A.
Pembinaan Amal Keagamaan Peserta Didik
1.Pengertian Amal
Keagamaan
Keagamaan berasal dari kata agama. Secara etimologi, kata agama berasal
dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu a dan gama; a berarti
tidak dan gama berarti pergi.[1] Jadi, agama berarti tidak pergi.
Secara terminologi ada beberapa ahli yang mendefenisikannya, yaitu:
a. ESP. Haynes berpendapat bahwa agama adalah suatu teori tentang hubungan
manusia dengan alam raya.
b. James Martincan menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan tentang Tuhan
yang abadi, yaitu tentang jiwa dan ketentuan Ilahi yang mengatur alam raya dan
berpegang pada hubungan moral dengan umat manusia.[2]
Defenisi di atas dapat dipahami bahwa agama adalah suatu keyakinan kepada
yang ghaib. Tegasnya, kepercayaan kepada adanya Tuhan. Oleh karena itu, hal
yang sangat mendasar dalam agama adalah kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan.
Agama dalam persfektif Islam dinamakan Islam. Secara etimologi, Islam
berasal dari kata aslama yang berarti selamat, sentosa, menyerahkan
diri, tunduk, patuh dan taat lahir bathin. Sedangkan secara terminologi Islam
dapat diartikan sebagai agama yang berisi ajaran yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya yang
diwahyukan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad SAW.[3]
Agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah agama dalam persfektif Islam,
yaitu agama yang berisi ajaran yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Allah SWT serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya yang diwahyukan Allah
kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad SAW.
Agama ditambah imbuhan awalan ke dan akhiran an , yaitu
keagamaan, maka dapat diartikan pelaksanaan ajaran agama.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Amal Keagamaan
Keagamaan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
a.
Faktor pembawaan (internal)[4]
Setiap manusia
yang lahir ke dunia ini mempunyai fitrah beragama, sebagaimana tercantum dalam
al-Quran, yakni:
Firman Allah
SWT:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym
4 |NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$# tsÜsù
}¨$¨Z9$#
$pkön=tæ 4 w
@Ïö7s? È,ù=yÜÏ9
«!$#
4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w
tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
)ﺍﻟﺮﻭﻡ: ۳۰ (
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. ar-Rum: 30)
Ayat tersebut menjelaskan
bahwa manusia diciptakan dengan acuan fitrah Allah, yaitu al-din hanifan,
yaitu agama tauhid, agama yang mengesakan Allah.[5]
Ayat tersebut menyatakan bahwa menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk
beragama. Dengan istilah lain disebut sebagai homo relegion atau homo
davidian (makhluk yang bertuhan). Dikatakan demikian, karena secara naluri,
manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.[6] Dalam al-Quran pernyataan tersebut didasarkan pada dialog atau
perjanjian antara ruh manusia dengan Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam QS
al-A’raf ayat 172:
Firman Allah
SWT:
øÎ)ur xs{r&
y7/u
.`ÏB
ûÓÍ_t/
tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur
#n?tã
öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r&
öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s%
4n?t/
¡ !$tRôÎgx©
¡ cr& (#qä9qà)s?
tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã
#x»yd
tû,Î#Ïÿ»xî
)ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ:۲
١٧(
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuhan kami)”, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "sesungguhnya kami (bani adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)
b.
Faktor lingkungan (eksternal)
Faktor
pembawaan atau fitrah merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk
berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor
luar (eksternal) yang memberikan rangsangan atau stimulus yang
memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu tiada lain adalah
lingkungan dimana individu hidup.[7]
Masalah ini digambarkan dalam sebuah Hadist Nabi berbunyi:
Sabda Rasulullah SAW:
حدثنا عبدان اخبرنا عبد الله اخبرنا يونس عن الزهرى قال
اخبرنى ابو سلمة بن عبد الرحمن ان ابا هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم :ما من مولود الا يولد على الفطرة, فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه, كما
تنتج البهيمة بهيمة جمعاء, هل تحسون فيها من جدعاء؟ ثم يقول ابوهريرة رضي الله عنه
"فطرة الله اللتي فطرالناس عليها لا تبديل لخلق الله, دالك الدين القيم
" (رواه البخاري)[8]
Artinya:
Menceritakan kepada kami ‘Ubdan, menceritakan
kepada kami ‘Abdullah, menceritakan kepada kami Yunus dari az-Zuhriyyu, berkata
ia menceritakan kepada saya Abu salmah ibn ‘Abdur Rahman bahwa Abu Hurairah r.a
berkata ia: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorang bayi yang baru lahir
kecuali dilahirkan atas fitrah kesucian, maka orang tuanyalah menjadikan anak itu
Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana hewan akan melahirkan hewan yang sama
juga, Apakah kalian mengetahuinya? Kemudian Abu Hurairah berkata: “fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus” (HR. Bukhari).
Hadist di atas menjelaskan bahwa faktor lingkungan juga
sangat mempengaruhi agama seseorang. Adapun lingkungan yang dimaksud ada tiga,
yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1)
Lingkungan keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak. Oleh karena itu, kedudukan
keluarga dalam pengembangan fitrah beragama anak sangatlah dominan. Dalam hal
ini, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menumbuhkembangkan
fitrah beragama anak. Menurut Hurlock sebagaimana dikutip Syamsu Yusuf LN
keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai.
Pengembangan fitrah atau jiwa beragama seyogyanya bersamaan dengan perkembangan
kepribadiannya, yaitu sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan. Pandangan ini
didasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami
gangguan jiwa ternyata mereka itu dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap
orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.[9]
2)
Lingkungan Sekolah
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistematik
dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar
mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock sebagaimana dikutip
Syamsu Yusuf LN pengaruh sekolah terhadap perkembangan keberagamaan anak sangat
besar, karena sekolah merupakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi
dari orang tua.
Sekolah sebagai
institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan
kepribadian remaja. Melalui kurikulum di sekolah yang berisi materi pengajaran,
sikap dan keteladanan seorang guru agama serta pergaulan antar teman dinilai
berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan
bagian dari pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa
keagamaan seseorang.[10]
Kaitannya
dengan upaya mengembangkan keberagamaan para siswa, maka sekolah terutama dalam
hal ini guru pendidikan agama Islam dan guru pembimbing lainnya mempunyai
peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasan
mengamalkan ibadah, atau membiasakan akhlak yang bagus.[11]
3)
Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud
dengan lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi
sosial dan sosio-kultural yang secara potensial berpengaruh terhadap
keberagamaan individu. Dalam masyarakat, individu (terutama anak-anak
dan remaja) akan melakukan intraksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota
masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku
berakhlak baik maka anak remaja pun cenderung akan berakhlak baik. Namun,
apabila temannya menampilkan prilaku yang kurang baik, amoral, atau melanggar
norma-norma agama, maka anak remaja akan cenderung akan terpengaruh untuk
mengikuti atau mencontoh perilaku tersebut.[12]
Pembentukan
sikap ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal,
melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang. Reaksi yang
timbul dari sikap tertentu terhadap objek, ditentukan oleh pengaruh fa’al, kepribadian,
dan faktor eksternal: situasi, pengalaman dan hambatan.[13]
Hanna Djumhana Bastaman mengatakan bahwa “menurut Psikologi Perilaku, manusia
pada hakekatnya adalah netral, baik buruknya perilaku dipengaruhi oleh situasi
dan perlakuan yang dialami”.[14]
Lingkungan atau situasi yang berlangsung dalam keluarga juga merupakan faktor
yang paling berpengaruh terhadap sikap dan perilaku beragama anak. Jalaluddin
menjelaskan bahwa agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat sangat
tergantung dari keteladanan orang tua mereka. Tak mengherankan jika Sigmund
Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku
bapaknya.[15]
Seorang bapak
yang pemabuk dan sering memperlakukan anaknya dengan kasar akan membekas pada
diri anak, termasuk sikapnya terhadap agama. Demikian pula seorang bapak yang
taat beragama serta memperlakukan anak-anaknya dengan kasih sayang juga akan
membekas pada diri anak tersebut. Pengaruh ini oleh Sigmund Freud disebut citra
bapak (father image). Baik buruknya citra bapak akan ikut mempengaruhi
sikap keagamaan pada anak.[16]
Kesadaran
terhadap pengaruh bapak terhadap keberagamaan anak baru diungkapkan oleh ahli
psikologi agama (Barat) sejak awal abad ke-20, maka jauh sebelum itu Islam
telah menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Menurut pendidikan Islam,
bukan hanya bapak, melainkan juga ibu ikut memberi citra keberagamaan anak.
Bermula dari tuntunan al-Quran yang memuat pesan Luqman al-Hakim kepada anaknya
dalam firman Allah SWT surat Luqman ayat 12:
Firman Allah SWT:
ôs)s9ur $oY÷s?#uä
z`»yJø)ä9 spyJõ3Ïtø:$#
Èbr&
öä3ô©$#
¬!
4 `tBur öà6ô±t
$yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o
¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx.
¨bÎ*sù
©!$#
;ÓÍ_xî
ÓÏJym ) ﻟﻘﻤﺎ
ن :١٢(
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”(QS.Luqman:
12)
Ayat di atas
menjelaskan, Luqman diberi oleh Allah SWT al-hikmah (kebijakan) yang
menunjukkan bahwa Luqman adalah seorang yang bijak. Ciri kebijakannya antara
lain terlihat pada materi pendidikan yang ia berikan kepada anaknya yang perlu
diperhatikan oleh orang tua yang juga berkewajiban mendidik anaknya.[17]
Materi
pendidikan yang diberikan oleh Luqman kepada anaknya adalah: pertama, pendidikan
ketauhidan; artinya anak-anak harus dibimbing agar bertuhan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Materi ini mencakup: (1) mensyukuri nikmat, (2) meyakini pembalasan
dan (3) melarang keras syirik. Materi ini sebenarnya merupakan asas utama dalam
pendidikan, mendasari pendidikan segi-segi lainnya. Kedua, pendidikan
akhlak; maksudnya anak-anak harus memiliki akhlak terpuji. Materi ini mencakup
akhlak kepada orang tua dan kepada masyarakat. Hal ini nanti akan mendasari
akhlak anak kepada guru-gurunya. Ketiga, pendidikan shalat; artinya
anak-anak harus mengerjakan shalat sebagai salah satu tanda utama kepatuhan
kepada Allah. Shalat itu kelak akan menjadi dasar bagi amal-amal shaleh
lainnya. Bila shalatnya baik, maka amal-amalnya yang lain akan dengan
sendirinya baik, dan bisa sebaliknya. Keempat, pendidikan amar ma’ruf
nahi munkar. Artinya anak harus bersifat konstruktif bagi perbaikan
kehidupan masyarakat. Ini tidak akan dapat dilakukan bila materi pertama sampai
dengan ketiga tidak dimiliki. Masyarakat di sini juga berarti masyarakat dunia.
Kelima, pendidikan ketabahan dan kesabaran; artinya anak harus ulet dan
sabar, dua sifat yang memang tidak dapat dipisahkan. Sifat konstruktif pada
butir empat tidak mudah, itu memerlukan keuletan dan kesabaran. Menggapai
cita-cita tidaklah selalu mudah, karena seringkali keruwetan merintangi.[18]
[3]Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), h. 24.
[5]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami; Studi Tentang Elemen
Psikologi Dari Al-Qur’an(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 156.
[8]Abi Abdillah Muhammad
ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardazbah al-Bukhari al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhari Juz 1, (Beirut-Libanon:
Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1992), h. 413.
[13]Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan Serta
Pengukurannya, (Jakarta: Balai Aksara
Yudhistira dan Sa’adiyah, 1982), h. 22
[14]Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan
Islam Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
cet.ke-4, h. 51
[16]Ibid.
[17]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam,
(Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), cet.ke-6, h. 190
[18]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar