1.
Proses Pembentukan Kepribadian Muslimah
Upaya
pembentukan kepribadian Muslim dibedakan menjadi dua, yaitu:
a)
Pembentukan
Kepribadian Muslim sebagai Individu
Secara
individu, kepribadian Muslim mencerminkan ciri khas yang berbeda. Ciri khas
tersebut diperoleh berdasarkan potensi bawaan. Dengan demikian, secara
potensial (pembawaan) akan dijumpai adanya perbedaan kepribadian antara seorang
muslim dengan muslim lainnya.
Kepribadian
secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya
pendidikan. Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah
kepribadian yang memiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan akhlak tersebut,
erat kaitannya dengan tingkat keimanan.
Kepribadian
(syakhsiyyah), dalam pengertian yang benar, berkaitan erat dengan sikap manusia
dalam memikirkan sesuatu serta berbuat sesuatu sebagai dorongan didalam
memenuhi kebutuhan jasmaniah dan berbagai naluriahnya yang disandarkan pada mafahim
tertentu. Artinya kepribadian muslimah terbentuk dari pola pikir Islami (‘aqliyyah
Islamiyyah) dan pola jiwa Islami (nafsiyyah Islamiyyah) nya yang ini
terbentuk dari kesadaran akan mafahim Islam.[1]
1) Pola Pikir Islami
Pola pikir adalah metode seseorang
dalam memehami sesuatu atau memikirkan sesuatu didasarkan pada asas tertentu.
Atau metode dimana manusia mengikat realita dengan informasi-informasi, yaitu
dengan menstandarkan informasi- informasi itu pada satu akidah (pandangan
hidup) atau beberapa akidah-akidah tertentu.[2]
Dengan itu manusia akan menilai fakta yang ada, sekaligus memberikan pendapat
dan memberikan keputusan mengenai fakta tersebut dengan disandarkan pada satu
atau beberapa prinsip hidup tertentu, sehingga dengan itu ia bisa menerima atau
menolak. Dalam keadaan demikian, maka ia telah memiliki pola pikir tertentu.
Adapun komponen dalam proses
berfikir yang saling terkait dan tidak bisa dipisah ataupun kurang, yaitu otak,
panca indera, realita/fakta dan ma'lumat yang terkait dengan realitanya, tanpa ma'lumat
manusia hanya bisa melakukan penginderaan, bukan berfikir. Apabila ma'lumat
salah maka proses berfikirnya pun juga salah. Contohnya, jika seseorang
diterangkan bahwa bohong itu boleh maka selamanya orang tersebut akan kerpikir
seperti itu. Baru bisa berubah kalau ada ma'lumat yang meluruskan.
Jika pemikirannya adalah kaidah
Islam, berarti ia menyandarkan setiap berfikirnya dalam menilai fakta-fakta
yang ada sekaligus dalam memberikan pendapat dan keputusannya dari sudut
pandang akidah Islam. Artinya ia menggunakan berbagai pemahaman keislamannya
dan merespon berbagai fakta apapun, pola pikiran Islaminya akan memiliki
pengaruh dan sebaliknya tidak mudah terpengaruh. Tetapi ini terpengaruh pada
kuat- lemahnya pola pikir yang dimilikinya.
Dalam hal ini untuk membentuk,
mengembangkan serta memperkuat pola pikir dapat ditempuh beberapa cara berikut
ini:
1) Mewujudkan
atau menanamkan aqidah Islamiyah kepada diri seseorang agar dijadikan sebagai
aqidah dan pandangan hidup.
2) Seorang
Muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyah kemudian menjadikan aqidah itu
sebagai landasan (qaidah) dalam proses berfikir serta dalam mengatur dan
mengendalikan tingkah lakunya.
3) Menambah
pengetahuan keIslaman (tsaqafah Islamiyah), yaitu segala pengetahuan
yang bertitik tolak pembahasannya adalah aqidah Islamiyah. Dengan aqliyahnya
yang meningkat seseorang akan senantiasa berfikir secara Islami lebih kuat dan
kemampuannya dalam menilai pemikiran-pemikiran yang berkembang juga meningkat.
4) Membiasakan
menambah berbagai pengetahuan dan informasi melalui kebiasaan membaca ataupun
cara- cara lain dalam proses pembelajaran melalui transformasi pemikiran atau
mengaitkan berbagai pemikiran yang ada dengan fakta-faktanya.
5) Membiasakan
mengaitkan fakta dengan berbagai informasi yang diterimadan selalu
membandingkan keduanya dengan dilandasi akidah yang menjadi sandaran.
6) Membiasakan
berdialog dan berdiskusi dengan pihak lain mengenai fakta yang ada dengan
menyandarkan pada akidahnya.
7) Membiasakan
menyampaikan gagasan secara lisan dan berdialog, dengan ini mau tidak mau akan
selalu mengaitkan informasi dengan fakta yang terjadi sekaligus menyandarkan
dengan akidah yang diyakininya, sebagai proses pembelajaran dengan cara
penyampaian berbagai pemikiran mengenai fakta yang ada.
8) Membiasakan
menulis karena dengan terbiasa menulis akan terdorong untuk selalu membaca,
meneliti, dan berfikir agar dapat memperoleh berbagai informasi yang kemudian
dikaitkan dengan fakta- fakta yang terjadi yag sekaligus disandarkan pada
akidah yang diyakininya.[3]
Inilah suplemen yang dibutuhkan
untuk membentuk, mengembangkan serta memperkuat pola pikr Islami. Sebagai
seorang Muslim yang mengemban dakwah seharusnya memperkuat pola pikirnya
sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai problem yang menerpa masyarakat
secara menyeluruh dan memuaskan secara Islami sehingga masyarakat mau secara
bersama- sama menerapka solusi yang diberikannya.
Disamping itu, ia harus memaksakan
diri untuk selalu melakukan penelusuran, pengkajian, dan penelitian yang lebih
banyak lagi terhadap berbagai sumber dan berbagai rujukan. Adapun kecepatan
berfikir (berfikir cepat) yaitu kecepatan dalam melakukan penginderaan dan
proses pengaitan.dan ini bisa dimiliki seseorang dengan cara membiasakan
berfikir dan pembiasaan berfikir cepat.
2) Pola jiwa
Pola jiwa (Nafsiyyah) terkait
dengan berbagai cara seseorang memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya (al
hajah al udhawiyyah wa al ghara'iz) yang tampak ketika seseorang berusaha
mengaitkan dua dorongan tersebut dengan pemahaman yang ada pada dirinya, Proses
pengaitan dorongan dengan pemahaman ini akan melahirkan kecenderungan (muyul)
atau apa yang disebut dengan pola jiwa ini.[4]
Energi dinamis yang ada pada diri
manusia akan selalu mendorong manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan jasmani
dan naluriahnya tersebut. Gejala ini pada dasarnya juga ada pada hewan, hanya
saja hewan tentu tidak mengartikulasi dorongannya dengan pemahaman, karena
hewan tidak memiliki akal. Namun demikian, apa yang terjadi pada hewan juga
bisa terjadi pada manusia, yakni tatkala seseorang ketika terdorong kebutuhan
jasmani dan naluriahnya tanpa dipikir terlebih dulu. Oleh karena itu, dalam hal
ini, prilaku manusia boleh jadi merupakan manifestasi dari pemahaman tertentu
yang dimilikinya dan boleh jadi pula sekedar perwujudan dorongan nafsu hewanlah
yang bersemayan pada dirinya. Sebagaimana kita pahami, ada tiga jenis naluri (insting)
yang ada pada diri manusia, yaitu: (1) Naluri untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup/eksistensi diri (ghorizah al-baqa'); (2) naluri
untuk melestarikan spesies (keturunan)-nya (gharizah an-naw); (3) naluri
beragama/religuisitas (gharizah at-tadayyun), yang disini ketiganya
apabila tidak dipenuhi atau dipuaskan hanya menimbulkan kegelisahan yang tidak
membawa pada taraf kematian seseorang.[5]
Sementara itu, kebutuhan jasmaniah
manusia ditandai dengan adanya dorongan dari dalam berupa rasa lapar, haus,
perlu udara, butuh istirahat, dll; yang apabila ini tidak terpenuhi akan
menyebabkan pada taraf kematian pada diri seseorang. Sebetulnya, berbagai
gejala dari naluri manusia ini telah banyak disebut didalam al-Qur'an mulia.
Kita menyaksikan bagaimana al-Qur'an membri jalan keluar untuk memenuhi senua
kebutuhan itu, yaitu dengan menjelaskan hukum-hukumnya dan dengan menguatkan
keterikatan manusia dengan Allah SWT melalui berbagai janji dan ancaman-Nya,
melalui kabar gembira dan peringatang dari-Nya.
Adapun pembentukan dan penguatan
pola jiwa yang ada pada diri seorang Muslim adalah dengan jalan, yaitu:
1) Dengan cara taqarrub ilallah (mendekatkan
diri kepada Allah SWT) dengan memperbanyak melaksanakan ketaatan baik dalam
ibadah seperti doa di setiap waktu dan tempat; berwudhu dan menjaga agar selalu
memiliki wudhu; melakukan sholat tahajjud; dhuha, dan ibadah lainnya, serta
ketaatan lainnya seperti berdakwah; menuntut ilmu, serta menjauhi perbuatan
yang haram serta memperbanyak mengamalkan sunnah.
2) Selalu berusaha menghubungkan kebutuhan
jasmaniah maupun nalurinya dengan aturan-aturan Allah SWT.[6]
Berdasarkan
uraian di atas, secara garis besar metode peningkatan syakhshiyah Islamiyah dan
pengembangannya ditempuh dalam tiga langkah. Pertama, Mewujudkan aqidah
Islamiyah pada diri seseorang dengan cara yang sesuai dengan karakter aqidah
Islamiyah sebagai aqidah aqliyah. Kedua, Membangun cara berfikir dan
mengatur kecenderungan diatas pondasi aqidah Islamiyah yang telah
tertanam pada dirinya. Ketiga, Mengembangkan kepribadian Islam dengan
cara mendorongnya untuk sungguh- sungguh dalam mengisi pemikiran dengan
tsaqafah Islamiyah dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan dalam
rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT.[7]
Selanjutnya
Abdullah Al-Darraz membagi kegiatan pembentukan kepribadian Muslim sebagai
ummah menjadi empat tahap, meliputi:
1) Pembentukan Nilai-nilai Islam dalam
Keluarga
Bentuk penerapannya adalah dengan
melaksanakan pendidikan akhlak di lingkungan rumah tangga. Langkah-langkah yang
ditempuh adalah: (1) Memberi bimbingan untuk berbuat baik kepada kedua orang
tua, (2) Memelihara anak dengan kasih sayang, (3) Memberi tuntunan akhlak
kepada anggota keluarga, (4) Membiasakan untuk menghargai peraturan-peraturan
dalam rumah tangga seperti tata cara hubungan antar sesama anggota keluarga,
dan (5) Membiasakan untuk memenuhi hak dan kewajiban antar sesama kerabat.[8]
2) Pembentukan Nilai-nilai Islam dalam
Hubungan Sosial
Kegiatan pembentukan nilai-nilai
Islam dalam hubungan sosial memuat penerapan nilai-nilai akhlak dalam pergaulan
sosial. Langkah-langkah pelaksanaannya yaitu: (1) Melatih diri untuk tidak
melakukan perbuatan keji dan tercela, (2) Mempererat hubungan kerjasama, dengan
cara menghindarkan diri dari perbuatan yang dapat mengarah kepada rusaknya
hubungan, (3) Menggalakkan perbuatan-perbuatan terpuji dan memberi manfaat
dalam kehidupan bermasyarakat, (4) Membina hubungan yang baik menurut tata
tertib yang berlak dalam masyarakat.[9]
3) Membina Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Bernegara
Membina nilai-nilai Islam dalam
kehidupan bernegara ditujukan untuk membentuk hubungan timbal balik antara
rakyat dengan kepala Negara. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi: (1)
Kepala Negara berkewajiban untuk bermusyawarah dengan rakyatnya, (2) Kepala
Negara diharuskan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran serta tenggung
jawab terhadap rakyatnya, (3) Dalam penerapan undang-undang Kepala Negara,
tidak membedabedakan latar belakang status sosial (4) Dalam kedudukan sebagai
rakyat, kaum muslimin diharuskan untuk menjalankan kewajiban dalam bentuk
aktivitas yang mengandung nilai-nilai ajaran Islam, seperti: (a) Mentaati peraturan
dan taat kepada Kepala Negara yang melaksanakan perintah Allah (b) Menyiapkan
diri untuk membela Negara, (c) Menjauhkan diri dari segala tindakan yang
merugikan Negara.[10]
Dari uraian diatas, menunjukkan
bahwa pembentukan kepribadian Muslim sebagai ummah dimulai dari rumah tangga.
Bimbingan yang diberikan mengacu kepada prinsip bimbingan yang suksesif
(meningkat), mulai dari pembentukan kepribadian sebagai individu, keluarga,
masyarakat, Negara dan ummah. Namun, pembentukan dasar kepribadian itu sendiri bertumpu
pada pembentukan kepribadian muslim sebagai individu. Pembentukan kepribadian Muslim sebagai ummah
diarahkan kepada nilai-nilai ukhuwah Islamiyah yang didasarkan pada prinsip
seiman dan sekeyakinan.
4) Membina Nilai-nilai Islam dalam hubungan
dengan Tuhan
Sebagai individu maupun ummah, kaum
muslimin diharuskan untuk senantiasa menjaga hubungan yang baik dengan Allah
SWT. Nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam membina hubungan dengan Tuhan
mencakup: (1) Senantiasa beriman kepada Allah, (2) Bertawakkal kepada Allah,
(3) Menyatakan syukur atas segala nikmat Allah dan tak berputus asadalam
mengharap rahmat-Nya, (4) Berdo’a hanya kepada Allah, mensucikan diri,
mengagungkan-Nya serta senantiasa mengingat-Nya, (5) Menggantungkan niat atas
segala perbuatan kepada-Nya.[11]
Realisasi dari pembinaan hubungan yang baik
kepada Allah ini adalah cinta kepada Allah. Puncaknya adalah menempatkan rasa
cinta kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya diatas rasa cinta kepada yang lain.
Dengan menerapkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya diatas segalanya,
diharapkan kepribadian muslim sebagai individu maupun sebagai ummah akan
cenderung lebih mendahulukan kepentingan melaksanakan perintah khaliq-Nya dari
kepentingan lainnya.
[1]
Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam
Politik Dan Spiritual, (Bogor: Al-Azhar Press, 2004), h. 70-80
[2]
Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar Pemikiran Islam, (Bogor: Pustaka
Thoriqul Izzah, 2002), h. 76
[3] Moh.
Magfur Wahid, Moh. Romadhon, Kerangka Memahami Al-Islam, (Malang: Al
Izzah:1999), h. 213-2215
[4] Muhammad Husain
Abdullah, op. cit. h. 79
[5] Zahrudin dan
Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi
Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 93-98
[6] Hahid, Abdurrahman, op. cit. h. 83
[7] M.
Ismail Yusanto, M Jati Sigit Purwanto, Membangun Kepribadian Islam, (Jakarta: Khoirul Bayan, 2002), h.
33-34
[8] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2002), h. 130-145
[9] Ibid..
[10] Ibid.,.
[11] Ibid,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar