Cari Blog Ini

Selasa, 10 Juli 2018

Kepribadian Muslim/Muslimah dalam pendidikan Islam


Kepribadian Muslim/Muslimah
1.      Pengertian Kepribadian Muslim/Muslimah
Istilah kepribadian Muslim terdiri dari dua kata yaitu kepribadian dan muslim. Kata kepribadian dalam bahasan Inggris personality, berasal dari bahasa Latin personare yang berarti to saund though (suara tembus).[1] Kepribadian bahasa Inggrisnya personality, berasal dari bahasa Yunani per dan sonare, yang berarti topeng, tetapi juga berasal dari kata personae yang berarti pemain sandiwara, yaitu pemain yang memakai topeng tersebut.[2]
Dalam Islam, istilah kepribadian (personality) lebih dikenal dengan al-syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhs yang berarti pribadi. Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar sina’iy) syakhshiyah  yang berarti kepribadian.[3]
Dalam literatur Islam, pada khazanah abad pertengahan, kata syakhshiyah sebagai padanan dari kepribadian kurang di kenal. Terdapat beberapa alasan mengapa syakhshiyah tidak dikenal: a) dalam Al-Qur’an maupun al-sunnah tidak ditemukan tern syakhshiyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhshiyah yang berarti pribadi, bukan kepribadian, b) Dalam kazanah Islam klasik, para filsuf maupun sufi lebih akrab menggunakan istila akhlak. Penurunan istilah ini karena ditopang oleh al-Qur’an dan hadis Rasul.c. Syakhshiyah hakikatnya tidak dapat mewakili nila-nilai fundamental Islam untuk mengungkapkan suatu fenomena atau perilaku batinia manusia.[4]
Namun pada literatur Islam modern kata syakhsiyah, telah banyak digunakan untuk menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Syakhsiyah al-muslim memiliki arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa kata syakhsiyah telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality. Dalam Netty Hartati dua istilah yang terkait dengan kepribadian adalah Pertama, istilah al-syakhshiyah al-iniyah atau al-syakhsiyah al-zatiyah untuk mendiskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif diri sendiri,, kedua istilah al-syakhshiyah al-maudh’iyah atau al-syakhshiyah al-khalaq untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif ornag lain, sebab kepribadian menjadi objek penggambaran. Abdul Mujib cenderung menggunakan istilah syakhshiyah.[5]
Kemudian Ross Stanger dalam Nana Syaodih Sukmadinata mengartikan kepribadian dalam dua macam. Pertama kepribadian sebagai topeng, yaitu kepribadian yang berpura-pura, yang dibuat-buat, semu atau mengandung kepalsuan, kedua, kepribadian sejati yaitu kepribadian sesungguhnya. [6]
Kepribadian semu busa berbeda dari satu saat ke saat yang lain, dari satu situasi ke situasi yang lain, dan penampilan kepribadian seperti ini pasti ada maksudnya[7]. Kepribadian sejati bersifat tetap, menunjukkan ciri-ciri yang lebih permanen, tetapi kerna kepribadian juga bersifat dinamis perbedaan-perbedaan atau perubahan pasti disesuaikan dengan situasi, namun perubahannya tidak mendasar.
Menurut May[8], “personality is that which makes one effective, or gives one influence over other. In the language of psychology it is one’s Social stimulus value”. Kepribadian adalah sesuatu yang menjadikan seseorang berlaku efektif, atau sesuatu yang dapat memberi pengaruh atas perbuatan-perbuatan selainnya. Dalam bahasa psikologi dikatakan sebagai stimulus social yang utama yang terdapat pada diri seseorang. Sedangkan Dashiell[9] mendefinisikan sebagaimana yang dikutip oleh Crow dan Crow bahwa “personality is the total picture of his organized behavior, especially as it can be characterized by his fellow men in a consistent way”. Kepribadian adalah keseluruhan gambaran tingkah laku yang terorganisir, terutama sebagaimana yang dapat dihayati oleh orang-orang sekitarnya, dalam bentuk cara hidup yang tetap.
Kemudian Allport dalam Isbandi Rukminto Adi mendefiniskan “personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustments to is environment”.[10] (Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu yang terdiri atas berbagai sistem psikofisik yang bekerja sebagai penentu tunggal dalam menyesuaikan diri pada lingkunganya).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis (selau berkembang dan berubah) dalam diri individu sebagai system psikofisik (fisik dan jiwa yang tidak terpisah dalam kesatuan yang utuh) yang bekerja sebagai penentu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sedangkan Muslim berarti orang Islam. Menurut Afif abd al-Fatah seperti yang dikutip Abdul Mujib mengatakan kata “Islam” seakar dengan kata al-salam, al-salm, dan al-silm yang berarti menyerahkan diri, kepasrahan, ketundukan dan kepatuhan; kata ‘al-silm, “al-salm” yang berarti damai dan aman; dan kata “al-salm”, al-salam dan al-salamah” yang berarti bersih dan selamat dari cacat, baik lahir maupun bathin.[11] Dengan demikian Muslim berarti orang yang menyerah, tunduk, dan patuh dalam melakukan prilaku yang baik, agar hidupnya selamat dan memperoleh kedamaian hidup di dunia dan akhirat.
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa keperibadian Muslim adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspek yakni baik tingkah laku luarnya kegiata-kegiatan jiwanya, maupun falsafah hidupnya dan kepercayaannya, menunjukan pengabdian kepada Tuhan, penyerahan diri kepada-Nya.[12]
Dalam pengertian di atas terlihat bahwa kepribadian muslim merupakan kepribadian yang dipenuhi dengan keimanan, karena kepribadian adalah sikap manusia secara totalitas, maka kepribadian muslim berarti semua sikap, tingkah laku sikap yang dihasilkan dari manifestasi kegiatan jasmaniah dan rohaniah yang bersandar pada ajaran-ajaran Islam. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Heryana yang menyatakan bahwa yang dimaksud kepribadian muslim adalah kepribadian yang saleh sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist.[13] Bastaman menyatakan bahwa kepribadian muslim adalah citra (image) seseorang yang berkaitan dengan cita (idealitas) dan fakta (aktualitas) seseorang yang didasarkan pada Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa seseorang itu beragama Islam.[14]
Kepribadian muslim dapat diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari keseluruhan tingkah laku sebagai muslim, baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriah maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriah seperti cara berkata-kata, berjalan, makan, minum, berpakaian, berhadapan dengan teman, guru, dll. Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki, tidak sombong, dll.[15]
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian Muslim adalah ciri khas seseorang (dalam hal ini umat Islam) yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist yang tercermin dalam sikap, ucapan, tindakan, dan pola pikir seseorang. Norma yang menjadi landasan bersikap seseorang dengan kepribadian Muslim adalah ajaran Islam.
Kepribadian Muslim, selain dilihat secara individu juga secara ummah. Dengan adanya perbedaan setiap individu, maka dalam upaya membentuk kepribadian Muslim tidak dapat dipungkiri adanya keberagaman dan kesamaan. Maka walaupun sebagai individu masing-masing kepribadian itu berbeda-beda, tapi dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah, perbedaan itu dipadukan. Hal ini memungkinkan karena pembentukan kepribadian diwujudkan dari dasar dan tujuan yang sama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

2.      Ciri-ciri Kepribadian Muslim
Dalam al-Quran diinformasikan bahwa manusia dikelompokkan Allah pada 3 pola berdasarkan akidah atau keyakinanya. Masing-masing pola memiliki sifat umum utama yang membedakanya dari pola yang lain. Pola-pola tersebut yaitu orang beriman (mukmin), orang kafir (kafir) dan orang hipokrit (munafik), sifat-sifat utama dari masing-masing pola yang dapat di tangkap dari isyarat al-Quran dikelompokan berdasarkan kategorisifat umum utama yaitu berkenaan dengan akidah, ibadah, hubungan sosial, hubungan kekeluargaan, moral, emosional dan sexsual. Intelektual dan kognitif, kehidupan praktis dan propesional dan fisik.[16]
Sifat-sifat orang beriman bisa diklasifikasikan dalam Sembilan bidang prilaku pokok yaitu:
a.    Sifat-sifat yang bekenaan dengan akidah, di antaranya adalah beriman kepada allah SWT, para rasulnya, kitab-Nya, malaikat, hari akhir, kebangkitan dan perhitungan, surge dan neraka, hal yang gaib dan khodar
b.   Sifat-sifat yang berkenaan dengan ibadah. Secara umum ibadah adalah melaksanakan tugas ibadah dah khilafah dengan sengaja atau niat karena allah SWT. Sedangkan Secara khusus, pengertian tidak mencakup pelaksanaan, perintah, khilafah hingga merupakan hubungan antara hamba dan penciptanya din antara sifat orang beriman yang berkenaan dengan ibadah menyembah allah SWT. Melaksanakan kewajiban seperti shalat, puasa, haji zakat, jihat dijalan Allah SWT. Dengan harta dan jiwa, dan membaca Al-Quran.
c.    Sifat-sifat yang berkenaan dengan hubungan social adalah mempergauli orang lain dengan baik, dermawan dan suka berbuat kebaikan. Suka bekerjasama, tidak memisahkan diri dari kelompok. Menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, suka memaafkan, mementingkan orang lain dan menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak bermamfaat.
d.   Sifat-sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan, diantaranya adalah berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, suami kepada istri, menjaga dan menafkahi keluarga.
e.    Sifat-sifatmoral, diantaranya adalah sabar, lapang dada, lurus adil, melaksanakan amanat, menepati janji kepada Allah SWT. Dan kepada manusia, menjauhi dosa, merendahkan diri, mempunyai kehendak yang kuat, dan mampu mengendalikan hawa nafsu.
f.    Sifat-sifat berkenaan dengan intelektual dan koknitif di antaranya adalah cinta kepada Allah SWT, takut akan azab Allah SWT, tidak putus asa akan rahmat Allah SWT, dan senang berbuat kebajikan. Menahan kemarahan, tidak suka bermusuhan dan menyakiti, tidak dengki kepada orang lain, tidak sombong, penyayang, menyesali diri dan merasa bersalah setelah melakukan dosa.
g.   Sifat-sifat yang berkenaan dengan intelektual dan koknitif. Di antaranya adalah memikirkan alam semesta dan ciptaan Allah SWT. Selalu menuntut ilmu, tidak mengikuti sesuatu yang masih berupa dugaan, teliti dalam menelitisuatu realitas, bebes dalam berfikir dan berakidah.
h.   Sifat-sifat yang berkenaan dengan kehidupan praktis dan professional, yaitu tulus dalam bekerja dan menyempurnakan pekerjaan, berusaha dengan giat dalam upaya memperoleh rezeki.
i.     Sifat-sifat fisik seperti kuat, sehat, bersih, dan suci dari najis. [17]

Dalam kepribadian Muslim tercakup dari semua sifat-sifat yang lebih di paparkan di atas, apakah dari akidah, ibadah, hubungan social, hubungan keluarga, moral maupun emosional. semua sifat ini saling berhubungan dengan yang lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh abdul aziz ahyadi bahwa ciri-ciri atau sifat orang beriman yang telah di kemukakan di atas merupakan gambaran kepribadian yang lengkap, utuh, matang dan sempurna.[18] Sebenarnya citra kepribadian seperti itulah yang dibentuk oleh agama Islam sehingga menemukan kebahagiaan dunia dan akirat.
Gambaran kepribadian tersebut masih berada dalam batas kemampuan manusia serta sesuai dengan fitrah kejadiannya sebagai makhluk yang beraspek biologi, psikologi dan rohaniah.setiap manusia yang mengembangkan kepribadian sesuai dengan fitrahnya hendaklah berusaha maksimal untuk merealisasikan citra kepribadian itu secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penulis sependapat dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abdul Aziz Ayadi iatas karena telah menggambarkan pribadi muslim yang ideal.
Kemudian Abdul Aziz al-‘Arusi, menjelaskan bahwa Iman kepada Allah SWT. Menuntut seseorang agar menghiasi diri dengan budi pekerti yang luhur, seperti jujur, membantu para pakir, memenuhi janji, berbicara yang baik, memanfaatkan, rasa sayang, dan persaudaraan. [19]
Keimanan juga akan memberi keseimbangan bagi manusia antara pembinaan kepribadian (akidah) intelektual dan kepribadian syari’ah, sehingga orang beriman menjadi manusia yang tidak sengsara karena keagamaannya dan sebaliknya tidak sombong karena keberasilan material yang diraihnya.[20] Jadi orang beriman diibaratkan sebagai manusia yang ideal. Begitulah keimana tidak hanya terdapat dalam rumusan sistem ajaran, melainkan harus dapat terealisasi dalam kenyataan. Realisasi iman dalam kehidupan itu telah dibumikan atau didaratkan Rasullulah SAW, dan para sahabat yang arif bijaksana dalam kiprah perjuangan mereka.
Heryana menyatakan setidaknya ada 10 karakteristik kepribadian muslim, yaitu (1) Aqidah yang bersih atau salimul aqidah, (2) Ibadah yang benar atau shahihul ibadah, (3) akhlak yang kokoh atau matinul khuluq, (4) kekuatan jasmani atau qowiyyul jismi, (5) intelek dalam berfikir atau mutsaqoful fikri , (6) berjuang melawan hawa nafsu atau mujahadatul linafsihi, (7) pandai menjaga waktu atau harishun ala waqtihi, (8) teratur dalam suatu urusan atau munazhshamun fi syuunihi, (9) memiliki kemampuan untuk berusaha sediri (mandiri) atau qodirun alal kasbi, dan (10) bermanfaat bagi orang lain atau nafi’un lil ghoirihi.[21]
Pembahsan berikut ini dibahas secara rinci kesepuluh ciri kepribadian Musli#m di atas.
a.       Aqidah yang lurus
Akidah seorang Muslim harus lurus dan benar, sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sumah rasululah SAW. Ia harus mengimani apa-apa yang di imani oleh salafush-shalih dan para imam yang telah di akui kebaikannya, keshalihannya, ketakwaannya, serta pemahamannya yang lurus terhadap agama Allah.[22] 
1)         Iman kepada Allah SWT
Iman kepada Allah SWT adalah urat tungganya keimanan, sumber segala macam kepercayaan dalam agama Islam.[23] Bila kepercayaan kepada Allah SWT. Ini lemah, maka akan lemahlah segala segi keagamaan manusia, karena iman kepada Allah SWT, ialah percaya sepenuhnya, tanpa keraguan sedikit pun akan adanya Allah SWT, yang Maha Esa dan Maha sempurna, baik zat, sifat, perbuatan-Nya. Kemudian mengikuti sepenuhnya bimbingan Allah SWT, dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh keikhlasan.
Kemudian Zaky Mubarak Latif, juga menjelaskan bahwa beriman kepada Alla SWT, adalah membenarkan dengan yakin akan eksistensi Allah SWT, dan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya, penciptaan alam seluruhnya, maupun dalam penerimaan ibadah segenap hamba-Nya, serta membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT, mempunyai sifat kesempurnaan dan terhindar dari sifat keraguan.[24] Keimanan seseorang kepada Allah SWT, sangat mempengaruhi kehidupannya antara lain : a) ketakwaannya akan selalu meningkat, b) timbulnya kekuatan batin, ketabahan, dan harga dirinya kerana ia percaya kepada Allah SWT, dan hanya kepada-Nya-lah meminta pertolongan tanpa percaya kepada yang lain, dan c) timbulnya rasa aman, damai, dan tentram dalam jiwa karena ia telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.[25]
Iman kepada Allah SWT, adala suatu hal yang terpenting dalam system akidah dan amal dalam Islam. Sebab keyakinan-keyakinan lainnya merupakan cabang dari pokok tersebut.
2)         Iman Kepada Malaikat
Iman kepada Malaikat mengandung arti bahwa seseorang percaya sepenuhnya bahwa Allah SWT, mempunyai jenis makhluk yang disebut malaikat. Ia merupakan makhluk yang mulai yang tidak pernah durhaka kepada Alla SWT. Dan selalu taat menjalankan tugas dan kewajibannya, ini tercantum dalam firman Alla SWT, Surat an-Naml: 50, yaitu:
tbqèù$sƒs Nåk®5u `ÏiB óOÎgÏ%öqsù tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrãtB÷sム) ÇÎÉÈ
Artinya: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).
Ayat di atas menjelaskan tentang para malaikat dan binatang-binatang melata di bumi takut jika Tuhan yang berkuasa penuh terhadap mereka menimpakan azan apabila mereka durhaka kepadanya.[26] Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah SWT. Memenuhi hak-hak nya dan menjauhi kemurkaanya.
Keimanan kepada malaikat membawa pengatuh positif bagi seseorang, antara lain ialah ia akan selalu berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan sebab malaikat selalu berada disekatnya, merekam apa yang ia katakana dan perbuat.
3)      Iman Kepada Kitab-kitab Allah SWT
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT ialah mempercayai bahwa Allah SWT, menurunkan beberapa kitab kepada rasul untuk dijadikan pengangan hidup dan pedoman hidup manusia dalam mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Pengaruh keimanan kepada kitab-kitab Allah SWT, terhadap seseorang antara lain adalah`: a) mendidik sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain, dan b) memberikan keyakinan yang penuh bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling lengkap dan sempurna dan terakhir dari Allah SWT.[27]
4)      Iman Kepada Rasul
Pergertian beriman kepada Rasul ialah keyakinan dan kepercayaan bahwa Allah SWT, setelah memilih beberapa orang di antara manusia, memberikan wahyu kepada mereka, dan menjadikannya sebagai utusan untuk membimbing manusia kejalan yang benar.
Para Rasul itu di utus Allah SWT untuk mengajarkan tauhid,meluruskan akidah membimbing cara beribadah, dan memperbaiki akhlak manusia. Dampak positi dari beriman kepad Rasul antara lain : a) menebalkan rasa toleransi beragama kepada pemeluk agama lain bahwa sebenarnya mereka mempunya Rasul utusan Allah SWT, b) memberi keyakinan bahwa misi pada Rasul adalah untuk memberitakan kabar bahagia umat manusia dunia dan akhirat, dan c) memperkuat keimanand an kecintaan kepada Allah SWT, sebab Allah SWT, dengan penuh cinta dan kasih-Nya selalu mengurus Rasul untuk membimbing umat manusia agar tidak sesat dan dapat mencapai kebahagian, dunia dan akhirat.[28]
5)      Iman kepada hari akhir
Adapun yang dimaksud dengan hari akhir ialah hari kehancuran alam semesta. Segala yang ada di dunia akan musnah dan semua makhaluk akan mati, selanjutnya alam berganti dengan yang baru, ini disebut dengan alam akhirat. Iman kepada hari akhir kepercayaan akan adanya hari tersebut. Seseorang yang beriman kepada hari akhir kiamat berarti ia yakin dan percaya sepenuhnya bahwa hari kiamat pasti terjadi.
Keimanan kepada hari kiamat akan member pengaruh positif bagi kehidupan manusia, diantaranya : a) ia senantiasa menjaga dan memelihara diri dari perbuatan dosa dan taat serta berbakti kepada Tuhan kerana segala amal baik atau buruk akan ada balasanya di hari akhirat., b) ia akan sabar dalam menghadapi segala cobaan dan penderitaan hidup yang sesungguhnya adalah di akhirat nanti, c) ia memiliki tujuan yang jelas yang ingin dicapai dalam setiap gerak dan tindakan yang dilakukannya, yaitu kebajikan yang dapat membawa kepada kebahagian hidup di akhirat. [29]
6)         Iman kepada qadha dan qadar
Beriman kepada qadha dan qadar berarti seseorang mempunyai dan meyakini bahwa Allah SWT, telah menjadikan segala makhluk dengan qudrat dan iradat-Nya dan dengan segala hikmahnya. Hal ini tercantum dalam firman Allah SWT, berikut ini:
Ï%©!$# t,n=y{ 3§q|¡sù ÇËÈ Ï%©!$#ur u£s% 3yygsù ÇÌÈ 
Artinya: Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) Dan menentukan kadar (masing-masing) dan member petunjuk (Q.s. al-A’la: 2-3).
Dari penjelasan ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT, yang menciptakan semua makhluk, dan menyempurnakan penciptaan-Nya sehingga menjadi rapi, kokoh dan sekaligus unik. Hal ini merupakan bukti yang menunjukkan kemahabijaksanaan. Pencipta-Nya dan kemampuan-Nya dalam mengatur segala urusan dengan baik dan sempurna. Allah SWT menetapkan kadar masing-masing ciptaan-Nya dengan segala sesuatu yang cocok baginya. Kemudian Allah SWT member petunjuk kepada setiap makhluk agar memanfaatkan Sesutu yang mendatangkan masalah bagi kelestariaanya dan memanfatkan semua yang menjadi kebutuhan hidupnya.[30]
Qadha artinya ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah SWT dalam alam semesta. Misalnya, api sifatnya membakar, dan benda tajam melukai. Sedangkan Qadhar adalah sesuatu yang belum ditetapkan benar-benar, tetapi jika diqadhakan barulah ia menjadi kenyataan.[31]
Iman kepada qadha dan qadar sering pula disebut iman kepada takdir yang sama sekali bukan berarti manusia itu lemah, bukan pula pasif dan apatis, manusia yang menyera tanpa usaha. Iman kepada takdir, mengaruskan manusia bangkit dan berusaha keras untuk mencapai takdir yang sesuai dengan kehendak atau yang diinginan. Di samping itu, menyerah kepada takdir dalam arti yang pasif dan negatif, tidak sejalan dengan Fimran Allah SWT, yang terdapat dalam surat al-Ra’d:11
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Alla SWT tidak akan merubah apa yang ada pada suatu kaum, baik berupa nikmat dan kesehatan, sehingga mereka mengubahnya sendiri, seperti kezhaiman mereka terhadap sebagian yang lain, dan kejahatan yang menggerogoti tatanan masyarakat serta menghancurkan umat, seperti bibit penyakit menghancurkan individu.[32]
Manfaat langsung yang dapat dirasakan dalam beriman kepada qadha dan qadhar antara lain adalah: a) mendorong lahirnya keberanian dalam menegakkan kebenaran, dan b) menimbulkan ketenangan jiwa, pikiran tidak putus asa dalam menghadapi setiap persoalan, dan selalu tawakal kepada Allah SWT.[33]
Kemudian Hasbi Ash Shiddieqy, menjelaskan bahwa: Mukmin yang percaya kepada qadha dan qadhar-Nya sangat jauh dari tabiat dengki yang mendorongnya kepad kejahatan, karena dia beranggapan bahwa dengki manusia terhadap nikmat-nikmat yang diperolehnya, berarti dengki kepada nikmat Allah SWT. Dia berusaha mencapai kebahagian melalui jalan yang telah digariskan agama, beramal dengan jiwa yang tenang dan digariskan agama, beramal dengan jiwa yang tenang dan berani, berpegang kepada Allah SWT tetap memohon taufiq dan inayah-Nya, memuji Alla SWT dan syukur terhadap pemberian-Nya kepadanya. Apabila mengalami kegagalan, tidak berkeluh kesah, tidak lemah azimanya dan tidak menyera serta tidak menaruh dendam. [34]
Jadi, seseorang dapat dikatakan beriman apabila ia meyakini keenam rukun yang telah dijabarkan sebelumnya. Iman kepada Allah SWT, malaikat-Nya, Kita-Nya, Rasul-Nya, hari akhir dan qadha dan qadhar. Namun demikian beriman itu bukan hanya sekedar meyakini tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan, dan tercermin dari tingkah laku sebagai aktualisasinya.
Itulah karakter ideal dari kepribadian muslim dalam berakidah yaitu kepribadian yang percaya dengan sepenuh hati terhadap adanya Allah SWT, Malaikat, kitabullah (terutama al-Quran), hari akhir dan baik buruknya takdir.
b.      Ibadah yang benar (Shahihul Ibadah)
Ibadah yang benar merupakan salah satu perintah Rasul SAW yang penting. Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW menyatakan bahwa[35] :
عَنْ أَبِي قِلَابَةَ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.(رواه بخاري).
Artinya : Dari Abi Qilabah r.a bahwa Malik menceritakan kepada kami, katanya: ‘Kami datang kepada nabi  sedang kami pemuda-pemuda yang hampir sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh malam. Rasulullah SAW sangat halus perasaannya. Sebab itu, setelah beliau mendengar bahwa kami telah ingin bertemu dengan keluarga, beiau menanyakan kepada kami  tentang keluarga yang kami tinggalkan. lalu kami ceritakan kepada beliau, Nabi SAW berkata: kembalilah kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka. Ajarilah dan suruhlah mereka : ‘Disebutkan oleh beliau beberapa hal. Ada yang saya ingat dan ada pula yang tidak. (Diantara sabda beliau): “Sholatlah sebagaimana kamu lihat aku mengerjakan shalat. Apabila datang waktu shalat, hendaklah azan salah seorang diantara kamu dan yang paling tua menjadi imam”. (H.R. Bukhari).

Dalam ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
c.       Akhlak yang kokoh (Matinul Khuluq)
Menurut Ibnu Maskawih akhlak adalah “suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).[36]
Akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia merupakan sifat dan prilaku yang harus dimiliki olh setiap Muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik didunia apalagi di akhirat. Begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak manusia.  Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ حُسْنَ الْأَخْلَاقِ. (رواه امام مالك) [37]
 Artinya: dan diceritakan kepadaku dari Malik, bahwa ia telah menyampaikannya, bahwa rasul SAW bersabda: aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia“. (H.R Imam Malik).

Beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita bagaimana akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah didalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam QS. Al-Qalam, 68:4
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ
Artinya: dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. Al-Qalam, 68: 4).
d.      Kekuatan Jasmani (Qowiyyul Jismi)
Seorang Muslim yang baik hendaknya mempunyai kekuatan jasmani yang biasanya tercermin dari kualitas kesehatannya yang baik. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat.[38] Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.[39]
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang Muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ.قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ (رواه مسلم) [40]
Artinya: Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair menceritakan kepada kami, keduanya berkata: menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idris dari rabi’ah bin usman, dari Muhammad Bin Yahya Bin Habban dari A’raj Dari Abi Hurairah, ia berkata: bahwa rasul saw bersabda: (mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh allah SWT dari pada mukmin yang lemah, pada tiap kebaikan akan mendatangkan manfaat kepadamu dan minta pertolonganlah kepada Allah SWT dan janganlah lemah. Dan jika kamu ditimpa sesuatu maka jangan kamu katakan: sekiranya saya melakukan begini, begini. Tetapi katakanlah bahwa itu adalah kekuasaan Allah. Dan dia melakukan apa yang dia kehendaki. Jika mengatakan begini, begini, maka itu membuka pintu perbuatan setan”. (H.R. Muslim)

e.       Intelek dalam berfikir (Mutsaqqoful Fikri)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Hal ini sesuai dengan salah satu sifat Nabi Muhammad yang fatonah (cerdas).[41] Al Qur'an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat 219.berikut ini:
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs? ÇËÊÒÈ  
Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keIslaman dan keilmuan yang luas. Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang,[42] sebagaimana firman Allah dalam surat azzumar ayat 9 juz 23 berikut ini.
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ  
Artinya: (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

f.       Berjuang Melawan hawa nafsu (Mujahadatul Linafsihi)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang Muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.[43]
Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya niscaya akan tampil sebagai pribadi yang menyenangkan bagi siapa saja. Hawa nafsulah yang menuntun orang untuk berbuat aniaya baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.[44]
g.      Pandai Menjaga Waktu (Harishun Ala Waqtihi)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya. Seorang muslim selain harus dapat mengatur waktu juga harus mampu mengisi setiap waktu untuk perbuatan terpuji. Berkaitan dengan pemanfaatan waktu ini dengan sebaik-baiknya serta tidak menunda-nuda untuk berbuat baik dan bertaubat.[45]
h.      Pandai Mengurus Diri (Munazhzhamun fi Syuunihi)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.[46]
i.        Memiliki Kemampuan Usaha/Mandiri (Qodirun Alal Kasbi)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi.
Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi Muslim tidaklah mesti miskin, seorang Muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur'an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
j.        Bermanfaat bagi Orang Lain (Nafi'un Lighoirihi)
Nafi'un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap Muslim. Ini berarti setiap Muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bias bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Orang yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain baik manfaat tenaga, pikiran, maupun perasaan tentu menjadi pribadi yang menawan. Dengan memberikan manfaat pada orang lain terutama dengan cara tolong menolong seorang muslim telah menjalankan perintah Allah agar kita saling bertolong menolong dalam perbuatan baik dan takwa.[47]


[1] Crow and Crow, Educational Psychology, (New York: American Book Compony, 1963), h. 1985. Lihat juga H. Carl, Witherington, Educational Psychology, (New York: Ginn And Campany, 1995), h. 339
[2]Nana Syaodaih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2003), h. 136
[3] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 127. lihat juga Netti Hartati dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke-1, h. 34, lihat juga Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 37
[4] Ibid,.
[5] Ibid,.
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, loc.cit
[7] Ibid, h. 137
[8] Crow and Crow, loc.cit
[9] Ibid,.
[10] Isbandi Rukminto Adi, Psikologi Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial Dasar-Dasar Pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 207. Lihat juga Abdul Mujib, Fitrah, op.cit, h. 80
[11]Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 249
[12]  Ahmad.D.Marimba, op. cit, h. 68
[13]  Aidil Heryana, Profil Pribadi Muslim, (Kaderisasi. PKS. or. id, 2005), h. 4
[14] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 122
[15] Jalaluddin dan Usman Sa’id, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h, 92
[16] Muhammad ‘Utsman, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Penerj. Ahmad Rofi Usmani, dengan judul asli: Al-Qur’an Ilmu wa al-Nafs, (Bandung; Pustaka, 1985), h. 256-257
[17] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru, 1988), cet. ke-1, h. 116
[18] Ibid, h.139
[19] Abdul Aziz al-‘Arusi, Menuju Islam Yang Benar, Penerj. Agil Husain al-Munawar, Judul asli: Nahwa Al-Islam Al-Islam Al-Haq Buhursun fi Al-Qur’an Al-Karim Tudli’u Haqiqat al-Islam, (Semarang: Toha Putra, 1994), cet. ke-1, h. 16  
[20] Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), cet.ke-1, h.76
[21]  Aidil Heryana, op. cit, h. 1
[22] Fathi Yakan, Komitmen Muslim Kepada Harakah Islamiyah, Penerj. Yasir Miqdad, dengan judul asli, Madza Ya’ni Intima-I Lil-Islam, (Jakarta: Najah Press, 1994), h. 19
[23] Arifin, Mengenal Tuhan, (Bandung: Umar Hasan Mansor, 1961), cet. ke-3, h. 13
[24] Zaky Mubarak Latif, Akidah Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 89
[25] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. ke-3, h. 73
[26] Ibid, Jus V, h. 91
[27] Yusran Asmuni, op.cit, h. 38
[28] Ibid, h. 40
[29] Ibid, h. 43
[30] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tasfir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Kutub, [t.th]), Juz III, h.103-105
[31] Yusran Asmuni, op.cit, h. 8
[32] Ahmad Musthafa al-Maraghi, op. cit, h.78-79
[33] Yusran Asmani, op.cit.,h.85
[34] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987), h.93
[35] Abu Abdullah Muhammad bin ismail bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizhah al Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al- Kutub al’ilmiah, 1999), Juz I, h. 154
[36] Ibnu Miskawaih, lop. cit.
[37] Malik bin Anas, Kitab al Muwaththak, dengan periwayatan Yahya bin Katsir al-laitsy, (Beirut : Dar al-fikr, 2002), cet.ke-III, h. 552
[38] Aidil Heryana, Profil Pribadi Muslim… ibid, h.1
[39] Saeful fachri, “Membentuk Kepribadian Islam”, di akses pada tanggal 05 Januari 2012 dalam http://dakwahkampus.com/pemikiran/pendidikan/1444-pendidikan-islam-membentuk-kepribadian-islam.html
[40] Imam Abi al Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairy an-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut : Dar al- Fikr, 2007), Juz III, h. 559
[41] Saeful fachri, “Membentuk Kepribadian Islam, op. cit, h.3
[42] Ibid,..
[43] Ibid,.
[44] Ibid,.
[45] Ibid,.
[46] Ibid,.  
[47] Ibid,.  

Tidak ada komentar: