Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Teori Konstruktivisme


 Teori Konstruktivisme

1.      Pengertian dan Sejarah Munculnya
Konstruktivisme berasal dari kata “konstruk”, artinya membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan peserta didik merupakan hasil konstruksi (bentukan) peserta didik sendiri.[1] Pengetahuan bukanlah sesuatu yang lepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya suatu pemahaman yang baru.[2]
Menurut Wina Sanjaya, konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.[3] Pengetahuan nyata (konkret) bagi para siswa adalah sesuatu yang dibangun atau ditemukan oleh siswa itu sendiri. Jadi pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang harus diingat oleh siswa, tetapi siswa harus mengkonstruksi pengetahuan kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam hal ini, menurut Slavin seperti dikutip M. Nur, siswa harus dilatih untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergulat dengan ide-ide kemudian mampu mengkonstruksinya.[4]
Dapat dipahami bahwa konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta-fakta tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” kemudian seseorang tinggal mengambilnya saja, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru.
Konstruktivisme menganggap peserta didik mulai dari usia kanak-kanak sampai perguruan tinggi telah memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa (gejala) di sekitarnya. Suparno menjelaskan bahwa Piaget membedakan pengetahuan menjadi tiga, yaitu: pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial. Pengetahuan fisis adalah pengetahuan tentang sifat-sifat fisis suatu obyek atau kejadian seperti: bentuk, besar, kekasaran, berat serta cara benda-benda itu berinteraksi. Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi langsung suatu obyek.[5]
Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman dengan suatu obyek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan obyek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan berpikir seseorang terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat langsung dari abstraksi bendanya. Misalnya pengetahuan tentang konsep bilangan. Selanjutnya pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu. Pengetahuan ini dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain. Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu sehingga dapat berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.[6]
Setiap individu sejak kecil juga sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan bermakna dan hanya untuk sementara, setelah itu dilupakan.
Mengkonstruksi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran atau proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.[7] Pengertian lain tentang akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema lama sehingga cocok dengan rangsangan itu.[8]
Konstruktivisme merupakan paradigma yang muncul sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir. Seiring dengan itu, kemudian konstruktivisme menjadi kata kunci dalam hampir setiap pembicaraan mengenai pembelajaran di berbagai kalangan. Konstruktivisme menjadi landasan terhadap berbagai seruan dan kecenderungan yang muncul dalam dunia pembelajaran, seperti perlunya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, perlunya siswa mengembangkan kemampuan belajar mandiri dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri serta perlunya guru berperan sebagai fasilitator, mediator dan manajer proses pembelajaran.
Pengetahuan tidak dapat ditransfer atau dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada peserta didiknya. Peserta didik sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau konstruksi yang telah mereka bangun/ atau miliki sebelumya.[9]
Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad ke 20. Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatissta Vico, epistemolog dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan” . Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur yang membangun sesuatu itu.[10]
Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Berbeda dengan para empirisme yang menyatakan pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya.[11] Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Perkembangan konstruktivisme dalam kajian filsafat tidak terlepas dari perubahan pandangan lama yang menempatkan pengetahuan sebagai representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme) dan pengetahuan merupakan kumpulan fakta. Namun seiring dengan perkembangan pemikiran dalam bidang sains, maka pengetahuan ditempatkan sebagai sesuatu tidak terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.[12] Dalam perkembangannya, pemikiran-pemikiran baru semakin mendapat tempat yang luas, bahwa pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus menerus berkembang dan berubah.
Tujuan dari teori ini adalah: (1) adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu sendiri, (2) mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya, (3) membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap, (4) mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri dan (5) lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

2.      Karakteristik
Konstruktivisme menginginkan peran aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan, seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk suatu pengetahuan tertentu. Oleh karena itu, pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamat, akan tetapi merupakan hasil konstruksi pengalaman manusia sejauh yang dialaminya.
Suatu pengalaman diperoleh manusia melalui indera, karena dengan indera manusia dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan memperoleh pengetahuan. Mungkin dapat melalui mata, telinga, hidung, atau indera lainnya.[13] Menurut Piaget seperti dikutip Aunurrahman, pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi terus menerus berkembang setiap mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.[14] Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukanlah hal yang statis dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Dicontohkan sebagai berikut:
Pengetahuan kita tentang kucing bukanlah pengetahuan yang sekali jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu. Ketika kita masih kecil, kita sering bermain-main dengan kucing, menjamah dan memeluknya, dan hal tersebut seringkali kita lakukan. Melalui pengalaman tersebut, kita mengkonstruksi pengetahuan tentang kucing, sejauh yang dapat kita rekam dari pengalaman. Selanjutnya kita memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan kucing-kucing lain. Interaksi kita dengan berbagai macam kucing menjadikan pengetahuan kita tentang kucing lebih lengkap dan rinci.[15]

Demikian itu terjadi secara terus menerus sehingga pengetahuan seseorang terhadap suatu objek semakin kokoh, dengan semakin banyaknya interaksi dengan lingkungan. Menurut Trianto, dalam konstruktivisme siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila tidak lagi sesuai. Agar benar-benar dapat memahami dan menerapkan pengetahuan, siswa harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.[16]
Teori konstruktivisme memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan teori-teori lainnya. Hal ini ditandai dengan beberapa ciri atau karakteristik konstruktivisme sebagai berikut:
a.       Peserta didik lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman, pengetahuan yang telah ada dalam pikiran mereka.
b.      Setiap pandangan yang berbeda akan dihargai dan diperlukan. Peserta didik didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan jawaban dalam mensintesiskan secara terintegrasi.
c.       Proses pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing secara negatif. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan peserta didik untuk mengingat pelajaran lebih lama.
d.      Kontrol kecepatan dan fokus pelajaran ada pada peserta didik. Cara ini akan lebih memberdayakan peserta didik lebih dinamik inovatif.
e.       Pendekatan konstruktivisme memberikan pengakuan belajar yang tidak terlepas dari konteks dunia nyata peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disarikan beberapa karakteristik teori konstruktivisme adalah:
a.       Memberi peluang kepada siswa membina pengetahuan baru melalui pelibatan dalam dunia yang sebenarnya.
b.       Menggalakkan idea yang dimulakan oleh siswa dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
c.       Menyokong pembelajaran secara koperatif
d.      Mengambil kira sikap dan pembawaan siswa
e.       Mengambil kira dapatan kajian bagaimana siswa belajar sesuatu idea
f.        Menggalakkan dan menerima daya usaha dan otonomi murid
g.       Menggalakkan siswa bertanya dan berdialog dengan murid dan guru
h.       Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

3.      Macam-Macam Konstruktivisme
Von Glasersfeld membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme, yaitu: (a) konstruktivisme radikal, (b) realisme hipotesis dan (c) konstruktivisme yang biasa.[17] Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.       Konstruktivisme Radikal
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis obyektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.[18] Salah seorang tokoh konstruktivis radikal adalah Jean Piaget.
Menurut konstruktivisme radikal, seseorang hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi oleh pikirannya. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata.[19] Dalam pandangan ini, pengetahuan tumbuh dan berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi oleh seseorang yang mengetahui, karenanya pengetahuan tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang mengkonstruksikan pengetahuan itu. Semua yang lain, entah itu obyek ataupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.[20]
Dalam pandangan konstruktivisme radikal ini sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di mana pengetahuan dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri. Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, seseorang tidak dapat melihat dunia pengalamannya dari luar. Ia membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum ia memulai bertanya dari mana dan apa itu sebenarnya.[21]
b.      Realisme Hipotesis
Menurut realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) seseorang dipandang sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas. Menuver dalam Bettencourt menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna.[22]

c.       Konstruktivisme yang biasa
Dalam aliran konstruksi yang biasa ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan merupakan gambaran realitas itu. Pengetahuan dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu obyek dalam dirinya sendiri.[23]
Berdasarkan macam-macam konstruktivisme di atas, dapat diketahui bahwa sesungguhnya teori ini tidak terlepas dari keunggulan dan kelemahan. Di antara keunggulannya dapat penulis kemukakan yaitu: (1) dalam proses membina pengetahuan baru, siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah, mengembangkan ide dan membuat keputusan, (2) Oleh karena siswa terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham serta dapat mengapliksikannya dalam semua situasi, (3) Oleh karena siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Melalui pendekatan ini siswa lebih yakin membina sendiri pemahaman mereka serta menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru, (4) Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru, (5) Oleh karena siswa terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat, maka mereka akan merasa senang belajar dalam membina pengetahuan baru.
Sementara kelemahan teori ini dapat pula dikemukakan: (1) Peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang hasil konstruksi mereka tidak cocok dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi, (2) Konstruktivisme menanamkan agar peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda, (3) Situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama, terutama sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas peserta didik, (4) selain harus memiliki kompetensi sebagai motivator dan mediator jalannya proses belajar, guru juga harus memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi peserta didik sehingga dibutuhkan pengajaran yang mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan.

4.      Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Menurut Brooks dan Brooks setidaknya ada lima prinsip penerapan teori konstruktivisme dalam pembelajaran yang penting diperhatikan oleh guru. Kelima prinsip tersebut adalah:
(a) Teachers seek and value their students’ points of view. (b) Classroom activities challenge students’ suppositions. (c) Teachers pose problems of emerging relevance. (d) Teachers build lessons around primary concepts and “big” ideas. (e) Teachers assess student learning in the context of daily teaching.[24]

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka kelima prinsip konstruktivisme tersebut di atas adalah: (a) guru mencari dan menghargai poin-poin pandangan siswa, (b) aktivitas kelas menantang anggapan siswa, (c) guru mengajukan permasalahan-permasalahan penting yang relevan, (d) guru membangun pelajaran sekitar konsep-konsep primer dan ide-ide yang “besar”. (e) guru menilai pembelajaran siswa dalam konteks mengajar sehari-hari.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa dalam teori konstruktivisme peran dan fungsi guru demikian penting dalam membimbing dan mengarahkan agar para peserta didiknya mampu melakukan konstruksi terhadap pengetahuannya sendiri. Meskipun pada hakikatnya peserta didik mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, namun dengan bantuan guru sebagai fasilitator dan mediator, maka hasil yang dicapai akan lebih maksimal.

5.      Implikasinya Terhadap Pendidikan
Beberapa implikasi teori konstruktivisme terhadap pendidikan adalah:
Pertama, setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi yang telah dibahas dengan sejelas-jelasnya, namun masih ada sebagian peserta didik yang belum/tidak mengerti materi yang diajarkan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak selalu diikuti dengan pencapaian hasil belajar yang baik oleh peserta didiknya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para peserta didik sedirilah mereka akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
Kedua, tugas guru adalah memfasilitasi peserta didiknya, sehingga pengetahuan materi dibangun atau dikonstruksi oleh para peserta didik sendiri, bukan ditanamkan oleh guru. Para peserta didik harus aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya.
Ketiga, untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para peserta didik untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para peserta didik untuk mendukung model-model itu.
Keempat, peserta didik perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan kepada peserta didik tetapi menciptakan situasi bagi peserta didik yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan
Kelima, kurikulum dirancang sedemikian rupa agar terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi peserta didik. Keenam, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Ketujuh, peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Menurut Bettencourt mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta didik, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun pengetahuannya sendiri.[25] Mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Bagi kaum konstruktivis, hakikat belajar adalah kegiatan manusia membangun dan menciptakan pengetahuan dengan cara memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan itu bersifat rekaan dan tidak stabil. Oleh karena itu, pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap. Pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji dengan pengalaman-pengalaman baru.[26]
Mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan membawa implikasi sebagi berikut:
a.       Isi Pembelajaran
Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau bahan yang harus dipelajari oleh peserta didik, tetapi hanya sebatas memberikan rambu-rambu bahan/materi yang sifatnya umum. Proses penyajian dimulai  dari keseluruhan ke bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat aliran konstruktivisme lebih mengutamakan pemahaman terhadap konsep-konsep besar, maka konsep tersebut disajikan dalam konteksnya yang aktual yang kadang-kadang kompleks. Peserta didik perlu didorong agar tidak takut pada hal-hal yang kompleks. Siswa perlu memahami bahwa hal-hal yang kompleks akan memberikan tantangan untuk diketahui dan dipahami.
Dalam belajar secara konstruktivis, peserta didik harus membentuk pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam proses belajarnya tidak bisa dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari berbagai sumber. Di kelas peserta didik harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang baru dan mempertimbangkan sumber data alternatif.

b.      Tujuan Pembelajaran
Tugas guru dalam pembelajaran berdasarkan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi informasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru. Transformasi terjadi kalau ada pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman terjadi sebagai akibat terbentuknya struktur kognitif baru dalam pikiran peserta didik. Pemahaman terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam pikiran peserta didik. Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai penting, karena pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Karena itu tekanan belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih banyak, namun yang terpenting adalah memberikan interpretasi melalui skema atau struktur kognitif yang berbeda.

c.       Strategi Pembelajaran
Tugas guru menurut konstruktivisme adalah membantu peserta didik agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi konkrit. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Guru tidak dapat memastikan strategi yang digunakan, yang dapat dilakukan hanya sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini teknik dan seni yang dimiliki guru ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran.[27]
Pendekatan belajar konstruktivisme memiliki beberapa strategi dalam proses belajar. Strategi-strategi belajar tersebut adalah:
Pertama, Top down processing. Peserta didik dalam pembelajaran konstruktivisme belajar dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan/menemukan keterampilan yang dibutuhkan.[28]
Kedua, cooperative learning, yaitu strategi yang digunakan untuk proses belajar, di mana peserta didik akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan peserta didik yang lain tentang problem yang dihadapi. Dalam strategi cooperative learning peserta didik belajar dalam berpasang-pasangan atau kelompok untuk saling membantu memecahkan problem yang dihadapi. Cooperative learning ini lebih menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan dan menantang pengetahuan yang dimiliki.[29]
Ketiga, generative learning. Strategi ini menekankan pada adanya integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata. Sehingga dengan menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu, generative learning ini juga mengajarkan sebuah metode untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan atau analogi-analogi terhadap apa yang sedang dipelajarinya.[30]
Ketika proses belajar di kelas, peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didiknya. Oleh sebab itu, peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme ini adalah ide. Peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Atas dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan.[31]
Hal serupa juga dipaparkan Supriatna bahwa dalam pendekatan konstruktivisme, proses belajar mengajar dilakukan bersama-sama oleh guru dan peserta didik dengan produk kegiatan adalah membangun persepsi dan cara pandang peserta didik mengenai materi yang dipelajari, mengembangkan masalah baru, dan membangun konsep-konsep baru dengan menggunakan evaluasi yang dilakukan pada saat KBM (kegiatan belajar mengajar) berlangsung. Pada pegajaran ini, peserta didik dipandang sebagai individu yang mandiri dan memiliki potensi belajar dan pengembang ilmu. Oleh karena itu, guru dapat memandang peserta didik sebagai rekan belajar dan pengembang ilmu sehingga tercipta hubungan yang equal (seimbang) antara keduanya.[32]

d.      Penataan Lingkungan Belajar
Penataan lingkungan belajar berdasarkan konstruktivistik diidentifikasikan dengan alternatif berikut: (1) menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan dimana siswa ikut menentukan topik/sub topik yang mereka sikapi, metode serta strategi pembelajaran yang dipergunakan, (2) menyediakan pengalaman  belajar yang kaya akan alternatif seperti peninjauan masalah dari berbagai segi, (3) mengintegrasikan proses belajar dengan konteks yang nyata dan relevan dengan harapan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang didapat dalam hidup sehari-hari, (4) memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka dengan menempatkan guru sebagai konsultan, (5) peningkatan interaksi antara guru dengan peserta didik dan antar siswa sendiri, (6) meningkatkan penggunaan berbagai sumber belajar di samping komunikasi tertulis dan lisan, (7) meningkatkan kesadaran peserta didik agar mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara tertentu.

e.       Hubungan Guru-Siswa
Menurut konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan peserta didik bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, peserta didik aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan peserta didik bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan guru dan peserta didik lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.[33]
Untuk mengidentifikasi sejumlah karakteristik hubungan guru- peserta didik dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat diperhatikan beberapa hal berikut: (1) hubungan antara guru dengan peserta didik diupayakan terjadi secara optimal, (2) pembelajaran perlu difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk menguasai konsep dan mengutarakan pandangannya, (3) evaluasi siswa terintegrasi dalam proses belajar mengajar melalui observasi terhadap peserta didik yang umumnya bekerja dalam kelompok, (4) aktivitas peserta didik lebih ditekankan pada pengembangan generalisasi dan demonstrasi, (5) aktivitas pembelajaran relatif tergantung pada isi yang menyebabkan peserta didik berpikir


[1]Paulina Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, (Jakarta: PAU-PAI, Universitas Terbuka, 2001), h. 3
[2]Ibid.
[3]Wina Sanjaya, Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 118
[4]M. Nur, Psikologi Pendidikan: Fondasi Untuk Pengajaran, (Surabaya: PSMS Program Pascasarjana Unesa, 2002), h. 8
[5]Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), cet.ke-7, h. 39
[6]Ibid.
[7]Russefendi, Dasar-dasar Matematika Modern untuk Orang Tua Murid dan Guru. (Bandung: Tarsito, 1988), h. 133
[8]Paul Suparno, op.cit., h. 7
[9]Paulina Pannen, op.cit., h. 3-4
[10]Paul Suparno, op.cit., h. 24
[11]Ibid.
[12]Ibid., h. 18
[13]Sutiah, Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran, (Malang: UIN Press, 2003), h. 94
[14]Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung Alfabeta, 2009), cet.ke-3, h. 16
[15]Ibid., h. 17
[16]Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Konsep, Landasan dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), cet.ke-2, h. 28. Lihat juga Trianto, Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet.ke-2, h. 74
[17]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 25
[18]Ibid., h. 26
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid., h. 26
[23]Ibid.
[24]Jacqualine Grennon Brooks dan Martin G. Brooks, In Search of Understanding The Case For Construktivist Classroom, (Alexandria Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1999), cet.ke-7, h. ix-x
[25]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 62
[26]Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2010), h. 115-116
[27]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 69
[28]Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, op.cit., h. 127
[29]Ibid.
[30]Ibid., h. 128
[31]Ibid., h. 116
[32]Supriatna, Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis, (Bandung: Historia Utama Press, 2007), h. 71
[33]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 71

Tidak ada komentar: