Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Konsep Peserta Didik, Belajar dan Interaksi Pendidik dengan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam


   Konsep Peserta Didik, Belajar dan Interaksi Pendidik dengan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Sebelum menjelaskan tentang konsep peserta didik, konsep belajar dan konsep interaksi pendidik dengan peserta didik dalam pendidikan Islam, terlebih dahulu perlu dijelaskan secara umum mengenai pengertian pendidikan Islam. Secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang berlandaskan kepada ajaran Islam dan bersumberkan al-Quran dan Sunnah.
Selain itu, terdapat beberapa rumusan definisi pendidikan Islam antara lain menurut al-Abrasyi seperti dikutip Ramayulis bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.[1] Pendidikan Islam juga identik dengan makna mengarahkan, mengasuh, mengajarkan atau melatih yang berarti usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.[2]
Muhammad Djamali mengartikan pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).[3] Sedangkan pendidikan Islam menurut Muzayyin Arifin adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan kepada seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.[4] Dengan kata lain, manusia yang mendapatkan pendidikan Islam harus mampu hidup di dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan oleh cita-cita Islam.
Menurut Zarkowi Soejoeti seperti dikutip oleh Malik Fadjar, pendidikan Islam terbagi kepada tiga pengertian, yaitu:
a.       Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan.
b.      Jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu yang lain.
c.       Jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan.[5]

Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. Sistem tersebut meliputi beberapa komponen sebagai berikut:
  1. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Secara substantif setiap individu muslim adalah peserta didik, dalam arti semua yang mengaku Islam wajib atasnya mencari ilmu. Dalam posisi sebagai pencari ilmu (al-thâlib) inilah ia menjadi orang yang menginginkan sesuatu/ilmu (al-murîd).[6] Selain merupakan suatu kewajiban, mencari ilmu tersebut juga menjadi kebutuhan yang sudah melekat dalam setiap diri manusia. Oleh karenanya, dalam diri manusia senantiasa terdapat dorongan-dorongan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya.
Beberapa istilah peserta didik dalam bahasa Arab yaitu al-murid, al-tilmidz adalah untuk menunjuk pada arti pelajar yang masih berada pada tingkat dasar dan lanjutan. Sedangkan al-thâlib digunakan untuk menunjuk pada pelajar yang berada pada jenjang perguruan tinggi yang lazim disebut mahasiswa. Dari istilah-istilah tersebut yang dianggap paling luas cakupannya adalah istilah al-muta’allim, karena sudah mencakup istilah al-murid, al-tilmidz, dan al-thâlib.[7] Apapun istilah yang digunakan untuk menunjukkan pengertian peserta didik, yang jelas selama di dalam dirinya ada keinginan untuk belajar dan menuntut ilmu kepada seorang pendidik/guru yang mentransformasikan ilmunya dapat dikategorikan sebagai peserta didik, tidak dibatasi oleh usia maupun tempat.
Untuk melihat lebih jauh hakikat peserta didik dalam Islam, perlu dikemukakan terlebih dahulu tinjauan atau perspektif Islam tentang hakikat manusia itu. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk paling mulia dari semua makhluk yang ada di jagad raya ini dan diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Tin ayat 4:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ         
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[8]

Sebaik-baik bentuk sebagaimana digambarkan ayat di atas memberi arti bahwa manusia adalah makhluk Allah paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Kesempurnaan tersebut menempatkan manusia sebagai makhluk paling unggul karena kelebihan dan keistimewaan yang dimilikinya. Di antara keunggulan tersebut adalah bahwa manusia dikaruniai dengan akal dan hawa nafsu sebagai sarana mewujudkan kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Sehubungan dengan pemahaman terhadap hakikat manusia dalam Islam, Quraish Shihab mengemukakan setidaknya terdapat tiga kata (istilah) yang digunakan al-Quran, yaitu: (1) kata (istilah) yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin, semacam insan, ins, nas dan unas; (2) kata basyar dan (3) kata bani adam dan zurriyat Adam.[9]
Terdapat sejumlah ayat dalam al-Quran yang membicarakan tentang manusia sebagai insan yang dikaitkan dengan berbagai kegiatan manusia. Di antaranya kata insan digunakan untuk menjelaskan tentang kegiatan manusia dalam belajar. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.[10]

Segala kegiatan manusia yang menggunakan kata insan dan derivasinya ins, nas dan uns menunjukkan bahwa semua kegiatan ini pada dasarnya adalah kegiatan yang disadari dan berkaitan dengan kapasitas akal dan aktualisasinya dalam kehidupan konkret. Semua kegiatan tersebut terwujud melalui proses belajar dan melalui belajar itu manusia dapat memahami sesuatu, baik secara potensial maupun aktual sehingga ia dapat merancang pekerjaan untuk mengolah sesuatu yang memberikan manfaat bagi kepentingan hidupnya.[11]
Dipahami dengan jelas bahwa peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya sebagai manusia yang dengan berbagai potensinya mesti mendapat kesempatan untuk berkembang, baik secara jasmani maupun rohani, lebih dari itu peserta didik merupakan manusia yang perlu dipersiapkan untuk dapat melaksanakan tugas utamanya sebagai hamba Allah (‘abd) dan khalifah yang memakmurkan dan memelihara kelestarian bumi Allah.

  1. Belajar dalam Pendidikan Islam
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Orang yang berangapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan guru.[12] Belajar sama artinya dengan menuntut ilmu yang dalam Islam wajib hukumnya bagi setiap individu muslim maupun muslimat. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya:
حَدَّثَنَا هشام بن عمار، قال: حدثنا حفص بن سليمان، قال: حدثنا كثير بن شنظير، عن محمد بن سيرين عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله j : طلب العلم فريضة على كل مسلم، وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب (رواه ابن ماجه) [13]
“Hisyam bin Ammar bercerita kepada kami, ia berkata: Hafash bin Sulaiman bercerita kepada kami, ia berkata: Katsir bin Syanzhir bercerita kepada kami dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim, seseorang yang meletakkan ilmu pada orang yang bukan ahlinya ibarat mengalungkan babi dengan permata, intan dan emas” (HR. ibn Majah)

Amir Syarifuddin mengatakan “Wajib adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ (pembuat hukum) untuk melaksanakannya dari setiap pribadi dari pribadi mukallaf (subjek hukum). Kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh atau karena perbuatan orang lain”.[14]
Ketika para siswa menerima rapor hasil evaluasi belajar tiap semester, maka yang dilihat adalah seluruh nilai-nilai yang tercantum di dalam rapor tersebut. Ada yang bangga dan senang karena mendapat prestasi baik, ada yang tidak senang karena kecewa dengan nilai-nilai yang ada bahkan ada yang tidak bereaksi sebagai akibat kurangnya memperhatikan terhadap angka-angka yang ada karena bingung tidak memiliki tujuan.
Belajar adalah key term (istilah kunci) yang vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.[15] Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.[16] Selanjutnya, dalam perspektif Islam pun, belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajat kehidupannya meningkat.[17] Oleh sebab itu pula Allah SWT tidak memperkenankan seluruh umat Islam untuk terjun berjihad ke medan perang, akan tetapi hendaklah sebagian mereka pergi untuk mempelajari pengetahuan agama. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Taubah ayat 122:
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ  

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[18]

Termasuk karunia Alah SWT di samping nikmat persepsi dan berfikir, manusia dibekali pula dengan kesiapan alamiah untuk belajar serta memperoleh ilmu, pengetahuan, keterampilan dan keahlian. Belajar menjadikan manusia memiliki kemampuan lebih dalam mengemban tanggung jawab hidup dan memakmurkan bumi. Selain itu, belajar juga memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan dan keterampilannya dengan jaminan manusia dapat mencapai kesempurnaan insan yang luar biasa.[19]
Pada dasarnya tidak satu agama pun, termasuk Islam, yang menjelas-kan secara rinci dan operasional mengenai proses belajar. Namun Islam, dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera) sebagai alat-alat penting untuk belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qilûn, yatafakkarûn, yubshirûn, yasma’ûn dalam al-Quran, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.[20]
Abdurrahman Saleh Abdullah mengatakan “Hilm dengan bentuk jamaknya ahlâm di dalam al-Quran menunjukkan daya fikir. Hilm bukan sinonim yang sempurna dari ‘aql, hilm lebih komprehensif daripada ‘aql, karena hilm mengandung pengertian yang sangat mendasar dari daya fikir dan intelek, bukan merupakan sinonim, karena ‘aql lebih sempit pengertiannya. Akan tetapi secara praktis, kedua istilah ‘aql dan hilm menjadi serupa benar pengertiannya.[21] Allah SWT berfirman dalam surat al-Zumar ayat 9:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ  

“(apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.[22]

Sehubungan dengan ayat di atas, Rasulullah SAW juga bersabda:
حدثنا أحمد بن يونس حدثنا زائدة عن الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال: قال رسول الله j ما من رجل يسلك طريقا يطلب فيه علما إلا سهَّل الله له به طريقا إلى الجنة (رواه أبو داود) [23]

“Ahmad ibn Yunus bercerita kepada kami, Zaidah dari al-A’masy bercerita kepada kami dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak seorang laki-laki pun yang menempuh jalan yang padanya ia menuntut ilmu kecuali Allah memudahkan baginya jalan menuju syurga” (HR. Abu Daud).

Menurut Hasan Langgulung terdapat tiga syarat pokok yang harus tersedia supaya belajar bisa terjadi. Pertama, harus ada rangsangan. Kedua, benda hidup haruslah mengadakan respons kepada rangsangan itu. Ketiga, haruslah respon itu diteguhkan seperti dengan ganjaran benda atau bukan benda supaya respon itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respon itu diteguhkan secara negatif.[24]

  1. Interaksi Pendidik dengan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Adanya interaksi antara pendidik dan peserta didik merupakan prasyarat bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan. Wujud interaksi tersebut antara lain ditandai dengan adanya tugas dan kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berinteraksi. Demikian halnya interaksi yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik dalam pendidikan Islam, ada tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang mesti dipahami sekaligus dilaksanakan, baik oleh pendidik maupun peserta didik.
Selain tugas dan tanggung jawab, ada hal lain yang perlu diperhatikan oleh pendidik dan peserta didik dalam berinteraksi, yaitu masalah etika.[25] Artinya, pendidik harus memahami etika-etika dalam mendidik, begitu pula sebaliknya, peserta didik harus mengetahui etika terhadap pendidiknya.
Abuddin Nata mengutip pendapat Maulana Alam al-Hajar yang menulis Kitab Adab al-Ulama wa al-Muta’allim bahwa seorang guru harus memiliki dua belas sifat sebagai berikut:
a.       Tujuan mengajar untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan yang bersifat duniawi, harta, kepangkatan, ketenaran, kemewahan maupun status sosial.
b.      Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang-terangan dan senantiasa menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatannya, karena ia seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh Allah dan kejernihan pancaindera dan penalaran.
c.       Menjaga kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela.
d.      Berakhlak dengan sifat zuhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, qana’ah dan sederhana.
e.       Menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela.
f.       Melaksanakan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya.
g.      Melaksanakan amalan syari’ah yang disunnahkan.
h.      Bergaul dengan sesama manusia dengan menggunakan akhlak yang mulia dan terpuji.
i.        Memelihara kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela.
j.        Senantiasa semangat dalam menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
k.      Senantiasa memberi manfaat kepada siapa pun.
l.        Aktif dalam mengumpulkan bahan bacaan, mengarang dan menulis buku.[26]

Lebih lanjut Abuddin Nata juga mengutip pendapat Amir Syams al-Din yang menulis buku al-Madzhab al-Tarbawiy ‘Inda Ibn Jama’ah yang mengatakan bahwa seorang pendidik dalam menghadapi peserta didiknya henaklah mencerminkan akhlak-akhlak sebagai berikut:
a.       Bertujuan mengharapkan keridhaan Allah, menyebarkan ilmu dan menghidupkan syari’at.
b.      Memiliki niat yang baik.
c.       Menyukai ilmu dan mengamalkannya.
d.      Menghormati kepribadian para peserta didik pada saat mereka salah atau lupa, karena pendidik sendiri terkadang juga lupa.
e.       Memberikan peluang kepada peserta didik yang menunjukkan kecerdasan dan keunggulan.
f.       Memberikan pemahaman menurut kadar kesanggupan peserta didiknya.
g.      Mendahulukan pemberian pujian daripada hukuman.
h.      Menghormati peserta didiknya.
i.        Memberikan motivasi kepada peserta didik agar giat belajar.
j.        Tidak mengajarkan suatu mata pelajaran yang tidak diminati para peserta didik.
k.      Memperlakukan para peserta didik secara adil dan tidak pilih kasih.
l.        Memberikan bantuan kepada para peserta didik sesuai dengan tingkat kesanggupannya.
m.    Bersikap tawadhu (rendah hati) kepada para peserta didik antara lain dengan menyebut namanya yang baik dan sesuatu yang menyenangkan hatinya.[27]

Kecuali dua pendapat di atas, Abuddin Nata juga memaparkan gagasan-gagasan imam al-Ghazali mengenai etika yang wajib dilakukan oleh seorang pendidik dalam menghadapi para peserta didiknya. Beberapa etika dimaksud adalah:
Pertama, bersikap lemah lembut dan kasih sayang kepada para peserta didik. Al-Ghazali menilai bahwa seorang pendidik dibandingkan dengan orang tua anak, maka pendidik lebih utama dari orang tua anak tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan pendidik menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab itu, seorang pendidik memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua peserta didik. Oleh sebab itu pula seorang pendidik wajib memperlakukan peserta didiknya dengan rasa kasih sayang dan mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan di akhirat yang kekal dan bahagia. Sementara jika pendidik sibuk mempersiapkan peserta didiknya untuk kehidupan duniawi, maka ia tidak akan bersikap kasih sayang, melainkan sebaliknya yaitu akan menghancurkannya.[28]
Kedua, seorang pendidik tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya. Hal yang demikian itu karena mengikuti apa yang dilakukan Allah dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih, tetapi semata-mata karena karunia Allah. Oleh sebab itu, seorang pendidik harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagai anugerah dan rasa kasih sayang kepada orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan untuk mendapatkan upah. Apabila tugasnya itu dihargai, maka amalnya itu bukanlah karena Allah.[29]
Ketiga, tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasihat, pembimbing para peserta didik ketika mereka membutuhkannya. Untuk itu, perlu diupayakan ilmu yang sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para peserta didik.[30]
Keempat, menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin. Berkenaan dengan ini, maka sesuai dengan istilah tarbiyah yang pada intinya menumbuhkan pemahaman melalui diri peserta didik itu sendiri, dan karenanya wajib mengikuti cara-cara yang sesuai dalam memperlakukan para peserta didik disertai petunjuk dan arahan pendidik. Untuk itu, al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara mengajar yang benar, seperti mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan, karena menjelaskan akan menyebabkan tersumbatnya potensi peserta didik dan menyebabkan timbulnya rasa bosan dan mendorong cepat hilangnya hafalannya. Menurut al-Ghazali hal ini termasuk pekerjaan mengajar yang mendalam.[31]
Kelima, tidak mewajibkan kepada peserta didik agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya. Dalam hal ini al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru Fikih yang menjelekkan guru ilmu bahasa dan sebaliknya, begitu pula sebagian ulama kalam memusuhi ulama fikih. Demikian seterusnya sehingga setiap guru menilai bahwa ilmunya lebih utama dari yang lainnya. Hal ini merupakan bagian yang harus dihindari dan dijauhi oleh seorang pendidik. Menurut al-Ghazali hal yang demikian termasuk kelemahan dan tidak mendorong pengembangan akal pikiran para peserta didik. Bahkan hal demikian itu termasuk akhlak yang tercela dan setiap pendidik harus menjauhinya.[32]
Keenam, memperlakukan peserta didik sesuai dengan kesanggupan-nya. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik tidak berpaling dari guru dan akal pikirannya tidak buntu. Sebagai dasarnya adalah bahwa tujuan mengajar bukanlah memperbanyak pengajaran dan melaksanakannya dengan cepat, melainkan setahap demi setahap dan agar tidak beralih dari satu tema ke tema lain atau dari satu pokok bahasan ke pokok bahasan lainnya, kecuali peserta didik itu telah peham dan menguasai pelajaran terdahulu dengan baik.[33]
Ketujuh, kerjasama dengan para peserta didik dalam membahas dan menjelaskan. Jika tidak terpenuhi syarat-syarat ketelitian, penjelasan dan keterangan dari suatu ilmu yang diberikan kepada seorang peserta didik, dan apabila ia merasa belum menguasai dengan sempurna dan mencapai tujuan dengan sesungguhnya. Jika dimungkinkan pelajaran lebih dapat menjelaskan dan tergerak hatinya, namun ia kikir menyampaikannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa peserta didik memiliki pemahaman dan kecerdasannya lebih sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disampaikan atau datang kepadanya. Al-Ghazali mengatakan, mungkin saja terjadi seorang peserta didik diberikan kecerdasan dan kesempurnaan akal oleh Allah SWT, sehingga ia amat cerdas, brilian dan keadaannya lebih beruntung.[34]
Kedelapan, seorang pendidik harus mengamalkan ilmunya. Sebagian besar atau semua orang yang menggeluti masalah pendidikan dan pengajaran sangat mengingatkan pentingnya mengamalkan syarat ini. Menurut kebiasaan bahwa seorang pendidik adalah sebagai panutan dan para peserta didik mengikuti apa yang ditunjukkan oleh pendidiknya. Kalaulah pendidik tidak menunjukkan perilaku yang baik dan bersikap lapang, niscaya pendidik itu tidak akan memiliki pengaruh. Perumpamaan seorang pendidik yang baik dan benar adalah seperti benih yang ditanam di tanah dan bayangan dari tuang, maka bagaimana tanah itu tumbuh tanpa benih, dan mana mungkin bayangan itu bengkok sedangkan tiangnya lurus. Seorang pendidik menurut al-Ghazali adalah orang yang ditugaskan untuk menghilangkan akhlak yang buruk dan menggantinya dengan akhlak yang baik agar para peserta didik mudah menuju jalan ke akhirat yang menyampaikannya kepada Allah.[35]
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa sosok pendidik ideal memiliki motivasi mengajar yang tulus; ikhlas mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi para peserta didik, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai pendapat para peserta didiknya, dapat bekerjasama dengan para peserta didik dalam memecahkan masalah dan ia menjadi tipe ideal atau idola bagi peserta didiknya, sehingga mereka mengikuti perbuatan baik yang dilakukan pendidik menuju jalan akhirat. Pada akhirnya para peserta didik dibimbing menuju Allah, atau berbagai upaya yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didiknya dalam mengajar, namun pada akhirnya harus dapat membawa peserta didik menuju Allah.


[1]Ramayulis, op.cit., h. 3
[2]H. Muzayyin Arifin, op.cit., h. 6
[3]Mohammad Fadhil al-Djamaly, Nahwa Tarbiyah Mukminatin, (Tunisia: al-Syirkah al-Tunisiyah Littauzi’, 1977), h. 21
[4]H. Muzayyin Arifin, op.cit., h. 7
[5]Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1999), cet.ke-2, h. 1-2
[6]Lihat Hamid Huda, Pola Interaksi Guru dan Murid dalam Perspektif Hadis, dalam Abuddin Nata (Ed.), Perspektif Hadis Tentang Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 259-260
[7]Lihat Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Studi Pemikiran al-Ghazali, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 51
[8]Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995), h. 1076
[9]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet.ke-13, h. 278
[10]Departemen Agama RI, op.cit., h. 1079
[11]Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), cet.ke-1, h. 33-34
[12]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), cet.ke-4, h. 64
[13]Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan ibn Majah, Jilid I, ditahqiq oleh Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Jail, 1418 H/1998 M), cet.ke-1, h. 214-215
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 296
[15]Muhibbin Syah, op.cit., h. 59
[16]Ibid., h. 87
[17]Ibid., h. 95
[18]Departemen Agama RI, op.cit., h. 302
[19]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Quran, alih bahasa M. Zaka Alfarisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 251
[20]Muhibbin Syah, op.cit., h. 98-99
[21]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Quran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 98
[22]Departemen Agama RI, op.cit., h. 747
[23]Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abu Daud, (al-Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1424 H), h. 655
[24]Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2003), cet.ke-5, h. 245
[25]Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan, etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk. Selain mempelajari nilai-nilai, etika juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Lihat Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h. 9. Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi (baik buruk). Lihat M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 144
[26]Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran al-Ghazali, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet.ke-1, h. 91
[27]Ibid., h. 93
[28]Ibid., h. 98
[29]Ibid., h. 99
[30]Ibid.
[31]Ibid.
[32]Ibid., h. 99-100
[33]Ibid., h. 100
[34]Ibid., h. 100-101
[35]Ibid.

Tidak ada komentar: