Perilaku Beragama Peserta Didik Menurut Ilmu
Psikologi
Suatu hal yang cukup menarik untuk ditinjau kembali adalah faktor apa saja
yang dapat mempengaruhi perilaku beragama para siswa. Karena belum tentu apa
yang diinginkan orang tua sesuai dengan keinginan sang anak.
1. Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar
Setiap individu
memiliki ciri, sifat bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh
dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Menurut tinjauan psikologi, kepribadian
dibentuk oleh perpaduan faktor pembawaan dan lingkungan.[1]
Karakteristik
bawaan, baik yang bersifat biologis maupun psikologis dimiliki sejak lahir. Apa
yang dipikirkan, dikerjakan, atau dirasakan seseorang, atau merupakan hasil
perpaduan antara faktor-faktor biologis merupakan warisan dan pengaruh dari
lingkungan sekitarnya.[2]
Berarti karakteristik pada diri individu mengalami perkembangan seiring dengan
pertambahan usia mereka pada setiap fase yang dilaluinya; dari keadaan lemah
menjadi kuat kemudian lemah kembali.
Firman Allah
SWT:
*
ª!$#
Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB
7#÷è|Ê
¢OèO
@yèy_
.`ÏB
Ï÷èt/
7#÷è|Ê
Zo§qè%
¢OèO
@yèy_
.`ÏB
Ï÷èt/
;o§qè%
$Zÿ÷è|Ê Zpt7øx©ur
4 ß,è=øs
$tB âä!$t±o
( uqèdur
ÞOÎ=yèø9$# ãÏs)ø9$# ÇÎÍÈ )ﺍﻟﺭﯢﻡ: ٥٤ (
Artinya:
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian
Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”(QS.al-Ruum:
54)
Bilamana
dikaitkan dengan individu sebagai peserta didik yang sedang menjalani suatu
studi atau pendidikan pada suatu lembaga atau institusi, tentu juga memiliki
karakteristik tersendiri yang mungkin membedakannya dari individu peserta didik
yang juga sedang menjalani studi pada tingkat atau jenjang pendidikan yang
berbeda. Dengan begitu, maka karakteristik anak (peserta didik) yang duduk di
bangku Sekolah Dasar (SD) akan berbeda dengan anak (peserta didik) yang duduk
di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Menurut Siti
Meichati, karakteristik secara umum dari peserta didik yaitu: 1) belum memiliki
pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik, 2) masih
menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi
tanggung jawab pendidik, 3) Sebagai manusia memiliki sifat-sifat dasar yang
sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis,
rohani, sosial, inteligensi, emosi dan 4) Kemampuan berbicara, perbedaan
individual dan sebagainya.[3]
Meskipun demikian, berikut ini akan dipaparkan karakteristik anak usia SD.
2. Tahapan Perkembangan Anak Usia SD
Anak usia SD
umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun.[4]
Menurut Mubin dan Ani Cahyadi periode masa sekolah ini dimulai setelah anak melewati
masa degil (keras kepala) yang pertama di mana proses sosialisasi telah dapat
berlangsung dengan lebih efektif sehingga ia disebut “matang” untuk mulai
sekolah.[5]
Hadari Nawawi
membagi masa anak-anak (childhood) yang berlangsung dari usia 3 sampai
12 tahun kepada tiga fase, yaitu:
a.
Permulaan
masa anak-anak (early childhood); fase ini berlangsung dari usia 3 sampai 6 tahun.
b.
Pertengahan
masa anak-anak (middle childhood); fase ini berlangsung dari usia 6
sampai 9 tahun.
c.
Akhir
masa anak-anak (late childhood); fase ini berlangsung dari usia 9 sampai
12 tahun.[6]
Penjelasan ketiga
fase tersebut, maka fase kedua dan ketiga adalah masa sekolah. Jenjang
pendidikan yang dilalui anak pada usia ini adalah Sekolah Dasar. Selanjutnya
untuk menentukan kematangan seorang anak untuk mulai sekolah, paling tidak
dapat dilihat dari empat aspek berikut:
a.
Aspek
fisik; fisik anak telah berkembang secara memadai sehingga anak memperlihatkan
kesanggupannya untuk mentaati tata tertib sekolah, misalnya: dapat duduk
tenang, tidak makan-makan dalam kelas.
b.Aspek intelektual; yaitu apabila anak telah sanggup menerima
pelajaran secara sistematis, kontinyu dan dapat menyimpan serta
mereproduksi-kannya bila diperlukan.
c.
Aspek
moral; apabila anak telah sanggup untuk menerima didikan moral atau norma-norma
dan dapat mematuhi atau melaksanakannya.
d.
Aspek
sosial; yaitu apabila anak telah sanggup untuk menyesuaikan diri dan bergaul
dengan orang lain terutama dengan teman-temannya di sekolah dan dapat pula
berhubungan dengan guru atas dasar pengakuan dan kewibawaan guru.[7]
Lebih lanjut
untuk melihat tahapan perkembangan anak SD secara garis besarnya dapat dilihat
dari dua aspek perkembangan, yaitu:
a. Perkembangan aspek fisik
Sampai
pertengahan masa SD ini, anak laki-laki lebih cepat perkembangannya daripada
anak perempuan, tetapi menjelang akhir masa anak sekolah (sesaat menjelang masa
remaja), perkembangan fisik anak perempuan jauh lebih cepat. Karena itu, masa
ini sering juga disebut sebagai “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat
menjelang masa remaja.[8]
Meskipun
merupakan “masa tenang”, tetapi hal ini tidak berarti bahwa pada masa ini tidak
terjadi proses pertumbuhan fisik yang berarti. Beberapa aspek dari pertumbuhan
fisik yang terjadi selama periode akhir anak-anak, di antaranya: (1) keadaan
berat dan tinggi badan, (2) keterampilan motorik.
1)
Keadaan berat dan tinggi badan
Sampai dengan
usia sekitar 6 tahun terlihat badan anak bagian atas berkembang lebih lambat
daripada bagian bawah. Anggota-anggota badan relatif masih pendek, kepala dan
perut relatif masih besar. Selama masa akhir anak-anak, tinggi bertambah
sekitar 5 hingga 6 % dan berat bertambah sekitar 10 % setiap tahun. Pada usia 6
tahun tinggi rata-rata anak adalah 46 inci dengan berat 22,5 kg. Kemudian pada
usia 12 tahun tinggi anak mencapai 60 inci dan berat 40 hingga 42,5 kg.[9]
Peningkatan
berat badan anak Pada masa ini lebih banyak daripada panjang badannya. Kaki dan
tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul lebih besar. Peningkatan berat
badan anak selama masa ini terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem
rangka dan otot serta ukuran beberapa organ tubuh. Pada saat yang sama,
kekuatan otot berangsur-angsur bertambah dan gemuk bayi (baby fat) berkurang.
Pertambahan kekuatan otot ini karena faktor keturunan dan latihan (olahraga).
Karena perbedaan jumlah sel-sel otot, maka umumnya anak laki-laki lebih kuat daripada
anak perempuan. Pertumbuhan fisik pada masa ini, di samping memberikan
kemampuan bagi anak-anak untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas baru,
tetapi juga dapat menimbulkan berbagai permasalahan dan kesulitan secara fisik
dan psikologis bagi mereka.
2)
Keterampilan motorik.
Semakin terus
bertambah berat dan kekutan badan, maka selama masa pertengahan dan akhir
anak-anak ini perkembangan motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi
dibandingkan dengan awal masa anak-anak. Anak-anak terlihat lebih cepat dalam
berlari dan makin pandai meloncat. Anak juga makin mampu menjaga keseimbangan
badannya. Penguasaan badan, seperti membongkok, melakukan bermacam-macam
latihan senam serta aktivitas olahraga berkembang pesat.[10]
Sejak usia 6
tahun, koordinasi antara mata dan tangan (visiomotorik) yang dibutuhkan untuk
membidik, menyepak, melompat dan menangkap juga berkembang. Pada usia 7 tahun,
tangan anak semakin kuat dan ia lebih menyukai pensil daripada krayon untuk
melukis.
Mulai usia 8
hingga 10 tahun, tangan dapat digunakan secara bebas, mudah dan tepat.
Koordinasi motorik terus berkembang, di mana anak sudah dapat menulis dengan
baik. Pada usia 10 hingga 12 tahun, anak-anak mulai memperlihatkan
keterampilan-keterampilan manipulatif menyerupai orang dewasa, gerakan-gerakan
yang kompleks, rumit dan cepat, yang diperlukan untuk menghasilkan karya
kerajinan yang bermutu bagus atau memainkan instrumen musik tertentu.
Agar lebih
memperhalus keterampilan-keterampilan motorik mereka, anak-anak terus melakukan
berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan yang kadang-kadang bersifat
informal, permainan yang diatur sendiri oleh anak. Di samping itu, anak-anak
juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal,
seperti olahraga, senam, berenang atau permainan hoki.[11]
Anak-anak masa
sekolah ini mengembangkan kemampuan melakukan permainan (game) dengan
peraturan, sebab mereka sudah dapat memahami dan menaati aturan-aturan suatu
permainan. Pada waktu yang sama, anak-anak mengalami peningkatan dalam
koordinasi dan pemilihan waktu yang tepat dalam melakukan berbagai cabang
olahraga.
Partisipasi di
berbagai cabang olahraga, dapat memberi konsekuensi positif dan negatif bagi
anak-anak. Di satu sisi, partisipasi anak-anak dalam bidang olahraga dapat
memberi latihan dan kesempatan untuk belajar bersaing, meningkatkan harga diri (self
esteem) dan memperluas pergaulan dan persahabatan dengan teman-teman
sebaya. Tetapi di sisi lain, olahraga juga menimbulkan dampak negatif bagi
anak-anak. Mereka mengalami terlalu banyak tekanan untuk berprestasi dan
menang, cidera fisik, harus bolos dari tugas akademis, berusaha mencapai
harapan-harapan yang tidak realistis untuk menjadi atlet yang sukses.[12]
b. Perkembangan aspek psikis
1)
Pengamatan
Menurut Ernest
Meumann seperti dikutip Mubin dan Ani Cahyadi, perkembangan pengamatan anak
dapat dibagi ke dalam tiga masa, yaitu: (1) masa sintesis fantasi (umur 7-8
tahun). Dalam masa ini pengamatan anak masih global, bagian-bagiannya belum
tampak jelas, karena bergabung dengan fantasinya. (2) masa analisis (umur 8-12
tahun). Pada masa ini anak telah mampu membeda-bedakan sifat dan mengenal
bagian-bagiannya, walaupun hubungan antara bagian itu belum tampak seluruhnya.
Peran serta fantasinya mulai berkurang, diganti dengan pengamatan yang nyata
(realitas). (3) masa logis (umur 12 tahun ke atas). Di sini anak telah dapat
berpikir logis. Pengertian dan kesadarannya semakin sempurna, sehingga bagian
dalam pengamatan sudah jelas, dan hubungan antara bagian-bagian pun dapat
terlihat olehnya.[13]
2)
Berpikir
Tahap
perkembangan berpikir anak SD dapat dibagi kepada tiga, yaitu: (1) sensorimotor
stage, sejak lahir sampai kira-kira usia 2 tahun; (2) concrete
operations, mulai usia 2 hingga 11 tahun dan (3) propositional/ formal
operations mulai 12 tahun ke atas. Ini berarti anak SD berada dalam tahap
berpikir operasional konkrit dan tidak egosentrik lagi, ia sudah mampu
mengadakan desentrasi (memisahkan antara subyek dan obyek) yang baik. Kemampuan
operasi logisnya terbatas kepada hal-hal konkrit saja, seperti: mengukur,
menimbang, menghitung. Kecuali menjelang akhir masa ini kira-kira usia 11 atau
12 tahun, anak mulai mengerti dan menganalisa hubungan-hubungan verbal yang
menekankan penggunaan rasio/logika. Mulai saat itulah anak masuk ke tingkat
berpikir yang lebih tinggi yaitu tingkat operasional formal atau proposisional.
3)
Daya ingatan
Perkembangan
daya ingatan anak pada usia 8-12 tahun mencapai intensitas yang paling besar
dan paling kuat. Menurut Kartini Kartono, daya menghafal dan daya memorisasi
(dengan sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam ingatan) adalah
paling kuat dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak.[14]
Anak usia SD
memang masa pekanya untuk belajar membaca, menulis, berhitung dan mengingat.
Perkembangan daya ingatan dalam masa ini melalui dua fase, yaitu: (1) fase
motoris; mulai awal masa sekolah sampai dengan usia 10 tahun. Dalam fase ini
anak lebih mudah mengingat hal-hal yang bersifat gerakan. (2) fase ingatan
mekanis; mulai usia 10 tahun sampai dengan akhir masa sekolah.[15]
Sekarang anak
dengan mudah dapat mencamkan, menyimpan dan mereproduksikan segala kesan
penginderaan. Ia dapat melakukannya dengan cepat dan tepat bagaikan mesin.
Ulangan dan latihan sangat diperlukan untuk mempertinggi kecepatan dan
ketepatan ingatan anak.
4)
Perasaan
Perasaan anak
SD banyak tertuju kepada perasaan intelek, sehingga ia sering merasa mampu
mengerjakan sesuatu walaupun sebenar-nya dia belum mampu, tetapi hatinya
menjadi puas bila sudah dicobanya, meskipun salah atau gagal ia tetap gembira.
Masa inipun dijuluki dengan masa intelektual, karena perkembangan inilah yang
menonjol.
5)
Moral anak
Anak SD mulai
dapat bertingkah laku yang sesuai dengan apa-apa yang diharapkan oleh
kelompoknya. Dia telah dapat mengetahui kaidah-kaidah moral dan prinsip-prinsip
yang mendasar suatu peraturan melalui didikan guru di sekolah dan orang tua di
rumah tangga.[16]
6) Sosial
Bagi anak usia
SD perkembangan sosial semakin meningkat, ditandai dengan usaha menyesuaikan
diri dengan kelompok dan lingkungannya serta usaha pengambilan peran. Bila anak
mulai bersekolah, ia menyambut kenalan-kenalan baru itu dengan rasa gembira.
Semua murid di kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk
kelompok-kelompok tersendiri, di mana setiap anak menggabungkan diri ke dalam
salah satu kelompok. Makin lama anak bergaul makin banyak memegang peranan
individual dalam kelompoknya. Setiap anak ingin mengetahui dan memerankan
perannya masing-masing sesuai jenis kelaminnya. Oleh karena itu, menurut
Nawawi, “pada masa ini perkembangan sikap sosial anak cenderung terbatas pada
teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, yakni sesama laki-laki atau sesama
perempuan”.[17]
7)
Rasa keberagamaan
Perkembangan
rasa keberagamaan pada masa anak sekolah ini agak lamban karena anak terlalu
sibuk perhatiannya pada realitas sosial di sekitarnya. Untuk itu, anak-anak
memerlukan tuntunan dan bimbingan, sejalan dengan tahap perkembangan yang
mereka alami.[18]
Tokoh yang paling menentukan dalam menumbuhkan rasa keberagamaan itu adalah
kedua orang tuanya.[19]
Perilaku
keberagamaan adalah tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran adanya Tuhan
Yang Maha Esa. Perilaku ini dapat bermacam-macam, seperti: aktivitas keagamaan,
shalat dan puasa. Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan di sisi kehidupan
manusia. Aktivitas keberagamaan bukan hanya terjadi ketika melakukan perilaku
ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong
kekuatan akhlak. Aktivitas itu tidak hanya meliputi aktivitas yang nampak,
tetapi juga aktivitas yang tidak nampak dalam hati.[20]
Menurut
Jalaludin, “Perilaku keberagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara
pengetahuan agama, perasaan agama dan tindak keagamaan dalam diri seseorang”.[21]
Dikatakan demikian karena sikap keberagamaan tersebut ditimbulkan oleh
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan
terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur
konatif. Perilaku keberagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh
keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah yang
menyangkut agama. Hubungan tersebut tidak ditentukan oleh hubungan sesaat,
melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil
belajar dari interaksi dan pengalaman.
Tidak seorang
pun dapat mengetahui tingkat keimanan orang lain, namun perasaan keberagamaan
seseorang akan teraktualisasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang tampak
seperti mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan agamanya, mengkhitankan,
pembaptisan anak dan sedekah.[22]
Konsep perilaku keberagamaan dalam Islam juga dapat diukur melalui tiga konsep
yang dipahami berdasarkan dialog antara Nabi SAW dengan malaikat Jibril yang
mendatanginya dalam bentuk rupa manusia. Ketiga konsep dimaksud adalah iman,
Islam dan ihsan.
Berdasarkan hal
di atas dipahami bahwa perilaku keberagamaan dalam Islam merupakan perilaku
yang didasarkan atas keyakinan terhadap adanya Allah SWT,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta qadar
baik dan qadar buruk-Nya yang semua itu terangkum dalam rukun iman yang enam.
Di samping itu juga perilaku yang didasarkan kesaksian bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan Muhammad itu adalah Rasulullah, menegakkan shalat, membayar
zakat serta menunaikan ibadah haji yang semua itu terangkum dalam rukun Islam.
Terakhir adalah perilaku yang didasarkan atas pemahaman dan penghayatan bahwa
semua bentuk perilaku yang diperbuat senantiasa diawasi oleh Allah SWT dan
tidak satupun yang luput dari pengawasan-Nya.
3. Karakteristik Perilaku Keberagamaan
Dalam kehidupan
manusia perlu adanya perilaku keberagamaan yang didasarkan pada keimanan
terhadap Allah SWT dan berbuat baik terhadap sesama manusia sesuai dengan
pesan-pesan Ilahi. Dengan kedua macam hubungan vertikal dan horizontal yang
seimbang, maka manusia akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Persyaratan
untuk mewujudkan kehidupan yang demikian itu ditegaskan oleh Allah SWT dalam
surat at-Tin ayat 4-6:
Firman Allah
SWT:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ )ﺍﻟﺘﻴﻦ
:٦ـ٤(
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka
bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”(QS.at-Tin: 4-6)
Merujuk kepada
ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa orang-orang yang memiliki ciri-ciri
perilaku keagamaan adalah: (1) adanya perilaku mengimani keberadaan Allah SWT
sebagai satu-satunya Tuhan semesta alam dan (2) beribadah secara horizontal,
yaitu beramal shaleh kepada semua makhluk Tuhan, sehingga dengan iman dan amal
shaleh tersebut Tuhan mengangkat derajatnya dan diberi pahala yang tiada
putus-putusnya.
Manusia yang
memiliki perilaku keberagamaan sebagai makhluk yang beratribut “manusia tauhid”
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ia menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah, dalam
konteks masyarakat, penolakannya itu berarti emansipasi dan restorasi
kebebasan. Esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia supaya komitmennya
pada Allah menjadi utuh dan kokoh.
2.
Ia
memiliki komitmen utuh pada Tuhannya dan berusaha secara maksimal menjalankan
pesan dan perintah sesuai dengan kemampuannya.
3.
Bersikap
progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya,
adat istiadatnya, tradisi dan paham hidupnya. Bila dalam penilaiannya terdapat
unsur-unsur syirik dalam arti luas, maka ia selalu bersedia untuk merubahnya
sesuai dengan pesan-pesan Ilahi. Manusia tauhid adalah progresif karena mereka
tidak pernah menolak setiap perubahan yang positif.
4.
Tujuan
hidupnya jelas, ibadahnya, kerja kerasnya, hidupnya dan matinya hanyalah untuk
Allah SWT semata. Ia tidak pernah terjerat ke dalam nilai-nilai palsu atau
hal-hal yang tanpa nilai (disvalues) sehingga tidak pernah mengejar
kekayaan, kekuasaan dan kesenangan hidup sebagai tujuan.
5.
Manusia
tauhid memiliki visi yang jelas tentang kehidupan yang akan dibangunnya
bersama-sama manusia lain, yaitu suatu kehidupan yang harmonis antara manusia
dengan Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dengan sesama manusia dan dengan
dirinya sendiri. Pada gilirannya visi tersebut mendorongnya untuk mengubah atau
membangun dunia dari masyarakat yang jumud.[23]
Beberapa
karakteristik perilaku keberagamaan di atas, juga relevan dengan beberapa teori
perilaku keberagamaan menurut Koentjaraningrat sebagai berikut:
1.
Kelakuan
manusia yang bersifat religi itu karena manusia mulai sadar adanya paham jiwa.
2.
Kelakuan
manusia itu bersifat religi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang
tidak dapat diterangkan oleh akal.
3.
Kelakuan
manusia bersifat religi, itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis yang
ada dalam jangka waktu hidup manusia.
4.
Kelakuan
manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian luar biasa dalam
hidupnya dalam alam sekitarnya.
5.
Kelakuan
manusia yang bersifat religi terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi
yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan
sebagai warga masyarakat.
6.
Kelakuan
manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat firman dari Tuhan.[24]
Perkembangan
perilaku keberagamaan seseorang berjalan seiring dengan fase-fase kehidupan
yang ditempuhnya, mulai dari fase anak-anak hingga lanjut usia. Perilaku
keberagamaan pada fase anak-anak akan berbeda dengan perilaku keberagamaan
orang dewasa. Berdasarkan penelitian Ernest Harms dalam Development of
Religious on Children, seperti dikutip Jalaluddin, perkembangan perilaku
keberagamaan anak-anak berlangsung melalui tiga fase, yaitu:
1.The fairy tale stage (Tingkat
Dongeng). Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada
tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan
emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai
dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak
dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agamapun anak masih
menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang
masuk akal.
2.The realistic stage (tingkat
kenyataan). Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga usia adolesence.
Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka
dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Pada masa ini anak-anak tertarik
dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa
dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan
pelajari dengan penuh minat.
3.The individual stage (tingkat
individu). Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi paling tinggi
sejalan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini
terbagi atas tiga, yaitu: (a) Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan
konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan
oleh pengaruh luar, (b) Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni dinyatakan dalam
pandangan yang bersifat personal (perorangan) dan (c) Konsep ke-Tuhanan yang
bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam
menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor
intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang
dialaminya.[25]
[1]Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan
(Perkembangan Peserta Didik), (Bandung:
Pustaka Setia, 2006), cet.ke-1, h. 12
[2]Ibid.
[4]Heruman, Model Pembelajaran Matematika di
Sekolah Dasar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), cet.ke-1, h. 1
[8]Ibid., h. 90
[9]Ibid., h. 91
[10]Ibid., h. 92
[11]Ibid., h. 93
[12]Ibid.
[13]Ibid., h. 94
[14]Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi
Perkembangan), (Bandung: Mandar Maju,
1995), cet.ke-1, h. 141
[16]Ibid., h. 97
[17]Hadari Nawawi,
op.cit., h. 162
[19]Ibid., h. 102
[20]Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi
Islami, Solusi Islam Atas Problem Problem
Psikologi, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2004), cet.ke-5, h. 76
[21]Jalaluddin, Psikologi Agama, Memahami Perilaku
Keagamaan dengan Mengaplikasi-kan Prinsip-Prinsip Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
cet.ke-9, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 213
[22]Major Polak J.B.A., Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
t.th),
h. 322
[25]Jalaluddin, Psikologi Agama, Memahami Perilaku
Keagamaan dengan Mengaplikasi-kan Prinsip-Prinsip Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
cet.ke-9, h. 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar