Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Pendidikan Islam di Indonesia


Pendidikan Islam di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia pada hakikatnya memiliki kedudukan sebagai subsistem pendidikan nasional. Artinya pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian atau salah satu komponen dari sistem yang lebih besar yaitu Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa yang dimaksud Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[1]
Menurut Ramayulis, di dalam pasal-pasal dan penjelasang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini ditemukan sebagai berikut:
  1. Dalam penyelenggaraan pendidikan ada beberapa prinsip yang harus dipedomani, yaitu:
a.       Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkaitan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
b.      Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna.
c.       Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
d.      Pendidikan diselenggarakan dengan memberikan keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e.       Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[2]

  1. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan cakap (Bab II Pasal 3 ayat 1-6). Butir-butir dalam tujuan nasional tersebut terutama menyangkut nilai-nilai dan berbagai aspeknya, sepenuhnya adalah nilai-nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu, berkembangnya pendidikan Islam akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional dimaksud.[3]
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 juga menjelaskan tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
a.       Jalur pendidikan dilaksanakan melalui:
1)      Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2)      Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara tersturktur dan berjanjang.
3)      Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (Bab I Pasal 1 ayat 11-13)
Jenis pendidikan mencakup pada semua jalur tersebut oleh karena itu pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional.
b.      Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus (Bab V Pasal 16)
Maksud pendidikan keagamaan di sini adalah merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peran yang menuntut penguasaan tentang agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Oleh karena itu, setiap orang Islam, dalam menjalankan peran hidupnya sebagai muslim, sangat berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan nilai, moral dan sosial budaya keagamaan. Oleh karenanya, pendidikan Islam dengan lembaga-lembaganya, tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan nasional.
  1. Dalam pasal berikutnya dijelaskan sebagai berikut:
Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 17 ayat 2).[4]
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 18 ayat 3). Satuan pendidikan Islam yang disebut dengan madrasah dalam PP Nomor 20 Tahun 1990 Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa SD dan SLTP yang berciri khas agama Islam, yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan demikian, madrasah diakui sama dengan sekolah umum dan merupakan satuan pendidikan yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.
  1. Selain jalur pendidikan formal, dalam jalur nonformal pendidikan agama diakui eksistensinya seperti dilihat dalam pasal-pasal berikut:
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5] Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalan pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 30 ayat 1-5).
  1. Selanjutnya tentang kurikulum dijelaskan:
a.       Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1)      Pendidikan agama
2)      Pendidikan kewarganegaraan
3)      Bahasa
4)      Matematika
5)      Ilmu Pengetahuan Alam
6)      Ilmu Pengetahuan Sosial
7)      Seni dan budaya
8)      Pendidikan jasmani dan olahraga
9)      Keterampilan/kejuruan dan
10)  Muatan lokal
b.      Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
1)      Pendidikan agama
2)      Pendidikan kewarganegaraan dan
3)      Bahasa.[6]
Berdasarkan kurikulum tersebut, pendidikan agama termasuk pendidikan agama Islam merupakan bagian dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional, dan dengan ini pendidikan agama Islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Kenyataan ini pada dasarnya cukup menguntungkan bagi pendidikan Islam, sebab posisinya semakin kuat. Kalau selama ini mungkin pendidikan agama merasa tersisih, dengan UU No. 20 Tahun 2003 ini status pendidikan agama sudah sama kuatnya dengan pendidikan umum.
Pendidikan Islam dikatakan sebagai suatu sistem karena ia sebagai totalitas fungsional dan bertujuan yang tersusun dari berbagai rangkaian elemen, unsur atau komponen. Totalitas fungsional yang dimaksud tentu saja dalam rangka pembinaan dan pengembangan, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Setiap komponen pendidikan Islam tersebut mempunyai bentuk tersendiri yang jauh berbeda dengan komponen-komponen sistem pendidikan Barat (Nonislam). Apabila di dunia Islam dalam arti yang luas disebut sebagai sistem, maka di Indonesia dalam sistem pendidikan nasional, keberadaan pendidikan Islam adalah sebagai subsistem dari pendidikan nasional, dan bukan sebagai sistem, karena bangsa Indonesia hanya mengenal satu sistem pendidikan.
Posisi Pendidikan Islam dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: (1) Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, dan (2) Pendidikan Islam sebagai lembaga.
1.      Sebagai Mata Pelajaran
Menurut Samsul Nizar, posisi pendidikan Islam sebagai mata pelajaran dalam UU No.20 Tahun 2003 adalah sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (5) bahwa “pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan perubahannya yang bersumber pada ajaran agama, keanekaragaman budaya Indonesia, serta tanggap terhadap perubahan zaman”. Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.[7]
Mencermati Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tersebut, terlihat bagaimana pendidikan Islam berada pada posisi strategis dibanding materi pendidikan lainnya. Orientasi pelaksanaannya bukan hanya pada pengembangan IQ, akan tetapi EQ dan SQ secara hamonis. Hal ini terlihat dari amanat Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No.20 Tahun 2003, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Dengan mengacu pada pasal ini pesan edukasi yang diharapkan agar pendidikan mampu melahirkan output yang beriman dan bertakwa (sesuai dengan ajaran agama yang diyakini), berakhlak mulia, serta memiliki kualitas intelektual yang tinggi.[8]
Dengan demikian dapat dipahami berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan Islam menempati tempat yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan agama/Islam mempunyai relevansi dengan pendidikan kehidupan bangsa dan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam struktur sosial kebudayaan, pendidikan Islam paling tidak mengandung empat unsur yang kemudian dijadikan sebagai dustur kebudayaan suatu bangsa, yaitu: a) unsur etika (moral) untuk membentuk ikatan-ikatan sosial, b) unsur estetika untuk membentuk cita rasa umum, c) logika terapan untuk menentukan bentuk-bentuk aktivitas umum, dan d) teknologi terapan yang sesuai dengan semua jenis yang ada dalam ragam masyarakat atau “industri”.[9]
Merujuk pada batasan di atas, maka praktek pendidikan Islam merupakan penjabaran keempat unsur tersebut. Pendidikan Islam seyogyanya menjadi sarana pembentukan situasi “berpengetahuan” dan berakhlak mulia. Prosesnya bukan berupa rangkaian indoktrinasi pengetahuan dan mencampakkan keempat unsur pendidikan di atas dalam bingkai yang terpilah-pilah. Proses pendidikan yang dilakukan seyogyanya merupakan proses pemberian sejumlah informasi mengenai pengalaman untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peserta didik diarahkan untuk menemukan bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan masa depannya yang pasti berbeda dengan lingkungan dan persoalan yang dialami seorang pendidik.
Merujuk pada batasan di atas, maka praktek pendidikan Islam merupakan penjabaran keempat unsur tersebut. Pendidikan Islam seyogyanya menjadi sarana pembentukan situasi “berpengetahuan” dan berakhlak mulia. Prosesnya bukan berupa rangkaian indoktrinasi pengetahuan dan mencampakkan keempat unsur pendidikan di atas dalam bingkai yang terpilah-pilah. Proses pendidikan yang dilakukan seyogyanya merupakan proses pemberian sejumlah informasi mengenai pengalaman untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peserta didik diarahkan untuk menemukan bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan masa depannya yang pasti berbeda dengan lingkungan dan persoalan yang dialami seorang pendidik.

2.      Sebagai Lembaga
Perjuangan untuk mamasukkan madrasah dengan fokus utama pengajaran agama dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU No.20 Tahun 2003. Dalam undang-undang ini diakui kehadiran pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan di samping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (Pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (Bab IX Pasal 30),[10] yang terdiri dari lima ayat sebagai berikut: ayat (1) pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dan/menjadi ahli ilmu agama. Ayat (3) pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Ayat (4) pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis. Ayat (5) ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[11]
Posisi pendidikan Islam dalam UU No.20 Tahun 2003 juga semakin kokoh. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang ini yaitu: untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab seperti terdapat dalam Pasal 3, setiap butir tujuan tersebut pada hakikatnya sesuai dengan nilai-nilai dasar dalam ajaran Islam. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam memiliki posisi yang sangat penting dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan nasional yang dijiwai oleh nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam yang berlandaskan kepada dua sumber utamanya yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.
Fungsi pendidikan agama seperti terdapat dalam Pasal 15 UU Nomor 20 Tahun 2003 pada hakikatnya mempertegas fungsi pendidikan yang tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 1989. Pasal 15 tersebut menyebutkan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan atau menjadi ahli ilmu agama.
Mengenai pendidikan keagamaan dalam ketentuan perundangan Sisdiknas dinyatakan berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama (Pasal 30 ayat 2). Dalam pelaksanaannya diperlukan dengan memperhatikan ketentuan tentang wajib belajar yang menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (Pasal 34). Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal baik diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat (Pasal 30 ayat 1).


[1]Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) No.20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 3
[2]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet.ke-8, h. 38
[3]Ibid.
[4]Ibid., h. 39
[5]Ibid., h. 40
[6]Ibid., h. 41
[7]Redaksi Sinar Grafika, op.cit., h. 5
[8]Hasbullah, op.cit., h. 178
[9]Ibid., h. 179
[10]Prof. Dr. Husni Rahim, pidato pengukuhannya sebagai Profesor di UIN Jakarta 2005 berjudul “Madrasah dalam Politik Pendidikan Indonesia. (Tidak dipublikasikan).
[11]Redaksi Sinar Grafika, op.cit., h. 16

Tidak ada komentar: