Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Peran Sekolah Dalam Membina Amal Keagamaan Peserta Didik


Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang didalamnya ditemukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, berbagai keterampilan yang kelak akan diberikan kepada peserta didik.
”Sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting sesudah keluarga, karena makin besar kebutuhan anak, maka orang tua menyerahkan tanggung jawabnya sebahagian kepada lembaga sekolah ini. Sekolah befungsi sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak. Sekolah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak mengenai apa yang tidak dapat atau tidak ada kesempatan orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran dalam keluarga”.[1]

Sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak mereka, terkadang orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah agama. Atau mungkin karena orang tua merasa kesulitan mengendalikan tingkah laku anaknya, maka mereka akan memasukkan anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan keberagamaan para anak. Walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan anak, kenyataan sejarah menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan keberagamaan bagi anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana kebiasaan yang selaras dengan tuntutan agama.
Pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, dengan cara pengulangan dan kedua, dengan disengaja atau direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan keberagamaan dapat dilakukan dengan cara yang pertama. Maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif. Dengan demikian, pengaruh pembentukan keberagamaan pada anak di kelembagaan pendidikan barang kali tergantung dari bagaimana perencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.
Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian, kedua adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan. Dengan demikian, pengaruh sekolah dalam pembentukan keberagamaan pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk mencapai itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode, serta alat-alat yang memungkinkan menarik perhatian anak.
Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan semata.
Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik.[2]            
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pihak sekolah sangat berperan dalam menumbuhkembangkan keberagamaan anak. Oleh sebab itu, pihak sekolah harus mengupayakan semaksimal mungkin dalam membina keberagamaan siswa.
5. Pembinaan Amal Keagamaan Peserta Didik di Sekolah
Ada beberapa hal yang harus dilakukan pihak sekolah dalam membina amal keagamaan siswa, yaitu:
a. Memberikan pendidikan keimanan kepada siswa
Pendidikan keimanan merupakan pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh pihak sekolah terutama bagi guru agama. Pendidikan keimanan berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada siswa melalui bimbingan agama. Di dalam pendidikan keimanan ini, ada beberapa hal yang bisa guru lakukan, di antaranya:
1) Menanamkan keyakinan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Persoalan ini dapat dilakukan dengan memberikan materi-materi ketauhidan dengan metode-metode yang sesuai. Guru bisa memberikannya secara bertahap mulai dari hal-hal yang dapat dicerna hanya dapat menggunakan dengan indra, meningkat kepada hal-hal yang logis. Dari hal-hal yang sederhana meningkat kepada hal-hal yang tersusun secara sistematis.[3]
Guru juga melakukannya dengan study wisata dengan metode tafakkur alam. Guru mengajak siswa untuk merenungi ciptaan Allah yang tersusun rapi dan indah ini sebagai bukti kekuasaan Allah. Dengan cara seperti ini diharapkan siswa semakin kagum terhadap kekuasaan Allah, sehingga membuat keimanannya semakin mantap kepada Allah.
2) Menanamkan kepada anak perasaan selalu ingat kepada Allah SWT, dan selalu merasa diawasi Allah. dalam setiap tindakan dan keadaan mereka.
Seorang guru, bisa memberikan pemahaman kepada siswa, bahwa Allah SWT selalu memperhatikan, melihat, dan mengetahui rahasia, bisikan dan apapun yang disembunyikan oleh hati setiap manusia. Caranya, siswa harus dilatih untuk ikhlas kepada Allah dalam setiap perkataan, perbuatan, dan tindakannya. Setiap kali akan melakukan sesuatu, hendaknya dia berniat melakukannya demi mencapai Ridha Allah. Sehingga akan tercipta ubudiyyah yang murni kepada Allah SWT.
Selain itu guru harus menanamkan sikap muroqobatullah (merasa selalu diawasi Allah) kepada siswa, apabila ingin melakukan maksiat, ingat Allah pasti mengetahuinya dan akan menerima akibatnya kelak.
          b.Pendidikan Ibadah
Mendefenisikan ibadah Malik Fadjar dan Abdul Ghafir memberikan dua pengertian, yaitu:
1)   Ibadah dalam pengertian umum ialah semua amalan yang diidzinkan oleh Tuhan  dan yang tidak ditetapkan secara terperinci mengenai keharusan mengerjakannya.
2)   Ibadah dalam pengertian khusus ialah apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan secara terperinci baik tingkat maupun kaifiyat (cara-cara)nya yang tertentu; misalnya sholat, puasa, haji dan sebagainya. [4]

Pendidikan ibadah merupakan kegiatan yang bertujuan mendorong siswa terampil memperbuat pekerjaan ibadah itu, baik dari segi kegiatan anggota badan, ataupun dari segi bacaan. Ringkasnya, siswa itu dapat melakukan ibadah dengan mudah karena memiliki pengetahuan tentang itu dan mendorong agar ia senang melakukan ibadah itu dengan baik, terutama ibadah wajib sehari-hari seperti salat, bersuci, puasa dan lain-lain.[5]
Pendidikan ibadah ini, guru sebagai orang tua kedua harus mengajari dan membiasakan anak untuk taat beribadah. Misalnya, dengan cara  mengarahkan mereka sholat berjamaah, membaca al-Quran dan sebagainya.
c. Pendidikan akhlak
Pendidikan akhlak berkaitan erat dengan pendidikan agama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama, yang baik menurut  akhlak adalah apa yang baik menurut ajaran agama, dan yang buruk menurut akhlak adalah apa yang dianggap buruk oleh ajaran agama.[6] Hampir sepakat para filosof pendidikan Islam bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.
Melihat hal itu para guru khususnya guru agama memiliki kewajiban dalam mentarbiyah siswa-siswanya agar memiliki akhlak yang mulia. Dalam hal ini, guru harus mengajari siswa bagaimana akhlak kepada orang tua, kepada guru, kepada orang yang lebih tua, kepada yang lebih muda, kepada teman sebaya, kepada tetangga,  kepada diri sendiri bahkan kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan.
d. Pendidikan sosial
Pendidikan sosial adalah pendidikan yang diberikan kepada siswa agar mereka terbiasa bersikap santun, dan berakhlak mulia kepada komunitas di mana dia tinggal dan berinteraksi.[7] Dengan kebiasaan dan interaksi sosial seperti itu, anak akan tumbuh menjadi anggota masyarakat yang dicintai oleh komunitasnya, karena ketinggian akhlaknya.
Guru harus menanamkan pada diri siswa bahwa sesama mukmin itu bersaudara sehingga wajib menjaga hubungan baik di antara sesama mereka dan menjalin silaturrahim.
Firman Allah SWT:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? . )ﺍﻟﺤﺠﺭﺍﺕ:١٠(
Artinya:
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”(QS.al- Hujurat: 10)

Memperhatikan hal tersebut, dianjurkan kepada guru untuk melatih jiwa sosial siswa. Misalnya, mengunjungi panti asuhan, memberikan sumbangan kepada korban bencana, menjenguk teman yang sakit, takziyah ke rumah duka dan sebagainya. Dengan cara yang demikian diharapkan jiwa sosial siswa akan terlatih.



                  [1]Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1984), h. 179.
                     [2] Jalaluddin Rahmad, Op.cit, h. 269-270.
[3] Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak yang Shaleh,  (Bandung: al-Bayan, 1996),  h. 70.
[4]Malik Fadjar & Abdul Ghofir, Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981),  h. 70.

[5]Zakiah Daradjat dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 76.

                 [6]Asnelly Ilyas, op.cit.,  h. 72-73.
[7]Siti Rofidah, Membentuk Anak yang Shaleh; Panduan Praktis Pendidikan Anak Usia Dini-Remaja Agar Menjadi Anak Sholeh, (Ciputat: Wadi Press, 2007),  h.92.

Tidak ada komentar: