Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di
Indonesia pada hakikatnya memiliki kedudukan sebagai subsistem pendidikan
nasional. Artinya pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian atau salah
satu komponen dari sistem yang lebih besar yaitu Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang
RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa yang
dimaksud Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[1]
Menurut Ramayulis, di
dalam pasal-pasal dan penjelasang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional ini ditemukan sebagai berikut:
- Dalam
penyelenggaraan pendidikan ada beberapa prinsip yang harus dipedomani,
yaitu:
a. Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkaitan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
b. Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan
multimakna.
c. Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
d. Pendidikan
diselenggarakan dengan memberikan keteladanan, membangun kemauan dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e. Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[2]
- Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu dan cakap (Bab II Pasal 3 ayat 1-6). Butir-butir dalam
tujuan nasional tersebut terutama menyangkut nilai-nilai dan berbagai
aspeknya, sepenuhnya adalah nilai-nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang
bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu,
berkembangnya pendidikan Islam akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional dimaksud.[3]
- Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 juga menjelaskan tentang jalur, jenjang dan jenis
pendidikan.
a. Jalur
pendidikan dilaksanakan melalui:
1) Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri
dari atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2) Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara tersturktur dan berjanjang.
3) Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (Bab I Pasal 1 ayat
11-13)
Jenis
pendidikan mencakup pada semua jalur tersebut oleh karena itu pendidikan Islam
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional.
b. Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan dan khusus (Bab V Pasal 16)
Maksud
pendidikan keagamaan di sini adalah merupakan pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peran yang
menuntut penguasaan tentang agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Oleh
karena itu, setiap orang Islam, dalam menjalankan peran hidupnya sebagai
muslim, sangat berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam,
terutama yang berhubungan dengan nilai, moral dan sosial budaya keagamaan. Oleh
karenanya, pendidikan Islam dengan lembaga-lembaganya, tidak bisa dipisahkan
dari sistem pendidikan nasional.
- Dalam
pasal berikutnya dijelaskan sebagai berikut:
Pendidikan
dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 17 ayat 2).[4]
Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain
yang sederajat (Pasal 18 ayat 3). Satuan pendidikan Islam yang disebut dengan
madrasah dalam PP Nomor 20 Tahun 1990 Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa SD dan
SLTP yang berciri khas agama Islam, yang diselenggarakan oleh Departemen Agama
masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan
demikian, madrasah diakui sama dengan sekolah umum dan merupakan satuan
pendidikan yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.
- Selain
jalur pendidikan formal, dalam jalur nonformal pendidikan agama diakui
eksistensinya seperti dilihat dalam pasal-pasal berikut:
Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5]
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalan pendidikan formal, nonformal dan
informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis. Ketentuan mengenai
pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 30 ayat 1-5).
- Selanjutnya
tentang kurikulum dijelaskan:
a. Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1) Pendidikan
agama
2) Pendidikan
kewarganegaraan
3) Bahasa
4) Matematika
5) Ilmu
Pengetahuan Alam
6) Ilmu
Pengetahuan Sosial
7) Seni dan budaya
8) Pendidikan
jasmani dan olahraga
9) Keterampilan/kejuruan
dan
10) Muatan lokal
b. Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat:
1) Pendidikan
agama
2) Pendidikan
kewarganegaraan dan
3) Bahasa.[6]
Berdasarkan kurikulum
tersebut, pendidikan agama termasuk pendidikan agama Islam merupakan bagian
dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional, dan dengan ini pendidikan
agama Islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Kenyataan ini pada dasarnya
cukup menguntungkan bagi pendidikan Islam, sebab posisinya semakin kuat. Kalau
selama ini mungkin pendidikan agama merasa tersisih, dengan UU No. 20 Tahun
2003 ini status pendidikan agama sudah sama kuatnya dengan pendidikan umum.
Pendidikan Islam dikatakan
sebagai suatu sistem karena ia sebagai totalitas fungsional dan bertujuan yang
tersusun dari berbagai rangkaian elemen, unsur atau komponen. Totalitas
fungsional yang dimaksud tentu saja dalam rangka pembinaan dan pengembangan,
baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Setiap komponen
pendidikan Islam tersebut mempunyai bentuk tersendiri yang jauh berbeda dengan
komponen-komponen sistem pendidikan Barat (Nonislam). Apabila di dunia Islam
dalam arti yang luas disebut sebagai sistem, maka di Indonesia dalam sistem
pendidikan nasional, keberadaan pendidikan Islam adalah sebagai subsistem dari
pendidikan nasional, dan bukan sebagai sistem, karena bangsa Indonesia hanya
mengenal satu sistem pendidikan.
Posisi Pendidikan Islam dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: (1) Pendidikan
Islam sebagai mata pelajaran, dan (2) Pendidikan Islam sebagai lembaga.
1.
Sebagai
Mata Pelajaran
Menurut
Samsul Nizar, posisi pendidikan Islam sebagai mata pelajaran dalam UU No.20
Tahun 2003 adalah sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (5) bahwa
“pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
dan perubahannya yang bersumber pada ajaran agama, keanekaragaman budaya Indonesia,
serta tanggap terhadap perubahan zaman”. Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 yaitu
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab”.[7]
Mencermati
Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tersebut, terlihat bagaimana
pendidikan Islam berada pada posisi strategis dibanding materi pendidikan
lainnya. Orientasi pelaksanaannya bukan hanya pada pengembangan IQ, akan tetapi
EQ dan SQ secara hamonis. Hal ini terlihat dari amanat Pasal 13 ayat (1) huruf
a UU No.20 Tahun 2003, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Dengan mengacu pada pasal ini pesan
edukasi yang diharapkan agar pendidikan mampu melahirkan output yang beriman
dan bertakwa (sesuai dengan ajaran agama yang diyakini), berakhlak mulia, serta
memiliki kualitas intelektual yang tinggi.[8]
Dengan
demikian dapat dipahami berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di
atas, bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan
Islam menempati tempat yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan
agama/Islam mempunyai relevansi dengan pendidikan kehidupan bangsa dan
mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam
struktur sosial kebudayaan, pendidikan Islam paling tidak mengandung empat
unsur yang kemudian dijadikan sebagai dustur kebudayaan suatu bangsa, yaitu: a)
unsur etika (moral) untuk membentuk ikatan-ikatan sosial, b) unsur estetika
untuk membentuk cita rasa umum, c) logika terapan untuk menentukan
bentuk-bentuk aktivitas umum, dan d) teknologi terapan yang sesuai dengan semua
jenis yang ada dalam ragam masyarakat atau “industri”.[9]
Merujuk
pada batasan di atas, maka praktek pendidikan Islam merupakan penjabaran
keempat unsur tersebut. Pendidikan Islam seyogyanya menjadi sarana pembentukan
situasi “berpengetahuan” dan berakhlak mulia. Prosesnya bukan berupa rangkaian
indoktrinasi pengetahuan dan mencampakkan keempat unsur pendidikan di atas
dalam bingkai yang terpilah-pilah. Proses pendidikan yang dilakukan seyogyanya
merupakan proses pemberian sejumlah informasi mengenai pengalaman untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peserta didik diarahkan untuk menemukan
bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan masa depannya yang
pasti berbeda dengan lingkungan dan persoalan yang dialami seorang pendidik.
Merujuk
pada batasan di atas, maka praktek pendidikan Islam merupakan penjabaran
keempat unsur tersebut. Pendidikan Islam seyogyanya menjadi sarana pembentukan
situasi “berpengetahuan” dan berakhlak mulia. Prosesnya bukan berupa rangkaian
indoktrinasi pengetahuan dan mencampakkan keempat unsur pendidikan di atas
dalam bingkai yang terpilah-pilah. Proses pendidikan yang dilakukan seyogyanya
merupakan proses pemberian sejumlah informasi mengenai pengalaman untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peserta didik diarahkan untuk menemukan
bentuk pengetahuan yang diinginkan, sesuai dengan kebutuhan masa depannya yang
pasti berbeda dengan lingkungan dan persoalan yang dialami seorang pendidik.
2.
Sebagai
Lembaga
Perjuangan
untuk mamasukkan madrasah dengan fokus utama pengajaran agama dalam sistem
pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU No.20 Tahun 2003.
Dalam undang-undang ini diakui kehadiran pendidikan keagamaan sebagai salah
satu jenis pendidikan di samping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi dan khusus (Pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk
lagi madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA
Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan.
Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (Bab IX Pasal 30),[10] yang
terdiri dari lima ayat sebagai berikut: ayat (1) pendidikan keagamaan diselenggarakan
oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Ayat (2) pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dan/menjadi ahli ilmu agama. Ayat (3)
pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal dan informal. Ayat (4) pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan
diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang
sejenis. Ayat (5) ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.[11]
Posisi
pendidikan Islam dalam UU No.20 Tahun 2003 juga semakin kokoh. Tujuan
pendidikan nasional dalam Undang-Undang ini yaitu: untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab seperti terdapat dalam
Pasal 3, setiap butir tujuan tersebut pada hakikatnya sesuai dengan nilai-nilai
dasar dalam ajaran Islam. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam memiliki
posisi yang sangat penting dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan nasional
yang dijiwai oleh nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam yang
berlandaskan kepada dua sumber utamanya yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.
Fungsi
pendidikan agama seperti terdapat dalam Pasal 15 UU Nomor 20 Tahun 2003 pada
hakikatnya mempertegas fungsi pendidikan yang tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun
1989. Pasal 15 tersebut menyebutkan bahwa pendidikan keagamaan merupakan
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk
dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran
agama dan atau menjadi ahli ilmu agama.
Mengenai pendidikan keagamaan dalam ketentuan
perundangan Sisdiknas dinyatakan berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama (Pasal 30 ayat 2). Dalam
pelaksanaannya diperlukan dengan memperhatikan ketentuan tentang wajib belajar
yang menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (Pasal
34). Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal dan informal baik diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat (Pasal 30 ayat 1).
[1]Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan
Nasional) No.20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 3
[2]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
2008), cet.ke-8, h. 38
[3]Ibid.
[7]Redaksi Sinar Grafika, op.cit., h. 5
[8]Hasbullah, op.cit., h. 178
[10]Prof. Dr. Husni Rahim, pidato pengukuhannya sebagai Profesor di UIN
Jakarta 2005 berjudul “Madrasah dalam Politik Pendidikan Indonesia. (Tidak
dipublikasikan).
[11]Redaksi Sinar Grafika, op.cit., h. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar