Pandangan Konstruktivisme Tentang Peserta Didik, Belajar dan Interaksi Pendidik dengan Peserta Didik
1. Hakikat Peserta
Didik Menurut Konstruktivisme
Menurut
konstruktivisme, peserta didik adalah individu yang membangun sendiri
pengetahuannya, mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, menyesuaikan
konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran
mereka. Selain itu, peserta didik juga merupakan individu yang bertanggung
jawab terhadap hasil belajarnya.[1]
Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang peserta didik
sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk
objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, peserta didik
adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan
membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan
terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman
yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang
pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah
siswa menguasai bagaimana caranya belajar sehingga ia bisa menjadi pembelajar mandiri dan menemukan
sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.
Paradigma
konstruktivisme juga memandang peserta didik tidak sebagai kertas kosong
melainkan sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum
mempelajari sesuatu. Peserta didik juga dipahami sebagai pribadi yang memiliki
kebebasan untuk membangun ide atau gagasan tanpa harus diintervensi oleh
siapapun, kemudian peserta didik diposisikan sebagai manusia dewasa yang sudah memiliki
modal awal pengetahuan.[2]
2. Hakikat Belajar
Menurut Konstruktivisme
Secara
etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar memiliki arti “berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki pengertian bahwa
belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu. Kegiatan
ini merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya mendapatkan ilmu atau kepandaian
yang belum dimiliki sebelumnya, sehingga dengan belajar manusia menjadi tahu,
memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu.[3]
Definisi
etimologis di atas mungkin sangat singkat dan sederhana, maka diperlukan
penjelasan secara terminologis. Menurut Cronbach seperti dikutip Baharuddin dan
Esa Nur Wahyuni “Learning is shown by change in behavior as result of experience”.
Belajar yang baik adalah melalui pengalaman.[4]
Sementara menurut Morgan, belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif
tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman.[5] Pernyataan
ini sesuai dengan pendapat para ahli bahwa belajar merupakan proses yang dapat menyebabkan
perubahan tingkah laku disebabkan adanya reaksi terhadap suatu situasi tertentu
atau adanya proses internal yang terjadi di dalam diri seseorang.
Dari
beberapa definisi di atas, dapat ditemukan kesamaan pengertian belajar menurut para
ahli psikologi maupun ahli pendidikan. Bedanya, ahli psikologi memandang
belajar sebagai perubahan yang dapat dilihat dan tidak peduli apakah hasil
belajar tersebut menghambat atau tidak menghambat proses adaptasi seseorang
terhadap kebutuhan-kebutuhan dengan masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan
para ahli pendidikan memandang bahwa belajar adalah proses perubahan manusia ke
arah tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
Dengan demikian, terlihat bahwa para ahli psikilogi lebih netral dalam
memandang perubahan yang terjadi akibat adanya proses belajar, tidak peduli apakah
positif atau negatif. Sedangkan para ahli pendidikan memandang perubahan yang
terjadi sesuai dengan tujuan positif yang ingin dicapai.[6]
Menurut
paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutama-kan penyelesaian
masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang
menghafal prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban yang benar.
Tentu saja kriteria kebenaran dalam hal ini adalah benar menurut pandangan akal
(logis) sehingga disebut sebagai kebenaran ilmiah. Pembelajaran lebih dicirikan
oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis,
dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri.
Muhaimin
menjelaskan bahwa hakikat belajar menurut teori konstruktivisme merupakan suatu
proses alami dan bersifat individual. Semua orang mempunyai keinginan untuk
belajar kapan saja dan di mana saja tanpa bisa dibendung oleh orang lain. Kenyataan
ini didasarkan pada sifat seseorang yang mempunyai rasa ingin tahu, ingin
menyerap informasi, ingin mengambil keputusan serta ingin memecahkan masalahnya
sendiri. Setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tujuan yang merupakan
motivator penting dalam proses belajarnya untuk menentukan masa depannya. Dalam
kaitan ini, belajar akan lebih mudah dan lancar apabila konteks yang
dipelajari, baik lingkungan belajar, isi pembelajaran, sumber belajar dan
faktor lain yang mempengaruhi belajar didesain relevan dengan kebutuhan dan
karakteristiknya dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya.[7]
Proses
belajar tidak dapat bersifat uniform (perlakuan sama setiap individu yang
belajar), akan tetapi setiap individu harus dilayani agar berkembang
setinggi-tingginya sesuai karakteristik yang dimilikinya. Proses belajar dapat
terjadi jika konteks pembelajaran berangkat dari apa yang menjadi persepsi,
kebutuhan dan interpretasi peserta didik terhadap lingkungan (dunianya).
Kondisi ini memudahkan proses transfer belajar pada diri peserta didik terhadap
pengetahuan baru maupun fungsinya.[8]
Belajar
dapat terjadi dalam keadaan sendiri atau melalui interaksi dengan sumber-sumber
belajar. Interaksi dapat terjadi satu arah, yaitu ada stimuli dari luar lalu
menimbulkan respons (one directional). Atau belajar bisa terjadi dua
arah, yaitu apabila tingkah laku yang terjadi merupakan hasil interaksi antara
peserta didik dengan lingkungan atau sebaliknya. Interaksi resiprocal terjadi
apabila beberapa faktor saling memiliki ketergantungan, seperti faktor pribadi,
faktor lingkungan, yang berinteraksi menyebabkan terjadinya perubahan tingkah
laku.[9]
Muhaimin
juga mengutip pendapat Brooks & Brooks bahwa pandangan teori
konstruksivisme tentang belajar dapat disimpulkan sebagai berikut: (1)
pengetahuan adalah nonobjektif, temporer, selalu berubah dan tidak menentu, (2)
belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas
kolaboratif dan refleksi serta interpretasi; sedangkan mengajar adalah menata
lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan; (3) setiap peserta didik akan memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan, bergantung pada pengalamannya dan perspektif yang dipakai
dalam menginterpretasi-kannya; (4) mind berfungsi sebagai alat untuk
menginterpretasikan peristiwa, objek atau peristiwa yang ada dalam dunia nyata
sehingga makna yang dihasilkannya bersifat unik dan individualistik.[10]
3. Interaksi
Pendidik dan Peserta Didik Menurut Konstruktivisme
Secara
sederhana interaksi dapat dipahami sebagai hubungan yang melahirkan komunikasi
dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Karena ada aksi
dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Dengan demikian interaksi akan
berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.[11] Dalam
konteks pendidikan, maka interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta
didik disebut interaksi edukatif. Demikian itu dikarenakan interaksi yang
berlangsung antara keduanya secara sadar bertujuan untuk mengubah tingkah laku
dan perbuatan peserta didik.[12]
Berdasarkan hal ini Syaiful Bahri Djamarah mendefinisikan interaksi edukatif
adalah hubungan dua arah antara guru dan peserta didik dengan sejumlah norma
sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.[13]
Sebagai
interaksi yang bernilai normatif, maka interaksi edukatif mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Interaksi
edukatif mempunyai tujuan
Tujuan
dalam interaksi edukatif adalah untuk membantu peserta didik dalam suatu
perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan
tujuan, dengan menempatkan peserta didik sebagai pusat perhatian, sedangkan
unsur lainnya hanya sebagai pendukung.
b. Mempunyai
prosedur yang direncanakan untuk mencapai tujuan
Untuk
mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melakukan interaksi perlu ada
prosedur atau langkah-langkah sistematik dan relevan. Untuk mencapai suatu
tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan membutuhkan
prosedur dan desain yang berbeda-beda.
c. Interaksi edukatif
ditandai dengan penggarapan materi khusus
Dalam
hal ini materi harus didesain sedemikian rupa, sehingga cocok untuk mencapai
tujuan. Dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen pengajaran yang
lain. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi
edukatif.
d. Ditandai dengan
aktivitas anak didik
Sebagai
konsekuensi bahwa peserta didik merupakan sentral, maka aktivitas anak didik
merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi edukatif. Aktivitas anak
didik dalam hal ini baik secara fisik maupun mental aktif.
e. Guru berperan
sebagai pembimbing
Sebagai
pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar
terjadi proses interaksi edukatif yang kondusif. Guru harus siap sebagai
mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif, sehingga guru akan
merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik.
Guru lebih baik bersama anak didik sebagai desainer akan memimpin terjadinya
interaksi edukatif.
f. Interaksi
edukatif membutuhkan disiplin
Disiplin
dalam interaksi edukatif adalah suatu pola tingkah laku yang diatur menurut
ketentuan yang sudah ditaati dengan sadar oleh pihak guru maupun pihak anak
didik. Mekanisme konkrit dari ketaatan pada ketentuan atau tata tertib ini akan
terlihat dari pelaksanaan prosedur. Penyimpangan dari prosedur, berarti suatu
indikator pelanggaran disiplin.
g. Mempunyai batas
waktu
Untuk
mencapai tujuan tertentu dalam proses pembelajaran, batas waktu merupakan hal
yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan
tujuan harus sudah tercapai.
h. Diakhiri dengan
evaluasi
Dari seluruh kegiatan pembelajaran, evaluasi
merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan. Evaluasi dilakukan guru
untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan yang telah ditentukan.[14]
Dalam pandangan konstruktivisme, interaksi yang
berlangsung antara pendidik dan peserta didik mesti lebih menekankan pada
keaktifan peserta didik dalam mengeksplorasi pengetahuan. Peran guru hanyalah
sebagai fasilitator sekaligus mediator agar peserta didik dapat mengkonstruksi
pengetahuan yang dimilikinya.
[1]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 62
[2]Mustaji dan Sugiarso, Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik, (Surabaya:
Penerbit University Press, 2005), h. 35
[3]Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2007), h. 13
[4]Ibid.
[7]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),
cet.ke-2, h. 204
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[11]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi
Edukatif Suatu Pendekatan Teoretis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), cet.ke-3, h. 10
[13]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar