Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Metode Pembinaan Amal Keagamaan menurut al-Qur'an


. Metode Pembinaan Amal Keagamaan

Ajaran Islam yang bersumber dari kitab suci al-Quran dan Sunnah menjadi sumber inspirasi dan motivasi pendidikan Islam terutama dalam hal pembinaan keberagamaan.
Firman Allah SWT:
Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ6ø9$# ôs% öNà2uä!$y_ $oYä9qßu ÚúÎiüt7ムöNä3s9 #ZŽÏWŸ2 $£JÏiB öNçFYà2 šcqàÿøƒéB z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# (#qàÿ÷ètƒur Ætã 9ŽÏVŸ2 4 ôs% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B ÇÊÎÈ   Ïôgtƒ ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ Ÿ@ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_̍÷ãƒur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ óOÎgƒÏôgtƒur 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ  )ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ :١٦ـ ١٥(
Artinya:
“Hai ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.(QS. Al-Maidah: 15-16

Manusia dengan petunjuk Allah melalui kitab-kitab suci-Nya dapat mengubah jiwa manusia dari kegelapan menuju ke arah hidup bahagia penuh optimisme dan dinamika hidup sepanjang hayat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah menganugerahkan kepada tiap manusia suatu kemampuan dasar (fitrah diniyah) yang tetap tak berubah, yang dapat dipengaruhi oleh pendidikan Islam.
Bagaimana agar pengaruh pendidikan itu efektif bergantung pada sikap dan perilaku pendidik itu sendiri. Sikap dan perilaku pendidik berpusat pada kelemah lembutan dan rasa kasih sayang. Dari sikap ini akan timbul rasa dekat anak didik kepada pendidik. Berdasarkan pendekatan keagamaan, tujuan pendidikan Islam adalah pengabdian dan penyerahan diri secara total kepada Allah.
Firman Allah SWT:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  )ﺍﻟﺬﺍﺭﻴﺎﺕ :٥٦ (  
Artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”(QS.al-Dzariyat: 56)

Selain pendekatan keagamaan di atas, beberapa pendekatan lain yang dapat diterapkan dalam membina perilaku amal keagamaan anak, baik di lingkungan keluarga maupun formal (sekolah) antara lain:
1. Metode Keteladanan
Ngalim Purwanto mengatakan, dalam berbagai proses pendidikan, keteladanan pendidik merupakan alat pendidikan yang sangat penting, bahkan yang paling utama. Sejak kecil, manusia – terutama anak-anak telah mempunyai dorongan untuk meniru dan suka mengidentifikasikan diri terhadap orang lain atau tingkah laku orang lain, terutama terhadap orang tua dan gurunya. Oleh karena itu, guru harus selalu mencerminkan akhlak yang mulia di manapun ia berada, baik di sekolah, di keluarga maupun di lingkungan sekolah.[1]
Sifat anak didik diakui dalam Islam. Umat meneladani Nabi, Nabi meneladani al-Quran. Aisyah pernah berkata bahwa akhlak Rasulullah itu adalah al-Quran. Pribadi Rasul itu adalah interpretasi al-Quran secara nyata. Tidak hanya caranya beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan contoh tentang cara berkehidupan Islami. Meskipun terkadang contoh-contoh tersebut dipandang asing bagi manusia ketika itu. Misalnya, Allah menyuruh Rasul-Nya mengawini bekas isteri Zaid; Zaid adalah anak angkat Rasul. Berarti Allah memberikan teladan secara praktis melalui Rasul-Nya yang berisi ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung, bekas isteri anak angkat boleh dikawini (QS. al-Ahzab:37).

2. Metode Pembiasaan
Intinya adalah pengulangan. Menurut Quraish Shihab, al-Quran juga menerapkan pendekatan pembiasaan ini dalam mensosialisasikan syari’at-syari’at Allah yang terkandung di dalamnya. Namun untuk mengimplementasikan pendekatan ini, setidaknya al-Quran menggunakan dua bentuk strategi, yaitu: pertama, sekaligus (pasti) tanpa tahapan yang berangsur-angsur, yakni berkaitan dengan penyembahan berhala, syirik, berbohong, dan sebagainya. Kedua, bertahap dan berangsur-angsur, seperti dalam soal-soal larangan minuman keras, zina, riba, perbudakan, dan sebagainya.[2]
Menurut al-Zahrani, pengulangan dalam memaparkan pendapat dan pemikiran tertentu kepada manusia, umumnya akan memperkokoh pendapat dan pemikiran itu dalam pikirannya. Dalam al-Quran sering didapati pengulangan ayat tentang hakikat sesuatu yang berhubungan dengan akidah dan masalah gaib yang bertujuan menanamkan masalah tersebut lebih kuat dalam pikiran orang-orang beriman, seperti tentang ketauhidan dan keimanan atas apa yang dibawa Rasulullah.[3]

Firman Allah SWT:
`¨Br& (#ätyö7tƒ t,ù=sƒø:$# ¢OèO ¼çnßÏèム`tBur /ä3è%ãötƒ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ×m»s9Ïär& yì¨B «!$# 4 ö@è% (#qè?$yd öNä3uZ»ydöç/ bÎ) óOçFZä. šúüÏ%Ï»|¹ ÇÏÍÈ    )ﺍﻟﻨﻤﻞ :٦٤ (
Arinya:

“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Katakanlah: tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”(QS.an-Naml: 64)
Ayat ini diulang sebanyak lima kali dalam Surat an-Naml yang bertujuan untuk mengukuhkan akidah dalam pikiran.[4] Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Islam juga sangat mementingkan penggunaan pendekatan dalam proses pendidikan. Hal itu dimaksudkan agar proses pendidikan benar-benar memberikan hasil yang maksimal dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.

3. Metode Latihan
Metode latihan yaitu pemberian latihan keagamaan kepada anak (peserta didik) dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan baik secara individual maupun kelompok.[5] Pemberian latihan yang edukatif kepada peserta didik berpusat kepada tujuan yang memberi arti terhadap kehidupan anak, interaktif dengan lingkungannya.[6]
4. Metode Hukuman dan Ganjaran
Metode hukuman juga merupakan alat pendidik. Abdurrahman an-Nawawi menyebutnya dengan tarhib yang berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman karena melakukan sesuatu yang dilarang.[7] Sementara Amier Dain Indera Kusuma.[8] Mendefinisikan bawa hukuman sebagai tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa , supaya anak akan menjadi sadar dan berjanji tidak akan mengulangi.
Maka oleh sebab itu dapat dipahami bahwa hukuman dapat diberikan kepada peserta didik yang melanggar aturan yang telah ditetapkan dengan tujuan agar peserta didik menjadi orang yang selalu mentaati aturan yang telah ditetapkan di mana saja dia berada, hukuman juga bertujuan untuk membuat anak sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah salah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan salah yang telah dilakukan.
  Lingkungan dunia pendidikan, hukuman itu dilaksanakan karena dua hal, yaitu:
1). Hukuman diadakan karena ada pelanggaran, adanya kesalahan yang diperbuat.
2). Hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran
M. Athiyah Al Abrasyi mengemukakan ada 3 syarat apabila seorang pendidik ingin menghukum anak dengan hukuman badan (jasmani) di antaranya
1.      Sebelum umur 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul
2.      Pukulan tidak boleh lebih dari 3 kali, yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah lidi atau tongkat kecil.
3.      Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang telah dilakukannya dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya.[9]

Selain itu juga penulis mengambil pendapat dari Ibnu Sina seperti yang dikutip Ramayulis berikut ini :
“Pendidikan anak-anak dan membiasakan dengan tingkah laku yang terpuji haruslah dimulai sejak sebelum tertanam pada dirinya sifat-sifat yang buruk, oleh karena itu akan sukarlah juru didik terpaksa harus menggunakan hukuman, haruslah ia pertimbangkan dari segala segi dan diambil kebijaksanaan dalam penentuan-penentuan batas-batas hukuman tersebut”.[10]
Asma Hasan Fahmi, menjelaskan tentang ciri-ciri hukuman dalam perspektif pendidkan Islam yakni,
1. Hukuman diberikan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan
2. Memberikan kesempatan kepada anak untuk memperbaiki kesalahannya
       sebelum dipukul. Anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun tidak boleh dipukul, kalaupun dipukul tidak boleh lebih dari tiga kali
3. Pendidik harus tegas dalam melaksanakan hukuman, artinya apabila sikap keras pendidik telah diangggap perlu maka harus dilaksanakan dari sikaplunak dan kasih sayang. [11]
Hukuman merupakan alat pendidikan yang apabila akan digunakan harus dipikirkan masak-masak, sebab hukuman belum tentu merupakan alternative yang sangat tepat untuk diberikan kepada anak. Suatu hukuman badan belum tentu menjadi obat yang mujarab untuk membasmi penyakit dan melenyapkannya, tetapi sebaliknya mungkin menyebabkan semakin membesar penyakit dan semakin berlanjutnya kesalahan. Di sisi lain bila guru ingin sukses dalam pengajaran, guru harus memikirkan setiap siswa dan memberikan hukuman yang sesuai setelah guru mempertimbangkan kesalahannya setelah mengetahui latar belakangnya.
Pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru dimaksudkan agar siswa tidak melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang dan upaya untuk menumbuhkan kesadaran siswa untuk tidak mengulanginya. Selain itu dengan hubungan sekolah dan masyarakat yang diberikan mampu membuat siswa jera terhadap tindakan yang telah dilakukan, namun hukuman yang diberikan memiliki nilai-nilai pendidikan. Pada akhirnya timbul kesadaran siswa untuk tidak mengulanginya lagi tanpa adanya paksaaan dari orang lain.
Ganjaran itu adalah sesuatu yang menyenangkan yang dijadikan sebagai hadiah bagi anak yang berprestasi baik dalam belajar, dalam sikap perilaku. Yang terpenting dalam ganjaran hanyalah hasil yang dicapai seorang anak, dan dengan hasil tersebut pendidikan dapat membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih keras pada anak itu.[12]
Pembahasan yang lebih luas, pengertian ganjaran dapat diartikan sebagai, (1) alat pendidik preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi dorongan dan motivator belajar bagi murid. (2) Hadiah terhadap perilaku yang baik dari anak didik dalam proses pendidikan. Muhammad Bin Jamil Zaim, mengatakan bahwa ganjaran merupakan asal dan selamanya harus didahulukan, karena terkadang, ganjaran tersebut lebih baik pengaruhnya dalam usaha perbaikan dari pada celaan atau sesuatu menyakitkan hati [13].
Ganjaran itu dapat dilakukan oleh pendidik dengan cara bermacam-macam, antara lain :
1.    Guru mengangguk-anggukan kepala tanda senang dan membiarkan suatu jawaban yang diberikan oleh seorang anak.
2.    Guru memberikan kata-kata yang menggembirakan ( Pujian )
3.    Guru memberikan benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak.[14]
Adapun Tujuan dari pembinaan akhlak yang diajarkan dalam ajaran Islam.[15] di antaranya :
1.      Mendapatkan ridha Allah
2.      Membentuk kepribadian muslim
3.      Mewujudkan perbuatan yang mulia dan terhindarnya perbuatan tercela.
Bimbingan hati yang diridhai Allah dengan keikhlasan, maka akan terwujud perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat serta terhindar dari perbuatan tercela.

5. Metode Suasana Keagamaan
Anak SD mulai dapat bertingkah laku yang sesuai dengan apa-apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Dia telah dapat mengetahui kaidah-kaidah moral dan prinsip-prinsip yang mendasar suatu peraturan melalui didikan guru di sekolah dan orang tua di rumah tangga.[16]
Anak usia SD perkembangan sosial semakin meningkat, ditandai dengan usaha menyesuaikan diri dengan kelompok dan lingkungannya serta usaha pengambilan peran. Bila anak mulai bersekolah, ia menyambut kenalan-kenalan baru itu dengan rasa gembira. Semua murid di kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri, di mana setiap anak menggabungkan diri ke dalam salah satu kelompok. Makin lama anak bergaul makin banyak memegang peranan individual dalam kelompoknya. Setiap anak ingin mengetahui dan memerankan perannya masing-masing sesuai jenis kelaminnya. Oleh karena itu, menurut Nawawi, “pada masa ini perkembangan sikap sosial anak cenderung terbatas pada teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, yakni sesama laki-laki atau sesama perempuan”.[17]
Perkembangan rasa keberagamaan pada masa anak sekolah ini agak lamban karena anak terlalu sibuk perhatiannya pada realitas sosial di sekitarnya. Untuk itu, anak-anak memerlukan tuntunan dan bimbingan, sejalan dengan tahap perkembangan yang mereka alami.[18] Tokoh yang paling menentukan dalam menumbuhkan rasa keberagamaan itu adalah kedua orang tuanya.[19]
Beberapa pendekatan di atas mengisyaratkan bahwa dalam pembinaan perilaku keagamaan mesti mempertimbangkan tingkat perkembangan individu (anak), baik dari segi akal maupun aspek-aspek psikologis. Oleh karena itu, efektivitas penggunaan pendekatan tersebut tergantung pula kepada keterampilan pendidik dan orang tua yang menerapkannya.


[1]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), cet.ke-5, h. 228

[2]M. Quraish Shihab, op.cit., h. 198-199
[3]Musfir bin Said al-Zahrani, op.cit., h. 324
[4]Ibid.
[5]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet.ke-7, h. 169-170
[6]Ibid., h. 170
[7]Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip Dan Metode; Dalam Keluarga, Di Sekolah Dan Masyarakat, terj. Henry Noer Aly,( Bandung : CV Diponegoro,1992)Cet.ke 2, h.403

[8]Amir Daien Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Surabaya:Usaha Nasional,197), h.147
[9] Moh. Athiya Al Absyari, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970), h. 131 

[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h. 85
[11]Ibnu Khaldun alam Hasan Langulung, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,) Jakarta : Pustaka al-Husna,1985 ),h.37
[12]Amir Daien Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Surabaya:Usaha Nasional,1973), h.140

[13]Muhammad Bin Jamil Zaim, Petunjuk Praktis Bagi Para Pendidik Muslim,( Jakarta:  Pustaka Istiqomah,1997 ),h.13

[14]M.Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teorelis dan Praktis, (Bandung:Rosdakarya,1992),h.230

[15]A. Zainuddin dkk, Al-Islam 2, Muamalah dan Akhlak, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 76

[16]Mubin dan Ani Cahyadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), cet.ke-1, h. 97


[17]Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), cet.ke-1, h. 162
[18]Mubin dan Ani Cahyadi, op.cit., h. 98
[19]Ibid., h. 102

Tidak ada komentar: