak Terhadap Lingkungan
1)
Akhlak terhadap Lingkungan Keluarga
Sikap utama yang
harus yang harus dikembangkan pada anak dalam keluarga, yang utama yaitu
penanaman sikap berbakti kepada orang tua yang telah bersusah payah mendidik
anak-anak dengan penuh kasih sayang. Bagaimana Allah Swt mencontohkan nasehat Luqman terhadap anaknya agar
berbakti kepada orang tua. al-Qur’an menyebutkan:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (القمان : ۱۴)
Artinya:“Dan
kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah dari menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orangtua, ibu bapakmu,
hanya kepadakulah engkau kembali” (Luqman :14).[60]
4)
Lingkungan Masyarakat Atau Lingkungan Sekitar
Lingkungan
masyarakat yang paling dekat dengan anak-anak adalah tetangga. Sehubungan
dengan itu anak harus dididik untuk bersopan santun dan menghormati
tetangganya, karena bagaimanapun juga tetangga adalah orang yang akan segera
memberi pertolongan apabila di rumah kita terjadi kesusahan. Perilaku yang
sering muncul pada anak di lingkungan tetangga di antaranya sering membuat
gaduh, mengganggu, mengotori dan lain-lain.
Selain lingkungan
masyarakat di sini perlu ditanamkan akhlak tentang alam sekitar di antaranya
adalah memelihara dengan baik apa yang ada disekitar kita. Manusia sebagai khalifah,
pengganti dan pengelola alam. Sementara di sisi lain mereka diturunkan ke bumi
ini untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya termasuk
lingkungan dan manusia secara keseluruhan.[61]
5. Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Penanaman nilai-nilai pedndidikan Islam akan dapat
terlaksana dengan baik jika lingkungan yang mempengaruhi seseorang dapat
bekerja sama untuk menjadikan pribadi yang baik, adapun lingkungan yang bekerja
sama itu akan penulis paparkan sebagai berikut:
a. Rumah Tangga
Anak lahir dalam pemeliharan orang tua dan
dibesarkan di dalam keluarga, Orang tua tanpa ada yang memerintah langsung
memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat sebagai pemelihara, sebagai
pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina mapun sebagai guru dan pemimpin
terhadap anak-anaknya, ini adalah tugas kodrati tiap-tiap manusia.
Anak mengisap norma-norma pada anggota keluarga,
baik ayah ibu maupun kakak-kakaknya, Maka orang tua di dalam keluarga harus dan
merupakan kewajiban kodrati untuk memperhatikan anak-anaknya serta mendidiknya,
sejak anak-anak itu kecil, bahkan sejak anak itu dalam kandungan.
Suatu kehidupan keluarga yang baik, adalah
keserasian antara ayah dan ibu yang merupakan komponen pokok dalam setiap
keluarga. Untuk pembentukan keluarga yang sesuai dengan syari’at Islam yang terdapat
dalam al Qur’an dah al Hadits. Abdul ar-Rahaman an-Nahlawi menyimpulkan pembentukan keluarga yang
sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits yaitu;
1)
Mendirikan syari’at Allah Swt dalam segala
permasalahan rumah tangga. Artinya, tujuan berkeluarga adalah mendirikan rumah
tangga muslim yang mendasarkan kehidupannya pada perwujudan penghambaan pada
Allah Swt, demikianlah anak-anak tumbuh dan dibesarkan dalam
rumah tangga yang dibangun dengan dasar ketakwaan kepada Allah Swt, ketaatan
pada syari’at Allah Swt, dan keinginan menegakkan syari’at Allah Swt. Dengan demikian anak-anak akan mudah meniru kebiasaan orang tua dan akhirnya terbiasa
hidup Islami.
2)
Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis
uqèd Ï%©!$#
Nä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur
@yèy_ur
$pk÷]ÏB $ygy_÷ry
z`ä3ó¡uÏ9
$pkös9Î) (......
) الاعراف/۷:
۱۸۹(
Arinya;
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya (Al-A’raf /7 :189 )[62]
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9
ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î)
@yèy_ur
Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4
(الروم/۳۰ : ۲۱)
Artinya;
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. ( Q.S
Ar-Ruum /30 ; 21 )[63]
Jika
suami istri bersatu di atas landasan kasih sayang dan ketentraman psikologis
yang interaktif, anak-anak tumbuh dalam suasana bahagia, percaya diri, tentram,
kasih sayang, serta jauh dari kekacauan, kesulitan dan penyakit batin dan
melemahkan keprabadian anak.
3) Mewujudkan Sunnah Rasulullah Saw.
Keluarga
yang melahirkan anak-anak saleh maka umat Islam akan merasa bangga dengan
kehadirannya di tengah-tengah kehidupan. Hal ini mengisyaratkan kewajiban rumah
tangga muslim dalam mendidik putra putrinya melalui pendidikan yang dapat
mewujudkan tujuan Islam dan itu terpatri dalam jiwa mereka dan sesuai dengan
Sunnah Rasulullah Saw.
4) Memenuhi kebutuhan cinta kasih
anak-anak.
Naluri
menyayangi anak merupakan potensi yang diciptakan bersamaan dengan penciptaan
manusia dan menjadikan naluri itu sebagai salah satu landasan kehidupan
alamiah, psikologis dan sosial mayoritas makhluk hidup. Keluarga (terutama
orang tua) bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya,
karena kasih sayang merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan
perkembangan psikologis dan sosial anak.
5) Manjaga fitrah anak agar anak tidak
melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Dalam
konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya fitrah
anak. Dengan demikian, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
anak-anak lebih disebabkan oleh ketidak waspadaan orang tua atau pendidik
terhadap perkembangan anak.
Anak
pada hakikatnya dilahirkan dalam kondisi bersih sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Ar-Ruum ayat 30
óOÏ%r'sù
y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4
|NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ
4 w @Ïö7s?
È,ù=yÜÏ9
«!$#
4 Ï9ºs
ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$#
ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ( الروم /۳۰:
۳۰)
Artinya;
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (Ar-Ruum/30 ; 30
)[64]
Orang
tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka karena dari
merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama
pendidikan terhadap
anak dalam kehidupan keluarga.[65]
Secara
umum situasi pendidikan terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh
mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Sehingga para orang
tua umumnya merasa bertanggung jawab atas segalannya dan kelangsungan hidup
anak-anak mereka.
Selain itu pangkal
ketentraman dan kedamaian hidup terletak dalam keluarga. Mengingat pentingnya
kehidupan keluarga tidak hanya sekedar persekutuan hidup terkecil saja,
melainkan lebih dari itu, yaitu sebagai lembaga hidup manusia yang memberi
peluang kepada para anggotanya untuk hidup celaka atau bahagia di dunia dan
akhirat.
Pertama-tama yang diperintahkan Allah Swt kepada
Nabi Muhammad Saw dalam mengembangkan agama Islam adalah untuk mengajarkan
agama itu kepada keluarganya, baru kemudian kepada masyarakat luas. Hal ini
terkandung makna bahwa keselamatan keluarga harus lebih dahulu mendapat
perhatian atau harus didahulukan ketimbang keselamatan masyarkat, sebab
keselamatan keluarga pada hakikatnya
bertumpu pada keselamatan keluarga. Firman Allah Q.S Asy Syuara ayat/26 ; 214
öÉRr&ur y7s?uϱtã
úüÎ/tø%F{$# (الشعر اء/ ۲۶ : ۲۱۴)
Artinya
;. Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, (Q.S
Asy-syuara / 26: 214 )[66]
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR .....(
التحريم /۶ ۶: ۶)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka.....(Q.S. At-tahriim/66 : 6 )[67]
kedua
ayat di atas dapat dipahami bahwa tanggung jawab yang diemban oleh orang tua
tidak hanya sebatas kehidupan di dunia saja, akan tetapi juga untuk kehidupan
akhirat yang lebih abadi.
b.
Sekolah
Perkembangan
sekolah-sekolah baru seperti sekarang setelah melampaui periode-periode yang
cukup panjang. Pengetahuan awal seorang anak bermula dari orang tua dan
masyarakat yang secara tidak langsung memberikan berbagai pengetahuan dasar,
walaupun tidak sistematis. Pengetahuan itu diperoleh anak melalui berbagai
cara, diantaranya melalui peniruan, pengulangan, atau pembiasaan.
Namun
peran agama tetap utama dan istimewa, karena bagaimanapun segala penyerapan pengetahuan
pada diri anak harus tetap berpedoman pada konsep pendidikan yang bertujuan
menghambakan diri kepada Allah Swt dan memiliki materi atau prilaku yang
membawa manusia pada penyerahan diri terhadap syari’at Allah Swt yang
diturunkan kepada Rasul-Nya serta dipelihara dan diamalkan oleh generasi
sesudahnya.
Ketika
semakin dewasa maka kebutuhan anak akan semakin banyak, sehingga orang tua
menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada lembaga-lembaga sekolah yang
merupakan lembaga pendidikan penting sesudah keluarga, yang diharapkan dapat
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak. Sekolah berfungsi sebagai
pembantu keluarga dalam mendidik anak. Tugas guru dan pemimpin sekolah di
samping memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan, juga mendidik anak beragama.
Di sini sekolah
berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam memberikan pendidikan dan pengajaran
kepada anak didik.[68]
Pendidikan
anak memang tidak sepenuhnya diserahkan kepada lembaga sekolah. Sebab pengalaman
belajar, pada dasarnya bisa diperoleh disepanjang hidup manusia, kapanpun dan
dimanapun, termasuk juga keluarga dan masyarkat itu sendiri.
Sekolah
merupakan lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat.
lembaga sosial formal tersebut, bisa disebut sebagai satu oraganisasi, yaitu
terikat kepada tata atau aturan formal, berprogram dan bertarget atau
bersasaran yang jelas, serta memiliki struktur kepemimpinan penyelenggaraan
atau pengelolaan yang pasti atau resmi. Sekolah bagian dari masyarakat, sebagai
masyarakat kecil maka di sekolah terjadi interaksi antara warga sekolah, guru,
murid dan perangkat sekolah lainnya untuk bekerja sama dalam mensukseskan
penanaman nilai-nilai pendidikan Islam.
Guru
adalah pendidik profesional, oleh karenanya secara implisit ia telah merelakan
dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul
di pundak para orang tua. Mereka ini tatkala menyerahkan anaknya kesekolah,
sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada
guru. Hal itu pun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan
anaknya kepada guru/sekolah karena tidak sembarang orang tua dapat menjadi
guru.
Berdasarkan
konsepsi Islam, fungsi utama sekolah adalah sebagai media realisasi pendidikan
dan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam berdasarkan tujuan pemikiran,
akidah, dan syari’at demi terwujudnya penghambaan diri kepada Allah Swt serta
sikap meng-Esa-kan Allah dan mengembangkan segala bakat atau potensi menusia
sesuai fitrahnya. Sehingga manusia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Untuk
Negara-negara Timur sejak dahulu guru itu dihormati oleh masyarakat. Orang
India dulu, menganggap guru itu sebagai orang suci dan sakti. Di Jepang, guru disebut “sensei”
artinya “ yang lebih dahulu lahir”, “yang lebih tua”. Di
Inggris, guru itu dikatakan “teacher” dan di Jerman “der lehrer” keduanya
berarti “pengajar”. Akan tetapi kata guru bukan saja berarti. “pengajar”
melainkan juga “pendidik”, baik di dalam maupun di luar sekolah.[69]Firman
Allah Swt.
øÎ)ur
xs{r&
ª!$#
t,»sVÏB
tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$#
¼çm¨Zä^Íhu;çFs9
Ĩ$¨Z=Ï9
wur
¼çmtRqßJçGõ3s?
(ال عمران/۴ : ۱۸۷)
Artinya
: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.( Q.S Al-Imran/3: 187 )[70]
Firman
Allah itu mewajibkan bagi kita yang mempunyai ilmu pengetahuan untuk
mengajarkan kepada orang lain. Ditegaskan lagi dalam al-Qur’an jika ada orang
yang berilmu menyembunyikan ilmunya itu maka Allah Swt akan memberikan sanksi.
Sesuai dengan Firman Allah ta’alaa :
4 `tBur
$ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä
çmç6ù=s%
(البقرة/ ۲: ۲۸۳)
Artinya:
Dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya. (Q.S Al-Baqarah/2 : 238 )[71]
c.
Masyarakat
Lembaga
pendidikan masyarkat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga sesudah keluarga
dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini telah mulai ketika
peserta didik untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan
berada di luar pendidikan sekolah. Dengan demikian berarti pendidikan tersebut
tampaknya lebih luas serta ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam
masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan
kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengetahuan, sikap dan minat maupun
pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Pendidikan
dalam masyarakat ini bisa dikatakan pendidikan secara tidak langsung,
pendidikan yang dilaksanakan dengan tidak sadar oleh masyarakat. Dan anak didik
secara tidak sadar telah mendidik dirinya sendiri, untuk mencari pengetahuan
dan pengalaman sendiri, mempertebal keimanan serta keyakinan sendiri akan
nilai-nilai kesusilaan dan keagamaan di dalam masyarkat.
Sebagai
salah satu lingkungan terjadinnya kegiatan pendidikan masyarakat mempunyai
pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya segala kegiatan yang menyangkut
masalah penanaman nilai-nilai pendidikan Islam. Jika dilihat dari materi yang
digarap jelas kegiatan pendidikan yang bersifat formal, informal maupun
non-formal berisikan generasi muda yang akan meneruskan kehidupan masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu, bahan yang akan diberikan kepada anak didik sebagai
generasi tadi harus disesuaikan dengan keadaan dan tuntunan masyarakat dimana
kegiatan pendidikan itu berlangsung.
Lembaga-lembaga
pendidikan yang ada di masyarakat ikut langsung melaksanakan pendidikan dan
membantu dalam usaha membentuk pendidikan seperti; membentuk sikap, kesusilaan,
dan menambah ilmu pengetahuan di luar sekolah dan keluarga. Sedangkan
pendidikan yang dilakukan dalam masyarakat bisa melalui organisasi sosial,
organisasi politik, organisasi pemuda, organisasi agama juga melalui
perkumpulan kesenian dan olahraga.
Oleh
karena itu bagi anak-anak didik Islam sudah sewajarnya mereka masuk
lembaga-lembaga pendidikan masyarakat yang berdasarkan ajaran Islam. Hal ini
dimengerti, karena dengan organisasi yang berdasarkan Islam itu anak-anak didik
akan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk
pendidikan di dalam masyarakat penulis lebih cendrung sependapat dengan yang
dikemukakan oleh Oemar Muhammad Al-Taumy Al-Saybany dalam Falsafah
Pendidikan Islam sebagai berikut : “Diantara Ulama-ulama mutahkhir yang
telah menyentuh persoalan tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi
manusia, sehingga dapat ditafsirkan manusia sebagai: “makhluk yang bertanggung
jawab.”[72]
Firman Allah Swt;
4
@ä.
¤ÍöD$#
$oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu (
الطو ر/ ۵۲ : ۲۱)
Artinya:
Tiap-tiap manusia bertanggung jawab dengan apa yang dikerjakannya ( Q.S
At-Thur/52 : 21 )[73]
Ayat
ini menunjukkan tanggung jawab terhadap diri sendiri, sekalipun Islam
menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan
menganggapnya sebagai azas, ia tidaklah mengabaikan tanggungjawab sosial yang
menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, terpadu dan kerjasama
membina dan mempertahankan kebaikan. Islam tidak membebaskan manusia dan tanggung
jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang tejadi
disekelilingnya atau terjadi dengan orang lain. Terutama jika orang lain itu
termasuk orang yang berada di bawah tanggung jawab dan pengawasannya seperti:
istri, anak, ayah, dan lain-lain. Firman Allah Swt yang menunjukkan tanggung
jawab sosial.
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt
n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$#
4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$#(ال
عمر ان /۳ : ۱۰۴)
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung. ( Q.S Al-Imran/3: 104 )[74]
Jelaslah
bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat perorangan dan sosial sekaligus.
Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab ini tidak hanya
bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan perbaikan dirinya, tetapi juga
bertanggung jawab terhadap perbuatan orang-orang yang berada di bawah perintah,
pengawasannya. Ini berlaku atas diri sendiri, istri, bapak, ibu, golongan dan
lembaga-lembaga pendidikan dan juga pemerintah.
[1] W.JS.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka,
1999), h. 677.
[2]
H. Titus, M.S, et al, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1984), h. 122.
[3]
Muhaimindan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (bandung: Trigenda
Karya, 1993), h. 110.
[4]
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 61
[5] Ibid,.
h18
[6] Frederick J.
MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication LTD, 1959),
h. 4.
[7]
HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1976) h. 12
[8]
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Ma’arif,
1989), h. 19.
[9]
Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta :
Gunung Agung, 1981), h. 257
[10] 10 Ahmad D.
Marimba, op. cit.,h. 21
[11] HM. Chabib Thoha, op. cit., h. 99.
[12] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan,
(Yogyakarta: Aditya media, 1992), h. 14.
[13] Abdurrahman An
Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta :
Gema Insani Press, 1995), h. 28.
[14] Ahmad D. Marimba, op. cit.,h.19
[16] Ibid.,
h. 786.
[17] Zakiah Daradjat, et. al,Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta :
Bumi Aksara, 2000), cet. IV, h. 20.
[18] M. Qurais Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan,
1996), h. 13.
[19] Abdurrahman An Nahlawwi, op. cit., h. 31
[20] Abdurrahman An
Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1992), h. 47.
[21] Zuhairini, et.
al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995) h. 159.
[22] Ahmadi, op. cit.,h. 63
[23] RHA Soenardjo, et. al.,op.cit., h. 862.
[24] Yusuf Amir
Faisal, Reorientasi pendidikan Islam (Jakarta : Gema Insani Press,1995)
h. 96.
[25] Muhaimin dan
Abdul Mujib, op. cit.,h. 127.
[26] Ibid.
[27] Yusuf Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2000), h. 27.
[28] Zainudin, et. al., Seluk Beluk Pendidikan dari AL Ghazali,
(Jakarta: Bina Askara, 1991), h. 97.
[29] M. Nippan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga,
(Yogyakarta : Mitra Pustaka,2001) Cet. II h. 176
[30] M. Nur Abdul Hafizh, “Manhaj Tarbiyah Al Nabawiyyah Li Al-Thifl”,
Penerj. Kuswandini, et al, Mendidik Anak Bersama Rasulullah SAW,
(Bandung: Al Bayan, 1997), Cet I, h. 110.
[31] Ibid.,
h. 138-139.
[32] Ibid., h. 147
[33] RHA Soenarjo, et al, op. cit., h. 647
[34] Imam Abi
Husain bin Hajjaj Qusairi An Naisaburi, Sahih Muslim, Juz.IV, (Beirut :
Dar Al-Fikr, tt ), h. 2047.
[35] Zakiah
Daradjat, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga : Tinjauan Psikologi
Agama”, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim Dalam
Masyarakat Modern, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1993), h. 60.
[36] Yusuf Qardawi,
Konsep Ibadah Dalam Islam, (tt.p: Central Media, tt), h. 33.
[37] N. Nippan
Abdul Halim, Anak Shaleh,..op. cit. h. 179
[38] M. Nur Abdul Hafidz, op.cit., h. 150
[39] Zakiah Daradjat, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga op., cit.,
h. 64
[40] RHA. Soenarjo, et al, op.cit., h. 655.
[44] Azwir Ma’ruf, Peranan Akhlak
Dalam Menunjang Pembangunan Manusia Seutuhnya, (Padang: IAIN Press,2002),
h. 7
[45] Zahruddin AR, Hasanudin Sinaga, op.cit., h. 4
[46] Ibid., h. 4
[47] Zainuddin, Seluk Beluk
Pendidikan dari Al- Ghazali, (Jakarta, Bumi Aksara, 1991), h. 102
[48] Omar
al-Thaumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 346.
[49] Muhammad ‘Abdussalam ‘Abdutsani, Musnad Imam Ahmad bin
Hambal, Juz ii, (Libanon : Dar al-Kutub, tt.), h. 504.
[56] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam, Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2000), h. 7
[62] Departeman Agama RI, op, cit., h. 175
[63] Ibid., h. 803
[71] Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu
Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu Jilid I Cet. 3 ) h. 520
[73] Ahmad Musthafa Al-maraghi, Tafsir Al-Maraghi ( Semarang :
CV. Toha Putra, Cet ke 2 Jilid 27,1989 ) h. 43
[74] Depertemen Agama op, cit, h.63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar