Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Nilai-Nilai Pendidikan Islam


A.    Nilai-Nilai Pendidikan Islam
1.      Pengertian Nilai
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.[1] Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan.[2] Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat.[3] Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha mengartikan nilai sebagai berikut: Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak,  ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.[4]
Adapun menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).[5] Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku serta dengan nilai itu manusia bisa membedakan yang baik dan buruk dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu nilai juga merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sebab nilai dapat memberikan kepuasan tersendiri dalam pribadi manusia.
2.      Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata education. Menurut Frederick J. MC. Donald adalah : “Education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being[6] (pendidikan adalah proses yang berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam tingkah laku manusia). Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.[7]
Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[8] Adapun pengertian pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja ialah semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani.[9] Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
Sedang pendidikan Islam menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[10] Senada dengan pendapat di atas, menurut Chabib Thoha pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits.[11] Menurut Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim[12]
Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli, namun dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik, pada dasarnya pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan penjelasan di atas, nilai-nilai pendidikan Islam adalah sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi pada Allah Swt. Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil, karena pada waktu itu adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik padanya.
3.      Landasan dan Tujuan Nilai Pendidikan Islam
a.       Landasan Nilai Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pengaplikasian Islam dan ajaran-ajarannya ke dalam tingkah laku sehari-hari. Karena itu, keberadaan sumber dan landasan pendidikan Islam harus sama dengan sumber Islam itu sendiri, yaitu al Qur’an dan as Sunah.[13] Pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan Islam ialah padangan hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal yakni al Qur’an dan as Sunnah yang shahih juga pendapat para sahabat dan ulama sebagai tambahan. Hal ini senada dengan pendapat Ahmad D. Marimba yang menjelaskan bahwa yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isi al Qur’an dan al Hadits menjadi pondamen, karena menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan.[14]
1)      Al Qur’an
Kedudukan al Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan surat al Baqarah ayat 2, yaitu:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9  
Artinya: Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertaqwa. (QS. Al Baqarah: 2).[15]
Selanjutnya firman Allah Swt dalam surat Asy Syura ayat17:
ª!$# üÏ%©!$# tAtRr& |=»tGÅ3ø9$# Èd,ptø:$$Î/ tb#uÏJø9$#ur 3 $tBur y7ƒÍôム¨@yès9 sptã$¡¡9$# Ò=ƒÌs%
Artinya: Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat.( Q.S Asy Syura: 17) [16]

Kandungan al Qur’an terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman yang mengajari anaknya dalam surat Luqman.[17] Al Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipalajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup, apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran, rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.[18]
2)      As Sunah
Setelah al Qur’an, pendidikan Islam menjadikan as Sunnah sebagai dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah Sunnah berarti jalan, metode dan program. Secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw.[19] Sebagaimana al Qur’an, sunah juga berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya dan akan membina manusia menjadi muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan Sunnah memiliki dua faedah yang sangat besar, yaitu :
a)       Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya.
b)      Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah Saw bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan ke dalam jiwa yang dilakukan-nya. [20]
b.      Tujuan Nilai Pendidikan Islam
Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu hidup.[21] Adapun tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan para ahli antara lain. Menurut Ahmadi, tujuan pendidikan Islam adalah sejalan dengan pendidikan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk Allah Swt yaitu semata-mata hanya beribadah kepada-Nya.[22] Firman Allah Swt dalam al Qur’an :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
Artinya: Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku (QS. Adz-Dzariyat : 56)[23]
Yusuf Amir Faisal merinci tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a.       Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdhah
b.      Membentuk manusia muslim disamping dapat melaksanakan ibadah mahdah dapat juga melaksanakn ibadah muamalah dalam kedudukannya sebagai orang per orang atau sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu.
c.       Membentuk warga negara yang bertanggung jawab pada Allah Swt sebagai pencipta-Nya
d.      Membentuk dan mengembangkan tenaga professional yang siap dan terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki masyarakat.
e.       Mengembangkan tenaga ahli dibidang ilmu agama dan ilmu -ilmu Islam yang lainnya.[24]

Berdasarkan penjelasan dan rincian tentang tujuan pendidikan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan nilai pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
a.       Menyiapkan dan membiasakan anak dengan ajaran Islam sejak dalam kecil agar menjadi hamba Allah Swt yang beriman.
b.      Membentuk anak muslim dengan perawatan, bimbingan, asuhan, dan pendidikan pra natal sehingga dalam dirinya tertanan kuat nilai-nilai keislaman yang sesuai fitrahnya
c.       Mengembangkan potensi, bakat dan kecerdasan anak sehingga mereka dapat merealisasikan dirinya sebagai pribadi muslim.
d.      Memperluas pandangan hidup dan wawasan keilmuan bagi anak sebagai makhluk individu dan sosial
4.      Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Institusional nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan, Pandangan Freeman But dalam bukunya Cultural History Of Western Education yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai.[25] Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai diinul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga kerja disemua tingkat dan bidang pembangunan agar terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Nilai pendidikan Islam perlu ditanamkan pada anak sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya.[26] Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatui rangkaian atau sistem di dalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas. Dengan banyaknya nilai-nilai Islam yang terdapat dalam pendidikan Islam, maka penulis membatasi bahasan nilai-nilai pendidikan Islam kepada tiga nilai pokok dalam ajaran Islam, yaitu: nilai keimanan, nilai akhlak, dan nilai ibadah. Dalam hal ini orang tua perlu membekali anaknya dengan materi-materi atau pokok-pokok dasar pendidikan sebagai pondasi hidup yang sesuai dengan arah perkembangan jiwanya.
a.       Nilai Pendidikan keimanan (Akidah Islamiyah)
Iman adalah kepercayaan yang terhujam ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak ada perasaan syak (ragu-ragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas keseharian.[27] al Ghazali mengatakan “iman adalah megucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.”[28] Pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut mendapat perhatian yang pertama dan utama dari orang tua. Memberikan pendidikan ini pada anak merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Pasalnya iman merupakan pilar yang mendasari ke-Islaman seseorang. Pembentukan iman harus diberikan pada anak sejak kecil, sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya. Nilai-nilai keimanan harus mulai diperkenalkan pada anak dengan cara :
1)      memperkenalkan nama Allah Swt dan Rasul-Nya
2)      memberikan gambaran tentang siapa pencipta alam raya ini melalui kisah-kisah teladan
3)      memperkenalkan ke-Maha-Agungan Allah Swt .[29]
Rasulullah Saw adalah orang yang menjadi suri tauladan (Uswatun Hasanah) bagi umatnya, baik sebagai pemimpin maupun orang tua. Beliau mengajarkan pada umatnya bagaimana menanamkan nilai-nilai keimanan pada anak-anaknya. Ada lima pola dasar pembinaan iman (Akidah) yang harus diberikan pada anak, yaitu membacakan kalimat tauhid pada anak, menanamkan kecintaan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, mengajarkan al Qur’an dan menanamkan nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan.[30]
Orang tua memiliki tanggung jawab mengajarkan al Qur’an pada anak-anaknya sejak kecil. Pengajaran al Qur’an mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan iman (akidah) yang kuat bagi anak. Pada saat pelajaran al Qur’an berlangsung secara bertahap mereka mulai dikenalkan pada satu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan mereka dan al Qur’an adalah firman-firman-Nya yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW, sebab pengajaran al Qur’an pada anak merupakan dasar pendidikan Islam terutama yang harus diajarkan.
Ketika anak masih berjalan pada fitrahnya selaku manusia suci tanpa dosa, merupakan lahan yang paling terbuka untuk mendapatkan cahaya hikmah yang terpendam dalam al Qur’an, sebelum hawa nafsu yang ada dalam diri anak mulai mempengaruhinya.[31] Iman (akidah) yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseorang merupakan hal yang penting dalam perkembangan pendidikan anak. Salah satu yang bisa menguatkan akidah adalah dengan memiliki nilai pengorbanan dalam dirinya demi membela akidah yang diyakini kebenarannya. Semakin kuat nilai pengorbanannnya akan semakin kokoh akidah yang ia miliki.[32]
Nilai pendidikan keimanan merupakan landasan pokok bagi kehidupan yang sesuai fitrahnya, karena manusia mempunyai sifat dan kecenderungan untuk mengalami dan mempercayai adanya Tuhan. Oleh karena itu penanaman keimanan harus diperhatikan dan tidak boleh dilupakan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat ar Ruum:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahitu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (fitrah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum : 30).[33]

Fitrah manusia yang telah ditetapkan oleh Allah Swt sebagaimana dalam ayat di atas maka setiap orang mempunyai kewajiban untuk memelihara fitrah dan mengembangkannya. Hal ini telah ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw sebagai berikut: [34]
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال ان رسول الله ص م يقول :ما من مولود يولدعلي الفطرة فا بواه يوهدان اوينصران او يمجسان (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata : bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :“Tidaklah seseorang yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah(suci dari kesalahan dan dosa), maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.(HR. Muslim).

Melihat ayat dan Hadis di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan perkembangan selanjutnya tergantung pada orang tua dan pendidiknya, maka orang tua wajib mengarahkan anaknya agar sesuai dengan fitrahnya. Nilai pendidikan keimanan termasuk aspek-aspek pendidikan yang patut mendapatkan perhatian pertama dan utama dari orang tua.
Memberikan pendidikan ini kepada anak merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang tua dengan penuh kesungguhan. Sebab iman merupakan pilar yang mendasari ke-Islaman seseorang, pembentukan iman seharusnya diberikan kepada anak sejak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya. Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin di dalam kandungan telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungya.[35]
Nilai-nilai keimanan yang diberikan sejak anak masih kecil, dapat mengenalkannya pada Tuhannya, bagaimana ia bersikap pada Tuhannya dan apa yang mesti diperbuat di dunia ini. Sebagaimana dikisahkan dalam al Qur’an tentang Luqmanul Hakim adalah orang yang diangkat Allah sebagai contoh orang tua dalam mendidik anak, ia telah dibekali Allah dengan keimanan dan sifat-sifat terpuji.
Orang tua perlu mencontoh Luqman dalam mendidik anaknya, karena ia sebagai contoh baik bagi anak-anaknya. perbuatan yang baik akan ditiru oleh anak anaknya begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, pendidikan keimanan, harus dijadikan sebagai salah satu pokok dari pendidikan kesalehan anak. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa kelak ia akan tumbuh dewasa menjadi insan yang beriman kepada Allah Swt, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta dengan keimanan yang sejati bisa membentengi dirinya dari berbuat dan berkebiasaan buruk.
b.      Nilai Pendidikan Ibadah
Ibadah merupakan kepatuhan yang bergerak dari perasaan hati untuk mengagungkan yang disembah.[36] Kepatuhan yang dimaksud adalah seorang hamba yang mengabdikan diri pada Allah Swt. Ibadah merupakan bukti nyata bagi seorang muslim dalam meyakini dan mempedomani akidah Islamiyah. Sejak dini anak-anak harus diperkenalkan dengan nilai-nilai ibadah dengan cara :
1)      mengajak anak ke tempat ibadah
2)      memperlihatkan bentuk-bentuk ibadah
3)      memperkenalkan arti ibadah.[37]
Pendidikan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pendidikan akidah. Karena nilai ibadah yang didapat dari anak akan menambah keyakinan kebenaran ajarannya. Semakin nilai tinggi ibadah yang ia miliki maka akan semakin tinggi nilai keimanannya.[38] Ibadah merupakan penyerahan diri seorang hamba pada Allah Swt. ibadah yang dilakukan secara benar sesuai dengan syari’at Islam merupakan implementasi secara langsung dari sebuah penghambaan diri pada Allah Swt. Manusia merasa bahwa ia diciptakan di dunia ini hanya untuk menghamba kepada-Nya.
Pembinaan ketaatan ibadah pada anak juga dimulai dalam keluarga kegiatan ibadah yang dapat menarik bagi anak yang masih kecil adalah yang mengandung gerak. Anak-anak suka melakukan shalat, meniru orang tuanya kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukannya itu.[39] Nilai pendidikan ibadah bagi anak akan membiasakannya melaksanakan kewajiban. Pendidikan yang diberikan Luqman pada anak-anaknya merupakan contoh baik bagi orang tua. Luqman menyuruh anak-anaknya shalat ketika mereka masih kecil dalam al Qur’an Allah Swt berfirman :
¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$#
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (QS. Luqman : 17).[40]

Ayat ini menjelaskan, bahwa Luqman menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah kepada anak-anaknya sejak dini. Luqman bermaksud agar anak-anaknya mengenal tujuan hidup manusia, yaitu menghambakan diri kepada Allah Swt. bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah Swt. Apa yang dilakukan Luqman kepada anak-anaknya bisa dicontoh orang tua zaman sekarang ini. Rasulullah Saw memberikan tauladan pada umatnya tentang nilai pendidikan ibadah. Beliau mengajarkan anak yang berusia tujuh tahun harus sudah dilatih shalat dan ketika berusia sepuluh tahun mulai disiplin shalatnya, penejelasan ini dapat dilihat dari riwayat yang disampaikan oleh Abu Daud yaitu: “Dari Umar bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. Abu Dawud). [41]
Pendidikan ibadah merupakan salah satu aspek pendidikan Islam yang perlu diperhatikan. Semua ibadah dalam Islam bertujuan membawa manusia supaya selalu ingat kepada Allah. oleh karena itu ibadah merupakan tujuan manusia diciptakan dimuka bumi. Allah berfirman dalam surat Adz Dzariyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembahKu. ( QS. Adz Dzaariyat: 56 )[42]
Ibadah yang dimaksud bukan ibadah ritual saja tetapi ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah dalam arti umum dan khusus. Ibadah umum yaitu segala amalan yang dizinkan Allah SWT. sedangan ibadah khusus yaitu segala sesuatu (apa) yang telah ditetapkan Allah Swt. akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu. Usia baligh merupakan batas Taklif (pembebanan hukum Syar’i) apa yang diwajibkan syar'i’at pada seorang muslim maka wajib dilakukannya, sedang yang diharamkan wajib menjauhinya.
Salah satu kewajiban yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah shalat lima waktu. Orang tua wajib mendidik anak-anaknya melaksanakan shalat, apabila ia tidak melaksanakan maka orang tua wajib memukulnya. Oleh karena itu, nilai pendidikan ibadah yang benar-benar Islamiyyah mesti dijadikan salah satu pokok pendidikan anak. Orang tua dapat menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah pada anak dan berharap kelak ia akan tumbuh menjadi insan yang tekun beribadah secara benar sesuai ajaran Islam.

c.       Nilai Pendidikan Akhlak
Secara etimologi “akhlak” berasal dari bahasa Arab jamak dari bentuk mufradatnya “khulqun” ( خُلق ) yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi- segi persesuaian dengan perkataan “khalqun” ( خَلق ) yang berarti kejadian yang erat hubungannya dengan “khaliq” ( خَالقْ ) yang berarti penciptaan, demikian pula dengan makhluqun ( مخلوق ) yang berarti yang diciptakan. [43]
Sedangkan pengertian secara terminologi Beberapa pakar mengemukakan beberapa defenisi akhlak menurut istilah:
1)      Menurut Abdul Hamid Hakim yang dikutip oleh Azwir Ma’ruf, akhlak yaitu sifat yang berurat akar pada diri seseorang yang terbit padanya amal perbuatan dengan mudah tanpa difikir-fikir dan ditimbang- timbang secara spontan.[44]
2)      Menuut Ibnu Miskawaih dalam bukunya “Tahzibul Akhlak Wathirul A’raq”. Akhlak adalah keadaan jika seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuata-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.[45]
3)      Menurut Imam Al- Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumuddin”. Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran lebih dahulu.[46]
Menurut Al- Ghazali akhlak harus mencakup dua syarat yaitu:
1)      Perbuatan itu harus konstan yaitu dilakukan berulang kali (kontiniu) dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan
2)      Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan dan paksaan dari orang lain, pengaruh atau bujukan-bujukan yang indah dan sebagainya.[47]
Berdasarkan defenisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, akhlak merupakan sikap yang terjadi dengan kemauan sendiri, dengan spontan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan terlebih dahulu, seperti seseorang yang melihat anak kecil terjatuh dari sepedanya, dengan spontan ia akan menolongnya. Apabila dalam kondisi tersebut timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut syariat dan akal pikiran maka ia dinamakan budi pekerti yang mulia dan apabila yang lahir kelakuan yang buruk maka disebutlah budi pekerti yang tercela.
Akhlak juga merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik, sistematis dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka akan menghasilkan anak- anak atau orang yang baik akhlaknya. Adapun ruang lingkup pendidikan akhlak mencakup tiga pola hubungan:
1)      Pola hubungan manusia dengan Allah Swt, seperti mentauhidkan Allah Swt dengan menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir di waktu siang atau pun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk atau pun berbaring dan bertawakkal kepada-Nya.
2)      Pola hubungan manusia dengan sesama manusia.
Pola hubungan ini mencakup semua manusia sebagai makhluk Allah Swt, baik itu Rasulullah Saw, kedua orang tua, dan masyarakat. Pola hubungan dengan Rasulullah Saw, seperti menegakkan sunnahnya, menziarahi kuburnya di Madinah, membacakan shalawat dan mentaati perintahnya serta meninggalkan larangannya. Pola hubungan dengan kedua ibu bapak, seperti berbuat baik kepada keduanya, mengucapkan kata yang sopan, tidak menyakiti perasaannya, tidak membentak, mendo’akan untuk keduanya. Pola hubungan dengan masyarakat, seperti bergaul dan tolong menolong, memenuhi aturan yang telah disepakati bersama dalam masyarakat, mentaati pemimpin, menegakkan ukhuwah Islamiyah dan solidaritas antar umat.
3)      Pola hubungan manusia dengan alam semesta, seperti menjaga kelestarian alam, melindungi hutan dari kegersangan akibat penebangan hutan tanpa ditanami lagi, dan memelihara keindahan alam.   
Pembinaan akhlak adalah suatu proses penanaman, dan pengajaran, pada manusia dengan tujuan menciptakan dan mensukseskan tujuan tertinggi agama Islam, yaitu kebahagiaan dua kampung (dunia dan akhirat), kesempurnaan jiwa masyarakat, mendapat keridoan, keamanan, rahmat, dan mendapat kenikmatan yang telah dijanjikan oleh Allah Swt yang berlaku pada orang-orang yang baik dan bertaqwa.[48]
Karena akhlak merupakan pondasi (dasar) yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang seutuhnya, maka pendidikan yang mengarah terbentuknya pribadi yang berakhlak, merupakan hal yang pertama yang harus dilakukan, sebab akan melandasi kestabilan kepribadian manusia secara keseluruhan. Rasulullah Saw bersabda:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: انما بعثت لاتمم صا لح الاخلاق (رواه احمد)[49]
Artinya: Dari Abu Hurairah r. a. Rasulullah Saw telah bersabda : aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur (HR Ahmad).[50]

Islam menginginkan akhlak yang mulia, karena akhlak yang mulia ini di samping akan membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang manfaatnya adalah orang yang bersangkutan. Manfaat tersebut, yaitu:
1)      Memperkuat dan menyempurnakan agama
2)      Mempermudah perhitungan amal di akhirat
3)      Menghilangkan kesulitan
4)      Selamat hidup di dunia dan akhirat.[51]
Dengan memiliki akhlak yang kharimah maka seseorang akan dapat berhubungan dengan baik dengan sang pencipta, dapat diterima dalam setiap pergaulannya, juga melestarikan alam ciptaan Allah Swt, oleh karena itu penanaman akhlakul kharimah perlu ditanamkan sejak dini pada anak.
Nilai-nilai yang hendak dibentuk atau diwujudkan dalam pribadi agar fungsional dan aktual dalam perilaku muslim, adalah nilai Islami yang melandasi moralitas (akhlak), ada beberapa faktor penting yang terdapat dalam diri (jiwa) anak yang perlu diketahui, karena hal ini menjadi acuan dalam pembahasan nilai-nilai pendidikan akhlak yang dibutuhkan dalam mengembangkan kepribadian . Faktor-faktor penting tersebut antara lain:
1)      Instink
Instink merupakan faktor penting dalam akhlak karena instink terdapat dalam manusia. Instink merupakan suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan tanpa didahului latihan perbuatan itu.[52]


2)      Kebiasaan
Kebiasaan adalah Bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang mengandung unsur afektif perasaan.[53] Apabila dihubungkan dengan perbuatan, maka kebiasaan pada mulanya dipengaruhi oleh kerja pikir, didahului oleh pertimbangan dan perencanaan, sehingga kebiasaan merupakan faktor penting dalam rangka pembentukan karakteristik manusia dalam perilakunya. Untuk memperoleh perilaku yang baik dan terpuji harus dipupuk dengan nilai-nilai kharimah yang ada dalam Islam.
3)      Kehendak
Kehendak adalah suatu kekuatan, seperti uap atau listrik. Kehendak merupakan penggerak manusia yang mendorong segala perbuatan yang seakan-akan tidur menjadi gerak dan bangkit.[54] Walaupun seseorang mampu melaksanakan sesuatu, namun ia tidak mempunyai kehendak, maka tidak akan terjadi sesuatu yang diinginkan atau yang diangan-angankan.
4)      Nafsu
Nafsu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia, karena nafsu memiliki pertalian dengan instink, tetapi gejalanya tidak sama. Nafsu tampak dalam berbagai bentuk dan cara, sedang instink tidak tampak dari luar, dan sulit untuk dilihat.

5)      Akal
Akal merupakan sumber pengetahuan dan pemahaman yang terdapat dalam manusia, namun juga akal menjadi tanda kodrati keutamaan dan sumber setiap adab.[55] Dengan penyempurnaan akal, Allah Swt telah memberikan tugas untuk bertanggung jawab, menjadikan dunia teratur dan sejahtera, dan melaksanakan perintah Allah Swt lainnya.
Dalam pendidikan akhlak aktualisasi nilai-nilai Islam perlu dipandang sebagai suatu persoalan yang penting dalam usaha penanaman ideologis Islam sebagai pandangan hidup. Namun demikian dalam usaha aktualisasi nilai-nilai moral Islam memerlukan proses yang lama, agar penanaman tersebut bukan sekedar dalam formalitas namun telah masuk dalam dataran praktis. Untuk itu, perlulah kiranya menghubungkan faktor penting kebiasaan, memperhatikan potensi anak didik, juga memerlukan bentuk-bentuk dan metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan anak didiknya.
Bentuk pendidikan akhlak ada yang secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung yaitu cara-cara tertentu yang ditujukan langsung kepada pembentukan akhlak, antara lain: tauladan, nasehat, latihan, dan hadiah. Sementara pendidikan akhlak yang tidak langsung yaitu cara-cara tertentu yang bersifat pencegahan dan penekanan, antara lain: koreksi dan pengawasan, larangan, hukuman dan sebagainya. Dari bentuk-bentuk pendidikan akhlak ini diharapkan nilai-nilai Islam (akhlak) dapat menjadi kepribadian anak didik, artinya bukan hanya bersifat formal dalam ucapan dan teori belaka, akan tetapi sampai pada tingkat pelaksanaan dalam kehidupan.
Beberapa nilai atau hikmah yang dapat diraih berdasarkan ajaran-ajaran amaliah Islam (akhlak) antara lain: al-amanah (berlaku jujur), al-rahman (kasih sayang), al-haya’ (sifat malu), al-shidq (berlaku benar), al-syaja’ah (berani), qana’ah atau zuhud , al-ta’awun (tolong-menolong) dan lain-lain.
Menurut Ibnu Miskawaih, manusia mempunyai tiga potensi, Yaitu potensi bernafsu (an-nafs al-bahimiyyah), potensi berani (an-nafs as-subuiyyat) dan potensi berfikir (an-nas an-nathiqiyah). Potensi bernafsu dan potensi berani berasal dari unsur materi sehingga akan hancur pada suatu saat, sedangkan potensi berfikir berasal dari ruh Tuhan sehingga bersifat kekal.[56]
Nilai-nilai pendidikan akhlak yang harus ditanamkan bukan sekedar akhlaul karimah, melainkan akhlak madzmumah juga harus di sampaikan dan diajarkan kepada anak. Bila akhlak yang buruk itu tidak disampaikan kepada anak maka anak akan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dan melanggar etika yang ada di masyarakat itu.
Pendidikan akhlak yang harus ditanamkan pada anak, penulis bagi menjadi tiga skala besar yaitu; akhlak terhadap Allah Swt ,akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan.
1)      Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Allah Swt
Allah Swt adalah khalik dan manusia adalah mahluk. Sebagai makhluk tentu saja manusia sangat tergantung kepadanya. Sebagaimana firman-Nya:
اللَّهُ الصَّمَدُ (الإحلاص : ٢)
Artinya: “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. (QS. Al Ikhlas: 2)[57]
Sebagai yang Maha Agung dan yang Maha Tinggi Dialah yang wajib disembah dan ditaati oleh segenap manusia, dalam diri manusia hanya ada kewajiban beribadah kepada Allah Swt, Dalam hubungannya dengan pendidikan akhlak pada masa kanak-kanak nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah:
a)    Tidak Mempersekutukan Allah Swt
b)   Cinta Kepada Allah Swt
Penanaman rasa cinta kepada Allah Swt adalah prinsip yang harus ditanamkan pada anak. Anak harus dibiasakan untuk mencintai Allah Swt dengan diwujudkan dalam bentuk sikap bersyukur segala nikmat yang diberikan Allah Swt kepada setiap manusia. Karena itu Allah Swt memerintahkan untuk mensyukuri nikmat Allah Swt yang tidak terhingga.
c)    Takut Kepada Allah Swt
Takut kepada Allah Swt adalah penting dalam kehidupan seorang mukmin. Sebab rasa takut itu mendorongnya untuk taqwa kepadanya dan mencari ridhonya, mengikuti ajaran–ajarannya, meninggalkan larangannya dan melaksanakan perintahnya. Rasa takut kepada Allah Swt dipandang sebagai salah satu tiang penyangga iman kepadanya dan merupakan landasan penting dalam pembentukan seorang mukmin.[58]
2)      Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Setiap diri memiliki tiga macam potensi yang bila dikembangkan dapat mengarah kepada kutub positif, tetapi dapat juga ke kutub negatif. Ketiga potensi yang dimaksud adalah nafsu, amarah, dan kecerdasan. Bila dikembangkan secara positif, nafsu dapat menjadi suci, amarah bisa menjadi berani dan kecerdasan bisa menjadi bijak. Sebaliknya, bila dikembangkan dalam kutub negatif, nafsu dapat mengarah kepengumbaran hawa nafsu dan serakah, amarah dapat menghasilkan berani secara sembrono atau gegabah dan pengecut dan potensi kecerdasan bisa menjadi bodoh dan jumud.[59]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas seorang anak harus diberi pengertian bahwa pahala dan dosa akan kembali pada diri kita sendiri. Adapun sikap-sikap yang perlu ditanamkan pada diri anak yaitu:
a.    Tidak Bersikap Sombong
b.    Kejujuran
c.    Sifat Qona’ah
3)      Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Lingkungan
1)   Akhlak terhadap Lingkungan Keluarga
Sikap utama yang harus yang harus dikembangkan pada anak dalam keluarga, yang utama yaitu penanaman sikap berbakti kepada orang tua yang telah bersusah payah mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang. Bagaimana Allah Swt mencontohkan nasehat Luqman terhadap anaknya agar berbakti kepada orang tua. al-Qur’an menyebutkan:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (القمان : ۱۴)
Artinya:“Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah dari menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orangtua, ibu bapakmu, hanya kepadakulah engkau kembali” (Luqman :14).[60]

4)       Lingkungan Masyarakat Atau Lingkungan Sekitar
Lingkungan masyarakat yang paling dekat dengan anak-anak adalah tetangga. Sehubungan dengan itu anak harus dididik untuk bersopan santun dan menghormati tetangganya, karena bagaimanapun juga tetangga adalah orang yang akan segera memberi pertolongan apabila di rumah kita terjadi kesusahan. Perilaku yang sering muncul pada anak di lingkungan tetangga di antaranya sering membuat gaduh, mengganggu, mengotori dan lain-lain.
Selain lingkungan masyarakat di sini perlu ditanamkan akhlak tentang alam sekitar di antaranya adalah memelihara dengan baik apa yang ada disekitar kita. Manusia sebagai khalifah, pengganti dan pengelola alam. Sementara di sisi lain mereka diturunkan ke bumi ini untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya termasuk lingkungan dan manusia secara keseluruhan.[61]
5.      Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Penanaman nilai-nilai pedndidikan Islam akan dapat terlaksana dengan baik jika lingkungan yang mempengaruhi seseorang dapat bekerja sama untuk menjadikan pribadi yang baik, adapun lingkungan yang bekerja sama itu akan penulis paparkan sebagai berikut:
a.       Rumah Tangga
Anak lahir dalam pemeliharan orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga, Orang tua tanpa ada yang memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat sebagai pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina mapun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya, ini adalah tugas kodrati tiap-tiap manusia.
Anak mengisap norma-norma pada anggota keluarga, baik ayah ibu maupun kakak-kakaknya, Maka orang tua di dalam keluarga harus dan merupakan kewajiban kodrati untuk memperhatikan anak-anaknya serta mendidiknya, sejak anak-anak itu kecil, bahkan sejak anak itu dalam kandungan.
Suatu kehidupan keluarga yang baik, adalah keserasian antara ayah dan ibu yang merupakan komponen pokok dalam setiap keluarga. Untuk pembentukan keluarga yang sesuai dengan syari’at Islam yang terdapat dalam al Qur’an dah al Hadits. Abdul ar-Rahaman an-Nahlawi menyimpulkan pembentukan keluarga yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits yaitu;
1)      Mendirikan syari’at Allah Swt dalam segala permasalahan rumah tangga. Artinya, tujuan berkeluarga adalah mendirikan rumah tangga muslim yang mendasarkan kehidupannya pada perwujudan penghambaan pada Allah Swt, demikianlah anak-anak tumbuh dan dibesarkan dalam rumah tangga yang dibangun dengan dasar ketakwaan kepada Allah Swt, ketaatan pada syari’at Allah Swt, dan keinginan menegakkan syari’at Allah Swt. Dengan demikian anak-anak akan mudah meniru kebiasaan orang tua dan akhirnya terbiasa hidup Islami.
2)      Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis
uqèd Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur Ÿ@yèy_ur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry z`ä3ó¡uŠÏ9 $pköŽs9Î) (......  ) الاعراف/۷: ۱۸۹(
Arinya; Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya (Al-A’raf /7 :189 )[62]
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 (الروم/۳۰ : ۲۱)
Artinya; Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. ( Q.S Ar-Ruum /30 ; 21 )[63]

Jika suami istri bersatu di atas landasan kasih sayang dan ketentraman psikologis yang interaktif, anak-anak tumbuh dalam suasana bahagia, percaya diri, tentram, kasih sayang, serta jauh dari kekacauan, kesulitan dan penyakit batin dan melemahkan keprabadian anak.
3)      Mewujudkan Sunnah Rasulullah Saw.
Keluarga yang melahirkan anak-anak saleh maka umat Islam akan merasa bangga dengan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan. Hal ini mengisyaratkan kewajiban rumah tangga muslim dalam mendidik putra putrinya melalui pendidikan yang dapat mewujudkan tujuan Islam dan itu terpatri dalam jiwa mereka dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Saw.
4)      Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak.
Naluri menyayangi anak merupakan potensi yang diciptakan bersamaan dengan penciptaan manusia dan menjadikan naluri itu sebagai salah satu landasan kehidupan alamiah, psikologis dan sosial mayoritas makhluk hidup. Keluarga (terutama orang tua) bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, karena kasih sayang merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologis dan sosial anak.
5)      Manjaga fitrah anak agar anak tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Dalam konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya fitrah anak. Dengan demikian, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan anak-anak lebih disebabkan oleh ketidak waspadaan orang tua atau pendidik terhadap perkembangan anak.
Anak pada hakikatnya dilahirkan dalam kondisi bersih sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum ayat 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ  ( الروم /۳۰: ۳۰)
Artinya; Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-Ruum/30 ; 30 )[64]

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama pendidikan terhadap anak dalam kehidupan keluarga.[65]
Secara umum situasi pendidikan terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Sehingga para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas segalannya dan kelangsungan hidup anak-anak mereka.
Selain itu pangkal ketentraman dan kedamaian hidup terletak dalam keluarga. Mengingat pentingnya kehidupan keluarga tidak hanya sekedar persekutuan hidup terkecil saja, melainkan lebih dari itu, yaitu sebagai lembaga hidup manusia yang memberi peluang kepada para anggotanya untuk hidup celaka atau bahagia di dunia dan akhirat.
 Pertama-tama yang diperintahkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dalam mengembangkan agama Islam adalah untuk mengajarkan agama itu kepada keluarganya, baru kemudian kepada masyarakat luas. Hal ini terkandung makna bahwa keselamatan keluarga harus lebih dahulu mendapat perhatian atau harus didahulukan ketimbang keselamatan masyarkat, sebab keselamatan keluarga  pada hakikatnya bertumpu pada keselamatan keluarga. Firman Allah Q.S Asy Syuara ayat/26 ; 214
öÉRr&ur y7s?uŽÏ±tã šúüÎ/tø%F{$#  (الشعر اء/ ۲۶ : ۲۱۴)
Artinya ;. Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, (Q.S Asy-syuara / 26: 214 )[66]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR .....( التحريم /۶ ۶: ۶)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.....(Q.S. At-tahriim/66 : 6 )[67]

kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa tanggung jawab yang diemban oleh orang tua tidak hanya sebatas kehidupan di dunia saja, akan tetapi juga untuk kehidupan akhirat yang lebih abadi.
b.      Sekolah
Perkembangan sekolah-sekolah baru seperti sekarang setelah melampaui periode-periode yang cukup panjang. Pengetahuan awal seorang anak bermula dari orang tua dan masyarakat yang secara tidak langsung memberikan berbagai pengetahuan dasar, walaupun tidak sistematis. Pengetahuan itu diperoleh anak melalui berbagai cara, diantaranya melalui peniruan, pengulangan, atau pembiasaan.
Namun peran agama tetap utama dan istimewa, karena bagaimanapun segala penyerapan pengetahuan pada diri anak harus tetap berpedoman pada konsep pendidikan yang bertujuan menghambakan diri kepada Allah Swt dan memiliki materi atau prilaku yang membawa manusia pada penyerahan diri terhadap syari’at Allah Swt yang diturunkan kepada Rasul-Nya serta dipelihara dan diamalkan oleh generasi sesudahnya.
Ketika semakin dewasa maka kebutuhan anak akan semakin banyak, sehingga orang tua menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada lembaga-lembaga sekolah yang merupakan lembaga pendidikan penting sesudah keluarga, yang diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak. Sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak. Tugas guru dan pemimpin sekolah di samping memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan, juga mendidik anak beragama. Di sini sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak didik.[68]
Pendidikan anak memang tidak sepenuhnya diserahkan kepada lembaga sekolah. Sebab pengalaman belajar, pada dasarnya bisa diperoleh disepanjang hidup manusia, kapanpun dan dimanapun, termasuk juga keluarga dan masyarkat itu sendiri.
Sekolah merupakan lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. lembaga sosial formal tersebut, bisa disebut sebagai satu oraganisasi, yaitu terikat kepada tata atau aturan formal, berprogram dan bertarget atau bersasaran yang jelas, serta memiliki struktur kepemimpinan penyelenggaraan atau pengelolaan yang pasti atau resmi. Sekolah bagian dari masyarakat, sebagai masyarakat kecil maka di sekolah terjadi interaksi antara warga sekolah, guru, murid dan perangkat sekolah lainnya untuk bekerja sama dalam mensukseskan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam.
Guru adalah pendidik profesional, oleh karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Mereka ini tatkala menyerahkan anaknya kesekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru. Hal itu pun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada guru/sekolah karena tidak sembarang orang tua dapat menjadi guru.
Berdasarkan konsepsi Islam, fungsi utama sekolah adalah sebagai media realisasi pendidikan dan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam berdasarkan tujuan pemikiran, akidah, dan syari’at demi terwujudnya penghambaan diri kepada Allah Swt serta sikap meng-Esa-kan Allah dan mengembangkan segala bakat atau potensi menusia sesuai fitrahnya. Sehingga manusia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Untuk Negara-negara Timur sejak dahulu guru itu dihormati oleh masyarakat. Orang India dulu, menganggap guru itu sebagai orang suci dan sakti. Di Jepang, guru disebut “sensei” artinya “ yang lebih dahulu lahir”, “yang lebih tua”. Di Inggris, guru itu dikatakan “teacher” dan di Jerman “der lehrer” keduanya berarti “pengajar”. Akan tetapi kata guru bukan saja berarti. “pengajar” melainkan juga “pendidik”, baik di dalam maupun di luar sekolah.[69]Firman Allah Swt.
øŒÎ)ur xs{r& ª!$# t,»sVŠÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# ¼çm¨Zä^ÍhŠu;çFs9 Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur ¼çmtRqßJçGõ3s? (ال عمران/۴ : ۱۸۷)
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.( Q.S Al-Imran/3: 187 )[70]

Firman Allah itu mewajibkan bagi kita yang mempunyai ilmu pengetahuan untuk mengajarkan kepada orang lain. Ditegaskan lagi dalam al-Qur’an jika ada orang yang berilmu menyembunyikan ilmunya itu maka Allah Swt akan memberikan sanksi. Sesuai dengan Firman Allah ta’alaa :
4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä çmç6ù=s% (البقرة/ ۲: ۲۸۳)
Artinya: Dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. (Q.S Al-Baqarah/2 : 238 )[71]

c.       Masyarakat
Lembaga pendidikan masyarkat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini telah mulai ketika peserta didik untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar pendidikan sekolah. Dengan demikian berarti pendidikan tersebut tampaknya lebih luas serta ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengetahuan, sikap dan minat maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Pendidikan dalam masyarakat ini bisa dikatakan pendidikan secara tidak langsung, pendidikan yang dilaksanakan dengan tidak sadar oleh masyarakat. Dan anak didik secara tidak sadar telah mendidik dirinya sendiri, untuk mencari pengetahuan dan pengalaman sendiri, mempertebal keimanan serta keyakinan sendiri akan nilai-nilai kesusilaan dan keagamaan di dalam masyarkat.
Sebagai salah satu lingkungan terjadinnya kegiatan pendidikan masyarakat mempunyai pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya segala kegiatan yang menyangkut masalah penanaman nilai-nilai pendidikan Islam. Jika dilihat dari materi yang digarap jelas kegiatan pendidikan yang bersifat formal, informal maupun non-formal berisikan generasi muda yang akan meneruskan kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, bahan yang akan diberikan kepada anak didik sebagai generasi tadi harus disesuaikan dengan keadaan dan tuntunan masyarakat dimana kegiatan pendidikan itu berlangsung.
Lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat ikut langsung melaksanakan pendidikan dan membantu dalam usaha membentuk pendidikan seperti; membentuk sikap, kesusilaan, dan menambah ilmu pengetahuan di luar sekolah dan keluarga. Sedangkan pendidikan yang dilakukan dalam masyarakat bisa melalui organisasi sosial, organisasi politik, organisasi pemuda, organisasi agama juga melalui perkumpulan kesenian dan olahraga.
Oleh karena itu bagi anak-anak didik Islam sudah sewajarnya mereka masuk lembaga-lembaga pendidikan masyarakat yang berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dimengerti, karena dengan organisasi yang berdasarkan Islam itu anak-anak didik akan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk pendidikan di dalam masyarakat penulis lebih cendrung sependapat dengan yang dikemukakan oleh Oemar Muhammad Al-Taumy Al-Saybany dalam Falsafah Pendidikan Islam sebagai berikut : “Diantara Ulama-ulama mutahkhir yang telah menyentuh persoalan tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi manusia, sehingga dapat ditafsirkan manusia sebagai: “makhluk yang bertanggung jawab.”[72] Firman Allah Swt;
4 @ä. ¤ÍöD$# $oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu  ( الطو ر/ ۵۲ : ۲۱)
Artinya: Tiap-tiap manusia bertanggung jawab dengan apa yang dikerjakannya ( Q.S At-Thur/52 : 21 )[73]

Ayat ini menunjukkan tanggung jawab terhadap diri sendiri, sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai azas, ia tidaklah mengabaikan tanggungjawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, terpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Islam tidak membebaskan manusia dan tanggung jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang tejadi disekelilingnya atau terjadi dengan orang lain. Terutama jika orang lain itu termasuk orang yang berada di bawah tanggung jawab dan pengawasannya seperti: istri, anak, ayah, dan lain-lain. Firman Allah Swt yang menunjukkan tanggung jawab sosial.
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#(ال عمر ان /۳ : ۱۰۴)
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. ( Q.S Al-Imran/3: 104 )[74]

Jelaslah bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat perorangan dan sosial sekaligus. Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan perbaikan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab terhadap perbuatan orang-orang yang berada di bawah perintah, pengawasannya. Ini berlaku atas diri sendiri, istri, bapak, ibu, golongan dan lembaga-lembaga pendidikan dan juga pemerintah.


[1] W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka, 1999), h. 677.
[2] H. Titus, M.S, et al, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 122.
[3] Muhaimindan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 110.
[4] HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61
[5] Ibid,. h18
[6] Frederick J. MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication LTD, 1959), h. 4.
[7] HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976) h. 12
[8] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Ma’arif, 1989), h. 19.
[9] Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1981), h. 257
[10] 10 Ahmad D. Marimba, op. cit.,h. 21
[11] HM. Chabib Thoha, op. cit., h. 99.
[12] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media, 1992), h. 14.
[13] Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 28.
[14] Ahmad D. Marimba, op. cit.,h.19
[15] RHA Soenarjo, et. al, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al Wa’ah, 1993), h. 8
[16] Ibid., h. 786.
[17] Zakiah Daradjat, et. al,Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta : Bumi Aksara, 2000), cet. IV, h. 20.
[18] M. Qurais Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 13.
[19] Abdurrahman An Nahlawwi, op. cit., h. 31
[20] Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), h. 47.
[21] Zuhairini, et. al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995) h. 159.
[22] Ahmadi, op. cit.,h. 63
[23] RHA Soenardjo, et. al.,op.cit., h. 862.
[24] Yusuf Amir Faisal, Reorientasi pendidikan Islam (Jakarta : Gema Insani Press,1995) h. 96.
[25] Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit.,h. 127.
[26] Ibid.
[27] Yusuf Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 27.
[28] Zainudin, et. al., Seluk Beluk Pendidikan dari AL Ghazali, (Jakarta: Bina Askara, 1991), h. 97.
[29] M. Nippan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta : Mitra Pustaka,2001) Cet. II h. 176
[30] M. Nur Abdul Hafizh, “Manhaj Tarbiyah Al Nabawiyyah Li Al-Thifl”, Penerj. Kuswandini, et al, Mendidik Anak Bersama Rasulullah SAW, (Bandung: Al Bayan, 1997), Cet I, h. 110.
[31] Ibid., h. 138-139.
[32] Ibid., h. 147
[33] RHA Soenarjo, et al, op. cit., h. 647
[34] Imam Abi Husain bin Hajjaj Qusairi An Naisaburi, Sahih Muslim, Juz.IV, (Beirut : Dar Al-Fikr, tt ), h. 2047.
[35] Zakiah Daradjat, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga : Tinjauan Psikologi Agama”, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1993), h. 60.
[36] Yusuf Qardawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (tt.p: Central Media, tt), h. 33.
[37] N. Nippan Abdul Halim, Anak Shaleh,..op. cit. h. 179
[38] M. Nur Abdul Hafidz, op.cit., h. 150
[39] Zakiah Daradjat, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga op., cit., h. 64
[40] RHA. Soenarjo, et al, op.cit., h. 655.
[41] Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid I, (Beirut, Dar Al Fikr, t.t), h. 133.
[42] RHA Soenardjo, et. al.,op.cit., h. 440
[43] H. A Mustafa, Akhlak TaSawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1995), h. 11
[44] Azwir Ma’ruf, Peranan Akhlak Dalam Menunjang Pembangunan Manusia Seutuhnya, (Padang: IAIN Press,2002), h. 7
[45] Zahruddin AR, Hasanudin Sinaga, op.cit., h. 4
[46] Ibid., h. 4
[47] Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al- Ghazali, (Jakarta, Bumi Aksara, 1991), h. 102
[48] Omar al-Thaumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 346.
[49] Muhammad ‘Abdussalam ‘Abdutsani, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz ii, (Libanon : Dar al-Kutub, tt.), h. 504.
[50] Ibid.
[51] Abu Bakar Atjeh, Filsafat dalam Islam, (Semarang: CV. Ramadhani, 1971), h. 173.
[52] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.17.
[53] Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 101.
[54] Ahmad Amin, Etika, op., cit., h. 48-49
[55] Abd. Fatah Jalal, Asas-asas Pendidikan Islam, (Bandung Diponegoro, 1988), h. 57-58.
[56] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h. 7
[57] Depertemen Agama op, cit, h. 674
[58] Ibid, h.71
[59] Muslim Nurdin, et.al., Moral dan Kognisi Islam (Bandung, Alfabeta, 1993), h. 229-230
[60] RHA Soenardjo, et. al.,op.cit., h. 450
[61] Amin Syukur, Pengantar Studi Akhlak, (Semarang: Duta Grafika, 1987), h. 78.
[62] Departeman Agama RI, op, cit., h. 175
[63] Ibid., h. 803
[64] Ibid., h. 805
[65] Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta Bumi Aksara 1992), h. 35
[66] Departemen Agama... op, cit., h.742
[67] Ibid., h. 1147
[68] Zuhairi, Dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), h.146
[69] Zakiyah Drajat, ilmu ... op cit., h. 40.35
[70] Departeman Agama .. op cit., h. 137
[71] Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu Jilid I Cet. 3 ) h. 520
[72] Depertemen Agama..... op cit., h. 524
[73] Ahmad Musthafa Al-maraghi, Tafsir Al-Maraghi ( Semarang : CV. Toha Putra, Cet ke 2 Jilid 27,1989 ) h. 43
[74] Depertemen Agama op, cit, h.63

Tidak ada komentar: