Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Bentuk-Bentuk Perilaku Amal Keagamaan Peserta Didik


Bentuk-Bentuk Perilaku Amal Keagamaan

Secara umum Skiner seperti dikutip Bimo Walgito membedakan perilaku menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku alami (innate behaviour), yaitu perilaku dibawa sejak lahir yang berupa reflek-reflek atau insting-insting, perilaku yang reflek merupakan perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme yang bersangkutan. Perilaku ini terjadi secara dengan sendirinya, secara otomatis, tidak diperintah oleh syaraf dan otak dan merupakan perilaku yang alami dan bukan perilaku yang dibentuk.
2. Perilaku operan (operant behaviour), merupakan perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, perilaku ini dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak. Dalam kaitan ini stimulus setelah diterima oleh reseptor kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat susunan saraf, sebagai pusat kesadaran kemudian baru terjadi respon melalui afektor. Proses inilah yang disebut proses psikologis, perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis ini yang disebut perilaku atau aktivitas psikologis. Pada manusia perilaku psikologis inilah yang dominan. Sebagian besar perilaku manusia merupakan perilaku yang dibentuk, perilaku yang diperoleh, perilaku yang  dipelajari proses belajar yang dapat dikendalikan, karena itu dapat berubah melalui proses belajar.[1]

Memperhatikan kedua uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada dua jenis perilaku keagamaan jika ditinjau dari sudut pandang yang berbeda, disatu sisi dipandang dari sudut psikologi dan satunya dipandang dari sudut sosiologi. Berdasarkan sudut pandang sosiologi, jenis perilaku manusia yaitu: (1) perilaku nomal, yaitu perilaku yang sesuai dan tepat yang dapat diterima bagi masyarakat dan (2) perilaku abnormal, yaitu perilaku yang tidak akurat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak sesuai dengan norma susila yang ada.[2]
Merujuk kepada definisi Jamaludin Anchok dan Fuat Nashori Suroso yang mengatakan bahwa perilaku keberagamaan mencakup segala aktivitas, tidak hanya berupa perilaku ritual (beribadah), tetapi juga aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhlak, baik yang nampak maupun yang tidak nampak yang terjadi dalam hati, maka bentuk-bentuk perilaku Amal keagamaan itu sangat banyak dan kompleks seperti: shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, memperbanyak zikir, membaca al-Quran, berbuat baik kepada orang tua, guru, tetangga, teman sebaya, bersikap sabar, pemaaf, jujur, suka membantu teman, ramah, bersikap lemah lembut serta tidak pendendam. Kendati demikian, penulis membatasi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yang meliputi empat perilaku keberagamaan, yaitu: 1) melakukan ibadah shalat lima waktu, 2) membaca al-Quran, 3) bergaul dengan teman sebaya dan 4) perilaku terhadap orang tua, maka di sini akan dijelaskan keempat perilaku amal keagamaan tersebut.
1. Melakukan ibadah shalat lima waktu
Secara etimologis shalat berarti doa.[3] Secara terminologis shalat adalah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[4] Landasan kefardhuan shalat ditemukan dalam al-Quran.
Firman Allah SWT:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/  )   ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ: ١١٠(
                                                                                                    Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”(QS.al-Baqarah: 110)

 Firman Allah SWT:
(#qãZŠÏètFó$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûüÏèϱ»sƒø:$#    ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ: ٤٥(
Artinya:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS.al- Baqarah: 45)

Shalat menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya. Selain termasuk rukun Islam, yang berarti tiang agama, shalat juga termasuk ibadah yang diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW ketika melakukan mi’raj.[5] Shalat memiliki tujuan yang tidak terhingga. Tujuan hakiki dari shalat sebagaimana dikatakan al-Jaziri adalah tanda hati dalam rangka mengagungkan Allah sebagai Pencipta. Shalat juga merupakan bukti taqwa manusia kepada Khaliqnya. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah menyatakan bahwa shalat bertujuan menjauhkan orang dari keji dan munkar.
Firman Allah SWT:
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs?  ) ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺕ:  ٤٥(
Artinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS. Al- Ankabut: 45)

Peranan shalat yang mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar berarti shalat juga merupakan sarana yang penting dalam mendidik jiwa, memperbaharui semangat serta mensucikan akhlak. Sebagaimana dikatakan Mustafa Masnyur sebagai berikut:
“Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat sekaligus wadah dalam pensucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan setiap perbuatannya. Shalat adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, memperkuat kelemahan dan senjata bagi orang-orang yang merasa terasing. Shalat dapat pula menjadi sarana untuk memohon pertolongan atas ujian zaman, tekanan-tekanan orang lain dan kekejaman para durjana”.[6]

Kewajiban shalat dibebankan atas orang-orang yang memenuhi syarat-syarat, yaitu: Islam, baligh, berakal dan suci. Orang kafir dan murtad tidak dituntut melakukan shalat karena shalat tidak sah dilakukan oleh mereka. Anak-anak dan orang-orang yang hilang akal karena gila misalnya, tidak wajib melaksanakan shalat.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ هُـرَيْرَةَ  قَـالَ رَسُوْلُ اللهِ j رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَـلاَثَـةٍ عَنِ النّـَائِمْ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتىَّ يَبْلُـغَ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتىَّ يَفُـوْقَ (رواه أبو داود) [7]

Artinya:

“Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda: Diangkatkan kalam (tidak diperhitungkan secara hukum) seseorang yang tertidur sampai ia bangun, seseorang yang masih kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sehat” (HR. Abu Daud).[8]

Meskipun anak kecil belum diwajibkan shalat, namun orang tua tetap dituntut membiasakannya sejak usia dini, sehingga ketika anak beranjak usia remaja dan dewasa tidak merasa berat melaksanakannya karena sudah terbiasa semenjak kecil. Kendati demikian, di samping membiasakan, orang tua juga dituntut menjadi teladan bagi anak dalam hal pelaksanaan shalat. Perintah membiasakan anak melaksanakan shalat sejak kecil ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadistnya:
Sabda Rasulullah SAW:
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده  قال: قال رسول الله : مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربواهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم فى المضاجع  (رواه أبو داود)
Artinya:
“Dari Amru ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat pada saat mereka berusia tujuh tahun, dan bertindak tegaslah kepada mereka (jika enggan shalat) pada saat berusia 10 tahun dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur” (HR. Abu Daud).[9]


Makna yang dipahami dari hadis di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, kewajiban orang tua mendidik anak dalam beribadah dan menyuruh mereka melaksanakan ibadah mulai dari usia tujuh tahun. Batasan usia ini didasarkan bahwa usia tujuh tahun anak sudah dapat membedakan dan berkembangnya kesadaran akan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah. Oleh karena itu perintah melaksanakan shalat bagi mereka bukan mengada-ada, karena ia sudah dipandang mampu melaksanakannya. Tujuannya agar nanti setelah dewasa, melaksanakan shalat itu sudah menjadi kebiasaannya sehingga ia tidak merasa berat melakukannya.
Kedua, bertindak tegas kepada anak jika ia sudah berumur sepuluh tahun masih tidak mau shalat. Sebab pada usia ini tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah sudah mendekati sempurna. Tindakan tegas di sini bukan berarti harus dilakukan dengan kekerasan fisik, akan tetapi dapat dilakukan secara psikologis, seperti menggugah kesadaran atau menjatuhkan harga dirinya.[10] Tujuannya agar anak menyadari bahwa ibadah itu memang penting dan jika tidak dilaksanakan akan menerima sanksi berupa dosa dari Allah SWT dan kelak pasti akan dibalasi di akhirat kelak. Seandainya usia sepuluh tahun masih tidak mau, dikhawatirkan setelah dewasa si anak tidak dapat diajak beribadah.
Ketiga, memisahkan tempat tidur mereka. Karena keinginan seksualnya sudah mulai terangsang apabila berhadapan dengan lawan jenisnya dalam keadaan terbuka ketika tidur. Agar hal-hal yang tidak baik itu tidak terjadi, maka orang tua sudah harus memisahkan tempat tidur mereka.
Hadits di atas hanya menyebutkan  shalat, tapi tidak berarti orang tua tidak perlu menyuruh anaknya masih di bawah umur melakukan ibadah selain shalat, seperti: puasa, membaca al-Quran, zikir dan berdoa. Penyebutan ibadah shalat menunjukkan bahwa shalat adalah ibadah yang wajib dilakukan secara berkesinambungan baik dalam keadaan susah, senang, sakit dan sehat sampai akhir hayat. Untuk itu perlu persiapan fisik maupun mental.
Shalat bukan hanya sekadar ibadah ritual antara hamba dan khaliknya. Namun di balik perintah shalat terdapat makna filosofis yang bila dikaji akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa ibadah shalat sangat penting bagi kehidupan manusia. Ahmad Susanto menguraikan tentang filosofi shalat ini dari aspek moral, ekonomi, kesehatan, iptek, sosial, politik dan hukum. Semua aspek itu akan berdampak dan tercermin dalam kehidupannya sehari-hari. Berikut akan dijelaskan secara ringkas beberapa aspek yang dimaksud:
a)      Aspek akhlak/moral, yaitu mampu menghindarkan diri dari dosa dan maksiat, mendidik kejujuran dan kebaikan, mengajarkan cara berpakaian yang sopan, menjadikan rendah hati, mendidik sabar dan tabah serta tidak serakah dan menunjuki manusia ke jalan yang lurus.
b)      Aspek kesehatan, di antaranya: shalat mengajarkan kebersihan sebab sebelum shalat, seseorang mesti melakukan thaharah (bersuci) dari hadas besar dan kecil, baik badan, pakaian dan tempat. Sementara bersih itu sehat, menghindari makanan yang haram serta dapat mengganggu kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa dalam menghadap Allah SWT, serta senam/olahraga ringan yang dapat melenturkan dan melemaskan otot-otot serta memperlancar peredaran darah, sekaligus memperkuat/mengencangkan betis dan paha.
c)      Aspek ekonomi, seperti tersirat perintah membangun pabrik tekstil, di mana syarat sahnya shalat bagi seseorang mesti menutupi auratnya dengan pakaian. Perintah bekerja atau berusaha yang halal, serta tidak malas, dan mengajarkan manusia agar menghargai waktu.
d)     Aspek iptek, dalam shalat juga tersirat perintah membangun masjid sehingga mengantarkan umat Islam menjadi arsitektur, desainer, orang yang mengerti tentang mesin dan alat teknologi lainnya serta tenaga ahli lainnya dan terdapat juga perintah belajar.
e)      Aspek sosial, yaitu bahasa Arab yang digunakan dalam shalat akan mempersaudarakan manusia, kiblat shalat yang mengarah ke Baitullah merupakan simbol pemersatu umat Islam, dianjurkannya shalat berjamaah juga banyak mengandung pesan-pesan sosial.[11]

Menurut Rafi’udin dan Alim Zainuddin, setidaknya ada tujuh hikmah shalat yang jika dikaji hikmah ini akan menunjukkan urgensi shalat dalam kehidupan seseorang, yaitu:
a)      Mendekatkan diri kepada Allah. Shalat merupakan sarana bagi manusia untuk berdialog dengan Tuhannya, sehingga dialog tersebut akan semakin menambah dekat dengan Tuhannya yang terlihat dari aspek-aspek shalat, baik hati, ucapan dan gerakan.
b)      Mencegah dari sifat keji dan munkar.
c)      Menimbulkan jiwa yang tenang
d)     Mendidik disiplin dan tanggung jawab
e)      Memupuk rasa solidaritas, persatuan dan kesatuan
f)       Melatih konsentrasi
g)      Menjaga kesehatan jasmani.[12]
Berarti shalat sebagai salah satu bentuk perilaku keberagamaan, meskipun berhubungan dengan Allah SWT, namun dampak yang ditimbulkan, jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dapat mempengaruhi perilaku sehari-hari ketika berinteraksi dengan sesama manusia. Atau dengan arti kata shalat mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar. Bahkan ibadah shalat juga dapat menimbulkan berbagai implikasi positif, baik dalam kehidupan individu maupun sosial masyarakat. Oleh sebab itu pula, kebiasaan melaksanakan shalat tersebut mesti ditanamkan kepada anak sejak masa kecilnya.
2. Membaca al-Quran
Secara etimologi, al-Quran berarti bacaan/yang dibaca. Quraish Shihab mengartikannya dengan “bacaan yang sempurna”.[13] Al-Quran adalah mashdar dari kata qara’a ( قرأ ) sewazan dengan kata fu’lan ( فعلان ) yang diartikan dengan pengertian isim maf’ul yaitu maqru’ (yang dibaca).[14] Dalam al-Quran itu sendiri ditemukan kata al-Quran yang berarti bacaan.
Firman Allah SWT :
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ    )  ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ : ١٨- ١٧ِ (
Artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu”(QS.al-Qiyamah: 17-18)

Pengertian al-Quran secara istilah terdapat beberapa pendapat ulama di antaranya seperti dikemukakan Hamka bahwa “al-Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada rasul-Nya dengan perantara malaikat Jibril untuk disampaikan kepada manusia”.[15] Menurut al-Suyuthi seperti dikutip Sanusi Latif, al-Quran adalah “firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk melemahkan pihak-pihak yang menentangnya walaupun hanya dengan satu surat saja daripadanya.[16]
Menurut Muhammad al-Khudari yang juga dikutip Sanusi Latif, al-Quran adalah “firman Allah dan bahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk dipahami isinya dan untuk diingat selalu telah disampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir, telah dituliskan dalam mushaf dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas”.[17] Menurut al-Shiddieqy, al-Quran adalah wahyu yang diturunkan oleh malaikat Jibril dari Allah dan disampaikan kepada Rasul dan tidak dapat ditandingi oleh siapapun yang diturunkan sedikit demi sedikit lafaznya dan maknanya dinukilkan dari pada Muhammad kepada kita umatnya dengan jalan mutawatir dan tertera dengan sempurna dalam mushaf, baik lafaznya maupun naknanya sedang yang membaca diberi pahala karena membaca al-Quran dihukum suatu ibadah.[18]
Dari beberapa definisi di atas, al-Quran adalah nama yang diberikan kepada kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril untuk disampaikan kepada manusia, mutawatir penukilannya, ditulis dalam mushaf, yang harus dibaca, dipahami dan diamalkan isinya agar hidup selamat, bahagia, dunia dan akhirat. Dengan demikian, fungsi dan tujuan al-Quran diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup yang membedakan antara hak dan batil dapat terealisasi dalam kehidupan.
Firman Allah SWT:
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4  ÇÊÑÎÈ    ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ: ١٨٤      (

             Artinya:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS.al-Baqarah: 184)

Membaca adalah alat belajar[19], dan sarana yang efektif untuk memperoleh ilmu pengetahuan serta isyarat-isyarat yang terkandung dalam sebuah teks. Membaca juga alat social perhubungan (communication system) yang merupakan syarat mutlak terwujudnya dan berkelanjutan suatu sistem social (social system).[20] Tanpa keterampilan membaca sulit bagi seseorang untuk mengerti dan paham berbagai isyarat yang termuat dalam suatu bacaan.
Demikian halnya al-Quran sebagai bacaan yang mulia, tanpa disertai dengan keterampilan membaca yang baik dan benar, akan sulit untuk memahami isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya. Konsekuensinya al-Quran tidak dapat difungsikan sebagai petunjuk dan pembimbing dalam hidup. Bahkan wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca.
Firman Allah SWT:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ   )ﺍﻟﻌﻠﻖ  :٥ـ ١   (
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”(QS.al-Alaq: 1-5)

3. Bergaul dengan teman sebaya
Setiap anak terikat erat dengan kelompok teman sebaya. Dia berupaya keras untuk bergabung dengan mereka dan berjuang untuk mengokohkan kedudukannya di sana, serta mengadopsi nilai-nilai perilaku yang dipegang oleh kelompoknya dengan sepenuh jiwa, perasaan dan kesetiannya. Itu karena anak di tengah teman-temannya, merasakan adanya persamaan dan kesatuan tujuan dan perasaan. Pada saat yang sama dia juga merasa adanya jurang yang lebar yang seringkali memisahkan antara dirinya dan orang-orang dewasa.
Keterikatan seorang anak dengan kelompok dapat semakin bertambah apabila materi sekolah-sekolah konvensional semakin jauh dari pengalaman-pengalaman kehidupan realitas dan kebutuhan-kebutuhan perkembangan pada fase kehidupannya. Juga apabila jarak antara anak dan kedua orang tuanya semakin jauh sehingga dia tidak bisa berdiskusi dengan keduanya mengenai urusan-urusannya. Musthafa Fahmi seperti dikutip al-Za'balawi menafsirkan kesetiaan remaja kepada kelompok teman sebaya merupakan sebuah upaya dari pihak remaja untuk meringankan kuatnya perasaan berdosa yang muncul karena dia membangkang terhadap kedua orang tuanya dan guru-gurunya.[21]
Faktor yang mendorong anak untuk menyelaraskan diri dengan kelompoknya adalah usahanya untuk menghindari segala penyebab munculnya pertikaian antara anggota-anggota kelompok ini. Sebab dia melihat setiap pertikaian antara dirinya dengan mereka belumlah seberapa bila dibandingkan dengan pertikaian terbesar yang terjadi antara dia dengan otoritas sekolah dan orang tua. Karena itu, penghormatannya kepada visi kelompok, ketulusannya kepada mereka, dan ketundukannya kepada ide-ide pemikiran mereka mengandung unsur peringanan perasaan berdosa yang timbul dari ketidaktaatannya kepada orang tua dan guru-gurunya.
Loyalitas anak kepada keluarga pada dasarnya lebih dulu ada dari loyalitasnya kepada kelompok. Terkadang loyalitasnya kepada kelompok dan usahanya untuk mengikuti segala orientasi dan nilai-nilainya (dengan tingkat yang ditunjukkan oleh studi-studi psikologi tersebut) tidak lebih dari sebuah usaha untuk memuaskan kecenderungan untuk berkumpul, yang tidak ditemukannya di lingkungan keluarga. Bukti paling kuat yang menunjukkan kuatnya loyalitas anak kepada keluarganya adalah amarah dan emosinya jika ada orang menyinggung atau menjelekkan kehormatan keluarganya.
Anggota-anggota berbagai kelompok menyadari kekuatan loyalitas ini, sehingga mereka campur tangan untuk melerai pertikaian. Mereka semua sepakat untuk tidak melibatkan keluarga dalam tema-tema diskusi dan dialognya. Mereka enggan menerima komentar tentang setiap corak perilaku yang jadi ciri khas setiap keluarga, walaupun komentar itu disampaikan secara implisit, tidak terang-terangan, karena mereka mendapati adanya keharusan untuk menghormati sistem mental ini yang mengikat anak dengan keluarganya, sekalipun mayoritas merasa bahwa keluarga tidak menghargai fase perkembangan yang sedang dijalani oleh kepribadiannya.
Studi-studi tersebut mengungkapkan bahayanya sikap pasif keluarga, yaitu keluarga mengabaikan karakteristik perkembangan anak. Pengabaian itu membuat anak menyeleweng, dengan mengikuti kelompok-kelompok sesat yang meniru perilaku asing yang tidak menghargai moralitas sama sekali.
Tema-tema yang terkait dengan perkembangan seksual dan hubungan antara lelaki dan wanita, telah disinggung oleh al-Quran dan Sunnah dengan penuh hikmah dan dengan metode yang indah, metode yang memberi keterangan dengan jelas tapi tidak vulgar. Hal ini penting sebagai dasar bagi studi-studi psikologi yang menyerukan perlunya pendidikan seks bagi anak-anak muda/remaja.
Firman Allah SWT:
@è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4 y7Ï9ºsŒ 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁtƒ ÇÌÉÈ  )ﺍﻟﻨﻮﺭ: ٣٠ (
Artinya:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”(QS.al-Nur: 30)

Ghaddhul bashar (menjaga pandangan) adalah etika dalam masyarakat muslim, ia merupakan sarana untuk mencegah gejolak seksual. Allah memerintahkan wanita-wanita mukmin untuk menahan pandangan dan tidak memperlihatkan ziinah (perhiasan) kepada selain mahramnya, agar stimulus yang fitri itu tetap terpendam, tidak terangsang setiap saat. Sehingga tiba saat yang tepat untuk memenuhinya dengan perkawinan yang dihalalkan Allah dan dijadikan-Nya sebagai satu-satunya jalan yang boleh untuk memenuhi stimulus ini pada diri lelaki dan wanita. Kalau anak melaksanakan etika ini, bisa berfungsi sebagai sabuk pengaman sepanjang fase ini, dan itu akan membantunya melewati fase ini dengan aman dan selamat. Sebab, karakter perkembangan anak membuatnya belum pantas menikah, dengan mengesampingkan faktor ekonomi, walaupun terpenuhi pada fase ini.
Khazanah fiqh Islam memberi perhatian terhadap kajian mengenai tema-tema pertumbuhan seksual anak, pria dan wanita. Pembahasan masalah pertumbuhan ini ditempatkan dalam berbagai bab, seperti bab bersuci dari hadats, bab mandi wajib dan mandi sunnah, dan pada pembahasan mengenai penentuan usia baligh sebagai permulaan pembebanan dengan taklif syari'at. Mereka juga membahasnya dalam bab-bab wajibnya shalat, puasa, haji, zakat serta bab-bab tentang pernikahan dan perceraian. Para ulama juga membahas cacat-cacat seksual yang membolehkan seorang istri untuk meminta cerai. Mereka membahasnya di dalam bab-bab tentang had dan lain sebagainya. Kajian-kajian tersebut menggunakan ungkapan yang teliti dan uslub (gaya bahasa) yang tinggi, dengan mencontoh al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
4. Perilaku terhadap orang tua
Orang tua merupakan pendidik yang pertama bagi anak selama anak berada dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika suasana dalam keluarga baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula, dan jika tidak, maka terlambatlah pertumbuhan anak tersebut. Kedudukan orang tua dalam lingkungan keluarga sangatlah penting, terutama bagi ibu, karena dialah yang banyak menentukan ketenangan rumah tangga serta pendidikan anak-anak.[22]
Kedua orang tua memberikan pengorbanan yang demikian besar terhadap anak. Sebab keduanya telah merawat anak sejak dalam kandungan hingga lahir ke dunia. Orang tua tidak pernah mengenal lelah bahkan rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Firman Allah SWT:
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ   ) ﻟﻘﻤﺎ ن  :١٤ (

Artinya:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah lagi bertambah lemah dan menyapihnya dalam waktu dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kamu akan kembali”(QS.Luqman: 14)

Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, seperti tidak menyakiti perasaan mereka serta tidak berkata-kata kasar dan membentak mereka, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Firman Allah SWT:
4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 )ﺑﻨﻲﺍﺳﺮﺍﺋﻴﻞ : ٢٣(

Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS.al- Isra’: 23)

Firman Allah SWT:
Ï%©!$#ur tA$s% Ïm÷ƒt$Î!ºuqÏ9 7e$é& !$yJä3©9 ûÓÍ_ÏR#yÏès?r& ÷br& ylt÷zé& ôs%ur ÏMn=yz ãbrãà)ø9$# `ÏB Î=ö7s% $yJèdur Èb$sWŠÉótGó¡o ©!$# y7n=÷ƒur ô`ÏB#uä ¨bÎ) yôãur «!$# A,ym ãAqà)usù $tB !#x»yd HwÎ) 玍ÏÜ»yr& tûüÏ9¨rF{$# ÇÊÐÈ   ) ﺍﻻﺣﻘﺎﻑ  :١٧(
Artinya:
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Ah” bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: “Celaka kamu, berimanlah! sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka”(QS.al-Ahqaf: 17)

Tampak jelas bahwa Allah SWT secara tegas memerintahkan manusia berbuat baik kepada kedua orang tua. Meskipun isyarat yang terkandung dalam kedua ayat di atas menunjukkan perilaku dalam bentuk ucapan, akan tetapi sesungguhnya kandungan ayat tersebut mengisyaratkan perbuatan baik dalam semua bentuk perilaku, baik perkataan maupun perbuatan


[1]Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), cet.ke-2, h. 17-18
[2]Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1992)cet.ke-7, h. 239

[3]Muhammad al-Khudari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 5
[4]Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), h. 160

[5]Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet.ke-3, h. 24
[6]Mustafa Mansyur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 18

[7]Abu Daud Sulaiman ibn al-‘Asyats al-Sajastani al-Azdi (selanjutnya disebut Abu Daud), Sunan Abu Daud, (al-Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1424 H), h. 220

[8]Musfir bin Said al-Zahrani, Konseling Terapi, diterjemahkan oleh Sari Narulita dkk dari judul asli: al-Taujîh wa al-Irsyâd al-Nafsi min al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnati al-Nabawiyah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet.ke-1, h. 40-41

[9]Musfir bin Said al-Zahrani, op.cit., h. 212-213
[10]Mubin dan Ani Cahyadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), cet.ke-1, h. 102
[11]Ahmad Susanto, Filosofi Shalat, Kajian Moral, Ekonomi, Kesehatan, Sosial, Politik dan Hukum, (Jakarta: Dea Press, 1999), h. 35-89

[12]Rafi’uddin dan Alim Zainuddin, Terapi Kesehatan Jiwa, (Jakarta: Restu Ilahi, 2004), h. 90-100

[13]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet.ke-13, h. 3

[14]TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 17

[15]Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), Jilid 1, h. 26
[16]M. Sanusi Latif, Pengantar Tafsir, (Padang: IAIN IB Press, 1982), h. 26
[17]Ibid.
[18]T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, (Bandung: Al-Ma’arif, 1966), h. 31
[19]Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), cet.ke-4, h. 84

[20]Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1985) h. 167

[21]M. Sayyid Muhammad al-Za’balawi (selanjutnya disebut az-Za'balawi), Pendidikan Remaja, Antara Islam dan Ilmu Jiwa, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Dari judul asli: Tarbiyyatul Marāhiq Bainal Islam wa Ilmin Nafs, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), cet.ke-1, h. 172
[22]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 38

Tidak ada komentar: