Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang didalamnya ditemukan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, berbagai keterampilan yang kelak akan
diberikan kepada peserta didik.
”Sekolah adalah lembaga pendidikan yang
penting sesudah keluarga, karena makin besar kebutuhan anak, maka orang tua
menyerahkan tanggung jawabnya sebahagian kepada lembaga sekolah ini. Sekolah
befungsi sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak. Sekolah memberikan
pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak mengenai apa yang tidak dapat atau
tidak ada kesempatan orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran dalam
keluarga”.[1]
Sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan
keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka,
maka mereka menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan
kepentingan dan masa depan anak-anak mereka, terkadang orang tua sangat
selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin
saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan
memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah agama. Atau mungkin karena orang tua
merasa kesulitan mengendalikan tingkah laku anaknya, maka mereka akan
memasukkan anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan
sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak
tersebut.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh
pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan
keberagamaan para anak. Walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan
keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan anak, kenyataan sejarah
menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan
yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus
seperti pondok pesantren.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh
bagi pembentukan keberagamaan bagi anak. Namun demikian, besar kecilnya
pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi
anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya
merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih
dititikberatkan pada bagaimana kebiasaan yang selaras dengan tuntutan agama.
Pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington bisa dilakukan melalui dua
cara. Pertama, dengan cara pengulangan dan kedua, dengan disengaja atau
direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan keberagamaan dapat
dilakukan dengan cara yang pertama. Maka melalui kelembagaan pendidikan cara
yang kedua tampaknya akan lebih efektif. Dengan demikian, pengaruh pembentukan
keberagamaan pada anak di kelembagaan pendidikan barang kali tergantung dari
bagaimana perencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah. Dalam konteks
ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan
agama yang diberikannya.
Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap
menerima melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya
perhatian, kedua adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan. Dengan
demikian, pengaruh sekolah dalam pembentukan keberagamaan pada anak sangat
tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu.
Pertama, pendidikan agama harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk
mencapai itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode, serta
alat-alat yang memungkinkan menarik perhatian anak.
Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada peserta
didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih
mudah diserap jika pendidikan yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan semata.
Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan.
Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan
dan nilai bagi kehidupan anak didik.[2]
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pihak sekolah sangat berperan dalam
menumbuhkembangkan keberagamaan anak. Oleh sebab itu, pihak sekolah harus
mengupayakan semaksimal mungkin dalam membina keberagamaan siswa.
5. Pembinaan Amal Keagamaan Peserta Didik di Sekolah
Ada beberapa hal yang harus dilakukan pihak sekolah dalam membina amal keagamaan
siswa, yaitu:
a. Memberikan pendidikan keimanan kepada siswa
Pendidikan keimanan
merupakan pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh pihak sekolah
terutama bagi guru agama. Pendidikan keimanan berarti membangkitkan kekuatan
dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada siswa melalui
bimbingan agama. Di dalam pendidikan keimanan ini, ada beberapa hal yang bisa
guru lakukan, di antaranya:
1) Menanamkan keyakinan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Persoalan ini
dapat dilakukan dengan memberikan materi-materi ketauhidan dengan metode-metode
yang sesuai. Guru bisa memberikannya secara bertahap mulai dari hal-hal yang
dapat dicerna hanya dapat menggunakan dengan indra, meningkat kepada hal-hal yang
logis. Dari hal-hal yang sederhana meningkat kepada hal-hal yang tersusun
secara sistematis.[3]
Guru juga
melakukannya dengan study wisata dengan metode tafakkur alam. Guru
mengajak siswa untuk merenungi ciptaan Allah yang tersusun rapi dan indah ini
sebagai bukti kekuasaan Allah. Dengan cara seperti ini diharapkan siswa semakin
kagum terhadap kekuasaan Allah, sehingga membuat keimanannya semakin mantap
kepada Allah.
2) Menanamkan
kepada anak perasaan selalu ingat kepada Allah SWT, dan selalu merasa diawasi
Allah. dalam setiap tindakan dan keadaan mereka.
Seorang guru,
bisa memberikan pemahaman kepada siswa, bahwa Allah SWT selalu memperhatikan,
melihat, dan mengetahui rahasia, bisikan dan apapun yang disembunyikan oleh
hati setiap manusia. Caranya, siswa harus dilatih untuk ikhlas kepada Allah
dalam setiap perkataan, perbuatan, dan tindakannya. Setiap kali akan melakukan sesuatu,
hendaknya dia berniat melakukannya demi mencapai Ridha Allah. Sehingga akan
tercipta ubudiyyah yang murni kepada Allah SWT.
Selain itu guru
harus menanamkan sikap muroqobatullah (merasa selalu diawasi Allah)
kepada siswa, apabila ingin melakukan maksiat, ingat Allah pasti mengetahuinya
dan akan menerima akibatnya kelak.
b.Pendidikan Ibadah
Mendefenisikan ibadah Malik Fadjar dan Abdul Ghafir
memberikan dua pengertian, yaitu:
1) Ibadah dalam pengertian umum ialah semua
amalan yang diidzinkan oleh Tuhan dan
yang tidak ditetapkan secara terperinci mengenai keharusan mengerjakannya.
2) Ibadah dalam pengertian khusus ialah apa-apa
yang telah ditetapkan Tuhan secara terperinci baik tingkat maupun kaifiyat (cara-cara)nya yang tertentu;
misalnya sholat, puasa, haji dan sebagainya. [4]
Pendidikan ibadah merupakan kegiatan yang bertujuan mendorong siswa
terampil memperbuat pekerjaan ibadah itu, baik dari segi kegiatan anggota
badan, ataupun dari segi bacaan. Ringkasnya, siswa itu dapat melakukan ibadah
dengan mudah karena memiliki pengetahuan tentang itu dan mendorong agar ia
senang melakukan ibadah itu dengan baik, terutama ibadah wajib sehari-hari
seperti salat, bersuci, puasa dan lain-lain.[5]
Pendidikan ibadah ini, guru sebagai orang tua kedua harus mengajari dan
membiasakan anak untuk taat beribadah. Misalnya, dengan cara mengarahkan mereka sholat berjamaah, membaca
al-Quran dan sebagainya.
c. Pendidikan
akhlak
Pendidikan akhlak
berkaitan erat dengan pendidikan agama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan agama, yang baik menurut akhlak adalah apa yang baik menurut ajaran
agama, dan yang buruk menurut akhlak adalah apa yang dianggap buruk oleh ajaran
agama.[6] Hampir
sepakat para filosof pendidikan Islam bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa
pendidikan Islam, sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa
dan akhlak.
Melihat hal itu para guru khususnya guru agama memiliki kewajiban dalam mentarbiyah siswa-siswanya agar memiliki
akhlak yang mulia. Dalam hal ini, guru harus mengajari siswa bagaimana akhlak kepada orang
tua, kepada guru, kepada orang yang lebih tua, kepada yang lebih muda, kepada
teman sebaya, kepada tetangga, kepada
diri sendiri bahkan kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan.
d. Pendidikan
sosial
Pendidikan
sosial adalah pendidikan yang diberikan kepada siswa agar mereka terbiasa bersikap santun,
dan berakhlak mulia kepada komunitas di mana dia tinggal dan berinteraksi.[7]
Dengan kebiasaan dan interaksi sosial seperti itu, anak akan tumbuh menjadi
anggota masyarakat yang dicintai oleh komunitasnya, karena ketinggian
akhlaknya.
Guru harus
menanamkan pada diri siswa bahwa sesama mukmin itu bersaudara sehingga wajib
menjaga hubungan baik di antara sesama mereka dan menjalin silaturrahim.
Firman Allah
SWT:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? . )ﺍﻟﺤﺠﺭﺍﺕ:١٠(
Artinya:
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat”(QS.al- Hujurat: 10)
Memperhatikan
hal tersebut, dianjurkan kepada guru untuk melatih jiwa sosial siswa. Misalnya,
mengunjungi panti asuhan, memberikan sumbangan kepada korban bencana, menjenguk
teman yang sakit, takziyah ke rumah duka dan sebagainya. Dengan cara yang
demikian diharapkan jiwa sosial siswa akan terlatih.
[4]Malik Fadjar & Abdul
Ghofir, Kuliah Agama Islam di
Perguruan Tinggi, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1981), h. 70.
[7]Siti Rofidah, Membentuk Anak yang Shaleh; Panduan
Praktis Pendidikan Anak Usia Dini-Remaja Agar Menjadi Anak Sholeh, (Ciputat: Wadi Press,
2007), h.92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar