Bentuk-Bentuk Perilaku Amal Keagamaan
Secara umum
Skiner seperti dikutip Bimo Walgito membedakan perilaku menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku alami (innate behaviour), yaitu perilaku dibawa
sejak lahir yang berupa reflek-reflek atau insting-insting, perilaku yang
reflek merupakan perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap
stimulus yang mengenai organisme yang bersangkutan. Perilaku ini terjadi secara
dengan sendirinya, secara otomatis, tidak diperintah oleh syaraf dan otak dan
merupakan perilaku yang alami dan bukan perilaku yang dibentuk.
2. Perilaku operan (operant behaviour), merupakan perilaku
yang dibentuk melalui proses belajar, perilaku ini dikendalikan atau diatur
oleh pusat kesadaran atau otak. Dalam kaitan ini stimulus setelah diterima oleh
reseptor kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat susunan saraf, sebagai pusat
kesadaran kemudian baru terjadi respon melalui afektor. Proses inilah yang
disebut proses psikologis, perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis
ini yang disebut perilaku atau aktivitas psikologis. Pada manusia perilaku
psikologis inilah yang dominan. Sebagian besar perilaku manusia merupakan
perilaku yang dibentuk, perilaku yang diperoleh, perilaku yang dipelajari proses belajar yang dapat
dikendalikan, karena itu dapat berubah melalui proses belajar.[1]
Memperhatikan
kedua uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada dua jenis perilaku keagamaan
jika ditinjau dari sudut pandang yang berbeda, disatu sisi dipandang dari sudut
psikologi dan satunya dipandang dari sudut sosiologi. Berdasarkan sudut pandang
sosiologi, jenis perilaku manusia yaitu: (1) perilaku nomal, yaitu perilaku
yang sesuai dan tepat yang dapat diterima bagi masyarakat dan (2) perilaku
abnormal, yaitu perilaku yang tidak akurat, tidak bisa diterima oleh masyarakat
pada umumnya dan tidak sesuai dengan norma susila yang ada.[2]
Merujuk kepada
definisi Jamaludin Anchok dan Fuat Nashori Suroso yang mengatakan bahwa
perilaku keberagamaan mencakup segala aktivitas, tidak hanya berupa perilaku
ritual (beribadah), tetapi juga aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan
akhlak, baik yang nampak maupun yang tidak nampak yang terjadi dalam hati, maka
bentuk-bentuk perilaku Amal keagamaan itu sangat banyak dan kompleks seperti:
shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, memperbanyak zikir, membaca al-Quran,
berbuat baik kepada orang tua, guru, tetangga, teman sebaya, bersikap sabar,
pemaaf, jujur, suka membantu teman, ramah, bersikap lemah lembut serta tidak
pendendam. Kendati demikian, penulis membatasi pokok permasalahan dalam
penelitian ini, yang meliputi empat perilaku keberagamaan, yaitu: 1) melakukan
ibadah shalat lima waktu, 2) membaca al-Quran, 3) bergaul dengan teman sebaya
dan 4) perilaku terhadap orang tua, maka di sini akan dijelaskan keempat
perilaku amal keagamaan tersebut.
1. Melakukan ibadah shalat lima waktu
Secara
etimologis shalat berarti doa.[3]
Secara terminologis shalat adalah seperangkat perkataan dan perbuatan yang
dilakukan dengan beberapa syarat tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam.[4]
Landasan kefardhuan shalat ditemukan dalam al-Quran.
Firman Allah SWT:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur
no4q2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è?
/ä3Å¡àÿRL{
ô`ÏiB 9öyz
çnrßÅgrB yYÏã «!$#
3 ¨bÎ)
©!$#
$yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ×ÅÁt/ ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ:
١١٠(
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan”(QS.al-Baqarah: 110)
Firman Allah SWT:
(#qãZÏètFó$#ur
Îö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouÎ7s3s9 wÎ)
n?tã tûüÏèϱ»sø:$# ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ:
٤٥(
Artinya:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS.al-
Baqarah: 45)
Shalat
menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya. Selain
termasuk rukun Islam, yang berarti tiang agama, shalat juga termasuk ibadah
yang diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW ketika melakukan mi’raj.[5]
Shalat memiliki tujuan yang tidak terhingga. Tujuan hakiki dari shalat
sebagaimana dikatakan al-Jaziri adalah tanda hati dalam rangka mengagungkan
Allah sebagai Pencipta. Shalat juga merupakan bukti taqwa manusia kepada
Khaliqnya. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah menyatakan bahwa shalat bertujuan
menjauhkan orang dari keji dan munkar.
Firman Allah
SWT:
ã@ø?$# !$tB
zÓÇrré& y7øs9Î)
ÆÏB
É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$# ( cÎ)
no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs?
ÇÆtã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur
«!$#
çt9ò2r&
3 ª!$#ur
ÞOn=÷èt
$tB tbqãèoYóÁs? )
ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺕ: ٤٥(
Artinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab
(al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS. Al- Ankabut: 45)
Peranan shalat
yang mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar berarti shalat juga
merupakan sarana yang penting dalam mendidik jiwa, memperbaharui semangat serta
mensucikan akhlak. Sebagaimana dikatakan Mustafa Masnyur sebagai berikut:
“Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik
jiwa dan memperbaharui semangat sekaligus wadah dalam pensucian akhlak. Bagi
pelakunya sendiri, shalat merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan
setiap perbuatannya. Shalat adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut
dan cemas, memperkuat kelemahan dan senjata bagi orang-orang yang merasa
terasing. Shalat dapat pula menjadi sarana untuk memohon pertolongan atas ujian
zaman, tekanan-tekanan orang lain dan kekejaman para durjana”.[6]
Kewajiban
shalat dibebankan atas orang-orang yang memenuhi syarat-syarat, yaitu: Islam,
baligh, berakal dan suci. Orang kafir dan murtad tidak dituntut melakukan
shalat karena shalat tidak sah dilakukan oleh mereka. Anak-anak dan orang-orang
yang hilang akal karena gila misalnya, tidak wajib melaksanakan shalat.
Sabda
Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ هُـرَيْرَةَ قَـالَ رَسُوْلُ اللهِ j رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَـلاَثَـةٍ
عَنِ النّـَائِمْ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتىَّ يَبْلُـغَ وَعَنِ
اْلمَجْنُوْنِ حَتىَّ يَفُـوْقَ (رواه أبو داود) [7]
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a,
Rasulullah SAW bersabda: Diangkatkan kalam (tidak diperhitungkan secara hukum)
seseorang yang tertidur sampai ia bangun, seseorang yang masih kecil sampai ia
dewasa dan orang gila sampai ia sehat” (HR. Abu Daud).[8]
Meskipun anak
kecil belum diwajibkan shalat, namun orang tua tetap dituntut membiasakannya
sejak usia dini, sehingga ketika anak beranjak usia remaja dan dewasa tidak
merasa berat melaksanakannya karena sudah terbiasa semenjak kecil. Kendati
demikian, di samping membiasakan, orang tua juga dituntut menjadi teladan bagi
anak dalam hal pelaksanaan shalat. Perintah membiasakan anak melaksanakan
shalat sejak kecil ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadistnya:
Sabda
Rasulullah SAW:
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: قال رسول الله : مروا أولادكم بالصلاة وهم
أبناء سبع سنين واضربواهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم فى المضاجع (رواه أبو داود)
Artinya:
“Dari Amru ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya r.a. ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat pada saat
mereka berusia tujuh tahun, dan bertindak tegaslah kepada mereka (jika enggan
shalat) pada saat berusia 10 tahun dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur”
(HR. Abu Daud).[9]
Makna yang
dipahami dari hadis di atas adalah sebagai berikut:
Pertama,
kewajiban orang
tua mendidik anak dalam beribadah dan menyuruh mereka melaksanakan ibadah mulai
dari usia tujuh tahun. Batasan usia ini didasarkan bahwa usia tujuh tahun anak
sudah dapat membedakan dan berkembangnya kesadaran akan perbuatan baik dan
buruk, benar dan salah. Oleh karena itu perintah melaksanakan shalat bagi
mereka bukan mengada-ada, karena ia sudah dipandang mampu melaksanakannya.
Tujuannya agar nanti setelah dewasa, melaksanakan shalat itu sudah menjadi
kebiasaannya sehingga ia tidak merasa berat melakukannya.
Kedua,
bertindak tegas
kepada anak jika ia sudah berumur sepuluh tahun masih tidak mau shalat. Sebab
pada usia ini tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk, benar dan
salah sudah mendekati sempurna. Tindakan tegas di sini bukan berarti harus
dilakukan dengan kekerasan fisik, akan tetapi dapat dilakukan secara
psikologis, seperti menggugah kesadaran atau menjatuhkan harga dirinya.[10]
Tujuannya agar anak menyadari bahwa ibadah itu memang penting dan jika tidak
dilaksanakan akan menerima sanksi berupa dosa dari Allah SWT dan kelak pasti
akan dibalasi di akhirat kelak. Seandainya usia sepuluh tahun masih tidak mau,
dikhawatirkan setelah dewasa si anak tidak dapat diajak beribadah.
Ketiga,
memisahkan
tempat tidur mereka. Karena keinginan seksualnya sudah mulai terangsang apabila
berhadapan dengan lawan jenisnya dalam keadaan terbuka ketika tidur. Agar
hal-hal yang tidak baik itu tidak terjadi, maka orang tua sudah harus
memisahkan tempat tidur mereka.
Hadits di atas
hanya menyebutkan shalat, tapi tidak
berarti orang tua tidak perlu menyuruh anaknya masih di bawah umur melakukan
ibadah selain shalat, seperti: puasa, membaca al-Quran, zikir dan berdoa.
Penyebutan ibadah shalat menunjukkan bahwa shalat adalah ibadah yang wajib
dilakukan secara berkesinambungan baik dalam keadaan susah, senang, sakit dan
sehat sampai akhir hayat. Untuk itu perlu persiapan fisik maupun mental.
Shalat bukan
hanya sekadar ibadah ritual antara hamba dan khaliknya. Namun di balik perintah
shalat terdapat makna filosofis yang bila dikaji akan mengantarkan kepada
pemahaman bahwa ibadah shalat sangat penting bagi kehidupan manusia. Ahmad
Susanto menguraikan tentang filosofi shalat ini dari aspek moral, ekonomi,
kesehatan, iptek, sosial, politik dan hukum. Semua aspek itu akan berdampak dan
tercermin dalam kehidupannya sehari-hari. Berikut akan dijelaskan secara
ringkas beberapa aspek yang dimaksud:
a)
Aspek
akhlak/moral, yaitu mampu menghindarkan diri dari dosa dan maksiat, mendidik
kejujuran dan kebaikan, mengajarkan cara berpakaian yang sopan, menjadikan
rendah hati, mendidik sabar dan tabah serta tidak serakah dan menunjuki manusia
ke jalan yang lurus.
b)
Aspek
kesehatan, di antaranya: shalat mengajarkan kebersihan sebab sebelum shalat,
seseorang mesti melakukan thaharah (bersuci) dari hadas besar dan kecil, baik
badan, pakaian dan tempat. Sementara bersih itu sehat, menghindari makanan yang
haram serta dapat mengganggu kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa dalam menghadap
Allah SWT, serta senam/olahraga ringan yang dapat melenturkan dan melemaskan
otot-otot serta memperlancar peredaran darah, sekaligus
memperkuat/mengencangkan betis dan paha.
c)
Aspek
ekonomi, seperti tersirat perintah membangun pabrik tekstil, di mana syarat
sahnya shalat bagi seseorang mesti menutupi auratnya dengan pakaian. Perintah
bekerja atau berusaha yang halal, serta tidak malas, dan mengajarkan manusia
agar menghargai waktu.
d)
Aspek
iptek, dalam shalat juga tersirat perintah membangun masjid sehingga
mengantarkan umat Islam menjadi arsitektur, desainer, orang yang mengerti
tentang mesin dan alat teknologi lainnya serta tenaga ahli lainnya dan terdapat
juga perintah belajar.
e)
Aspek
sosial, yaitu bahasa Arab yang digunakan dalam shalat akan mempersaudarakan
manusia, kiblat shalat yang mengarah ke Baitullah merupakan simbol pemersatu
umat Islam, dianjurkannya shalat berjamaah juga banyak mengandung pesan-pesan
sosial.[11]
Menurut
Rafi’udin dan Alim Zainuddin, setidaknya ada tujuh hikmah shalat yang jika
dikaji hikmah ini akan menunjukkan urgensi shalat dalam kehidupan seseorang,
yaitu:
a)
Mendekatkan
diri kepada Allah. Shalat merupakan sarana bagi manusia untuk berdialog dengan
Tuhannya, sehingga dialog tersebut akan semakin menambah dekat dengan Tuhannya
yang terlihat dari aspek-aspek shalat, baik hati, ucapan dan gerakan.
b)
Mencegah
dari sifat keji dan munkar.
c)
Menimbulkan
jiwa yang tenang
d)
Mendidik
disiplin dan tanggung jawab
e)
Memupuk
rasa solidaritas, persatuan dan kesatuan
f)
Melatih
konsentrasi
g)
Menjaga kesehatan jasmani.[12]
Berarti shalat
sebagai salah satu bentuk perilaku keberagamaan, meskipun berhubungan dengan
Allah SWT, namun dampak yang ditimbulkan, jika dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dapat mempengaruhi perilaku sehari-hari ketika berinteraksi
dengan sesama manusia. Atau dengan arti kata shalat mengajak kepada perbuatan
ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar. Bahkan ibadah shalat
juga dapat menimbulkan berbagai implikasi positif, baik dalam kehidupan
individu maupun sosial masyarakat. Oleh sebab itu pula, kebiasaan melaksanakan
shalat tersebut mesti ditanamkan kepada anak sejak masa kecilnya.
2. Membaca
al-Quran
Secara
etimologi, al-Quran berarti bacaan/yang dibaca. Quraish Shihab mengartikannya
dengan “bacaan yang sempurna”.[13]
Al-Quran adalah mashdar dari kata qara’a ( قرأ ) sewazan dengan kata fu’lan (
فعلان ) yang diartikan
dengan pengertian isim maf’ul yaitu maqru’ (yang dibaca).[14]
Dalam al-Quran itu sendiri ditemukan kata al-Quran yang berarti bacaan.
Firman Allah
SWT :
¨bÎ)
$uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur
ÇÊÐÈ #sÎ*sù
çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù
¼çmtR#uäöè%
ÇÊÑÈ ) ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ
: ١٨- ١٧ِ (
Artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya,
maka ikutilah bacaan itu”(QS.al-Qiyamah: 17-18)
Pengertian
al-Quran secara istilah terdapat beberapa pendapat ulama di antaranya seperti
dikemukakan Hamka bahwa “al-Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada rasul-Nya
dengan perantara malaikat Jibril untuk disampaikan kepada manusia”.[15]
Menurut al-Suyuthi seperti dikutip Sanusi Latif, al-Quran adalah “firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk melemahkan pihak-pihak yang
menentangnya walaupun hanya dengan satu surat saja daripadanya.[16]
Menurut
Muhammad al-Khudari yang juga dikutip Sanusi Latif, al-Quran adalah “firman
Allah dan bahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk dipahami
isinya dan untuk diingat selalu telah disampaikan kepada kita dengan jalan
mutawatir, telah dituliskan dalam mushaf dimulai dengan surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat al-Nas”.[17]
Menurut al-Shiddieqy, al-Quran adalah wahyu yang diturunkan oleh malaikat
Jibril dari Allah dan disampaikan kepada Rasul dan tidak dapat ditandingi oleh
siapapun yang diturunkan sedikit demi sedikit lafaznya dan maknanya dinukilkan
dari pada Muhammad kepada kita umatnya dengan jalan mutawatir dan tertera
dengan sempurna dalam mushaf, baik lafaznya maupun naknanya sedang yang membaca
diberi pahala karena membaca al-Quran dihukum suatu ibadah.[18]
Dari beberapa definisi di atas, al-Quran adalah
nama yang diberikan kepada kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW
dengan perantara malaikat Jibril untuk disampaikan kepada manusia, mutawatir
penukilannya, ditulis dalam mushaf, yang harus dibaca, dipahami dan diamalkan
isinya agar hidup selamat, bahagia, dunia dan akhirat. Dengan demikian, fungsi
dan tujuan al-Quran diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup yang
membedakan antara hak dan batil dapat terealisasi dalam kehidupan.
Firman Allah SWT:
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur …4 ÇÊÑÎÈ ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ: ١٨٤ (
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS.al-Baqarah: 184)
Membaca adalah alat belajar[19], dan sarana yang efektif untuk memperoleh ilmu
pengetahuan serta isyarat-isyarat yang terkandung dalam sebuah teks. Membaca
juga alat social perhubungan (communication system) yang merupakan
syarat mutlak terwujudnya dan berkelanjutan suatu sistem social (social
system).[20]
Tanpa keterampilan
membaca sulit bagi seseorang untuk mengerti dan paham berbagai isyarat yang
termuat dalam suatu bacaan.
Demikian halnya al-Quran sebagai bacaan yang mulia,
tanpa disertai dengan keterampilan membaca yang baik dan benar, akan sulit
untuk memahami isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya. Konsekuensinya
al-Quran tidak dapat difungsikan sebagai petunjuk dan pembimbing dalam hidup.
Bahkan wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca.
Firman Allah SWT:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ )ﺍﻟﻌﻠﻖ :٥ـ ١ (
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah
dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”(QS.al-Alaq:
1-5)
3. Bergaul
dengan teman sebaya
Setiap anak terikat erat dengan kelompok teman
sebaya. Dia berupaya keras untuk bergabung dengan mereka dan berjuang untuk
mengokohkan kedudukannya di sana, serta mengadopsi nilai-nilai perilaku yang
dipegang oleh kelompoknya dengan sepenuh jiwa, perasaan dan kesetiannya. Itu
karena anak di tengah teman-temannya, merasakan adanya persamaan dan kesatuan tujuan
dan perasaan. Pada saat yang sama dia juga merasa adanya jurang yang lebar yang
seringkali memisahkan antara dirinya dan orang-orang dewasa.
Keterikatan seorang anak dengan kelompok dapat
semakin bertambah apabila materi sekolah-sekolah konvensional semakin jauh dari
pengalaman-pengalaman kehidupan realitas dan kebutuhan-kebutuhan perkembangan
pada fase kehidupannya. Juga apabila jarak antara anak dan kedua orang tuanya
semakin jauh sehingga dia tidak bisa berdiskusi dengan keduanya mengenai
urusan-urusannya. Musthafa Fahmi seperti dikutip al-Za'balawi menafsirkan
kesetiaan remaja kepada kelompok teman sebaya merupakan sebuah upaya dari pihak
remaja untuk meringankan kuatnya perasaan berdosa yang muncul karena dia
membangkang terhadap kedua orang tuanya dan guru-gurunya.[21]
Faktor yang mendorong anak untuk menyelaraskan
diri dengan kelompoknya adalah usahanya untuk menghindari segala penyebab
munculnya pertikaian antara anggota-anggota kelompok ini. Sebab dia melihat
setiap pertikaian antara dirinya dengan mereka belumlah seberapa bila
dibandingkan dengan pertikaian terbesar yang terjadi antara dia dengan otoritas
sekolah dan orang tua. Karena itu, penghormatannya kepada visi kelompok,
ketulusannya kepada mereka, dan ketundukannya kepada ide-ide pemikiran mereka
mengandung unsur peringanan perasaan berdosa yang timbul dari ketidaktaatannya
kepada orang tua dan guru-gurunya.
Loyalitas anak kepada keluarga pada dasarnya lebih
dulu ada dari loyalitasnya kepada kelompok. Terkadang loyalitasnya kepada kelompok
dan usahanya untuk mengikuti segala orientasi dan nilai-nilainya (dengan
tingkat yang ditunjukkan oleh studi-studi psikologi tersebut) tidak lebih dari
sebuah usaha untuk memuaskan kecenderungan untuk berkumpul, yang tidak
ditemukannya di lingkungan keluarga. Bukti paling kuat yang menunjukkan kuatnya
loyalitas anak kepada keluarganya adalah amarah dan emosinya jika ada orang
menyinggung atau menjelekkan kehormatan keluarganya.
Anggota-anggota berbagai kelompok menyadari
kekuatan loyalitas ini, sehingga mereka campur tangan untuk melerai pertikaian.
Mereka semua sepakat untuk tidak melibatkan keluarga dalam tema-tema diskusi
dan dialognya. Mereka enggan menerima komentar tentang setiap corak perilaku
yang jadi ciri khas setiap keluarga, walaupun komentar itu disampaikan secara
implisit, tidak terang-terangan, karena mereka mendapati adanya keharusan untuk
menghormati sistem mental ini yang mengikat anak dengan keluarganya, sekalipun
mayoritas merasa bahwa keluarga tidak menghargai fase perkembangan yang sedang
dijalani oleh kepribadiannya.
Studi-studi tersebut mengungkapkan bahayanya
sikap pasif keluarga, yaitu keluarga mengabaikan karakteristik perkembangan
anak. Pengabaian itu membuat anak menyeleweng, dengan mengikuti
kelompok-kelompok sesat yang meniru perilaku asing yang tidak menghargai
moralitas sama sekali.
Tema-tema yang terkait dengan perkembangan
seksual dan hubungan antara lelaki dan wanita, telah disinggung oleh al-Quran
dan Sunnah dengan penuh hikmah dan dengan metode yang indah, metode yang memberi
keterangan dengan jelas tapi tidak vulgar. Hal ini penting sebagai dasar bagi
studi-studi psikologi yang menyerukan perlunya pendidikan seks bagi anak-anak
muda/remaja.
Firman Allah SWT:
@è% úüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäót ô`ÏB ôMÏdÌ»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4 y7Ï9ºs 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁt ÇÌÉÈ )ﺍﻟﻨﻮﺭ: ٣٠ (
Artinya:
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”(QS.al-Nur: 30)
Ghaddhul bashar (menjaga
pandangan) adalah etika dalam masyarakat muslim, ia merupakan sarana untuk
mencegah gejolak seksual. Allah memerintahkan wanita-wanita mukmin untuk
menahan pandangan dan tidak memperlihatkan ziinah (perhiasan) kepada
selain mahramnya, agar stimulus yang fitri itu tetap terpendam, tidak
terangsang setiap saat. Sehingga tiba saat yang tepat untuk memenuhinya dengan
perkawinan yang dihalalkan Allah dan dijadikan-Nya sebagai satu-satunya jalan
yang boleh untuk memenuhi stimulus ini pada diri lelaki dan wanita. Kalau anak
melaksanakan etika ini, bisa berfungsi sebagai sabuk pengaman sepanjang fase
ini, dan itu akan membantunya melewati fase ini dengan aman dan selamat. Sebab,
karakter perkembangan anak membuatnya belum pantas menikah, dengan mengesampingkan
faktor ekonomi, walaupun terpenuhi pada fase ini.
Khazanah fiqh
Islam memberi perhatian terhadap kajian mengenai tema-tema pertumbuhan seksual
anak, pria dan wanita. Pembahasan masalah pertumbuhan ini ditempatkan dalam
berbagai bab, seperti bab bersuci dari hadats, bab mandi wajib dan mandi
sunnah, dan pada pembahasan mengenai penentuan usia baligh sebagai permulaan
pembebanan dengan taklif syari'at. Mereka juga membahasnya dalam bab-bab
wajibnya shalat, puasa, haji, zakat serta bab-bab tentang pernikahan dan
perceraian. Para ulama juga membahas cacat-cacat seksual yang membolehkan
seorang istri untuk meminta cerai. Mereka membahasnya di dalam bab-bab tentang had
dan lain sebagainya. Kajian-kajian tersebut menggunakan ungkapan yang teliti
dan uslub (gaya bahasa) yang tinggi, dengan mencontoh al-Quran dan
Sunnah Rasulullah.
4. Perilaku terhadap orang tua
Orang tua merupakan pendidik yang pertama bagi
anak selama anak berada dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah wadah utama
dan pertama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika suasana dalam keluarga
baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula, dan jika tidak, maka
terlambatlah pertumbuhan anak tersebut. Kedudukan orang tua dalam lingkungan
keluarga sangatlah penting, terutama bagi ibu, karena dialah yang banyak
menentukan ketenangan rumah tangga serta pendidikan anak-anak.[22]
Kedua orang tua memberikan pengorbanan yang
demikian besar terhadap anak. Sebab keduanya telah merawat anak sejak dalam
kandungan hingga lahir ke dunia. Orang tua tidak pernah mengenal lelah bahkan
rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya. Oleh karena itu Allah
memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Firman Allah SWT:
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ ) ﻟﻘﻤﺎ
ن :١٤
(
Artinya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah lagi
bertambah lemah dan menyapihnya dalam waktu dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kamu akan kembali”(QS.Luqman: 14)
Banyak cara
yang dapat dilakukan oleh seorang anak untuk berbuat baik kepada kedua orang
tuanya, seperti tidak menyakiti perasaan mereka serta tidak berkata-kata kasar
dan membentak mereka, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Firman Allah
SWT:
4Ó|Ós%ur y7/u
wr&
(#ÿrßç7÷ès?
HwÎ)
çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ)
4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t
x8yYÏã uy9Å6ø9$#
!$yJèdßtnr&
÷rr&
$yJèdxÏ. xsù
@à)s? !$yJçl°;
7e$é& wur
$yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs%
$VJÌ2
)ﺑﻨﻲﺍﺳﺮﺍﺋﻴﻞ
: ٢٣(
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS.al- Isra’: 23)
Firman Allah
SWT:
Ï%©!$#ur
tA$s% Ïm÷t$Î!ºuqÏ9 7e$é& !$yJä3©9
ûÓÍ_ÏR#yÏès?r& ÷br&
ylt÷zé&
ôs%ur
ÏMn=yz
ãbrãà)ø9$# `ÏB Î=ö7s% $yJèdur Èb$sWÉótGó¡o
©!$#
y7n=÷ur
ô`ÏB#uä ¨bÎ)
yôãur
«!$#
A,ym
ãAqà)usù $tB !#x»yd HwÎ)
çÏÜ»yr&
tûüÏ9¨rF{$# ÇÊÐÈ ) ﺍﻻﺣﻘﺎﻑ :١٧(
Artinya:
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Ah” bagi
kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan
dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua
ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: “Celaka
kamu, berimanlah! sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia
berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka”(QS.al-Ahqaf:
17)
[4]Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990), h. 160
[7]Abu Daud Sulaiman ibn al-‘Asyats
al-Sajastani al-Azdi (selanjutnya disebut Abu Daud), Sunan Abu Daud, (al-Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
1424 H), h. 220
[8]Musfir bin Said al-Zahrani, Konseling Terapi, diterjemahkan oleh Sari Narulita dkk dari judul
asli: al-Taujîh wa al-Irsyâd al-Nafsi min al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnati
al-Nabawiyah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet.ke-1, h. 40-41
[10]Mubin dan Ani Cahyadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), cet.ke-1, h. 102
[11]Ahmad Susanto, Filosofi Shalat, Kajian Moral,
Ekonomi, Kesehatan, Sosial, Politik dan Hukum,
(Jakarta: Dea Press, 1999), h. 35-89
[13]M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir
Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003),
cet.ke-13, h. 3
[14]TM.
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu
al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 17
[16]M. Sanusi Latif, Pengantar Tafsir, (Padang:
IAIN IB Press, 1982), h. 26
[17]Ibid.
[19]Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2003), cet.ke-4, h. 84
[21]M. Sayyid Muhammad al-Za’balawi (selanjutnya disebut
az-Za'balawi), Pendidikan Remaja, Antara Islam dan Ilmu Jiwa,
diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Dari judul asli: Tarbiyyatul
Marāhiq Bainal Islam wa Ilmin Nafs, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2007), cet.ke-1, h.
172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar