Konsep Peserta Didik, Belajar dan Interaksi Pendidik dengan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Sebelum menjelaskan
tentang konsep peserta didik, konsep belajar dan konsep interaksi pendidik
dengan peserta didik dalam pendidikan Islam, terlebih dahulu perlu dijelaskan
secara umum mengenai pengertian pendidikan Islam. Secara sederhana pendidikan
Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang berlandaskan kepada ajaran Islam
dan bersumberkan al-Quran dan Sunnah.
Selain itu, terdapat
beberapa rumusan definisi pendidikan Islam antara lain menurut
al-Abrasyi seperti dikutip Ramayulis bahwa pendidikan Islam adalah
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah
air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur
pikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan
atau tulisan.[1]
Pendidikan Islam juga identik dengan makna mengarahkan, mengasuh, mengajarkan
atau melatih yang berarti usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses
setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan takwa
dan akhlak serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang
berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.[2]
Muhammad Djamali mengartikan pendidikan Islam adalah
proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat
derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan
ajarnya (pengaruh dari luar).[3] Sedangkan
pendidikan Islam menurut Muzayyin Arifin adalah sistem pendidikan yang dapat
memberikan kemampuan kepada seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan
cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya.[4]
Dengan kata lain, manusia yang mendapatkan pendidikan Islam harus mampu hidup
di dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan oleh cita-cita
Islam.
Menurut Zarkowi Soejoeti seperti
dikutip oleh Malik Fadjar, pendidikan Islam terbagi kepada tiga pengertian,
yaitu:
a.
Pendidikan
Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong
oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam,
baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan
diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan.
b.
Jenis
pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai
pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam
ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu
yang lain.
c.
Jenis
pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam
ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan
melalui program studi yang diselenggarakan.[5]
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu
sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh
hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek
kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. Sistem tersebut meliputi
beberapa komponen sebagai berikut:
- Peserta Didik dalam Pendidikan
Islam
Secara substantif setiap individu
muslim adalah peserta didik, dalam arti semua yang mengaku Islam wajib atasnya
mencari ilmu. Dalam posisi sebagai pencari ilmu (al-thâlib) inilah ia
menjadi orang yang menginginkan sesuatu/ilmu (al-murîd).[6] Selain
merupakan suatu kewajiban, mencari ilmu tersebut juga menjadi kebutuhan yang
sudah melekat dalam setiap diri manusia. Oleh karenanya, dalam diri manusia
senantiasa terdapat dorongan-dorongan untuk mengetahui sesuatu yang belum
diketahuinya.
Beberapa istilah peserta didik dalam
bahasa Arab yaitu al-murid, al-tilmidz adalah untuk menunjuk pada arti
pelajar yang masih berada pada tingkat dasar dan lanjutan. Sedangkan al-thâlib
digunakan untuk menunjuk pada pelajar yang berada pada jenjang perguruan
tinggi yang lazim disebut mahasiswa. Dari istilah-istilah tersebut yang
dianggap paling luas cakupannya adalah istilah al-muta’allim, karena
sudah mencakup istilah al-murid, al-tilmidz, dan al-thâlib.[7] Apapun
istilah yang digunakan untuk menunjukkan pengertian peserta didik, yang jelas
selama di dalam dirinya ada keinginan untuk belajar dan menuntut ilmu kepada
seorang pendidik/guru yang mentransformasikan ilmunya dapat dikategorikan
sebagai peserta didik, tidak dibatasi oleh usia maupun tempat.
Untuk melihat lebih jauh hakikat
peserta didik dalam Islam, perlu dikemukakan terlebih dahulu tinjauan atau perspektif
Islam tentang hakikat manusia itu. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk paling
mulia dari semua makhluk yang ada di jagad raya ini dan diciptakan dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Tin ayat 4:
ôs)s9
$uZø)n=y{
z`»|¡SM}$# þÎû
Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[8]
Sebaik-baik bentuk sebagaimana
digambarkan ayat di atas memberi arti bahwa manusia adalah makhluk Allah paling
sempurna dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Kesempurnaan tersebut
menempatkan manusia sebagai makhluk paling unggul karena kelebihan dan
keistimewaan yang dimilikinya. Di antara keunggulan tersebut adalah bahwa
manusia dikaruniai dengan akal dan hawa nafsu sebagai sarana mewujudkan
kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Sehubungan dengan pemahaman terhadap
hakikat manusia dalam Islam, Quraish Shihab mengemukakan setidaknya terdapat
tiga kata (istilah) yang digunakan al-Quran, yaitu: (1) kata (istilah) yang
terdiri dari huruf alif, nun dan sin, semacam insan, ins, nas dan
unas; (2) kata basyar dan (3) kata bani adam dan zurriyat Adam.[9]
Terdapat sejumlah ayat dalam al-Quran
yang membicarakan tentang manusia sebagai insan yang dikaitkan dengan berbagai
kegiatan manusia. Di antaranya kata insan digunakan untuk menjelaskan tentang
kegiatan manusia dalam belajar. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-‘Alaq
ayat 1-5:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”.[10]
Segala kegiatan manusia yang
menggunakan kata insan dan derivasinya ins, nas dan uns
menunjukkan bahwa semua kegiatan ini pada dasarnya adalah kegiatan yang
disadari dan berkaitan dengan kapasitas akal dan aktualisasinya dalam kehidupan
konkret. Semua kegiatan tersebut terwujud melalui proses belajar dan melalui
belajar itu manusia dapat memahami sesuatu, baik secara potensial maupun aktual
sehingga ia dapat merancang pekerjaan untuk mengolah sesuatu yang memberikan
manfaat bagi kepentingan hidupnya.[11]
Dipahami dengan jelas bahwa peserta
didik dalam pendidikan Islam tidak hanya sebagai manusia yang dengan berbagai
potensinya mesti mendapat kesempatan untuk berkembang, baik secara jasmani maupun
rohani, lebih dari itu peserta didik merupakan manusia yang perlu dipersiapkan
untuk dapat melaksanakan tugas utamanya sebagai hamba Allah (‘abd) dan
khalifah yang memakmurkan dan memelihara kelestarian bumi Allah.
- Belajar dalam Pendidikan Islam
Sebagian orang beranggapan bahwa
belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang
tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Orang yang berangapan demikian
biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan
kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku
teks atau yang diajarkan guru.[12] Belajar
sama artinya dengan menuntut ilmu yang dalam Islam wajib hukumnya bagi setiap
individu muslim maupun muslimat. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW melalui
sabdanya:
حَدَّثَنَا هشام بن عمار، قال: حدثنا
حفص بن سليمان، قال: حدثنا كثير بن شنظير، عن محمد بن سيرين عن أنس بن مالك قال:
قال رسول الله j : طلب العلم فريضة على كل مسلم، وواضع
العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب (رواه ابن ماجه) [13]
“Hisyam bin Ammar bercerita
kepada kami, ia berkata: Hafash bin Sulaiman bercerita kepada kami, ia berkata:
Katsir bin Syanzhir bercerita kepada kami dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin
Malik ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim, seseorang yang meletakkan ilmu pada orang yang bukan ahlinya ibarat
mengalungkan babi dengan permata, intan dan emas” (HR. ibn Majah)
Amir Syarifuddin mengatakan “Wajib
adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ (pembuat hukum) untuk melaksanakannya
dari setiap pribadi dari pribadi mukallaf (subjek hukum). Kewajiban itu
harus dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh atau karena
perbuatan orang lain”.[14]
Ketika para siswa menerima rapor
hasil evaluasi belajar tiap semester, maka yang dilihat adalah seluruh
nilai-nilai yang tercantum di dalam rapor tersebut. Ada yang bangga dan senang
karena mendapat prestasi baik, ada yang tidak senang karena kecewa dengan
nilai-nilai yang ada bahkan ada yang tidak bereaksi sebagai akibat kurangnya
memperhatikan terhadap angka-angka yang ada karena bingung tidak memiliki
tujuan.
Belajar adalah key term
(istilah kunci) yang vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa
belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.[15] Belajar
adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental
dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Berhasil atau
gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar
yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah
atau keluarganya sendiri.[16]
Selanjutnya, dalam perspektif Islam pun, belajar merupakan kewajiban bagi
setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajat
kehidupannya meningkat.[17] Oleh
sebab itu pula Allah SWT tidak memperkenankan seluruh umat Islam untuk terjun
berjihad ke medan perang, akan tetapi hendaklah sebagian mereka pergi untuk
mempelajari pengetahuan agama. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Taubah
ayat 122:
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
“Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[18]
Termasuk karunia Alah SWT di samping
nikmat persepsi dan berfikir, manusia dibekali pula dengan kesiapan alamiah
untuk belajar serta memperoleh ilmu, pengetahuan, keterampilan dan keahlian.
Belajar menjadikan manusia memiliki kemampuan lebih dalam mengemban tanggung
jawab hidup dan memakmurkan bumi. Selain itu, belajar juga memungkinkan manusia
mengembangkan kemampuan dan keterampilannya dengan jaminan manusia dapat
mencapai kesempurnaan insan yang luar biasa.[19]
Pada dasarnya tidak satu agama pun,
termasuk Islam, yang menjelas-kan secara rinci dan operasional mengenai proses
belajar. Namun Islam, dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi
kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera) sebagai alat-alat penting untuk
belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qilûn, yatafakkarûn,
yubshirûn, yasma’ûn dalam al-Quran, merupakan bukti betapa
pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan
meraih ilmu pengetahuan.[20]
Abdurrahman Saleh Abdullah mengatakan
“Hilm dengan bentuk jamaknya ahlâm di dalam al-Quran menunjukkan
daya fikir. Hilm bukan sinonim yang sempurna dari ‘aql, hilm
lebih komprehensif daripada ‘aql, karena hilm mengandung
pengertian yang sangat mendasar dari daya fikir dan intelek, bukan merupakan
sinonim, karena ‘aql lebih sempit pengertiannya. Akan tetapi secara
praktis, kedua istilah ‘aql dan hilm menjadi serupa benar
pengertiannya.[21]
Allah SWT berfirman dalam surat al-Zumar ayat 9:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
“(apakah kamu hai orang
musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”.[22]
Sehubungan
dengan ayat di atas, Rasulullah SAW juga bersabda:
حدثنا أحمد بن يونس حدثنا زائدة عن الأعمش عن أبي صالح
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله j ما من رجل يسلك طريقا يطلب فيه علما إلا سهَّل الله له به طريقا إلى الجنة
(رواه أبو داود) [23]
“Ahmad ibn Yunus bercerita kepada kami,
Zaidah dari al-A’masy bercerita kepada kami dari Abu Shalih dari Abu Hurairah
ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak seorang laki-laki pun yang menempuh
jalan yang padanya ia menuntut ilmu kecuali Allah memudahkan baginya jalan menuju
syurga” (HR. Abu Daud).
Menurut Hasan Langgulung terdapat
tiga syarat pokok yang harus tersedia supaya belajar bisa terjadi. Pertama,
harus ada rangsangan. Kedua, benda hidup haruslah mengadakan respons kepada
rangsangan itu. Ketiga, haruslah respon itu diteguhkan seperti dengan ganjaran
benda atau bukan benda supaya respon itu dibuat lagi dalam suasana yang sama
pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respon itu diteguhkan
secara negatif.[24]
- Interaksi Pendidik dengan Peserta
Didik dalam Pendidikan Islam
Adanya
interaksi antara pendidik dan peserta didik merupakan prasyarat bagi
berlangsungnya kegiatan pendidikan. Wujud interaksi tersebut antara lain
ditandai dengan adanya tugas dan kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh
masing-masing pihak yang berinteraksi. Demikian halnya interaksi yang
berlangsung antara pendidik dan peserta didik dalam pendidikan Islam, ada
tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang mesti dipahami sekaligus dilaksanakan,
baik oleh pendidik maupun peserta didik.
Selain
tugas dan tanggung jawab, ada hal lain yang perlu diperhatikan oleh pendidik
dan peserta didik dalam berinteraksi, yaitu masalah etika.[25] Artinya,
pendidik harus memahami etika-etika dalam mendidik, begitu pula sebaliknya,
peserta didik harus mengetahui etika terhadap pendidiknya.
Abuddin Nata mengutip pendapat
Maulana Alam al-Hajar yang menulis Kitab Adab al-Ulama wa al-Muta’allim bahwa
seorang guru harus memiliki dua belas sifat sebagai berikut:
a.
Tujuan
mengajar untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan yang
bersifat duniawi, harta, kepangkatan, ketenaran, kemewahan maupun status
sosial.
b.
Senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang-terangan dan senantiasa
menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatannya,
karena ia seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh Allah dan
kejernihan pancaindera dan penalaran.
c.
Menjaga
kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela.
d.
Berakhlak
dengan sifat zuhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, qana’ah dan
sederhana.
e.
Menjauhkan
diri dari perbuatan yang tercela.
f.
Melaksanakan
syari’at Islam dengan sebaik-baiknya.
g.
Melaksanakan
amalan syari’ah yang disunnahkan.
h.
Bergaul
dengan sesama manusia dengan menggunakan akhlak yang mulia dan terpuji.
i.
Memelihara
kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela.
j.
Senantiasa
semangat dalam menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
k.
Senantiasa
memberi manfaat kepada siapa pun.
l.
Aktif
dalam mengumpulkan bahan bacaan, mengarang dan menulis buku.[26]
Lebih lanjut Abuddin Nata juga
mengutip pendapat Amir Syams al-Din yang menulis buku al-Madzhab al-Tarbawiy
‘Inda Ibn Jama’ah yang mengatakan bahwa seorang pendidik dalam menghadapi
peserta didiknya henaklah mencerminkan akhlak-akhlak sebagai berikut:
a.
Bertujuan
mengharapkan keridhaan Allah, menyebarkan ilmu dan menghidupkan syari’at.
b.
Memiliki
niat yang baik.
c.
Menyukai
ilmu dan mengamalkannya.
d.
Menghormati
kepribadian para peserta didik pada saat mereka salah atau lupa, karena
pendidik sendiri terkadang juga lupa.
e.
Memberikan
peluang kepada peserta didik yang menunjukkan kecerdasan dan keunggulan.
f.
Memberikan
pemahaman menurut kadar kesanggupan peserta didiknya.
g.
Mendahulukan
pemberian pujian daripada hukuman.
h.
Menghormati
peserta didiknya.
i.
Memberikan
motivasi kepada peserta didik agar giat belajar.
j.
Tidak
mengajarkan suatu mata pelajaran yang tidak diminati para peserta didik.
k.
Memperlakukan
para peserta didik secara adil dan tidak pilih kasih.
l.
Memberikan
bantuan kepada para peserta didik sesuai dengan tingkat kesanggupannya.
m.
Bersikap
tawadhu (rendah hati) kepada para peserta didik antara lain dengan menyebut
namanya yang baik dan sesuatu yang menyenangkan hatinya.[27]
Kecuali dua pendapat di atas, Abuddin
Nata juga memaparkan gagasan-gagasan imam al-Ghazali mengenai etika yang wajib
dilakukan oleh seorang pendidik dalam menghadapi para peserta didiknya.
Beberapa etika dimaksud adalah:
Pertama, bersikap lemah lembut dan kasih sayang kepada para peserta didik.
Al-Ghazali menilai bahwa seorang pendidik dibandingkan dengan orang tua anak,
maka pendidik lebih utama dari orang tua anak tersebut. Menurutnya orang tua berperan
sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan pendidik
menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab
itu, seorang pendidik memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
posisi orang tua peserta didik. Oleh sebab itu pula seorang pendidik wajib
memperlakukan peserta didiknya dengan rasa kasih sayang dan mendorongnya agar
mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan di akhirat yang kekal dan
bahagia. Sementara jika pendidik sibuk mempersiapkan peserta didiknya untuk
kehidupan duniawi, maka ia tidak akan bersikap kasih sayang, melainkan
sebaliknya yaitu akan menghancurkannya.[28]
Kedua, seorang pendidik tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya. Hal
yang demikian itu karena mengikuti apa yang dilakukan Allah dan Rasul-Nya yang
mengajar manusia tanpa meminta imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih,
tetapi semata-mata karena karunia Allah. Oleh sebab itu, seorang pendidik harus
melaksanakan tugas mengajarnya sebagai anugerah dan rasa kasih sayang kepada
orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan untuk
mendapatkan upah. Apabila tugasnya itu dihargai, maka amalnya itu bukanlah
karena Allah.[29]
Ketiga, tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus
sungguh-sungguh tampil sebagai penasihat, pembimbing para peserta didik ketika
mereka membutuhkannya. Untuk itu, perlu diupayakan ilmu yang sesuai dengan
setiap tingkat kecerdasan para peserta didik.[30]
Keempat, menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat
mungkin. Berkenaan dengan ini, maka sesuai dengan istilah tarbiyah yang pada
intinya menumbuhkan pemahaman melalui diri peserta didik itu sendiri, dan
karenanya wajib mengikuti cara-cara yang sesuai dalam memperlakukan para
peserta didik disertai petunjuk dan arahan pendidik. Untuk itu, al-Ghazali
menyerukan agar menempuh cara mengajar yang benar, seperti mengulang bukan
menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan, karena menjelaskan akan menyebabkan
tersumbatnya potensi peserta didik dan menyebabkan timbulnya rasa bosan dan
mendorong cepat hilangnya hafalannya. Menurut al-Ghazali hal ini termasuk
pekerjaan mengajar yang mendalam.[31]
Kelima, tidak mewajibkan kepada peserta didik agar mengikuti guru tertentu
dan kecenderungannya. Dalam hal ini al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian
guru Fikih yang menjelekkan guru ilmu bahasa dan sebaliknya, begitu pula
sebagian ulama kalam memusuhi ulama fikih. Demikian seterusnya sehingga setiap
guru menilai bahwa ilmunya lebih utama dari yang lainnya. Hal ini merupakan
bagian yang harus dihindari dan dijauhi oleh seorang pendidik. Menurut
al-Ghazali hal yang demikian termasuk kelemahan dan tidak mendorong
pengembangan akal pikiran para peserta didik. Bahkan hal demikian itu termasuk
akhlak yang tercela dan setiap pendidik harus menjauhinya.[32]
Keenam, memperlakukan peserta didik sesuai dengan kesanggupan-nya. Hal ini
dimaksudkan agar peserta didik tidak berpaling dari guru dan akal pikirannya
tidak buntu. Sebagai dasarnya adalah bahwa tujuan mengajar bukanlah
memperbanyak pengajaran dan melaksanakannya dengan cepat, melainkan setahap
demi setahap dan agar tidak beralih dari satu tema ke tema lain atau dari satu
pokok bahasan ke pokok bahasan lainnya, kecuali peserta didik itu telah peham
dan menguasai pelajaran terdahulu dengan baik.[33]
Ketujuh, kerjasama dengan para peserta didik dalam membahas dan menjelaskan.
Jika tidak terpenuhi syarat-syarat ketelitian, penjelasan dan keterangan dari
suatu ilmu yang diberikan kepada seorang peserta didik, dan apabila ia merasa
belum menguasai dengan sempurna dan mencapai tujuan dengan sesungguhnya. Jika
dimungkinkan pelajaran lebih dapat menjelaskan dan tergerak hatinya, namun ia
kikir menyampaikannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa peserta didik
memiliki pemahaman dan kecerdasannya lebih sempurna dan mampu untuk
mengungkapkan apa yang disampaikan atau datang kepadanya. Al-Ghazali mengatakan,
mungkin saja terjadi seorang peserta didik diberikan kecerdasan dan
kesempurnaan akal oleh Allah SWT, sehingga ia amat cerdas, brilian dan
keadaannya lebih beruntung.[34]
Kedelapan, seorang pendidik harus mengamalkan ilmunya. Sebagian besar atau
semua orang yang menggeluti masalah pendidikan dan pengajaran sangat
mengingatkan pentingnya mengamalkan syarat ini. Menurut kebiasaan bahwa seorang
pendidik adalah sebagai panutan dan para peserta didik mengikuti apa yang
ditunjukkan oleh pendidiknya. Kalaulah pendidik tidak menunjukkan perilaku yang
baik dan bersikap lapang, niscaya pendidik itu tidak akan memiliki pengaruh.
Perumpamaan seorang pendidik yang baik dan benar adalah seperti benih yang
ditanam di tanah dan bayangan dari tuang, maka bagaimana tanah itu tumbuh tanpa
benih, dan mana mungkin bayangan itu bengkok sedangkan tiangnya lurus. Seorang
pendidik menurut al-Ghazali adalah orang yang ditugaskan untuk menghilangkan
akhlak yang buruk dan menggantinya dengan akhlak yang baik agar para peserta
didik mudah menuju jalan ke akhirat yang menyampaikannya kepada Allah.[35]
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa sosok
pendidik ideal memiliki motivasi mengajar yang tulus; ikhlas mengamalkan
ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya,
dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi
para peserta didik, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan
menghargai pendapat para peserta didiknya, dapat bekerjasama dengan para
peserta didik dalam memecahkan masalah dan ia menjadi tipe ideal atau idola
bagi peserta didiknya, sehingga mereka mengikuti perbuatan baik yang dilakukan
pendidik menuju jalan akhirat. Pada akhirnya para peserta didik dibimbing
menuju Allah, atau berbagai upaya yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta
didiknya dalam mengajar, namun pada akhirnya harus dapat membawa peserta didik
menuju Allah.
[1]Ramayulis, op.cit., h. 3
[2]H. Muzayyin Arifin, op.cit., h. 6
[3]Mohammad Fadhil al-Djamaly, Nahwa Tarbiyah Mukminatin, (Tunisia:
al-Syirkah al-Tunisiyah Littauzi’, 1977), h. 21
[4]H. Muzayyin Arifin, op.cit., h. 7
[5]Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung:
Mizan, 1999), cet.ke-2, h. 1-2
[6]Lihat Hamid Huda, Pola Interaksi Guru dan Murid dalam Perspektif
Hadis, dalam Abuddin Nata (Ed.), Perspektif Hadis Tentang Pendidikan, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006), h. 259-260
[7]Lihat Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan
Guru-Murid, Studi Pemikiran al-Ghazali, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), h. 51
[8]Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang:
Toha Putra, 1995), h. 1076
[9]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet.ke-13, h. 278
[10]Departemen Agama RI, op.cit., h. 1079
[11]Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta:
Kencana, 2009), cet.ke-1, h. 33-34
[12]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), cet.ke-4, h. 64
[13]Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan ibn Majah, Jilid
I, ditahqiq oleh Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Jail, 1418 H/1998 M),
cet.ke-1, h. 214-215
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), h. 296
[15]Muhibbin Syah, op.cit., h. 59
[18]Departemen Agama RI, op.cit., h. 302
[19]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Quran, alih bahasa
M. Zaka Alfarisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 251
[20]Muhibbin Syah, op.cit., h. 98-99
[21]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan
al-Quran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 98
[22]Departemen Agama RI, op.cit., h. 747
[23]Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abu
Daud, (al-Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1424 H), h. 655
[24]Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Alhusna Baru, 2003), cet.ke-5, h. 245
[25]Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang
berarti adat kebiasaan. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan,
etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk. Selain
mempelajari nilai-nilai, etika juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai
itu sendiri. Lihat Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta:
Gunung Agung, 1976), h. 9. Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum
dikatakan etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi
(baik buruk). Lihat M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1981), h. 144
[26]Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid:
Studi Pemikiran al-Ghazali, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
cet.ke-1, h. 91
[30]Ibid.
[31]Ibid.
[35]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar