Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Perilaku Beragama Peserta Didik Menurut Ilmu Psikologi


Perilaku Beragama Peserta Didik Menurut Ilmu Psikologi
Suatu hal yang cukup menarik untuk ditinjau kembali adalah faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perilaku beragama para siswa. Karena belum tentu apa yang diinginkan orang tua sesuai dengan keinginan sang anak.

1. Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar

Setiap individu memiliki ciri, sifat bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Menurut tinjauan psikologi, kepribadian dibentuk oleh perpaduan faktor pembawaan dan lingkungan.[1]
Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis maupun psikologis dimiliki sejak lahir. Apa yang dipikirkan, dikerjakan, atau dirasakan seseorang, atau merupakan hasil perpaduan antara faktor-faktor biologis merupakan warisan dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya.[2] Berarti karakteristik pada diri individu mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usia mereka pada setiap fase yang dilaluinya; dari keadaan lemah menjadi kuat kemudian lemah kembali.
Firman Allah SWT:
* ª!$# Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB 7#÷è|Ê ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ 7#÷è|Ê Zo§qè% ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ ;o§qè% $Zÿ÷è|Ê Zpt7øŠx©ur 4 ß,è=øƒs $tB âä!$t±o ( uqèdur ÞOŠÎ=yèø9$# ㍃Ïs)ø9$# ÇÎÍÈ   )ﺍﻟﺭﯢﻡ: ٥٤     (
Artinya:
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”(QS.al-Ruum: 54)

Bilamana dikaitkan dengan individu sebagai peserta didik yang sedang menjalani suatu studi atau pendidikan pada suatu lembaga atau institusi, tentu juga memiliki karakteristik tersendiri yang mungkin membedakannya dari individu peserta didik yang juga sedang menjalani studi pada tingkat atau jenjang pendidikan yang berbeda. Dengan begitu, maka karakteristik anak (peserta didik) yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) akan berbeda dengan anak (peserta didik) yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Menurut Siti Meichati, karakteristik secara umum dari peserta didik yaitu: 1) belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik, 2) masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik, 3) Sebagai manusia memiliki sifat-sifat dasar yang sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis, rohani, sosial, inteligensi, emosi dan 4) Kemampuan berbicara, perbedaan individual dan sebagainya.[3] Meskipun demikian, berikut ini akan dipaparkan karakteristik  anak usia SD.
2. Tahapan Perkembangan Anak Usia SD
Anak usia SD umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun.[4] Menurut Mubin dan Ani Cahyadi periode masa sekolah ini dimulai setelah anak melewati masa degil (keras kepala) yang pertama di mana proses sosialisasi telah dapat berlangsung dengan lebih efektif sehingga ia disebut “matang” untuk mulai sekolah.[5]
Hadari Nawawi membagi masa anak-anak (childhood) yang berlangsung dari usia 3 sampai 12 tahun kepada tiga fase, yaitu:
a.    Permulaan masa anak-anak (early childhood); fase ini berlangsung dari  usia 3 sampai 6 tahun.
b.    Pertengahan masa anak-anak (middle childhood); fase ini berlangsung dari usia 6 sampai 9 tahun.
c.    Akhir masa anak-anak (late childhood); fase ini berlangsung dari usia 9 sampai 12 tahun.[6]

Penjelasan ketiga fase tersebut, maka fase kedua dan ketiga adalah masa sekolah. Jenjang pendidikan yang dilalui anak pada usia ini adalah Sekolah Dasar. Selanjutnya untuk menentukan kematangan seorang anak untuk mulai sekolah, paling tidak dapat dilihat dari empat aspek berikut:
a. Aspek fisik; fisik anak telah berkembang secara memadai sehingga anak memperlihatkan kesanggupannya untuk mentaati tata tertib sekolah, misalnya: dapat duduk tenang, tidak makan-makan dalam kelas.
b.Aspek intelektual; yaitu apabila anak telah sanggup menerima pelajaran secara sistematis, kontinyu dan dapat menyimpan serta mereproduksi-kannya bila diperlukan.
c. Aspek moral; apabila anak telah sanggup untuk menerima didikan moral atau norma-norma dan dapat mematuhi atau melaksanakannya.
d.                       Aspek sosial; yaitu apabila anak telah sanggup untuk menyesuaikan diri dan bergaul dengan orang lain terutama dengan teman-temannya di sekolah dan dapat pula berhubungan dengan guru atas dasar pengakuan dan kewibawaan guru.[7]

Lebih lanjut untuk melihat tahapan perkembangan anak SD secara garis besarnya dapat dilihat dari dua aspek perkembangan, yaitu:
a. Perkembangan aspek fisik
Sampai pertengahan masa SD ini, anak laki-laki lebih cepat perkembangannya daripada anak perempuan, tetapi menjelang akhir masa anak sekolah (sesaat menjelang masa remaja), perkembangan fisik anak perempuan jauh lebih cepat. Karena itu, masa ini sering juga disebut sebagai “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja.[8]
Meskipun merupakan “masa tenang”, tetapi hal ini tidak berarti bahwa pada masa ini tidak terjadi proses pertumbuhan fisik yang berarti. Beberapa aspek dari pertumbuhan fisik yang terjadi selama periode akhir anak-anak, di antaranya: (1) keadaan berat dan tinggi badan, (2) keterampilan motorik.
1)   Keadaan berat dan tinggi badan
Sampai dengan usia sekitar 6 tahun terlihat badan anak bagian atas berkembang lebih lambat daripada bagian bawah. Anggota-anggota badan relatif masih pendek, kepala dan perut relatif masih besar. Selama masa akhir anak-anak, tinggi bertambah sekitar 5 hingga 6 % dan berat bertambah sekitar 10 % setiap tahun. Pada usia 6 tahun tinggi rata-rata anak adalah 46 inci dengan berat 22,5 kg. Kemudian pada usia 12 tahun tinggi anak mencapai 60 inci dan berat 40 hingga 42,5 kg.[9]
Peningkatan berat badan anak Pada masa ini lebih banyak daripada panjang badannya. Kaki dan tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul lebih besar. Peningkatan berat badan anak selama masa ini terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka dan otot serta ukuran beberapa organ tubuh. Pada saat yang sama, kekuatan otot berangsur-angsur bertambah dan gemuk bayi (baby fat) berkurang. Pertambahan kekuatan otot ini karena faktor keturunan dan latihan (olahraga). Karena perbedaan jumlah sel-sel otot, maka umumnya anak laki-laki lebih kuat daripada anak perempuan. Pertumbuhan fisik pada masa ini, di samping memberikan kemampuan bagi anak-anak untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas baru, tetapi juga dapat menimbulkan berbagai permasalahan dan kesulitan secara fisik dan psikologis bagi mereka.
2)   Keterampilan motorik.
Semakin terus bertambah berat dan kekutan badan, maka selama masa pertengahan dan akhir anak-anak ini perkembangan motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan awal masa anak-anak. Anak-anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan makin pandai meloncat. Anak juga makin mampu menjaga keseimbangan badannya. Penguasaan badan, seperti membongkok, melakukan bermacam-macam latihan senam serta aktivitas olahraga berkembang pesat.[10]
Sejak usia 6 tahun, koordinasi antara mata dan tangan (visiomotorik) yang dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melompat dan menangkap juga berkembang. Pada usia 7 tahun, tangan anak semakin kuat dan ia lebih menyukai pensil daripada krayon untuk melukis.
Mulai usia 8 hingga 10 tahun, tangan dapat digunakan secara bebas, mudah dan tepat. Koordinasi motorik terus berkembang, di mana anak sudah dapat menulis dengan baik. Pada usia 10 hingga 12 tahun, anak-anak mulai memperlihatkan keterampilan-keterampilan manipulatif menyerupai orang dewasa, gerakan-gerakan yang kompleks, rumit dan cepat, yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan yang bermutu bagus atau memainkan instrumen musik tertentu.
Agar lebih memperhalus keterampilan-keterampilan motorik mereka, anak-anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan yang kadang-kadang bersifat informal, permainan yang diatur sendiri oleh anak. Di samping itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti olahraga, senam, berenang atau permainan hoki.[11]
Anak-anak masa sekolah ini mengembangkan kemampuan melakukan permainan (game) dengan peraturan, sebab mereka sudah dapat memahami dan menaati aturan-aturan suatu permainan. Pada waktu yang sama, anak-anak mengalami peningkatan dalam koordinasi dan pemilihan waktu yang tepat dalam melakukan berbagai cabang olahraga.
Partisipasi di berbagai cabang olahraga, dapat memberi konsekuensi positif dan negatif bagi anak-anak. Di satu sisi, partisipasi anak-anak dalam bidang olahraga dapat memberi latihan dan kesempatan untuk belajar bersaing, meningkatkan harga diri (self esteem) dan memperluas pergaulan dan persahabatan dengan teman-teman sebaya. Tetapi di sisi lain, olahraga juga menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak. Mereka mengalami terlalu banyak tekanan untuk berprestasi dan menang, cidera fisik, harus bolos dari tugas akademis, berusaha mencapai harapan-harapan yang tidak realistis untuk menjadi atlet yang sukses.[12]
b. Perkembangan aspek psikis
1)   Pengamatan
Menurut Ernest Meumann seperti dikutip Mubin dan Ani Cahyadi, perkembangan pengamatan anak dapat dibagi ke dalam tiga masa, yaitu: (1) masa sintesis fantasi (umur 7-8 tahun). Dalam masa ini pengamatan anak masih global, bagian-bagiannya belum tampak jelas, karena bergabung dengan fantasinya. (2) masa analisis (umur 8-12 tahun). Pada masa ini anak telah mampu membeda-bedakan sifat dan mengenal bagian-bagiannya, walaupun hubungan antara bagian itu belum tampak seluruhnya. Peran serta fantasinya mulai berkurang, diganti dengan pengamatan yang nyata (realitas). (3) masa logis (umur 12 tahun ke atas). Di sini anak telah dapat berpikir logis. Pengertian dan kesadarannya semakin sempurna, sehingga bagian dalam pengamatan sudah jelas, dan hubungan antara bagian-bagian pun dapat terlihat olehnya.[13]


2)   Berpikir
Tahap perkembangan berpikir anak SD dapat dibagi kepada tiga, yaitu: (1) sensorimotor stage, sejak lahir sampai kira-kira usia 2 tahun; (2) concrete operations, mulai usia 2 hingga 11 tahun dan (3) propositional/ formal operations mulai 12 tahun ke atas. Ini berarti anak SD berada dalam tahap berpikir operasional konkrit dan tidak egosentrik lagi, ia sudah mampu mengadakan desentrasi (memisahkan antara subyek dan obyek) yang baik. Kemampuan operasi logisnya terbatas kepada hal-hal konkrit saja, seperti: mengukur, menimbang, menghitung. Kecuali menjelang akhir masa ini kira-kira usia 11 atau 12 tahun, anak mulai mengerti dan menganalisa hubungan-hubungan verbal yang menekankan penggunaan rasio/logika. Mulai saat itulah anak masuk ke tingkat berpikir yang lebih tinggi yaitu tingkat operasional formal atau proposisional.
3)   Daya ingatan
Perkembangan daya ingatan anak pada usia 8-12 tahun mencapai intensitas yang paling besar dan paling kuat. Menurut Kartini Kartono, daya menghafal dan daya memorisasi (dengan sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam ingatan) adalah paling kuat dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak.[14]
Anak usia SD memang masa pekanya untuk belajar membaca, menulis, berhitung dan mengingat. Perkembangan daya ingatan dalam masa ini melalui dua fase, yaitu: (1) fase motoris; mulai awal masa sekolah sampai dengan usia 10 tahun. Dalam fase ini anak lebih mudah mengingat hal-hal yang bersifat gerakan. (2) fase ingatan mekanis; mulai usia 10 tahun sampai dengan akhir masa sekolah.[15]
Sekarang anak dengan mudah dapat mencamkan, menyimpan dan mereproduksikan segala kesan penginderaan. Ia dapat melakukannya dengan cepat dan tepat bagaikan mesin. Ulangan dan latihan sangat diperlukan untuk mempertinggi kecepatan dan ketepatan ingatan anak.
4)   Perasaan
Perasaan anak SD banyak tertuju kepada perasaan intelek, sehingga ia sering merasa mampu mengerjakan sesuatu walaupun sebenar-nya dia belum mampu, tetapi hatinya menjadi puas bila sudah dicobanya, meskipun salah atau gagal ia tetap gembira. Masa inipun dijuluki dengan masa intelektual, karena perkembangan inilah yang menonjol.
5)   Moral anak
Anak SD mulai dapat bertingkah laku yang sesuai dengan apa-apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Dia telah dapat mengetahui kaidah-kaidah moral dan prinsip-prinsip yang mendasar suatu peraturan melalui didikan guru di sekolah dan orang tua di rumah tangga.[16]
6) Sosial
Bagi anak usia SD perkembangan sosial semakin meningkat, ditandai dengan usaha menyesuaikan diri dengan kelompok dan lingkungannya serta usaha pengambilan peran. Bila anak mulai bersekolah, ia menyambut kenalan-kenalan baru itu dengan rasa gembira. Semua murid di kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri, di mana setiap anak menggabungkan diri ke dalam salah satu kelompok. Makin lama anak bergaul makin banyak memegang peranan individual dalam kelompoknya. Setiap anak ingin mengetahui dan memerankan perannya masing-masing sesuai jenis kelaminnya. Oleh karena itu, menurut Nawawi, “pada masa ini perkembangan sikap sosial anak cenderung terbatas pada teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, yakni sesama laki-laki atau sesama perempuan”.[17]
                   7) Rasa keberagamaan
Perkembangan rasa keberagamaan pada masa anak sekolah ini agak lamban karena anak terlalu sibuk perhatiannya pada realitas sosial di sekitarnya. Untuk itu, anak-anak memerlukan tuntunan dan bimbingan, sejalan dengan tahap perkembangan yang mereka alami.[18] Tokoh yang paling menentukan dalam menumbuhkan rasa keberagamaan itu adalah kedua orang tuanya.[19]
Perilaku keberagamaan adalah tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran adanya Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku ini dapat bermacam-macam, seperti: aktivitas keagamaan, shalat dan puasa. Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan di sisi kehidupan manusia. Aktivitas keberagamaan bukan hanya terjadi ketika melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong kekuatan akhlak. Aktivitas itu tidak hanya meliputi aktivitas yang nampak, tetapi juga aktivitas yang tidak nampak dalam hati.[20]
Menurut Jalaludin, “Perilaku keberagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama dan tindak keagamaan dalam diri seseorang”.[21] Dikatakan demikian karena sikap keberagamaan tersebut ditimbulkan oleh konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Perilaku keberagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut tidak ditentukan oleh hubungan sesaat, melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman.
Tidak seorang pun dapat mengetahui tingkat keimanan orang lain, namun perasaan keberagamaan seseorang akan teraktualisasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang tampak seperti mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan agamanya, mengkhitankan, pembaptisan anak dan sedekah.[22] Konsep perilaku keberagamaan dalam Islam juga dapat diukur melalui tiga konsep yang dipahami berdasarkan dialog antara Nabi SAW dengan malaikat Jibril yang mendatanginya dalam bentuk rupa manusia. Ketiga konsep dimaksud adalah iman, Islam dan ihsan.
Berdasarkan hal di atas dipahami bahwa perilaku keberagamaan dalam Islam merupakan perilaku yang didasarkan atas keyakinan terhadap adanya Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta qadar baik dan qadar buruk-Nya yang semua itu terangkum dalam rukun iman yang enam. Di samping itu juga perilaku yang didasarkan kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat serta menunaikan ibadah haji yang semua itu terangkum dalam rukun Islam. Terakhir adalah perilaku yang didasarkan atas pemahaman dan penghayatan bahwa semua bentuk perilaku yang diperbuat senantiasa diawasi oleh Allah SWT dan tidak satupun yang luput dari pengawasan-Nya.

3. Karakteristik Perilaku Keberagamaan

Dalam kehidupan manusia perlu adanya perilaku keberagamaan yang didasarkan pada keimanan terhadap Allah SWT dan berbuat baik terhadap sesama manusia sesuai dengan pesan-pesan Ilahi. Dengan kedua macam hubungan vertikal dan horizontal yang seimbang, maka manusia akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Persyaratan untuk mewujudkan kehidupan yang demikian itu ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat at-Tin ayat 4-6:
Firman Allah SWT:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ   ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ    )ﺍﻟﺘﻴﻦ :٦ـ٤(
                Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”(QS.at-Tin: 4-6)

Merujuk kepada ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa orang-orang yang memiliki ciri-ciri perilaku keagamaan adalah: (1) adanya perilaku mengimani keberadaan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan semesta alam dan (2) beribadah secara horizontal, yaitu beramal shaleh kepada semua makhluk Tuhan, sehingga dengan iman dan amal shaleh tersebut Tuhan mengangkat derajatnya dan diberi pahala yang tiada putus-putusnya.
Manusia yang memiliki perilaku keberagamaan sebagai makhluk yang beratribut “manusia tauhid” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ia menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah, dalam konteks masyarakat, penolakannya itu berarti emansipasi dan restorasi kebebasan. Esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia supaya komitmennya pada Allah menjadi utuh dan kokoh.
2.    Ia memiliki komitmen utuh pada Tuhannya dan berusaha secara maksimal menjalankan pesan dan perintah sesuai dengan kemampuannya.
3.    Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat istiadatnya, tradisi dan paham hidupnya. Bila dalam penilaiannya terdapat unsur-unsur syirik dalam arti luas, maka ia selalu bersedia untuk merubahnya sesuai dengan pesan-pesan Ilahi. Manusia tauhid adalah progresif karena mereka tidak pernah menolak setiap perubahan yang positif.
4.    Tujuan hidupnya jelas, ibadahnya, kerja kerasnya, hidupnya dan matinya hanyalah untuk Allah SWT semata. Ia tidak pernah terjerat ke dalam nilai-nilai palsu atau hal-hal yang tanpa nilai (disvalues) sehingga tidak pernah mengejar kekayaan, kekuasaan dan kesenangan hidup sebagai tujuan.
5.    Manusia tauhid memiliki visi yang jelas tentang kehidupan yang akan dibangunnya bersama-sama manusia lain, yaitu suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri. Pada gilirannya visi tersebut mendorongnya untuk mengubah atau membangun dunia dari masyarakat yang jumud.[23]

Beberapa karakteristik perilaku keberagamaan di atas, juga relevan dengan beberapa teori perilaku keberagamaan menurut Koentjaraningrat sebagai berikut:
1.    Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mulai sadar adanya paham jiwa.
2.    Kelakuan manusia itu bersifat religi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akal.
3.    Kelakuan manusia bersifat religi, itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
4.    Kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian luar biasa dalam hidupnya dalam alam sekitarnya.
5.    Kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena adanya suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakat.
6.    Kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat firman dari Tuhan.[24]

Perkembangan perilaku keberagamaan seseorang berjalan seiring dengan fase-fase kehidupan yang ditempuhnya, mulai dari fase anak-anak hingga lanjut usia. Perilaku keberagamaan pada fase anak-anak akan berbeda dengan perilaku keberagamaan orang dewasa. Berdasarkan penelitian Ernest Harms dalam Development of Religious on Children, seperti dikutip Jalaluddin, perkembangan perilaku keberagamaan anak-anak berlangsung melalui tiga fase, yaitu:
1.The fairy tale stage (Tingkat Dongeng). Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.The realistic stage (tingkat kenyataan). Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga usia adolesence. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
3.The individual stage (tingkat individu). Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi paling tinggi sejalan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga, yaitu: (a) Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar, (b) Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan) dan (c) Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.[25]

Penjelasan di atas menerangkan, karakteristik sikap dan perilaku keberagamaan pada anak sangat ditentukan oleh perkembangan usianya masing-masing dan juga perkembangan nalarnya. Dari sini maka karakteristik beragama anak pada usia sekolah dasar secara umum telah mampu menghayati ajaran agama karena didukung oleh perkembangan daya nalarnya yang semakin meningkat. Semakin matang tingkat penalaran seseorang, maka semakin baik pula pemahamannya terhadap agama sehingga berimplikasi pula terhadap perilaku keberagamaannya


[1]Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet.ke-1, h. 12

[2]Ibid.
[3]Siti Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: FIP IKIP, 1976), h. 26
[4]Heruman, Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), cet.ke-1, h. 1

[5]Mubin dan Ani Cahyadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006, h.89

[6]Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), cet.ke-1, h. 154
[7]Mubin dan Ani Cahyadi,  op.cit  h.89-90
[8]Ibid., h. 90
[9]Ibid., h. 91
[10]Ibid., h. 92
[11]Ibid., h. 93
[12]Ibid.
[13]Ibid., h. 94
[14]Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung: Mandar Maju, 1995), cet.ke-1, h. 141

[15]Mubin dan Ani Cahyadi, op.cit., h. 96
[16]Ibid., h. 97
[17]Hadari Nawawi, op.cit., h. 162
[18]Mubin dan Ani Cahyadi, op.cit., h. 98
[19]Ibid., h. 102
[20]Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi Islam Atas Problem Problem Psikologi, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet.ke-5, h. 76

[21]Jalaluddin, Psikologi Agama, Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasi-kan Prinsip-Prinsip Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), cet.ke-9, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 213

[22]Major Polak J.B.A., Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, t.th), h. 322
[23]M. Amin Rais, Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1996), cet.ke-7, h. 19-20
[24]Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), h. 293
[25]Jalaluddin, Psikologi Agama, Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasi-kan Prinsip-Prinsip Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), cet.ke-9, h. 67


Tidak ada komentar: