. Metode Pembinaan Amal Keagamaan
Ajaran Islam
yang bersumber dari kitab suci al-Quran dan Sunnah menjadi sumber inspirasi dan
motivasi pendidikan Islam terutama dalam hal pembinaan keberagamaan.
Firman Allah
SWT:
@÷dr'¯»t É=»tGÅ6ø9$# ôs%
öNà2uä!$y_
$oYä9qßu
ÚúÎiüt7ã öNä3s9
#ZÏW2
$£JÏiB
öNçFYà2 cqàÿøéB z`ÏB
É=»tGÅ6ø9$# (#qàÿ÷ètur Ætã 9ÏV2 4 ôs%
Nà2uä!%y` ÆÏiB «!$#
ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B ÇÊÎÈ Ïôgt
ÏmÎ/
ª!$#
ÇÆtB
yìt7©?$#
¼çmtRºuqôÊÍ
@ç7ß
ÉO»n=¡¡9$#
Nßgã_Ì÷ãur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$#
n<Î) ÍqY9$#
¾ÏmÏRøÎ*Î/ óOÎgÏôgtur 4n<Î)
:ÞºuÅÀ 5OÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ )ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ
:١٦ـ ١٥(
Artinya:
“Hai ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami,
menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak
(pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah,
dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang
yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula)
Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.(QS.
Al-Maidah: 15-16
Manusia
dengan petunjuk Allah melalui kitab-kitab suci-Nya dapat mengubah jiwa manusia
dari kegelapan menuju ke arah hidup bahagia penuh optimisme dan dinamika hidup
sepanjang hayat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah menganugerahkan kepada
tiap manusia suatu kemampuan dasar (fitrah diniyah) yang tetap tak
berubah, yang dapat dipengaruhi oleh pendidikan Islam.
Bagaimana agar
pengaruh pendidikan itu efektif bergantung pada sikap dan perilaku pendidik itu
sendiri. Sikap dan perilaku pendidik berpusat pada kelemah lembutan dan rasa
kasih sayang. Dari sikap ini akan timbul rasa dekat anak didik kepada pendidik.
Berdasarkan pendekatan keagamaan, tujuan pendidikan Islam adalah pengabdian dan
penyerahan diri secara total kepada Allah.
Firman Allah
SWT:
$tBur àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
)ﺍﻟﺬﺍﺭﻴﺎﺕ :٥٦ (
Artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”(QS.al-Dzariyat: 56)
Selain
pendekatan keagamaan di atas, beberapa pendekatan lain yang dapat diterapkan
dalam membina perilaku amal keagamaan anak, baik di lingkungan keluarga maupun
formal (sekolah) antara lain:
1. Metode
Keteladanan
Ngalim Purwanto mengatakan, dalam berbagai
proses pendidikan, keteladanan pendidik merupakan alat pendidikan yang sangat
penting, bahkan yang paling utama. Sejak kecil, manusia – terutama anak-anak
telah mempunyai dorongan untuk meniru dan suka mengidentifikasikan diri
terhadap orang lain atau tingkah laku orang lain, terutama terhadap orang tua
dan gurunya. Oleh karena itu, guru harus selalu mencerminkan akhlak yang mulia
di manapun ia berada, baik di sekolah, di keluarga maupun di lingkungan
sekolah.[1]
Sifat anak didik diakui dalam Islam. Umat
meneladani Nabi, Nabi meneladani al-Quran. Aisyah pernah berkata bahwa akhlak
Rasulullah itu adalah al-Quran. Pribadi Rasul itu adalah interpretasi al-Quran
secara nyata. Tidak hanya caranya beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari
pun kebanyakan merupakan contoh tentang cara berkehidupan Islami. Meskipun
terkadang contoh-contoh tersebut dipandang asing bagi manusia ketika itu.
Misalnya, Allah menyuruh Rasul-Nya mengawini bekas isteri Zaid; Zaid adalah
anak angkat Rasul. Berarti Allah memberikan teladan secara praktis melalui
Rasul-Nya yang berisi ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung, bekas
isteri anak angkat boleh dikawini (QS. al-Ahzab:37).
2. Metode Pembiasaan
Intinya adalah pengulangan. Menurut Quraish
Shihab, al-Quran juga menerapkan pendekatan pembiasaan ini dalam
mensosialisasikan syari’at-syari’at Allah yang terkandung di dalamnya. Namun
untuk mengimplementasikan pendekatan ini, setidaknya al-Quran menggunakan dua
bentuk strategi, yaitu: pertama, sekaligus (pasti) tanpa tahapan yang
berangsur-angsur, yakni berkaitan dengan penyembahan berhala, syirik,
berbohong, dan sebagainya. Kedua, bertahap dan berangsur-angsur, seperti
dalam soal-soal larangan minuman keras, zina, riba, perbudakan, dan sebagainya.[2]
Menurut al-Zahrani,
pengulangan dalam memaparkan pendapat dan pemikiran tertentu kepada manusia,
umumnya akan memperkokoh pendapat dan pemikiran itu dalam pikirannya. Dalam
al-Quran sering didapati pengulangan ayat tentang hakikat sesuatu yang berhubungan
dengan akidah dan masalah gaib yang bertujuan menanamkan masalah tersebut lebih
kuat dalam pikiran orang-orang beriman, seperti tentang ketauhidan dan keimanan
atas apa yang dibawa Rasulullah.[3]
Firman Allah SWT:
`¨Br& (#ätyö7t t,ù=sø:$# ¢OèO ¼çnßÏèã `tBur /ä3è%ãöt z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ×m»s9Ïär& yì¨B «!$# 4 ö@è% (#qè?$yd öNä3uZ»ydöç/ bÎ) óOçFZä. úüÏ%Ï»|¹ ÇÏÍÈ )ﺍﻟﻨﻤﻞ :٦٤ (
Arinya:
“Atau
siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya
(lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi?
Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Katakanlah: tunjukkanlah bukti
kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”(QS.an-Naml: 64)
Ayat ini diulang
sebanyak lima kali dalam Surat an-Naml yang bertujuan untuk mengukuhkan akidah
dalam pikiran.[4] Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Islam juga
sangat mementingkan penggunaan pendekatan dalam proses pendidikan. Hal itu
dimaksudkan agar proses pendidikan benar-benar memberikan hasil yang maksimal
dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
3. Metode Latihan
Metode latihan yaitu pemberian latihan
keagamaan kepada anak (peserta didik) dalam rangka penanaman nilai-nilai
keagamaan baik secara individual maupun kelompok.[5]
Pemberian latihan yang edukatif kepada peserta didik berpusat kepada tujuan
yang memberi arti terhadap kehidupan anak, interaktif dengan lingkungannya.[6]
4. Metode Hukuman dan Ganjaran
Metode hukuman
juga merupakan alat pendidik. Abdurrahman an-Nawawi menyebutnya dengan tarhib
yang berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman karena melakukan sesuatu
yang dilarang.[7]
Sementara Amier Dain Indera Kusuma.[8]
Mendefinisikan bawa hukuman sebagai tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara
sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa , supaya anak akan menjadi sadar
dan berjanji tidak akan mengulangi.
Maka oleh sebab
itu dapat dipahami bahwa hukuman dapat diberikan kepada peserta didik yang
melanggar aturan yang telah ditetapkan dengan tujuan agar peserta didik menjadi
orang yang selalu mentaati aturan yang telah ditetapkan di mana saja dia
berada, hukuman juga bertujuan untuk membuat anak sadar bahwa apa yang
dilakukannya adalah salah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan salah
yang telah dilakukan.
Lingkungan dunia pendidikan, hukuman itu
dilaksanakan karena dua hal, yaitu:
1). Hukuman
diadakan karena ada pelanggaran, adanya kesalahan yang diperbuat.
2). Hukuman diadakan dengan tujuan
agar tidak terjadi pelanggaran
M. Athiyah Al
Abrasyi mengemukakan ada 3 syarat apabila seorang pendidik ingin menghukum anak
dengan hukuman badan (jasmani) di antaranya
1.
Sebelum
umur 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul
2.
Pukulan
tidak boleh lebih dari 3 kali, yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah lidi
atau tongkat kecil.
3.
Diberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang telah dilakukannya dan
memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama
baiknya.[9]
Selain itu juga
penulis mengambil pendapat dari Ibnu Sina seperti yang dikutip Ramayulis
berikut ini :
“Pendidikan anak-anak dan membiasakan dengan tingkah laku yang
terpuji haruslah dimulai sejak sebelum tertanam pada dirinya sifat-sifat yang
buruk, oleh karena itu akan sukarlah juru didik terpaksa harus menggunakan
hukuman, haruslah ia pertimbangkan dari segala segi dan diambil kebijaksanaan
dalam penentuan-penentuan batas-batas hukuman tersebut”.[10]
Asma Hasan
Fahmi, menjelaskan tentang ciri-ciri hukuman dalam perspektif pendidkan Islam
yakni,
1. Hukuman
diberikan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan
2. Memberikan
kesempatan kepada anak untuk memperbaiki kesalahannya
sebelum dipukul. Anak yang berusia kurang dari
sepuluh tahun tidak boleh dipukul, kalaupun dipukul tidak boleh lebih dari tiga
kali
3. Pendidik
harus tegas dalam melaksanakan hukuman, artinya apabila sikap keras pendidik
telah diangggap perlu maka harus dilaksanakan dari sikaplunak dan kasih sayang.
[11]
Hukuman
merupakan alat pendidikan yang apabila akan digunakan harus dipikirkan
masak-masak, sebab hukuman belum tentu merupakan alternative yang sangat tepat
untuk diberikan kepada anak. Suatu hukuman badan belum tentu menjadi obat yang
mujarab untuk membasmi penyakit dan melenyapkannya, tetapi sebaliknya mungkin
menyebabkan semakin membesar penyakit dan semakin berlanjutnya kesalahan. Di
sisi lain bila guru ingin sukses dalam pengajaran, guru harus memikirkan setiap
siswa dan memberikan hukuman yang sesuai setelah guru mempertimbangkan
kesalahannya setelah mengetahui latar belakangnya.
Pemberian
hukuman yang dilakukan oleh guru dimaksudkan agar siswa tidak melakukan
kesalahan yang sama di masa yang akan datang dan upaya untuk menumbuhkan kesadaran
siswa untuk tidak mengulanginya. Selain itu dengan hubungan sekolah dan
masyarakat yang diberikan mampu membuat siswa jera terhadap tindakan yang telah
dilakukan, namun hukuman yang diberikan memiliki nilai-nilai pendidikan. Pada
akhirnya timbul kesadaran siswa untuk tidak mengulanginya lagi tanpa adanya
paksaaan dari orang lain.
Ganjaran itu
adalah sesuatu yang menyenangkan yang dijadikan sebagai hadiah bagi anak yang
berprestasi baik dalam belajar, dalam sikap perilaku. Yang terpenting dalam
ganjaran hanyalah hasil yang dicapai seorang anak, dan dengan hasil tersebut
pendidikan dapat membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih
keras pada anak itu.[12]
Pembahasan yang
lebih luas, pengertian ganjaran dapat diartikan sebagai, (1) alat pendidik
preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi dorongan dan
motivator belajar bagi murid. (2) Hadiah terhadap perilaku yang baik dari anak
didik dalam proses pendidikan. Muhammad Bin Jamil Zaim, mengatakan bahwa
ganjaran merupakan asal dan selamanya harus didahulukan, karena terkadang,
ganjaran tersebut lebih baik pengaruhnya dalam usaha perbaikan dari pada celaan
atau sesuatu menyakitkan hati [13].
Ganjaran itu
dapat dilakukan oleh pendidik dengan cara bermacam-macam, antara lain :
1.
Guru mengangguk-anggukan kepala tanda senang dan membiarkan suatu
jawaban yang diberikan oleh seorang anak.
2.
Guru memberikan kata-kata yang menggembirakan ( Pujian )
3.
Guru memberikan benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak.[14]
Adapun Tujuan
dari pembinaan akhlak yang diajarkan dalam ajaran Islam.[15]
di antaranya :
1. Mendapatkan
ridha Allah
2.
Membentuk kepribadian muslim
3.
Mewujudkan perbuatan yang mulia dan terhindarnya perbuatan tercela.
Bimbingan hati
yang diridhai Allah dengan keikhlasan, maka akan terwujud perbuatan-perbuatan
yang terpuji, yang seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat serta
terhindar dari perbuatan tercela.
5. Metode Suasana Keagamaan
Anak SD mulai
dapat bertingkah laku yang sesuai dengan apa-apa yang diharapkan oleh
kelompoknya. Dia telah dapat mengetahui kaidah-kaidah moral dan prinsip-prinsip
yang mendasar suatu peraturan melalui didikan guru di sekolah dan orang tua di
rumah tangga.[16]
Anak usia SD
perkembangan sosial semakin meningkat, ditandai dengan usaha menyesuaikan diri
dengan kelompok dan lingkungannya serta usaha pengambilan peran. Bila anak
mulai bersekolah, ia menyambut kenalan-kenalan baru itu dengan rasa gembira.
Semua murid di kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk
kelompok-kelompok tersendiri, di mana setiap anak menggabungkan diri ke dalam
salah satu kelompok. Makin lama anak bergaul makin banyak memegang peranan
individual dalam kelompoknya. Setiap anak ingin mengetahui dan memerankan
perannya masing-masing sesuai jenis kelaminnya. Oleh karena itu, menurut
Nawawi, “pada masa ini perkembangan sikap sosial anak cenderung terbatas pada
teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, yakni sesama laki-laki atau sesama
perempuan”.[17]
Perkembangan
rasa keberagamaan pada masa anak sekolah ini agak lamban karena anak terlalu
sibuk perhatiannya pada realitas sosial di sekitarnya. Untuk itu, anak-anak
memerlukan tuntunan dan bimbingan, sejalan dengan tahap perkembangan yang
mereka alami.[18]
Tokoh yang paling menentukan dalam menumbuhkan rasa keberagamaan itu adalah
kedua orang tuanya.[19]
Beberapa pendekatan di
atas mengisyaratkan bahwa dalam pembinaan perilaku keagamaan mesti
mempertimbangkan tingkat perkembangan individu (anak), baik dari segi akal
maupun aspek-aspek psikologis. Oleh karena itu, efektivitas penggunaan
pendekatan tersebut tergantung pula kepada keterampilan pendidik dan orang tua
yang menerapkannya.
[1]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis
dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), cet.ke-5, h. 228
[4]Ibid.
[6]Ibid., h. 170
[7]Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip Dan
Metode; Dalam Keluarga, Di Sekolah Dan Masyarakat, terj. Henry Noer Aly,(
Bandung : CV Diponegoro,1992)Cet.ke 2, h.403
[9] Moh. Athiya Al Absyari, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1970), h. 131
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :
Kalam Mulia, 2002), h. 85
[11]Ibnu Khaldun alam Hasan Langulung, Sejarah dan
Filsafat Pendidikan Islam,) Jakarta : Pustaka al-Husna,1985 ),h.37
[13]Muhammad Bin Jamil Zaim, Petunjuk Praktis Bagi
Para Pendidik Muslim,( Jakarta: Pustaka Istiqomah,1997 ),h.13
[16]Mubin dan Ani Cahyadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), cet.ke-1, h. 97
[19]Ibid., h. 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar