Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Pembinaan Amal Keagamaan Peserta Didik


A.    Pembinaan Amal Keagamaan Peserta Didik
1.Pengertian Amal Keagamaan
Keagamaan berasal dari kata agama. Secara etimologi, kata agama berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu a dan gama; a berarti tidak dan gama berarti pergi.[1] Jadi, agama berarti tidak pergi. Secara terminologi ada beberapa ahli yang mendefenisikannya, yaitu:
a.       ESP. Haynes berpendapat bahwa agama adalah suatu teori tentang hubungan manusia dengan alam raya.
b.      James Martincan menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang jiwa dan ketentuan Ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada hubungan moral dengan umat manusia.[2]
Defenisi di atas dapat dipahami bahwa agama adalah suatu keyakinan kepada yang ghaib. Tegasnya, kepercayaan kepada adanya Tuhan. Oleh karena itu, hal yang sangat mendasar dalam agama adalah kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan.
Agama dalam persfektif Islam dinamakan Islam. Secara etimologi, Islam berasal dari kata aslama yang berarti selamat, sentosa, menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat lahir bathin. Sedangkan secara terminologi Islam dapat diartikan sebagai agama yang berisi ajaran yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad SAW.[3]
Agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah agama dalam persfektif Islam, yaitu agama yang berisi ajaran yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Allah SWT serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad SAW.
Agama ditambah imbuhan awalan ke dan akhiran an , yaitu keagamaan, maka dapat diartikan pelaksanaan ajaran agama.
2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Amal Keagamaan
Keagamaan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
a.       Faktor pembawaan (internal)[4]
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini mempunyai fitrah beragama, sebagaimana tercantum dalam al-Quran, yakni:
Firman Allah SWT:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ    )ﺍﻟﺮﻭﻡ:  ۳۰  (
Artinya:   
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. ar-Rum: 30)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan acuan fitrah Allah, yaitu al-din hanifan, yaitu agama tauhid, agama yang mengesakan Allah.[5] Ayat tersebut menyatakan bahwa menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama. Dengan istilah lain disebut sebagai homo relegion atau homo davidian (makhluk yang bertuhan). Dikatakan demikian, karena secara naluri, manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.[6] Dalam al-Quran pernyataan tersebut didasarkan pada dialog atau perjanjian antara ruh manusia dengan Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam QS al-A’raf ayat 172:
Firman Allah SWT:
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî    )ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ:۲ ١٧(
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami)”, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)

b.      Faktor lingkungan (eksternal)
Faktor pembawaan atau fitrah merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang memberikan rangsangan atau stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu hidup.[7]
Masalah ini digambarkan dalam sebuah Hadist Nabi berbunyi:
Sabda Rasulullah SAW:
حدثنا عبدان اخبرنا عبد الله اخبرنا يونس عن الزهرى قال اخبرنى ابو سلمة بن عبد الرحمن ان ابا هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :ما من مولود الا يولد على الفطرة,  فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه, كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء, هل تحسون فيها من جدعاء؟ ثم يقول ابوهريرة رضي الله عنه "فطرة الله اللتي فطرالناس عليها لا تبديل لخلق الله, دالك الدين القيم " (رواه البخاري)[8]       
Artinya:
Menceritakan kepada kami ‘Ubdan, menceritakan kepada kami ‘Abdullah, menceritakan kepada kami Yunus dari az-Zuhriyyu, berkata ia menceritakan kepada saya Abu salmah ibn ‘Abdur Rahman bahwa Abu Hurairah r.a berkata ia: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorang bayi yang baru lahir kecuali dilahirkan atas fitrah kesucian, maka orang tuanyalah menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana hewan akan melahirkan hewan yang sama juga, Apakah kalian mengetahuinya? Kemudian Abu Hurairah berkata: “fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus” (HR. Bukhari).

Hadist di atas menjelaskan bahwa faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi agama seseorang. Adapun lingkungan yang dimaksud ada tiga, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1)      Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak. Oleh karena itu, kedudukan keluarga dalam pengembangan fitrah beragama anak sangatlah dominan. Dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menumbuhkembangkan fitrah beragama anak. Menurut Hurlock sebagaimana dikutip Syamsu Yusuf LN keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai. Pengembangan fitrah atau jiwa beragama seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadiannya, yaitu sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan. Pandangan ini didasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ternyata mereka itu dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.[9]
2)      Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock sebagaimana dikutip Syamsu Yusuf LN pengaruh sekolah terhadap perkembangan keberagamaan anak sangat besar, karena sekolah merupakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian remaja. Melalui kurikulum di sekolah yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan seorang guru agama serta pergaulan antar teman dinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.[10]
Kaitannya dengan upaya mengembangkan keberagamaan para siswa, maka sekolah terutama dalam hal ini guru pendidikan agama Islam dan guru pembimbing lainnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasan mengamalkan ibadah, atau membiasakan akhlak yang bagus.[11]
3)      Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud dengan lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosio-kultural yang secara potensial berpengaruh terhadap keberagamaan individu.  Dalam masyarakat, individu (terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan intraksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku berakhlak baik maka anak remaja pun cenderung akan berakhlak baik. Namun, apabila temannya menampilkan prilaku yang kurang baik, amoral, atau melanggar norma-norma agama, maka anak remaja akan cenderung akan terpengaruh untuk mengikuti atau mencontoh perilaku tersebut.[12]
Pembentukan sikap ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang. Reaksi yang timbul dari sikap tertentu terhadap objek, ditentukan oleh pengaruh fa’al, kepribadian, dan faktor eksternal: situasi, pengalaman dan hambatan.[13] Hanna Djumhana Bastaman mengatakan bahwa “menurut Psikologi Perilaku, manusia pada hakekatnya adalah netral, baik buruknya perilaku dipengaruhi oleh situasi dan perlakuan yang dialami”.[14] Lingkungan atau situasi yang berlangsung dalam keluarga juga merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap sikap dan perilaku beragama anak. Jalaluddin menjelaskan bahwa agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat sangat tergantung dari keteladanan orang tua mereka. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.[15]
Seorang bapak yang pemabuk dan sering memperlakukan anaknya dengan kasar akan membekas pada diri anak, termasuk sikapnya terhadap agama. Demikian pula seorang bapak yang taat beragama serta memperlakukan anak-anaknya dengan kasih sayang juga akan membekas pada diri anak tersebut. Pengaruh ini oleh Sigmund Freud disebut citra bapak (father image). Baik buruknya citra bapak akan ikut mempengaruhi sikap keagamaan pada anak.[16]
Kesadaran terhadap pengaruh bapak terhadap keberagamaan anak baru diungkapkan oleh ahli psikologi agama (Barat) sejak awal abad ke-20, maka jauh sebelum itu Islam telah menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Menurut pendidikan Islam, bukan hanya bapak, melainkan juga ibu ikut memberi citra keberagamaan anak. Bermula dari tuntunan al-Quran yang memuat pesan Luqman al-Hakim kepada anaknya dalam firman Allah SWT surat Luqman ayat 12:
Firman Allah SWT:
ôs)s9ur $oY÷s?#uä z`»yJø)ä9 spyJõ3Ïtø:$# Èbr& öä3ô©$# ¬! 4 `tBur öà6ô±tƒ $yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî ÓÏJym  )  ﻟﻘﻤﺎ ن :١٢(
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”(QS.Luqman: 12)

Ayat di atas menjelaskan, Luqman diberi oleh Allah SWT al-hikmah (kebijakan) yang menunjukkan bahwa Luqman adalah seorang yang bijak. Ciri kebijakannya antara lain terlihat pada materi pendidikan yang ia berikan kepada anaknya yang perlu diperhatikan oleh orang tua yang juga berkewajiban mendidik anaknya.[17]
Materi pendidikan yang diberikan oleh Luqman kepada anaknya adalah: pertama, pendidikan ketauhidan; artinya anak-anak harus dibimbing agar bertuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Materi ini mencakup: (1) mensyukuri nikmat, (2) meyakini pembalasan dan (3) melarang keras syirik. Materi ini sebenarnya merupakan asas utama dalam pendidikan, mendasari pendidikan segi-segi lainnya. Kedua, pendidikan akhlak; maksudnya anak-anak harus memiliki akhlak terpuji. Materi ini mencakup akhlak kepada orang tua dan kepada masyarakat. Hal ini nanti akan mendasari akhlak anak kepada guru-gurunya. Ketiga, pendidikan shalat; artinya anak-anak harus mengerjakan shalat sebagai salah satu tanda utama kepatuhan kepada Allah. Shalat itu kelak akan menjadi dasar bagi amal-amal shaleh lainnya. Bila shalatnya baik, maka amal-amalnya yang lain akan dengan sendirinya baik, dan bisa sebaliknya. Keempat, pendidikan amar ma’ruf nahi munkar. Artinya anak harus bersifat konstruktif bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Ini tidak akan dapat dilakukan bila materi pertama sampai dengan ketiga tidak dimiliki. Masyarakat di sini juga berarti masyarakat dunia. Kelima, pendidikan ketabahan dan kesabaran; artinya anak harus ulet dan sabar, dua sifat yang memang tidak dapat dipisahkan. Sifat konstruktif pada butir empat tidak mudah, itu memerlukan keuletan dan kesabaran. Menggapai cita-cita tidaklah selalu mudah, karena seringkali keruwetan merintangi.[18]


             [1]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1977), Jilid I, h. 9.
  [2]Nurcholish Majid, Islam Kemodrenan dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989), h. 121-122.
                 [3]Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 24.

                 [4]Ibid, h. 136.
[5]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur’an(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 156.

[6] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 30.
                   [7]Ibid., h. 137-138.
[8]Abi Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardazbah al-Bukhari al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhari Juz 1, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1992), h. 413.
      [9]Syamsu Yusuf LN, op.cit., h. 138.
[10]Jalaluddin Rahmad,  Psikologi Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),  h. 21
                [11]Ibid., h. 140-141.
                [12]Ibid., h. 141.

[13]Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan Serta Pengukurannya, (Jakarta: Balai Aksara Yudhistira dan Sa’adiyah, 1982), h. 22

[14]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet.ke-4, h. 51

[15]Jalaluddin Rahmad,  Op.cit,  h. 21
[16]Ibid.
[17]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), cet.ke-6, h. 190
[18]Ibid.

Tidak ada komentar: