Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Pandangan Konstruktivisme Tentang Peserta Didik, Belajar dan Interaksi Pendidik dengan Peserta Didik


Pandangan Konstruktivisme Tentang Peserta Didik, Belajar dan Interaksi Pendidik dengan Peserta Didik

1.      Hakikat Peserta Didik Menurut Konstruktivisme
Menurut konstruktivisme, peserta didik adalah individu yang membangun sendiri pengetahuannya, mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Selain itu, peserta didik juga merupakan individu yang bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.[1]
Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang peserta didik sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, peserta didik adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa menguasai bagaimana caranya belajar sehingga ia bisa menjadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.
Paradigma konstruktivisme juga memandang peserta didik tidak sebagai kertas kosong melainkan sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Peserta didik juga dipahami sebagai pribadi yang memiliki kebebasan untuk membangun ide atau gagasan tanpa harus diintervensi oleh siapapun, kemudian peserta didik diposisikan sebagai manusia dewasa yang sudah memiliki modal awal pengetahuan.[2]

2.      Hakikat Belajar Menurut Konstruktivisme
Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki pengertian bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu. Kegiatan ini merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum dimiliki sebelumnya, sehingga dengan belajar manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu.[3]
Definisi etimologis di atas mungkin sangat singkat dan sederhana, maka diperlukan penjelasan secara terminologis. Menurut Cronbach seperti dikutip Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni “Learning is shown by change in behavior as result of experience”. Belajar yang baik adalah melalui pengalaman.[4] Sementara menurut Morgan, belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman.[5] Pernyataan ini sesuai dengan pendapat para ahli bahwa belajar merupakan proses yang dapat menyebabkan perubahan tingkah laku disebabkan adanya reaksi terhadap suatu situasi tertentu atau adanya proses internal yang terjadi di dalam diri seseorang.
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditemukan kesamaan pengertian belajar menurut para ahli psikologi maupun ahli pendidikan. Bedanya, ahli psikologi memandang belajar sebagai perubahan yang dapat dilihat dan tidak peduli apakah hasil belajar tersebut menghambat atau tidak menghambat proses adaptasi seseorang terhadap kebutuhan-kebutuhan dengan masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan para ahli pendidikan memandang bahwa belajar adalah proses perubahan manusia ke arah tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dengan demikian, terlihat bahwa para ahli psikilogi lebih netral dalam memandang perubahan yang terjadi akibat adanya proses belajar, tidak peduli apakah positif atau negatif. Sedangkan para ahli pendidikan memandang perubahan yang terjadi sesuai dengan tujuan positif yang ingin dicapai.[6]
Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutama-kan penyelesaian masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban yang benar. Tentu saja kriteria kebenaran dalam hal ini adalah benar menurut pandangan akal (logis) sehingga disebut sebagai kebenaran ilmiah. Pembelajaran lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri.
Muhaimin menjelaskan bahwa hakikat belajar menurut teori konstruktivisme merupakan suatu proses alami dan bersifat individual. Semua orang mempunyai keinginan untuk belajar kapan saja dan di mana saja tanpa bisa dibendung oleh orang lain. Kenyataan ini didasarkan pada sifat seseorang yang mempunyai rasa ingin tahu, ingin menyerap informasi, ingin mengambil keputusan serta ingin memecahkan masalahnya sendiri. Setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tujuan yang merupakan motivator penting dalam proses belajarnya untuk menentukan masa depannya. Dalam kaitan ini, belajar akan lebih mudah dan lancar apabila konteks yang dipelajari, baik lingkungan belajar, isi pembelajaran, sumber belajar dan faktor lain yang mempengaruhi belajar didesain relevan dengan kebutuhan dan karakteristiknya dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya.[7]
Proses belajar tidak dapat bersifat uniform (perlakuan sama setiap individu yang belajar), akan tetapi setiap individu harus dilayani agar berkembang setinggi-tingginya sesuai karakteristik yang dimilikinya. Proses belajar dapat terjadi jika konteks pembelajaran berangkat dari apa yang menjadi persepsi, kebutuhan dan interpretasi peserta didik terhadap lingkungan (dunianya). Kondisi ini memudahkan proses transfer belajar pada diri peserta didik terhadap pengetahuan baru maupun fungsinya.[8]
Belajar dapat terjadi dalam keadaan sendiri atau melalui interaksi dengan sumber-sumber belajar. Interaksi dapat terjadi satu arah, yaitu ada stimuli dari luar lalu menimbulkan respons (one directional). Atau belajar bisa terjadi dua arah, yaitu apabila tingkah laku yang terjadi merupakan hasil interaksi antara peserta didik dengan lingkungan atau sebaliknya. Interaksi resiprocal terjadi apabila beberapa faktor saling memiliki ketergantungan, seperti faktor pribadi, faktor lingkungan, yang berinteraksi menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku.[9]
Muhaimin juga mengutip pendapat Brooks & Brooks bahwa pandangan teori konstruksivisme tentang belajar dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) pengetahuan adalah nonobjektif, temporer, selalu berubah dan tidak menentu, (2) belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif dan refleksi serta interpretasi; sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan; (3) setiap peserta didik akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan, bergantung pada pengalamannya dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasi-kannya; (4) mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan peristiwa, objek atau peristiwa yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkannya bersifat unik dan individualistik.[10]

3.      Interaksi Pendidik dan Peserta Didik Menurut Konstruktivisme
Secara sederhana interaksi dapat dipahami sebagai hubungan yang melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Dengan demikian interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.[11] Dalam konteks pendidikan, maka interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik disebut interaksi edukatif. Demikian itu dikarenakan interaksi yang berlangsung antara keduanya secara sadar bertujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan peserta didik.[12] Berdasarkan hal ini Syaiful Bahri Djamarah mendefinisikan interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan peserta didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.[13]
Sebagai interaksi yang bernilai normatif, maka interaksi edukatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Interaksi edukatif mempunyai tujuan
Tujuan dalam interaksi edukatif adalah untuk membantu peserta didik dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan tujuan, dengan menempatkan peserta didik sebagai pusat perhatian, sedangkan unsur lainnya hanya sebagai pendukung.
b.      Mempunyai prosedur yang direncanakan untuk mencapai tujuan
Untuk mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melakukan interaksi perlu ada prosedur atau langkah-langkah sistematik dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda-beda.
c.       Interaksi edukatif ditandai dengan penggarapan materi khusus
Dalam hal ini materi harus didesain sedemikian rupa, sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen pengajaran yang lain. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi edukatif.
d.      Ditandai dengan aktivitas anak didik
Sebagai konsekuensi bahwa peserta didik merupakan sentral, maka aktivitas anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi edukatif. Aktivitas anak didik dalam hal ini baik secara fisik maupun mental aktif.
e.       Guru berperan sebagai pembimbing
Sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi edukatif yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif, sehingga guru akan merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Guru lebih baik bersama anak didik sebagai desainer akan memimpin terjadinya interaksi edukatif.
f.       Interaksi edukatif membutuhkan disiplin
Disiplin dalam interaksi edukatif adalah suatu pola tingkah laku yang diatur menurut ketentuan yang sudah ditaati dengan sadar oleh pihak guru maupun pihak anak didik. Mekanisme konkrit dari ketaatan pada ketentuan atau tata tertib ini akan terlihat dari pelaksanaan prosedur. Penyimpangan dari prosedur, berarti suatu indikator pelanggaran disiplin.
g.      Mempunyai batas waktu
Untuk mencapai tujuan tertentu dalam proses pembelajaran, batas waktu merupakan hal yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan harus sudah tercapai.
h.      Diakhiri dengan evaluasi
Dari seluruh kegiatan pembelajaran, evaluasi merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan. Evaluasi dilakukan guru untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan yang telah ditentukan.[14]
Dalam pandangan konstruktivisme, interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik mesti lebih menekankan pada keaktifan peserta didik dalam mengeksplorasi pengetahuan. Peran guru hanyalah sebagai fasilitator sekaligus mediator agar peserta didik dapat mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya.


[1]Paul Suparno, Filsafat, op.cit., h. 62
[2]Mustaji dan Sugiarso, Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik, (Surabaya: Penerbit University Press, 2005), h. 35
[3]Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), h. 13
[4]Ibid.
[5]Ibid., h. 14
[6]Ibid., h. 15
[7]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), cet.ke-2, h. 204
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid., h. 204-205
[11]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif Suatu Pendekatan Teoretis Psikologis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), cet.ke-3, h. 10
[12]Ibid., h. 11
[13]Ibid.
[14]Ibid., h. 15-16

Tidak ada komentar: