Kepribadian Muslim/Muslimah
1. Pengertian Kepribadian Muslim/Muslimah
Istilah
kepribadian Muslim terdiri dari dua kata yaitu kepribadian dan muslim. Kata
kepribadian dalam bahasan Inggris personality, berasal dari bahasa Latin
personare yang berarti to saund though (suara tembus).[1]
Kepribadian bahasa Inggrisnya personality, berasal dari bahasa Yunani per
dan sonare, yang berarti topeng, tetapi juga berasal dari kata personae yang
berarti pemain sandiwara, yaitu pemain yang memakai topeng tersebut.[2]
Dalam Islam, istilah kepribadian (personality)
lebih dikenal dengan al-syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhs
yang berarti pribadi. Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga
menjadi kata benda buatan (mashdar sina’iy) syakhshiyah yang berarti kepribadian.[3]
Dalam literatur Islam, pada khazanah abad
pertengahan, kata syakhshiyah sebagai padanan dari kepribadian kurang di
kenal. Terdapat beberapa alasan mengapa syakhshiyah tidak dikenal: a)
dalam Al-Qur’an maupun al-sunnah tidak ditemukan tern syakhshiyah, kecuali
dalam beberapa hadis disebutkan term syakhshiyah yang berarti pribadi,
bukan kepribadian, b) Dalam kazanah Islam klasik, para filsuf maupun sufi lebih
akrab menggunakan istila akhlak. Penurunan istilah ini karena ditopang oleh
al-Qur’an dan hadis Rasul.c. Syakhshiyah hakikatnya tidak dapat mewakili
nila-nilai fundamental Islam untuk mengungkapkan suatu fenomena atau perilaku
batinia manusia.[4]
Namun pada literatur Islam modern kata syakhsiyah,
telah banyak digunakan untuk menggambarkan dan menilai kepribadian
individu. Syakhsiyah al-muslim memiliki arti kepribadian orang Islam.
Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa kata syakhsiyah telah menjadi
kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality. Dalam
Netty Hartati dua istilah yang terkait dengan kepribadian adalah Pertama, istilah al-syakhshiyah
al-iniyah atau al-syakhsiyah al-zatiyah untuk mendiskripsikan
kepribadian yang tampak dari perspektif diri sendiri,, kedua istilah al-syakhshiyah
al-maudh’iyah atau al-syakhshiyah al-khalaq untuk mendeskripsikan
kepribadian yang tampak dari perspektif ornag lain, sebab kepribadian menjadi
objek penggambaran. Abdul Mujib cenderung menggunakan istilah syakhshiyah.[5]
Kemudian Ross Stanger dalam Nana Syaodih Sukmadinata
mengartikan kepribadian dalam dua macam. Pertama kepribadian sebagai topeng, yaitu kepribadian yang
berpura-pura, yang dibuat-buat, semu atau mengandung kepalsuan, kedua, kepribadian sejati
yaitu kepribadian sesungguhnya. [6]
Kepribadian semu busa berbeda dari satu saat ke saat
yang lain, dari satu situasi ke situasi yang lain, dan penampilan kepribadian
seperti ini pasti ada maksudnya[7].
Kepribadian sejati bersifat tetap, menunjukkan ciri-ciri yang lebih permanen,
tetapi kerna kepribadian juga bersifat dinamis perbedaan-perbedaan atau
perubahan pasti disesuaikan dengan situasi, namun perubahannya tidak mendasar.
Menurut May[8],
“personality is that which makes one effective, or gives one influence over
other. In the language of psychology it is one’s Social stimulus value”.
Kepribadian adalah sesuatu yang menjadikan seseorang berlaku efektif, atau
sesuatu yang dapat memberi pengaruh atas perbuatan-perbuatan selainnya. Dalam
bahasa psikologi dikatakan sebagai stimulus social yang utama yang terdapat
pada diri seseorang. Sedangkan Dashiell[9]
mendefinisikan sebagaimana yang dikutip oleh Crow dan Crow bahwa “personality
is the total picture of his organized behavior, especially as it can be
characterized by his fellow men in a consistent way”. Kepribadian adalah
keseluruhan gambaran tingkah laku yang terorganisir, terutama sebagaimana yang
dapat dihayati oleh orang-orang sekitarnya, dalam bentuk cara hidup yang tetap.
Kemudian Allport dalam Isbandi Rukminto Adi
mendefiniskan “personality is the dynamic organization within the individual
of those psychophysical systems that determine his unique adjustments to is
environment”.[10]
(Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu yang terdiri
atas berbagai sistem psikofisik yang bekerja sebagai penentu tunggal dalam
menyesuaikan diri pada lingkunganya).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis (selau berkembang dan berubah) dalam diri individu
sebagai system psikofisik (fisik dan jiwa yang tidak terpisah dalam kesatuan
yang utuh) yang bekerja sebagai penentu dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Sedangkan Muslim berarti orang Islam. Menurut Afif
abd al-Fatah seperti yang dikutip Abdul Mujib mengatakan kata “Islam” seakar
dengan kata al-salam, al-salm, dan al-silm yang berarti menyerahkan diri,
kepasrahan, ketundukan dan kepatuhan; kata ‘al-silm,
“al-salm” yang berarti damai dan aman; dan kata “al-salm”, al-salam dan al-salamah” yang berarti bersih dan
selamat dari cacat, baik lahir maupun bathin.[11]
Dengan demikian Muslim berarti orang yang menyerah, tunduk, dan patuh dalam
melakukan prilaku yang baik, agar hidupnya selamat dan memperoleh kedamaian
hidup di dunia dan akhirat.
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa keperibadian
Muslim adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspek yakni baik tingkah laku
luarnya kegiata-kegiatan jiwanya, maupun falsafah hidupnya dan kepercayaannya,
menunjukan pengabdian kepada Tuhan, penyerahan diri kepada-Nya.[12]
Dalam pengertian di atas terlihat bahwa kepribadian
muslim merupakan kepribadian yang dipenuhi dengan keimanan, karena kepribadian
adalah sikap manusia secara totalitas, maka kepribadian muslim berarti semua
sikap, tingkah laku sikap yang dihasilkan dari manifestasi kegiatan jasmaniah
dan rohaniah yang bersandar pada ajaran-ajaran Islam. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat Heryana yang menyatakan bahwa yang dimaksud kepribadian muslim
adalah kepribadian yang saleh sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist.[13]
Bastaman menyatakan bahwa kepribadian muslim adalah citra (image) seseorang yang berkaitan dengan cita (idealitas) dan fakta
(aktualitas) seseorang yang didasarkan pada Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa
seseorang itu beragama Islam.[14]
Kepribadian muslim dapat diartikan sebagai identitas
yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari keseluruhan tingkah laku sebagai
muslim, baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriah maupun sikap
batinnya. Tingkah laku lahiriah seperti cara berkata-kata, berjalan, makan,
minum, berpakaian, berhadapan dengan teman, guru, dll. Sedangkan sikap batin
seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki, tidak sombong, dll.[15]
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa kepribadian Muslim adalah ciri khas seseorang (dalam hal ini umat Islam)
yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist yang tercermin dalam sikap, ucapan,
tindakan, dan pola pikir seseorang. Norma yang menjadi landasan bersikap
seseorang dengan kepribadian Muslim adalah ajaran Islam.
Kepribadian Muslim, selain dilihat secara individu
juga secara ummah. Dengan adanya perbedaan setiap individu, maka dalam upaya
membentuk kepribadian Muslim tidak dapat dipungkiri adanya keberagaman dan
kesamaan. Maka walaupun sebagai individu masing-masing kepribadian itu
berbeda-beda, tapi dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah, perbedaan
itu dipadukan. Hal ini memungkinkan karena pembentukan kepribadian diwujudkan
dari dasar dan tujuan yang sama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
2.
Ciri-ciri Kepribadian Muslim
Dalam al-Quran diinformasikan bahwa
manusia dikelompokkan Allah pada 3 pola berdasarkan akidah atau keyakinanya.
Masing-masing pola memiliki sifat umum utama yang membedakanya dari pola yang
lain. Pola-pola tersebut yaitu orang beriman (mukmin), orang kafir (kafir) dan
orang hipokrit (munafik), sifat-sifat utama dari masing-masing pola yang dapat
di tangkap dari isyarat al-Quran dikelompokan berdasarkan kategorisifat umum
utama yaitu berkenaan dengan akidah, ibadah, hubungan sosial, hubungan
kekeluargaan, moral, emosional dan sexsual. Intelektual dan kognitif, kehidupan
praktis dan propesional dan fisik.[16]
Sifat-sifat orang beriman bisa
diklasifikasikan dalam Sembilan bidang prilaku pokok yaitu:
a. Sifat-sifat
yang bekenaan dengan akidah, di antaranya adalah beriman kepada allah SWT, para
rasulnya, kitab-Nya, malaikat, hari akhir, kebangkitan dan perhitungan, surge
dan neraka, hal yang gaib dan khodar
b. Sifat-sifat
yang berkenaan dengan ibadah. Secara umum ibadah adalah melaksanakan tugas
ibadah dah khilafah dengan sengaja atau niat karena allah SWT. Sedangkan Secara
khusus, pengertian tidak mencakup pelaksanaan, perintah, khilafah hingga
merupakan hubungan antara hamba dan penciptanya din antara sifat orang beriman
yang berkenaan dengan ibadah menyembah allah SWT. Melaksanakan kewajiban
seperti shalat, puasa, haji zakat, jihat dijalan Allah SWT. Dengan harta dan
jiwa, dan membaca Al-Quran.
c. Sifat-sifat
yang berkenaan dengan hubungan social adalah mempergauli orang lain dengan
baik, dermawan dan suka berbuat kebaikan. Suka bekerjasama, tidak memisahkan
diri dari kelompok. Menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, suka
memaafkan, mementingkan orang lain dan menghindarkan diri dari hal-hal yang
tidak bermamfaat.
d. Sifat-sifat
yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan, diantaranya adalah berbuat baik
kepada orang tua dan kerabat, suami kepada istri, menjaga dan menafkahi
keluarga.
e. Sifat-sifatmoral,
diantaranya adalah sabar, lapang dada, lurus adil, melaksanakan amanat,
menepati janji kepada Allah SWT. Dan kepada manusia, menjauhi dosa, merendahkan
diri, mempunyai kehendak yang kuat, dan mampu mengendalikan hawa nafsu.
f. Sifat-sifat
berkenaan dengan intelektual dan koknitif di antaranya adalah cinta kepada
Allah SWT, takut akan azab Allah SWT, tidak putus asa akan rahmat Allah SWT,
dan senang berbuat kebajikan. Menahan kemarahan, tidak suka bermusuhan dan
menyakiti, tidak dengki kepada orang lain, tidak sombong, penyayang, menyesali
diri dan merasa bersalah setelah melakukan dosa.
g. Sifat-sifat
yang berkenaan dengan intelektual dan koknitif. Di antaranya adalah memikirkan
alam semesta dan ciptaan Allah SWT. Selalu menuntut ilmu, tidak mengikuti
sesuatu yang masih berupa dugaan, teliti dalam menelitisuatu realitas, bebes
dalam berfikir dan berakidah.
h. Sifat-sifat
yang berkenaan dengan kehidupan praktis dan professional, yaitu tulus dalam
bekerja dan menyempurnakan pekerjaan, berusaha dengan giat dalam upaya
memperoleh rezeki.
i. Sifat-sifat
fisik seperti kuat, sehat, bersih, dan suci dari najis. [17]
Dalam kepribadian Muslim tercakup dari
semua sifat-sifat yang lebih di paparkan di atas, apakah dari akidah, ibadah,
hubungan social, hubungan keluarga, moral maupun emosional. semua sifat ini
saling berhubungan dengan yang lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh abdul
aziz ahyadi bahwa ciri-ciri atau sifat orang beriman yang telah di kemukakan di
atas merupakan gambaran kepribadian yang lengkap, utuh, matang dan sempurna.[18]
Sebenarnya citra kepribadian seperti itulah yang dibentuk oleh agama Islam
sehingga menemukan kebahagiaan dunia dan akirat.
Gambaran kepribadian tersebut masih
berada dalam batas kemampuan manusia serta sesuai dengan fitrah kejadiannya
sebagai makhluk yang beraspek biologi, psikologi dan rohaniah.setiap manusia
yang mengembangkan kepribadian sesuai dengan fitrahnya hendaklah berusaha
maksimal untuk merealisasikan citra kepribadian itu secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Penulis sependapat dengan apa yang telah dikemukakan
oleh Abdul Aziz Ayadi iatas karena telah menggambarkan pribadi muslim yang
ideal.
Kemudian Abdul Aziz al-‘Arusi,
menjelaskan bahwa Iman kepada Allah SWT. Menuntut seseorang agar menghiasi diri
dengan budi pekerti yang luhur, seperti jujur, membantu para pakir, memenuhi
janji, berbicara yang baik, memanfaatkan, rasa sayang, dan persaudaraan. [19]
Keimanan juga akan memberi keseimbangan
bagi manusia antara pembinaan kepribadian (akidah) intelektual dan kepribadian
syari’ah, sehingga orang beriman menjadi manusia yang tidak sengsara karena
keagamaannya dan sebaliknya tidak sombong karena keberasilan material yang
diraihnya.[20]
Jadi orang beriman diibaratkan sebagai manusia yang ideal. Begitulah keimana
tidak hanya terdapat dalam rumusan sistem ajaran, melainkan harus dapat
terealisasi dalam kenyataan. Realisasi iman dalam kehidupan itu telah dibumikan
atau didaratkan Rasullulah SAW, dan para sahabat yang arif bijaksana dalam kiprah
perjuangan mereka.
Heryana menyatakan setidaknya ada 10
karakteristik kepribadian muslim, yaitu (1) Aqidah yang bersih atau salimul
aqidah, (2) Ibadah yang benar atau shahihul ibadah, (3) akhlak yang
kokoh atau matinul khuluq, (4) kekuatan jasmani atau qowiyyul jismi, (5)
intelek dalam berfikir atau mutsaqoful fikri , (6) berjuang melawan hawa
nafsu atau mujahadatul linafsihi, (7) pandai menjaga waktu atau harishun
ala waqtihi, (8) teratur dalam suatu urusan atau munazhshamun fi
syuunihi, (9) memiliki kemampuan untuk berusaha sediri (mandiri) atau qodirun
alal kasbi, dan (10) bermanfaat bagi orang lain atau nafi’un lil
ghoirihi.[21]
Pembahsan berikut ini dibahas secara
rinci kesepuluh ciri kepribadian Musli#m di atas.
a.
Aqidah yang lurus
Akidah seorang Muslim harus lurus dan
benar, sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sumah rasululah SAW. Ia harus
mengimani apa-apa yang di imani oleh salafush-shalih dan para imam yang
telah di akui kebaikannya, keshalihannya, ketakwaannya, serta pemahamannya yang
lurus terhadap agama Allah.[22]
1)
Iman kepada Allah SWT
Iman kepada Allah SWT adalah urat
tungganya keimanan, sumber segala macam kepercayaan dalam agama Islam.[23]
Bila kepercayaan kepada Allah SWT. Ini lemah, maka akan lemahlah segala segi
keagamaan manusia, karena iman kepada Allah SWT, ialah percaya sepenuhnya,
tanpa keraguan sedikit pun akan adanya Allah SWT, yang Maha Esa dan Maha
sempurna, baik zat, sifat, perbuatan-Nya. Kemudian mengikuti sepenuhnya
bimbingan Allah SWT, dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-Nya dengan penuh keikhlasan.
Kemudian Zaky Mubarak Latif, juga
menjelaskan bahwa beriman kepada Alla SWT, adalah membenarkan dengan yakin akan
eksistensi Allah SWT, dan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya, penciptaan
alam seluruhnya, maupun dalam penerimaan ibadah segenap hamba-Nya, serta
membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT, mempunyai sifat
kesempurnaan dan terhindar dari sifat keraguan.[24]
Keimanan seseorang kepada Allah SWT, sangat mempengaruhi kehidupannya antara
lain : a) ketakwaannya akan selalu meningkat, b) timbulnya kekuatan batin,
ketabahan, dan harga dirinya kerana ia percaya kepada Allah SWT, dan hanya
kepada-Nya-lah meminta pertolongan tanpa percaya kepada yang lain, dan c)
timbulnya rasa aman, damai, dan tentram dalam jiwa karena ia telah menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah SWT.[25]
Iman kepada Allah SWT, adala suatu hal
yang terpenting dalam system akidah dan amal dalam Islam. Sebab
keyakinan-keyakinan lainnya merupakan cabang dari pokok tersebut.
2)
Iman Kepada Malaikat
Iman kepada Malaikat mengandung arti
bahwa seseorang percaya sepenuhnya bahwa Allah SWT, mempunyai jenis makhluk
yang disebut malaikat. Ia merupakan makhluk yang mulai yang tidak pernah
durhaka kepada Alla SWT. Dan selalu taat menjalankan tugas dan kewajibannya,
ini tercantum dalam firman Alla SWT, Surat an-Naml: 50, yaitu:
tbqèù$ss Nåk®5u `ÏiB óOÎgÏ%öqsù tbqè=yèøÿtur $tB tbrãtB÷sã ) ÇÎÉÈ
Artinya: Mereka takut
kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan
(kepada mereka).
Ayat di atas menjelaskan tentang para
malaikat dan binatang-binatang melata di bumi takut jika Tuhan yang berkuasa
penuh terhadap mereka menimpakan azan apabila mereka durhaka kepadanya.[26]
Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah SWT. Memenuhi hak-hak nya dan
menjauhi kemurkaanya.
Keimanan kepada malaikat membawa
pengatuh positif bagi seseorang, antara lain ialah ia akan selalu berhati-hati
dalam setiap perkataan dan perbuatan sebab malaikat selalu berada disekatnya,
merekam apa yang ia katakana dan perbuat.
3)
Iman Kepada Kitab-kitab Allah SWT
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT ialah
mempercayai bahwa Allah SWT, menurunkan beberapa kitab kepada rasul untuk
dijadikan pengangan hidup dan pedoman hidup manusia dalam mencapai kebahagian
dunia dan akhirat. Pengaruh keimanan kepada kitab-kitab Allah SWT, terhadap
seseorang antara lain adalah`: a) mendidik sikap toleransi terhadap pemeluk
agama lain, dan b) memberikan keyakinan yang penuh bahwa Al-Qur’an merupakan
kitab suci yang paling lengkap dan sempurna dan terakhir dari Allah SWT.[27]
4)
Iman Kepada Rasul
Pergertian
beriman kepada Rasul ialah keyakinan dan kepercayaan bahwa Allah SWT, setelah
memilih beberapa orang di antara manusia, memberikan wahyu kepada mereka, dan
menjadikannya sebagai utusan untuk membimbing manusia kejalan yang benar.
Para
Rasul itu di utus Allah SWT untuk mengajarkan tauhid,meluruskan akidah
membimbing cara beribadah, dan memperbaiki akhlak manusia. Dampak positi dari
beriman kepad Rasul antara lain : a) menebalkan rasa toleransi beragama kepada
pemeluk agama lain bahwa sebenarnya mereka mempunya Rasul utusan Allah SWT, b)
memberi keyakinan bahwa misi pada Rasul adalah untuk memberitakan kabar bahagia
umat manusia dunia dan akhirat, dan c) memperkuat keimanand an kecintaan kepada
Allah SWT, sebab Allah SWT, dengan penuh cinta dan kasih-Nya selalu mengurus
Rasul untuk membimbing umat manusia agar tidak sesat dan dapat mencapai
kebahagian, dunia dan akhirat.[28]
5)
Iman kepada hari akhir
Adapun yang dimaksud dengan hari akhir
ialah hari kehancuran alam semesta. Segala yang ada di dunia akan musnah dan
semua makhaluk akan mati, selanjutnya alam berganti dengan yang baru, ini
disebut dengan alam akhirat. Iman kepada hari akhir kepercayaan akan adanya hari
tersebut. Seseorang yang beriman kepada hari akhir kiamat berarti ia yakin dan
percaya sepenuhnya bahwa hari kiamat pasti terjadi.
Keimanan kepada hari kiamat akan member
pengaruh positif bagi kehidupan manusia, diantaranya : a) ia senantiasa menjaga
dan memelihara diri dari perbuatan dosa dan taat serta berbakti kepada Tuhan
kerana segala amal baik atau buruk akan ada balasanya di hari akhirat., b) ia
akan sabar dalam menghadapi segala cobaan dan penderitaan hidup yang
sesungguhnya adalah di akhirat nanti, c) ia memiliki tujuan yang jelas yang
ingin dicapai dalam setiap gerak dan tindakan yang dilakukannya, yaitu
kebajikan yang dapat membawa kepada kebahagian hidup di akhirat. [29]
6)
Iman kepada qadha dan qadar
Beriman kepada qadha dan qadar
berarti seseorang mempunyai dan meyakini bahwa Allah SWT, telah menjadikan
segala makhluk dengan qudrat dan iradat-Nya dan dengan segala
hikmahnya. Hal ini tercantum dalam firman Allah SWT, berikut ini:
Ï%©!$#
t,n=y{ 3§q|¡sù ÇËÈ
Ï%©!$#ur
u£s% 3yygsù ÇÌÈ
Artinya: Yang
menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) Dan menentukan kadar (masing-masing)
dan member petunjuk (Q.s. al-A’la: 2-3).
Dari penjelasan ayat di atas dapat
dipahami bahwa Allah SWT, yang menciptakan semua makhluk, dan menyempurnakan penciptaan-Nya
sehingga menjadi rapi, kokoh dan sekaligus unik. Hal ini merupakan bukti yang
menunjukkan kemahabijaksanaan. Pencipta-Nya dan kemampuan-Nya dalam mengatur
segala urusan dengan baik dan sempurna. Allah SWT menetapkan kadar
masing-masing ciptaan-Nya dengan segala sesuatu yang cocok baginya. Kemudian
Allah SWT member petunjuk kepada setiap makhluk agar memanfaatkan Sesutu yang
mendatangkan masalah bagi kelestariaanya dan memanfatkan semua yang menjadi
kebutuhan hidupnya.[30]
Qadha artinya
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah SWT dalam alam semesta. Misalnya, api
sifatnya membakar, dan benda tajam melukai. Sedangkan Qadhar adalah
sesuatu yang belum ditetapkan benar-benar, tetapi jika diqadhakan
barulah ia menjadi kenyataan.[31]
Iman kepada qadha dan qadar sering
pula disebut iman kepada takdir yang sama sekali bukan berarti manusia itu
lemah, bukan pula pasif dan apatis, manusia yang menyera tanpa usaha. Iman
kepada takdir, mengaruskan manusia bangkit dan berusaha keras untuk mencapai
takdir yang sesuai dengan kehendak atau yang diinginan. Di samping itu,
menyerah kepada takdir dalam arti yang pasif dan negatif, tidak sejalan dengan
Fimran Allah SWT, yang terdapat dalam surat al-Ra’d:11
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya: Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.
Ayat
di atas menjelaskan bahwa Alla SWT tidak akan merubah apa yang ada pada suatu
kaum, baik berupa nikmat dan kesehatan, sehingga mereka mengubahnya sendiri,
seperti kezhaiman mereka terhadap sebagian yang lain, dan kejahatan yang
menggerogoti tatanan masyarakat serta menghancurkan umat, seperti bibit
penyakit menghancurkan individu.[32]
Manfaat
langsung yang dapat dirasakan dalam beriman kepada qadha dan qadhar
antara lain adalah: a) mendorong lahirnya keberanian dalam menegakkan
kebenaran, dan b) menimbulkan ketenangan jiwa, pikiran tidak putus asa dalam
menghadapi setiap persoalan, dan selalu tawakal kepada Allah SWT.[33]
Kemudian
Hasbi Ash Shiddieqy, menjelaskan bahwa: Mukmin yang percaya kepada qadha dan
qadhar-Nya sangat jauh dari tabiat dengki yang mendorongnya kepad
kejahatan, karena dia beranggapan bahwa dengki manusia terhadap nikmat-nikmat
yang diperolehnya, berarti dengki kepada nikmat Allah SWT. Dia berusaha
mencapai kebahagian melalui jalan yang telah digariskan agama, beramal dengan
jiwa yang tenang dan digariskan agama, beramal dengan jiwa yang tenang dan
berani, berpegang kepada Allah SWT tetap memohon taufiq dan inayah-Nya, memuji
Alla SWT dan syukur terhadap pemberian-Nya kepadanya. Apabila mengalami
kegagalan, tidak berkeluh kesah, tidak lemah azimanya dan tidak menyera
serta tidak menaruh dendam. [34]
Jadi,
seseorang dapat dikatakan beriman apabila ia meyakini keenam rukun yang telah
dijabarkan sebelumnya. Iman kepada Allah SWT, malaikat-Nya, Kita-Nya,
Rasul-Nya, hari akhir dan qadha dan qadhar. Namun demikian
beriman itu bukan hanya sekedar meyakini tetapi juga mengamalkannya dalam
kehidupan, dan tercermin dari tingkah laku sebagai aktualisasinya.
Itulah
karakter ideal dari kepribadian muslim dalam berakidah yaitu kepribadian yang
percaya dengan sepenuh hati terhadap adanya Allah SWT, Malaikat, kitabullah
(terutama al-Quran), hari akhir dan baik buruknya takdir.
b.
Ibadah yang benar (Shahihul Ibadah)
Ibadah
yang benar merupakan salah satu perintah Rasul SAW yang penting. Dalam satu
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW menyatakan bahwa[35]
:
عَنْ أَبِي قِلَابَةَ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ
قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ
مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا
أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ
أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.(رواه بخاري).
Artinya
: Dari Abi Qilabah r.a bahwa Malik menceritakan kepada kami, katanya: ‘Kami
datang kepada nabi sedang kami
pemuda-pemuda yang hampir sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh
malam. Rasulullah SAW sangat halus perasaannya. Sebab itu,
setelah beliau mendengar bahwa kami telah ingin bertemu dengan keluarga, beiau
menanyakan kepada kami tentang keluarga
yang kami tinggalkan. lalu kami ceritakan kepada beliau, Nabi SAW berkata:
kembalilah kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka. Ajarilah dan
suruhlah mereka : ‘Disebutkan oleh beliau beberapa hal. Ada yang saya ingat dan
ada pula yang tidak. (Diantara sabda beliau): “Sholatlah sebagaimana kamu lihat
aku mengerjakan shalat. Apabila datang waktu shalat, hendaklah azan salah
seorang diantara kamu dan yang paling tua menjadi imam”. (H.R. Bukhari).
Dalam
ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan
haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur
penambahan atau pengurangan.
c.
Akhlak yang kokoh (Matinul Khuluq)
Menurut Ibnu Maskawih akhlak adalah
“suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana
berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal
akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).[36]
Akhlak yang terpuji atau akhlak yang
mulia merupakan sifat dan prilaku yang harus dimiliki olh setiap Muslim, baik
dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak
yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik didunia apalagi di
akhirat. Begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka
Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang
berbunyi:
وحَدَّثَنِي عَنْ
مَالِك أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ حُسْنَ الْأَخْلَاقِ.
(رواه امام مالك) [37]
Artinya: dan diceritakan
kepadaku dari Malik, bahwa ia telah menyampaikannya, bahwa rasul SAW bersabda:
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia“. (H.R Imam Malik).
Beliau
sendiri telah mencontohkan kepada kita bagaimana akhlaknya yang agung sehingga
diabadikan oleh Allah didalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam QS. Al-Qalam,
68:4
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Artinya:
dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS.
Al-Qalam, 68: 4).
d. Kekuatan
Jasmani (Qowiyyul Jismi)
Seorang Muslim yang baik hendaknya
mempunyai kekuatan jasmani yang biasanya tercermin dari kualitas kesehatannya
yang baik. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh
sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang
kuat.[38]
Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus
dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah
dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.[39]
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus
mendapat perhatian seorang Muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama
daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu
yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang
muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka
Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ
عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ.قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ
الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ
بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ
تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ (رواه مسلم) [40]
Artinya: Abu Bakar bin Abu
Syaibah dan Ibnu Numair menceritakan kepada kami, keduanya berkata: menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Idris dari rabi’ah bin usman, dari Muhammad Bin Yahya
Bin Habban dari A’raj Dari Abi Hurairah, ia berkata: bahwa rasul saw bersabda:
(mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh allah SWT
dari pada mukmin yang lemah, pada tiap kebaikan akan mendatangkan manfaat
kepadamu dan minta pertolonganlah kepada Allah SWT dan janganlah lemah.
Dan jika kamu ditimpa sesuatu maka jangan kamu katakan: sekiranya saya
melakukan begini, begini. Tetapi katakanlah bahwa itu adalah kekuasaan Allah.
Dan dia melakukan apa yang dia kehendaki. Jika mengatakan begini, begini, maka
itu membuka pintu perbuatan setan”. (H.R. Muslim)
e.
Intelek dalam berfikir (Mutsaqqoful Fikri)
Mutsaqqoful fikri merupakan
salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Hal ini sesuai dengan salah
satu sifat Nabi Muhammad yang fatonah (cerdas).[41]
Al Qur'an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk
berfikir, misalnya firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat 219.berikut ini:
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
Artinya: mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
"yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Di dalam Islam, tidak ada satupun
perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas
berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keIslaman dan
keilmuan yang luas. Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa
mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena
itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas
seseorang,[42]
sebagaimana firman Allah dalam surat azzumar ayat 9 juz 23 berikut ini.
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
Artinya: (apakah kamu Hai orang musyrik
yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan
sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.
f. Berjuang
Melawan hawa nafsu (Mujahadatul Linafsihi)
Mujahadatul linafsihi
merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang Muslim
karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk.
Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat
menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang
berjuang dalam melawan hawa nafsu.[43]
Hawa nafsu yang ada pada setiap diri
manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Orang yang mampu mengalahkan
hawa nafsunya niscaya akan tampil sebagai pribadi yang menyenangkan bagi siapa
saja. Hawa nafsulah yang menuntun orang untuk berbuat aniaya baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain.[44]
g. Pandai Menjaga
Waktu (Harishun Ala Waqtihi)
Harishun ala waqtihi merupakan
faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang
begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al
Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri,
wallaili dan seterusnya. Seorang muslim selain harus dapat mengatur waktu juga
harus mampu mengisi setiap waktu untuk perbuatan terpuji. Berkaitan dengan
pemanfaatan waktu ini dengan sebaik-baiknya serta tidak menunda-nuda untuk
berbuat baik dan bertaubat.[45]
h. Pandai
Mengurus Diri (Munazhzhamun fi Syuunihi)
Munazhzhaman fi syuunihi
termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur'an maupun
sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah
ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik.
Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama
dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.[46]
i.
Memiliki Kemampuan Usaha/Mandiri (Qodirun Alal
Kasbi)
Qodirun alal kasbi merupakan
ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang
amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa
dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi
ekonomi.
Tak sedikit seseorang mengorbankan
prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi
ekonomi. Karena pribadi Muslim tidaklah mesti miskin, seorang Muslim boleh saja
kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh,
zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu
perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur'an maupun hadits dan hal
itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
j.
Bermanfaat bagi Orang Lain (Nafi'un Lighoirihi)
Nafi'un lighoirihi merupakan
sebuah tuntutan kepada setiap Muslim. Ini berarti setiap Muslim itu harus
selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bias
bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Orang yang dapat
memberikan manfaat bagi orang lain baik manfaat tenaga, pikiran, maupun perasaan
tentu menjadi pribadi yang menawan. Dengan memberikan manfaat pada orang lain
terutama dengan cara tolong menolong seorang muslim telah menjalankan perintah
Allah agar kita saling bertolong menolong dalam perbuatan baik dan takwa.[47]
[1] Crow and Crow, Educational
Psychology, (New York: American
Book Compony, 1963), h. 1985. Lihat juga H. Carl, Witherington, Educational
Psychology, (New York: Ginn And Campany, 1995), h. 339
[2]Nana Syaodaih
Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosada Karya, 2003), h. 136
[3] Abdul Mujib, Fitrah
dan Kepribadian Islam Sebuah
Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 127. lihat juga
Netti Hartati dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke-1, h. 34, lihat
juga Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 37
[4] Ibid,.
[5] Ibid,.
[6] Nana Syaodih
Sukmadinata, loc.cit
[7] Ibid, h. 137
[8] Crow and Crow, loc.cit
[9] Ibid,.
[10] Isbandi Rukminto Adi,
Psikologi Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial Dasar-Dasar
Pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 207. Lihat juga Abdul
Mujib, Fitrah, op.cit, h. 80
[11]Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 249
[12] Ahmad.D.Marimba, op. cit, h. 68
[13] Aidil Heryana, Profil Pribadi Muslim, (Kaderisasi. PKS. or. id, 2005), h. 4
[14] Hanna Djumhana Bastaman,
Integrasi Psikologi dengan Islam, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), h. 122
[15] Jalaluddin
dan Usman Sa’id, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h, 92
[16] Muhammad ‘Utsman, Al-Qur’an
dan Ilmu Jiwa, Penerj. Ahmad Rofi Usmani, dengan judul asli: Al-Qur’an
Ilmu wa al-Nafs, (Bandung;
Pustaka, 1985), h. 256-257
[17] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi
Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung:
Sinar Baru, 1988), cet. ke-1, h. 116
[18] Ibid, h.139
[19] Abdul Aziz al-‘Arusi,
Menuju Islam Yang Benar, Penerj. Agil Husain al-Munawar, Judul asli: Nahwa
Al-Islam Al-Islam Al-Haq Buhursun fi Al-Qur’an Al-Karim Tudli’u Haqiqat
al-Islam, (Semarang: Toha Putra, 1994), cet. ke-1, h. 16
[20] Syahrin Harahap, Islam
Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di
Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), cet.ke-1, h.76
[21] Aidil Heryana, op. cit, h. 1
[22] Fathi Yakan, Komitmen
Muslim Kepada Harakah Islamiyah, Penerj. Yasir Miqdad, dengan judul asli, Madza
Ya’ni Intima-I Lil-Islam, (Jakarta:
Najah Press, 1994), h. 19
[23] Arifin, Mengenal
Tuhan, (Bandung: Umar Hasan
Mansor, 1961), cet. ke-3, h. 13
[24] Zaky Mubarak Latif, Akidah
Islam, (Yogyakarta: UII
Press, 2003), h. 89
[25] Yusran Asmuni, Ilmu
Tauhid, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), Cet. ke-3, h. 73
[26] Ibid, Jus V, h. 91
[27] Yusran Asmuni, op.cit,
h. 38
[28] Ibid, h. 40
[29] Ibid, h. 43
[30] Ahmad Mustafa
al-Maraghi, Tasfir
al-Maraghi, (Beirut: Dar
al-Kutub, [t.th]),
Juz
III, h.103-105
[31] Yusran Asmuni, op.cit,
h. 8
[32] Ahmad Musthafa
al-Maraghi, op. cit, h.78-79
[33] Yusran Asmani, op.cit.,h.85
[34] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Tauhid, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987), h.93
[35] Abu Abdullah Muhammad
bin ismail bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizhah al Bukhari, Shahih
Bukhari, (Beirut: Dar al- Kutub al’ilmiah, 1999), Juz I, h. 154
[37] Malik bin Anas, Kitab
al Muwaththak, dengan periwayatan Yahya bin Katsir al-laitsy, (Beirut : Dar
al-fikr, 2002), cet.ke-III, h. 552
[38] Aidil Heryana, Profil
Pribadi Muslim… ibid, h.1
[39] Saeful fachri, “Membentuk Kepribadian Islam”, di akses pada tanggal 05
Januari 2012 dalam
http://dakwahkampus.com/pemikiran/pendidikan/1444-pendidikan-islam-membentuk-kepribadian-islam.html
[40] Imam Abi al Husain
Muslim bin Hajjaj al-Qusyairy an-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut : Dar
al- Fikr, 2007), Juz III, h. 559
[42] Ibid,..
[43] Ibid,.
[44] Ibid,.
[46] Ibid,.
[47] Ibid,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar