Teori Konstruktivisme
1.
Pengertian
dan Sejarah Munculnya
Konstruktivisme berasal dari kata
“konstruk”, artinya membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan,
konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya
modern. Konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan peserta didik merupakan
hasil konstruksi (bentukan) peserta didik sendiri.[1]
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang lepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan
manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya.
Proses pembentukan ini berjalan terus menerus setiap kali terjadi reorganisasi
atau rekonstruksi karena adanya suatu pemahaman yang baru.[2]
Menurut Wina Sanjaya, konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman.[3]
Pengetahuan nyata (konkret) bagi para siswa adalah sesuatu yang dibangun atau
ditemukan oleh siswa itu sendiri. Jadi pengetahuan bukanlah seperangkat fakta,
konsep atau kaidah yang harus diingat oleh siswa, tetapi siswa harus
mengkonstruksi pengetahuan kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dalam hal ini, menurut Slavin seperti dikutip M. Nur, siswa harus dilatih untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergulat
dengan ide-ide kemudian mampu mengkonstruksinya.[4]
Dapat
dipahami bahwa konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan
yang berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari
orang yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta-fakta tetapi
merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” kemudian
seseorang tinggal mengambilnya saja, tetapi merupakan suatu bentukan terus
menerus dari orang yang belajar setiap kali mengadakan reorganisasi karena
adanya pemahaman yang baru.
Konstruktivisme
menganggap peserta didik mulai dari usia kanak-kanak sampai perguruan tinggi telah
memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa (gejala) di
sekitarnya. Suparno menjelaskan bahwa Piaget membedakan pengetahuan menjadi
tiga, yaitu: pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial. Pengetahuan fisis
adalah pengetahuan tentang sifat-sifat fisis suatu obyek atau kejadian seperti:
bentuk, besar, kekasaran, berat serta cara benda-benda itu berinteraksi.
Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi langsung suatu obyek.[5]
Pengetahuan
matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang
pengalaman dengan suatu obyek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini
didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan
obyek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan berpikir seseorang
terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat langsung dari abstraksi
bendanya. Misalnya pengetahuan tentang konsep bilangan. Selanjutnya pengetahuan
sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang
secara bersama menyetujui sesuatu. Pengetahuan ini dibentuk dari interaksi
seseorang dengan orang lain. Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu sehingga
dapat berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.[6]
Setiap
individu sejak kecil juga sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek
akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang diperoleh
melalui proses pemberitahuan tidak akan bermakna dan hanya untuk sementara,
setelah itu dilupakan.
Mengkonstruksi
pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi
terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk
melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam
pikiran atau proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.[7]
Pengertian lain tentang akomodasi adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi
skema lama sehingga cocok dengan rangsangan itu.[8]
Konstruktivisme
merupakan paradigma yang muncul sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang
terjadi beberapa dasawarsa terakhir. Seiring dengan itu, kemudian
konstruktivisme menjadi kata kunci dalam hampir setiap pembicaraan mengenai
pembelajaran di berbagai kalangan. Konstruktivisme menjadi landasan terhadap
berbagai seruan dan kecenderungan yang muncul dalam dunia pembelajaran, seperti
perlunya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, perlunya siswa
mengembangkan kemampuan belajar mandiri dan perlunya siswa memiliki kemampuan
untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri serta perlunya guru berperan sebagai
fasilitator, mediator dan manajer proses pembelajaran.
Pengetahuan
tidak dapat ditransfer atau dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru
kepada peserta didiknya. Peserta didik sendirilah yang harus mengartikan apa
yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka
atau konstruksi yang telah mereka bangun/ atau miliki sebelumya.[9]
Teori konstruktivisme dikembangkan
oleh Piaget pada pertengahan abad ke 20. Gagasan pokok aliran ini diawali oleh
Giambatissta Vico, epistemolog dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta
dan manusia adalah tuan dari ciptaan” . Dia menjelaskan bahwa “mengetahui”
berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang baru
mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur yang membangun sesuatu
itu.[10]
Bagi Vico pengetahuan lebih
menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Berbeda dengan para empirisme
yang menyatakan pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun
menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya.[11] Sekian
lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah
yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses
belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi
gagasan Vico.
Teori perkembangan intelektual Piaget
dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget
adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi
dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup,
demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman,
tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang
untuk menanggapinya. Dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema
pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total.
Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis
maupun pengalaman mental.
Perkembangan konstruktivisme dalam
kajian filsafat tidak terlepas dari perubahan pandangan lama yang menempatkan
pengetahuan sebagai representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang
terlepas dari pengamat (objektivisme) dan pengetahuan merupakan kumpulan fakta.
Namun seiring dengan perkembangan pemikiran dalam bidang sains, maka
pengetahuan ditempatkan sebagai sesuatu tidak terlepas dari subjek yang sedang
belajar mengerti.[12] Dalam
perkembangannya, pemikiran-pemikiran baru semakin mendapat tempat yang luas,
bahwa pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi)
yang terus menerus berkembang dan berubah.
Tujuan dari teori ini adalah: (1)
adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu
sendiri, (2) mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyaannya, (3) membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap, (4) mengembangkan kemampuan
siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri dan (5) lebih menekankan pada proses
belajar bagaimana belajar itu.
2.
Karakteristik
Konstruktivisme menginginkan peran
aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri.
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui
proses belajar yang dilakukan, seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan
struktur pengetahuan yang diperlukan untuk suatu pengetahuan tertentu. Oleh
karena itu, pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamat, akan
tetapi merupakan hasil konstruksi pengalaman manusia sejauh yang dialaminya.
Suatu pengalaman diperoleh manusia
melalui indera, karena dengan indera manusia dapat berinteraksi dengan
lingkungan sekitar dan memperoleh pengetahuan. Mungkin dapat melalui mata,
telinga, hidung, atau indera lainnya.[13] Menurut
Piaget seperti dikutip Aunurrahman, pembentukan ini tidak pernah mencapai titik
akhir, akan tetapi terus menerus berkembang setiap mengadakan reorganisasi
karena adanya suatu pemahaman yang baru.[14] Menurut
konstruktivisme, pengetahuan bukanlah hal yang statis dan deterministik, tetapi
suatu proses menjadi tahu. Dicontohkan sebagai berikut:
Pengetahuan kita
tentang kucing bukanlah pengetahuan yang sekali jadi, tetapi merupakan proses
untuk semakin tahu. Ketika kita masih kecil, kita sering bermain-main dengan
kucing, menjamah dan memeluknya, dan hal tersebut seringkali kita lakukan.
Melalui pengalaman tersebut, kita mengkonstruksi pengetahuan tentang kucing,
sejauh yang dapat kita rekam dari pengalaman. Selanjutnya kita memperoleh
kesempatan untuk bertemu dengan kucing-kucing lain. Interaksi kita dengan
berbagai macam kucing menjadikan pengetahuan kita tentang kucing lebih lengkap
dan rinci.[15]
Demikian itu terjadi secara terus
menerus sehingga pengetahuan seseorang terhadap suatu objek semakin kokoh,
dengan semakin banyaknya interaksi dengan lingkungan. Menurut Trianto, dalam konstruktivisme
siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila tidak
lagi sesuai. Agar benar-benar dapat memahami dan menerapkan pengetahuan, siswa
harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha
dengan susah payah dengan ide-ide.[16]
Teori konstruktivisme memiliki
keunikan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan teori-teori lainnya. Hal ini
ditandai dengan beberapa ciri atau karakteristik konstruktivisme sebagai
berikut:
a.
Peserta
didik lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses
integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman, pengetahuan yang telah ada
dalam pikiran mereka.
b.
Setiap
pandangan yang berbeda akan dihargai dan diperlukan. Peserta didik didorong
untuk menemukan berbagai kemungkinan jawaban dalam mensintesiskan secara
terintegrasi.
c.
Proses
pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing secara
negatif. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan peserta didik untuk
mengingat pelajaran lebih lama.
d.
Kontrol
kecepatan dan fokus pelajaran ada pada peserta didik. Cara ini akan lebih
memberdayakan peserta didik lebih dinamik inovatif.
e.
Pendekatan
konstruktivisme memberikan pengakuan belajar yang tidak terlepas dari konteks
dunia nyata peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disarikan beberapa karakteristik teori konstruktivisme adalah:
a.
Memberi
peluang kepada siswa membina pengetahuan baru melalui pelibatan dalam dunia yang
sebenarnya.
b.
Menggalakkan
idea yang dimulakan oleh siswa dan menggunakannya sebagai panduan merancang
pengajaran.
c.
Menyokong
pembelajaran secara koperatif
d.
Mengambil
kira sikap dan pembawaan siswa
e.
Mengambil
kira dapatan kajian bagaimana siswa belajar sesuatu idea
f.
Menggalakkan
dan menerima daya usaha dan otonomi murid
g.
Menggalakkan
siswa bertanya dan berdialog dengan murid dan guru
h.
Menganggap
pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran
menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
3.
Macam-Macam
Konstruktivisme
Von
Glasersfeld membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme, yaitu: (a)
konstruktivisme radikal, (b) realisme hipotesis dan (c) konstruktivisme yang
biasa.[17] Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.
Konstruktivisme Radikal
Kaum
konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan
sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak
merefleksikan suatu kenyataan ontologis obyektif, tetapi merupakan suatu
pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.[18] Salah
seorang tokoh konstruktivis radikal adalah Jean Piaget.
Menurut
konstruktivisme radikal, seseorang hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi
oleh pikirannya. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu
merupakan representasi dunia nyata.[19] Dalam
pandangan ini, pengetahuan tumbuh dan berkembang semakin dalam dan semakin kuat
apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi
oleh seseorang yang mengetahui, karenanya pengetahuan tidak dapat ditransfer
kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang mengkonstruksikan pengetahuan
itu. Semua yang lain, entah itu obyek ataupun lingkungan, hanyalah sarana untuk
terjadinya konstruksi tersebut.[20]
Dalam
pandangan konstruktivisme radikal ini sebenarnya tidak ada konstruksi sosial,
di mana pengetahuan dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus
menyimpulkan sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk
dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang
itu sendiri. Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut
mereka, seseorang tidak dapat melihat dunia pengalamannya dari luar. Ia
membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum ia memulai bertanya
dari mana dan apa itu sebenarnya.[21]
b.
Realisme Hipotesis
Menurut
realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) seseorang dipandang sebagai suatu
hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju pengetahuan yang
sejati, yang dekat dengan realitas. Menuver dalam Bettencourt menjelaskan bahwa
pengetahuan seseorang mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna.[22]
c.
Konstruktivisme yang biasa
Dalam
aliran konstruksi yang biasa ini tidak mengambil semua konsekuensi
konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan merupakan gambaran realitas
itu. Pengetahuan dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan
suatu obyek dalam dirinya sendiri.[23]
Berdasarkan
macam-macam konstruktivisme di atas, dapat diketahui bahwa sesungguhnya teori
ini tidak terlepas dari keunggulan dan kelemahan. Di antara keunggulannya dapat
penulis kemukakan yaitu: (1) dalam proses membina
pengetahuan baru, siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah, mengembangkan ide
dan membuat keputusan, (2) Oleh karena siswa terlibat secara langsung dalam
membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham serta dapat mengapliksikannya
dalam semua situasi, (3) Oleh karena siswa terlibat secara langsung dengan
aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Melalui pendekatan ini siswa
lebih yakin membina sendiri pemahaman mereka serta menghadapi dan menyelesaikan
masalah dalam situasi baru, (4) Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi
dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru, (5) Oleh karena siswa
terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan
sehat, maka mereka akan merasa senang belajar dalam membina pengetahuan baru.
Sementara kelemahan teori ini dapat
pula dikemukakan: (1) Peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang
hasil konstruksi mereka tidak cocok dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga
menyebabkan miskonsepsi, (2) Konstruktivisme menanamkan agar peserta
didik
membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan
setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda, (3) Situasi dan kondisi
setiap sekolah tidak sama, terutama sarana prasarana yang dapat membantu
keaktifan dan kreatifitas peserta didik, (4) selain harus memiliki kompetensi sebagai
motivator dan mediator jalannya proses belajar, guru juga harus memiliki
perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi peserta didik sehingga dibutuhkan
pengajaran yang mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan.
4.
Prinsip-Prinsip
Konstruktivisme
Menurut Brooks dan Brooks setidaknya
ada lima prinsip penerapan teori konstruktivisme dalam pembelajaran yang
penting diperhatikan oleh guru. Kelima prinsip tersebut adalah:
(a) Teachers seek and value their students’ points of view. (b) Classroom activities
challenge students’ suppositions. (c) Teachers pose problems of emerging
relevance. (d) Teachers build lessons around primary concepts and “big” ideas.
(e) Teachers assess student learning in the context of daily teaching.[24]
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, maka kelima prinsip konstruktivisme tersebut di atas adalah: (a) guru
mencari dan menghargai poin-poin pandangan siswa, (b) aktivitas kelas menantang
anggapan siswa, (c) guru mengajukan permasalahan-permasalahan penting yang
relevan, (d) guru membangun pelajaran sekitar konsep-konsep primer dan ide-ide
yang “besar”. (e) guru menilai pembelajaran siswa dalam konteks mengajar
sehari-hari.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas
dapat dipahami bahwa dalam teori konstruktivisme peran dan fungsi guru demikian
penting dalam membimbing dan mengarahkan agar para peserta didiknya mampu
melakukan konstruksi terhadap pengetahuannya sendiri. Meskipun pada hakikatnya
peserta didik mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, namun dengan bantuan
guru sebagai fasilitator dan mediator, maka hasil yang dicapai akan lebih
maksimal.
5.
Implikasinya
Terhadap Pendidikan
Beberapa implikasi teori
konstruktivisme terhadap pendidikan adalah:
Pertama, setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi yang telah
dibahas dengan sejelas-jelasnya, namun masih ada sebagian peserta
didik yang belum/tidak mengerti materi yang diajarkan.
Hal ini menunjukkan bahwa usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak selalu
diikuti dengan pencapaian hasil belajar yang baik oleh peserta didiknya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para peserta
didik sedirilah mereka akan betul-betul memahami suatu
materi yang diajarkan.
Kedua, tugas guru adalah memfasilitasi peserta didiknya, sehingga pengetahuan materi dibangun atau dikonstruksi oleh para
peserta didik sendiri, bukan ditanamkan oleh
guru. Para peserta didik harus aktif mengasimilasikan dan
mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya.
Ketiga, untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental
yang digunakan para peserta didik untuk mengenal
dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para peserta
didik untuk mendukung model-model itu.
Keempat, peserta
didik perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka
sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya
“menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan
kepada peserta didik tetapi menciptakan situasi bagi peserta
didik yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan
Kelima, kurikulum dirancang sedemikian rupa agar terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi peserta
didik. Keenam, latihan memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
Ketujuh, peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar
yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman
yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
Menurut
Bettencourt mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta
didik, melainkan suatu kegiatan
yang memungkinkan siswa membangun pengetahuannya sendiri.[25]
Mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar
adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Bagi
kaum konstruktivis, hakikat belajar adalah kegiatan manusia membangun dan
menciptakan pengetahuan dengan cara memberi makna pada pengetahuan sesuai
pengalamannya. Pengetahuan itu bersifat rekaan dan tidak stabil. Oleh karena
itu, pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentatif dan tidak
lengkap. Pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji dengan
pengalaman-pengalaman baru.[26]
Mengajar
berarti partisipasi dengan peserta
didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan
bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan membawa implikasi sebagi
berikut:
a.
Isi Pembelajaran
Pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik
isi atau bahan yang harus dipelajari oleh peserta didik, tetapi hanya sebatas memberikan rambu-rambu bahan/materi
yang sifatnya umum. Proses penyajian dimulai dari keseluruhan ke
bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat aliran konstruktivisme lebih
mengutamakan pemahaman terhadap konsep-konsep besar, maka konsep tersebut
disajikan dalam konteksnya yang aktual yang kadang-kadang kompleks. Peserta didik perlu didorong agar
tidak takut pada hal-hal yang kompleks. Siswa perlu memahami bahwa hal-hal yang
kompleks akan memberikan tantangan untuk diketahui dan dipahami.
Dalam
belajar secara konstruktivis, peserta
didik harus membentuk pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam
proses belajarnya tidak bisa dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari
berbagai sumber. Di kelas peserta didik
harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang baru dan mempertimbangkan sumber
data alternatif.
b. Tujuan Pembelajaran
Tugas
guru dalam pembelajaran berdasarkan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan
kembali, dan transformasi informasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan
baru. Transformasi terjadi kalau ada pemahaman (understanding),
sedangkan pemahaman terjadi sebagai akibat terbentuknya struktur kognitif baru
dalam pikiran peserta didik.
Pemahaman terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam
pikiran peserta didik.
Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai penting, karena
pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Karena itu tekanan
belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih banyak, namun yang terpenting
adalah memberikan interpretasi melalui skema atau struktur kognitif yang
berbeda.
c. Strategi Pembelajaran
Tugas
guru menurut konstruktivisme adalah membantu peserta didik agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai
dengan situasi konkrit. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran yang digunakan
perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Guru tidak dapat memastikan strategi yang
digunakan, yang dapat dilakukan hanya sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini
teknik dan seni yang dimiliki guru ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran.[27]
Pendekatan
belajar konstruktivisme memiliki beberapa strategi dalam proses belajar.
Strategi-strategi belajar tersebut adalah:
Pertama,
Top down processing. Peserta didik dalam pembelajaran konstruktivisme belajar dari masalah
yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan/menemukan keterampilan
yang dibutuhkan.[28]
Kedua,
cooperative learning, yaitu strategi yang digunakan untuk proses belajar, di mana peserta didik
akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika
mereka mendiskusikannya dengan peserta didik yang lain tentang problem yang
dihadapi. Dalam strategi cooperative learning peserta didik belajar
dalam berpasang-pasangan atau kelompok untuk saling membantu memecahkan problem
yang dihadapi. Cooperative learning ini lebih menekankan pada lingkungan
sosial belajar dan menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan
pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan dan menantang pengetahuan yang dimiliki.[29]
Ketiga,
generative learning. Strategi ini menekankan pada adanya integrasi yang aktif antara materi
atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata. Sehingga dengan
menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa menjadi lebih
melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu, generative
learning ini juga mengajarkan sebuah metode untuk melakukan kegiatan mental
saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan atau analogi-analogi
terhadap apa yang sedang dipelajarinya.[30]
Ketika
proses belajar di kelas, peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan
ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta
didiknya. Oleh sebab itu, peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuan di
benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme ini adalah ide. Peserta
didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke
situasi lain. Atas dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas
menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan.[31]
Hal
serupa juga dipaparkan Supriatna bahwa dalam pendekatan konstruktivisme, proses
belajar mengajar dilakukan bersama-sama oleh guru dan peserta didik dengan
produk kegiatan adalah membangun persepsi dan cara pandang peserta didik
mengenai materi yang dipelajari, mengembangkan masalah baru, dan membangun
konsep-konsep baru dengan menggunakan evaluasi yang dilakukan pada saat KBM
(kegiatan belajar mengajar) berlangsung. Pada pegajaran ini, peserta didik
dipandang sebagai individu yang mandiri dan memiliki potensi belajar dan
pengembang ilmu. Oleh karena itu, guru dapat memandang peserta didik sebagai rekan
belajar dan pengembang ilmu sehingga tercipta hubungan yang equal (seimbang)
antara keduanya.[32]
d. Penataan Lingkungan Belajar
Penataan
lingkungan belajar berdasarkan konstruktivistik diidentifikasikan dengan
alternatif berikut: (1) menyediakan pengalaman belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan dimana siswa ikut menentukan topik/sub topik yang
mereka sikapi, metode serta strategi pembelajaran yang dipergunakan, (2)
menyediakan pengalaman belajar yang kaya akan alternatif seperti
peninjauan masalah dari berbagai segi, (3) mengintegrasikan proses belajar
dengan konteks yang nyata dan relevan dengan harapan siswa dapat menerapkan
pengetahuan yang didapat dalam hidup sehari-hari, (4) memberikan kesempatan
pada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka dengan menempatkan guru
sebagai konsultan, (5) peningkatan interaksi antara guru dengan peserta didik dan antar siswa sendiri,
(6) meningkatkan penggunaan berbagai sumber belajar di samping komunikasi
tertulis dan lisan, (7) meningkatkan kesadaran peserta didik agar mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka
memecahkan masalah dengan cara tertentu.
e. Hubungan Guru-Siswa
Menurut
konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan peserta didik bukanlah yang belum
tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, peserta didik aktif mencari tahu
dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu
berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan peserta didik bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini
hubungan guru dan peserta didik
lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.[33]
Untuk mengidentifikasi sejumlah karakteristik
hubungan guru- peserta didik
dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat diperhatikan
beberapa hal berikut: (1) hubungan antara guru dengan peserta didik diupayakan terjadi secara optimal, (2) pembelajaran
perlu difokuskan pada kemampuan peserta
didik untuk menguasai konsep dan mengutarakan pandangannya, (3) evaluasi
siswa terintegrasi dalam proses belajar mengajar melalui observasi terhadap peserta didik yang umumnya bekerja
dalam kelompok, (4) aktivitas peserta
didik lebih ditekankan pada pengembangan generalisasi dan demonstrasi,
(5) aktivitas pembelajaran relatif tergantung pada isi yang menyebabkan peserta didik berpikir
[1]Paulina Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, (Jakarta:
PAU-PAI, Universitas Terbuka, 2001), h. 3
[2]Ibid.
[3]Wina Sanjaya, Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 118
[4]M. Nur, Psikologi Pendidikan:
Fondasi Untuk Pengajaran, (Surabaya: PSMS Program Pascasarjana Unesa,
2002), h. 8
[5]Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), cet.ke-7, h. 39
[6]Ibid.
[7]Russefendi, Dasar-dasar Matematika Modern untuk Orang Tua Murid
dan Guru. (Bandung: Tarsito, 1988), h. 133
[8]Paul Suparno, op.cit., h. 7
[9]Paulina Pannen, op.cit., h. 3-4
[10]Paul Suparno, op.cit., h. 24
[11]Ibid.
[13]Sutiah, Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran, (Malang:
UIN Press, 2003), h. 94
[14]Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung Alfabeta,
2009), cet.ke-3, h. 16
[16]Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Konsep,
Landasan dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta:
Kencana, 2010), cet.ke-2, h. 28. Lihat juga Trianto, Model Pembelajaran
Terpadu Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet.ke-2, h. 74
[17]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 25
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[23]Ibid.
[24]Jacqualine Grennon Brooks dan Martin
G. Brooks, In Search of Understanding The Case For Construktivist Classroom,
(Alexandria Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum
Development, 1999), cet.ke-7, h. ix-x
[25]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 62
[26]Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2010), h. 115-116
[28]Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, op.cit., h. 127
[29]Ibid.
[32]Supriatna, Konstruksi
Pembelajaran Sejarah Kritis, (Bandung: Historia Utama Press, 2007), h. 71
[33]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar