A. Pendidikan
Akhlak Remaja
1. Pengertian
Pendidikan Akhlak Remaja
Menurut Zakiah Daradjat, pengajaran akhlak
adalah proses kegiatan belajar mengajar dalam mencapai tujuan supaya yang
diajar berakhlak baik.[1]
Artinya, orang atau anak yang diajar itu memiliki bentuk batin yang baik
menurut ukuran nilai ajaran Islam dan bentuk batin ini hendaknya kelihatan dalam tindak tanduknya sehari-hari. Pengajaran yang dimaksud dilakukan secara
berkesinambungan.
Kehidupan yang akan datang harus dimulai dari sekarang
dan hal itu hanyalah mungkin dicapai dengan ilmu. Sehingga Islam menganjurkan
dan mendorong mencari ilmu bahkan dikatakan bahwa semua hasil ilmu
pengetahuan modern telah ada dalam
al-Qur’an untuk membekali ilmu bagi umat, yang efektif adalah melalui
pendidikan, baik formal maupun non formal serta informal. Ini senada dengan
pendapat Khursyid Ahmad dan
Fazlurrohman seperti yang dikutip oleh Mansur Isna bahwa pembaharuan dalam
bentuk apapun harus melalui pendidikan. Kita tidak bisa mencapai suatu
cita-cita nasional kecuali dengan pendidikan.[2] Pendidikan merupakan hal yang pokok
dalam menggapai cita-cita, termasuk pendidikan akhlak.
Berdasarkan
pendapat Khursyid Ahmad
dan Fazlurrohman
jelaslah bahwa pendidikan itu sangat penting dalam segala hal. Dengan adanya
pendidikan, maka akan tercipta sesuatu yang diinginkan. Untuk lebih jelasnya,
maka penulis akan memaparkan pengenai pengertian pendidikan menurut para ahli:
a.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah,
pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas
manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam
pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam setiap
jenis dan jenjang pendidikan.[3]
b.
Menurut Arifin, pendidikan
adalah usaha membentuk pribadi manusia
harus melalui proses yang panjang, dengan hasil yang tidak dapat diketahui
dengan segera.[4]
c.
Menurut Ramayulis dan Samsul
Nizar, pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan
sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.[5]
d.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[6]
e.
Menurut Abuddin Nata, Pendidikan
adalah sebuah program yang mengandung komponen visi, misi, tujuan, kurikulum,
proses belajar mengajar, guru, murid, sarana dan prasarana, biaya, manajemen
pengelolaan, akademis atmosfer, kelembagaan, lingkungan, kerjasama, sistem
informasi dan evaluasi.[7]
f.
Menurut S. Nasution, pendidikan
adalah proses belajar dan mengajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang
diharapkan oleh masyarakat.[8]
Pengertian pendidikan menurut para ahli di atas memang
berbeda. Namun pada hakikatnya sama. Pendidikan yang dimaksud adalah upaya untuk
mendewasakan anak dengan memberikan ilmu pengetahuan yang didalamnya terdapat
interaksi antara guru dan siswa.
Selanjutnya
Akhlak secara etimologi berasal dari kata khalaqa yang berarti
mencipta, membuat atau menjadikan. Akhlak adalah kata yang berbentuk mufrad,
jamaknya adalah khuluqun yang berrati perangai, tabiat, adat atau khalqun yang
berarti kejadian, buatan, ciptaan.[9] Akhlak
menurut bahasa (etimologi) dapat penulis kemukakan sebagai berikut:
a.
Menurut Drs. H. Hamzah Ya’qub, perkataan akhlak
berasal dari bahasa arab jama’ dari “khuluqun”
yang menurut loghad diartikan ; budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. [10]
b.
Menurut Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc,M.A, perkataan
akhlak berasal dari bahasa arab bentuk jama’ dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau
tabiat.[11]
Dari uraian di atas dapatlah penulis mengambil
kesimpulan bahwa akhlak menurut etomologi berarti kebiasaan, budi pekerti,
perangai, tabiat dan sebagainya, ataupun gambaran bathin manusia yang
melahirkan tingkah laku dalam hidup yang selalu dimiliki oleh setiap pribadi
manusia.
Selain pengertian akhlak menurut etimologi, juga ada
pengertian akhlak menurut istilah (terminologi). Dalam mengemukakan pengertian
akhlak secara terminologi penulis bertitik tolak dari pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli, agar dapat dijadikan bahan perbandingan dalam
menetapkan pengertian yang akan penulis
gunakan dalam pembahasan selanjutnya.
a.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin dalam
bukunya “Al – Akhlak”, akhlak adalah salah satu ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia
kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam
perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[12]
b.
Menurut Iman Al- Ghazali, akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan. Perbuatan dengan gampang dengan
mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. [13]
c.
Menurut Ibrahim Anis, akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahir macam – macam perbuatan, baik dan
buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan perkembangan. [14]
d.
Menurut Abdul Karim Zaidin, akhlak adalah nilai –
nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya
seseorang dapat menilai perbuatannya baik dan buruk, untuk kemudian memilih
melakukan atau meninggalkanya. [15]
Al- khuluq
disebut sebagai kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa karena
seandainya ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang
sekali untuk suatu hajad dan secara tiba – tiba, maka bukanlah orang yang
demikian yang disebut orang dermawan sebagai pantulan dari kepeduliannya. Maka
suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah
sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran sebab seandainya seseorang
yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya atau memaksakan hatinya
berdiam berdiam diwaktu timbulnya sesuatu yang memnyebabkan kemarahan dan hal
itu diusahakan dengan sungguh–sungguh dan pikir–pikir terlebih dahulu, maka
bukanlah orang yang semacam ini yang disebut dermawan.
Akhlak secara terminologis yang dikemukakan oleh Ibnu
Mas Kawaih seperti yang dikutip oleh Muhammad Alim, akhlak adalah keadaan jiwa
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.[16] Akhlak
adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tanpa terlebih dahulu melalui
pemikiran dan pertimbangan. Imam al-Ghazali seperti yang dikutip oleh Zakiah
Daradjat mengatakan bahwa akhlak adalah bentuk batin yang tertanam dalam jiwa
seseorang yang mendorong ia berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu
pemikiran dan bukan berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu pemikiran dan
bukan pula karena suatu pertimbangan.[17]
Dengan demikian, dapat
dikemukakan bahwa akhlak adalah sikap, tingkah laku dan bentuk batin seseorang.
Bentuk batin yang dimaksud mendorong seseorang untuk bersikap dan bertingkah
laku. Dalam kajian ini penulis fokuskan pada sikap dan tingkah laku remaja.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, sehingga banyak berbagai macam perubahan dan
minat yang diinginkan remaja. Hal itu adalah wajar karena sebagai sarana untuk
menuju kedewasaan.
Menurut Zakiah Daradjat, remaja adalah
orang atau generasi muda yang berusia
antara 12 sampai 21 tahun.[18]
Sedangkan menurut Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin, usia remaja kurang lebih
antara 13-19 tahun.[19] Dalam
pembagian tahap perkembangan manusia,
maka masa remaja menduduki tahap progressif. Dalam pembagian yang agak terurai,
masa remaja mencakup masa juvenilitas (adolescantium), pubertas dan
nubilitas.[20] Lebih lanjut menurut Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin menjelaskan
bahwa:
“Secara biologis, remaja ditandai dengan mulai
berfungsinya kematangan kelenjer kelamin (buah zakar, kelipir) untuk anak
laki-lakidan ovarium atau indung
telur untuk anak gadis. Secara fisik tanda-tanda yang dapat diamati adalah
tumbuhnya badan yang semakin besar, tumbuhnya rambut pada alat kelamin, ketiak,
kumis, cambang dan perubahan suara. Ciri yang mencolok pada anak gadis adalah
melebarnya dada dan tumbuhnya payudara, juga melebarnya lapisan lemak sekitar pinggul, paha dan perut. Secara
psikologis anak remaja mengalami satu
bentuk krisis, berupa hilangnya keseimbangan jasmani dan rohani.
Kadangkala fungsi harmoni motoriknya
juga terganggu. Sehingga dengan kejadian tersebut anak remaja kadang
berperilaku canggung, tidak sopan dan kasar tingkah lakunya”. [21]
Adapun usia remaja dalam konteks paedagogis (pendidikan)
adalah batasan dimana anak remaja dapat menerima pengetahuan secara obyektif,
sosiolisasi diri dan lain sebagainya.[22]
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan pada masa remaja inilah remaja dapat
digali secara optimal potensinya, namum masa ini juga merupakan masa yang
rawan, untuk itu pendidik haruslah berhati-hati dalam mengarahkan dan membina
remaja.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan seperti yang dikutip
oleh Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin, apabila seorang anak laki-laki telah
mencapai masa pubertas, yaitu antara 12-15 tahun dan dia telah mengeluarkan
sperma, maka seorang pendidik harus
menjelaskan terus terang apa itu sperma
(mani). Dan dia harus diberi tahu bahwa ia adalah mukhallaf (dibebani), ini dia
telah memikul tanggung jawab dan dibebani apa yang menjadi beban orang dewasa (dalam hal syariah agama).
Dan apabila seorang gadis apabila mencapai usia 9 tahun ke atas dan dia telah
mimpi bersetubuh atau setelah tidur ia
melihar berwarna kuning pada pakaian
yang digunakan untuk tidur, ini berarti dia sudah baligh (mukhallaf), maka dia
harus didik sebagaimana anak laki-laki, sebagaimana telah dijelaskan di atas. [23]
Sikap pubertas yang paling menonjol antara lain adalah
sikap tidak tenang dan tidak menentu. Menurut pendapat Elizabeth B. Hurlock
seperti yang dikutip oleh Sutrisna sumadi dan Rafi’udin yang mengatakan bahwa
masa remaja ada istilah negative phase
(tahap negatif) yang salah satu gejalanya adalah pertentangan sosial dan
penentangan terhadap kewibawaan orang dewasa.[24]
Menurut Sutrisna sumadi dan Rafi’udin mengindikasikan
batasan remaja dari kacamata pendidikan
adalah mulai usia 10 tahun, karena pada usia tersebut diisyaratkan ada
usia menentang orangtua untuk tidak mengerjakan shalat, dan antara perintah
untuk memisahkan tempat tidur antara laki-laki dan perempuan.[25]
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya,
maka agama pada para remaja ini menyangkut adanya perkembangan itu. Maksudnya
penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak
pada para remaja banyak berkaitan dengan perkembangan itu.
1)
Aspek Perkembangan
Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa
faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan remaja itu antara lain:
a)
Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja
dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajaran agama merekapun sudah
tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan
lainnya. Pikiran dan mental remaja makin berkembang dan makin kritis. Ia
menerima agama bukan sekedar ikut-ikutan lagi.
b)
Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan sosial, ethis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati
perikehidupan agamis akan cenderung
mendorong dirinya untuk lebih dekat
kearah hidup agamis. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat
pendidikan dan siraman ajaran agama akan
lebih mudah didominasi dorongan seksuil. Masa remaja merupakan masa kematangan
seksuil. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih
mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.
c)
Pertimbangan
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh
pertimbangan sosial. Dalam kehidupan
keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material, remaja
sangat bingung mennetukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih
dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja lebih cenderung jiwanya untuk
bersikap materialis.
d)
Perkembangan moral
Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dan rasa berdosa serta usaha untuk mencari
proteksi. Pada masa remaja ada yang taat pada agama (self directive),
mengikuti situasi lingkungan tanpa
melakukan kritik (adaptive), merasakan adanya keraguan terhadap ajaran
moral dan agama (submissive), belum meyakini akan kebenaran ajaran agama
dan moral (unadjusted), dan menolak dasar dan hukum keagamaan dan moral
masyarakat (deviant). [26]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keyakinan pada remaja berbeda-beda
tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2)
Konflik dan Keraguan
Menurut Starbuck berdasarkan penelitiannya menyatakan
bahwa kebanyakan pada para remaja itu terdapat konflik dan keraguan. Adapun
kesalahan-kesalahan pada remaja (deliguency)
terdiri atas bentuk :
a)
Habit
Disturbance atau gangguan kebiasaan, kekeliruan, kebiasaan
yang tidak merugikan orang lain, tetapi tampak sebagai sesuatu yang tidak
sepantasnya dilakukan oleh pemuda. Misalnya mengisap-isap jari, menggigit kuku,
buang air di tempat tidur, tic
(gerakan-gerakan pada kepala atau muka).
b)
Contruc
disorder atau gangguan kelakuan. Perbuatan ini di
samping dapat merugikan diri sendiri, juga dapat merugikan masyarakat. Misalnya
membolos, membohong, mencuri, menipu, merusak, berkelahi, melanggar
kesesusilaan dan sebagainya.[27]
Sedangkan penyebab yang memungkinkan remaja
berperilaku salah (deliquency) adalah :
a)
Dari keadaan badan, keadaan badan ini terbagi
menjadi dua yaitu keadaan badan yang diturunkan oleh orangtuanya sejak
pertemuan antara sel telur ibu dan sel
sperma ayah. Penyakit-penyakit psikosomatis yang memungkinkan timbulnya
gangguan-gangguan (misalnya alergi, asma dan sebagainya) yang diterima oleh
anak sebagai penyakit keturunan. Yang kedua yang diterima selama dalam
perkembangan, misalnya penyakit-oenyakit yang mengganggu otak secara langsung
atau tidak langsung, misalnya peradangan otak, keracunan, kelenjar endokstrin,
gangguan pembuluh darah otak, tumor otak, gizi makanan yang terlalu buruk dan
sebagainya dapat juga menimbulkan gangguan terebut meskipun kecil.
b)
Dari keadaan jiwa, yang disebabkan oleh faktor
keturunan orangtuanya ataukah yang terbentuk karena pengaruh selama dalam
perkembangan dan kegagalan atau kekuarangan yang dapat menimbulkan rasa rendah
diri atau iri hati, ketidakmampuan dalam menghadapi kenyataan, perasaan yang
tertekan yang terus menerus, konflik-konflik yang timbul tidak ada harmoni
antara dorongan-dorongan instink dan norma sosial dan sebagainya.
c)
Dari keadaan lingkungan terutama lingkungan
sosial (keluarga, sekolah, masayarakat ikut pula mempengaruhi pertumbuhan si
anak, sehingga memungkinkan juga memberikan faktor gangguan.[28]
Dengan demikian, hendaklah orang tua sebagai pendidik
mampu memelihara dan menjaga remaja serta membina dan mengarahkan dia sehingga
tercapai tujuan pendidikan Islam yakni terbentuknya manusia yang insan khamil
atua berkepribadian muslim.
2. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pendidikan Akhlak Remaja
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak
sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan prilakunya, baik sebagai
manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial. Dampak
negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia terhadap kemajuan yang
di alaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya
yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materi, sehingga manusia
terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spritual yang
sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia.[29] Untuk menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya ada
tiga aliran yang memberikan pendapat di bawah ini:
a.
Menurut aliran nativisme
bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah
faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan , bakat,
akal, dll. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada
yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
b.
Menurut aliran empirisme
bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah
faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan
yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan terhadap anak itu
baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak begitu
percaya kepada peranan yang di lakuakan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.[30]
c.
Menurut aliran konvergensi
itu tampak sesuai dengan ajaran Islam hal ini dapat dipahami dalam surat an-Nahl ayat:78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ
بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالأبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (الن حل : ۷۸)
Artinya: Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(Q.S.
An Nahl: 78)
Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa manusia
memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati
sanubari. Potensi tersebut harus
disukuri dengan cara mengasihinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini
sesuai pula dengan yang dilakukan Luqmanul Hakim pada anaknya sebagai mana yang
terlihat dalam surat
Luqman ayat:13-14
øÎ)ur tA$s%
ß`»yJø)ä9
¾ÏmÏZö/ew
uqèdur ¼çmÝàÏèt
¢Óo_ç6»t
w õ8Îô³è@ «!$$Î/ (
cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/
çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$#
Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ (ﻠﻘﻤﺎﻦ : ۱٤-۱۳)
Artinya :Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kelaliman yang besar". Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(Q,S. Luqman:
13-14)
Ayat tersebut selain mengambarkan tentang
pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Luqmanul Hakim, juga berisi materi
pelajaran, dan yang utama diantaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan,
karena keimanan yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan
akhlak.[31]
Segala tindakan dan perbuatan manusia yang memiliki
corak berbeda antara satu dengan yang lainnya, pada dasarnya merupakan akibat
adanya pengaruh dalam diri manusia. Maka
dengan itu di dalam buku karangan Zahruddin juga dituliskan ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi akhlak sebagai berikut:
a.
Insting (naluri)
Insting merupakan seperangkat tabiat yang dibawa
manusia sejak lahir. Para psikologi
menjelaskan bahwa insting (naluri) berfungsi sebagai motivator penggerak yang
mendorong lahirnya tingkah laku antara lain sebagai berikut:
a) Naluri makan (nutritive instinct), begitu manusia lahir telah membawa
suatu hasrat makan tanpa di dorong oleh orang lain.
b) Naluri berjodoh (seksual instinct) laki-laki menginginkan wanita dan
wanita ingin berjodoh dengan laki-laki.
c) Naluri keibubapakan (peternal instinct) tabiat kecintaan orang tua
kepada anaknya dan sebaliknya kecintaan anak terhadap orang tuanya.
d) Naluri perjuangan (combative instinct) tabiat manusia yang cenderung
mempertahankan diri dari gangguan dan tantangan’
e) Naluri bertuhan. Tabiat manusia mencari dan merindukan penciptanya yang
mengatur dan memberikan rahmat kepadanya[32].
b.
Adat atau kebiasaan.
Adat atau kebiasaan adalah setiap tindakan dan
perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama
sehingga menjadi kebiasaan, seperti berpakaian, makan, tidur olah raga dan
sebagainya. Menurut Abu Bakar Zikri. Perbuatan
manusia, apabila dikerjakan secara berulang-ulang sehingga menjadi mudah melakukannya,
itu dinamakan adat kebiasaan.[33]
c.
Wirotsah
(keturunan)
Perbincangan istilah wirotsah
berhubungan dengan faktor keturunan. Dalam hal ini secara langsung atau tidak
langsung, sangat mempengaruhi bentuk sikap dan tingkah laku seseorang.
Dalam pembahasan ini akan menilai keturunan dari
pendekatan ilmu pedagogis. Di dalam ilmu pendidikan, kita mengenal perbedaan
pendapat antara aliran nativisme dipelopori oleh Scopenhaur berpendapat bahwa
seseorang itu di tentukan oleh bakat yang di bawah sejak lahirnya. Adapun sifat
yang diturunkan orang tua terhadap anaknya itu bukanlah sifat yang miliki yang
tumbuh dengan matang karena pengaruh lingkungan, adat dan pendidikan, melainkan
sifat-sifat bawaan dari sejak lahir. Sifat-sifat
yang bisa diturunkan itu pada garis besarnya ada dua ancam:
a) Sifat-sifat jasmaniah, yakni sifat kekuatan dan kelemahan otot dan urat
syaraf orang tua dapat diwariskan kepada anak-anaknya.
b) Sifat-sifat rohaniah, yakni lemah atau kuatnya suatu naluri dapat
diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi tingkah laku anak
cucunya. Sebagaimana dimaklumi bahwa setiap manusia mempunyai (insting), tetap
kekuatan naluri itu berbeda-beda.[34]
d.
Milieu
Milieu artinya
suatu yang melingkupi tubuh yang hidup, meliputi tanah dan udara, sedangkan
lingkungan manusia. ialah apa yang mengelilinginya, seperti negeri, lautan
udara dan masyarakat. Milieu
ada dua macam:
a) Lingkungan alam
Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan
menentukan tingkah laku seseorang. Lingkungan alam ini dapat mematahkan atau
mematangkan pertumbuhan bakat yang di bawah oleh seseorang. dengan kata lain
alam ini ikut “mencetak” akhlak manusia-manusia yang di pangkuanya.
b) Lingkungan pergaulan
Lingkungan pergaulan dapat dibagi kepada beberapa kategori:
1. Lingkungan dalam rumah tangga, akhlak orang tua di rumah dapat pula
mempengaruhi akhlak anaknya.
2. Lingkungan sekolah, akhlak anak sekolah dapat terbina dan terbentuk
menurut pendidikan yang diberikan oleh guru-guru di sekolah.
3. Lingkungan pekerjaan, suasana pekerjaan selaku karyawan dalam suatu
perusahaan atau pabrik dapat mempengaruhi pula perkembangan pemikiran, sifat
dan kelakuan seseorang.
4. Lingkungan organisasi jemaah, orang yang menjadi anggota dari suatu
organisasi (jemaah) akan memperoleh aspirasi cita-cita yang digariskan
organisasi itu.
5. Lingkungan kehidupan ekonomi, (perdagangan) karena masalah ekonomi
adalah masalah primer dalam hajat hidup manusia, hubungan-hubungan ekonomi
turut mempengaruhi pikiran dan sifat-sifat seseorang.
6. Lingkungan pergaulan yang bersifat umum dan bebas, contohnya akibat
pergaulan seseorang remaja dengan rekan-rekannya yang sudah ketagihan dengan
obat bius (morpinis), maka dia akan terlibat menjadi pecandu obat bius.[35]
3.
Urgensi Pendidikan Akhlak bagi Remaja
Berbicara tentang urgensi
pendidikan akhlak berarti berbicara tentang urgensi pendidikan Islam. Dalam
masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peran yang menentukan terhadap
eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena pendidikan merupakan
proses usaha melestarikan, mengalihkan, serta menstransformasikan nilai-nilai
kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus.
Demikian pula dengan peranan
pendidikan Islam. Keberadaannya merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita
hidup Islam yang bisa melestarikan, mengalihkan, menanamkan (internalisasi),
dan mentransformasikan nilai-nilai islam pada generasi penerusnya sehingga
nilai-nilai kultural religius yang dicita-cita kan dapat tetap berfungsi dan
berkembang dalam msyarakat dari waktu kewaktu.[36]
Al-Ghazali menghendaki supaya setiap muslim belajar
kemudian beramal dan bekerja dengan ilmunya itu, dan selanjutnya ikhlas dan
jujur pula dalam amal perbuatannya. Dimaksudkan juga dengan amal di sini ialah
membersihkan hati nurani dari kotoran-kotoran duniawi, kebejatan moral dan
selanjutnya berhias dengan akhlak yang terpuji seperti sabar, tahu berterima
kasih, tingkah laku yang sopan, pandai bergaul, jujur, hidup sederhana,
bertaqwa, menghindari sifat-sifat yang kurang baik.[37]
a. Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus melalui proses
yang panjang, dengan hasil yang tidak dapat diketahui dengan segera. Dalam
proses pembentukan tersebut diperlukan suatu perhitungan yang matang dan
hati-hati berdasarkan pandangan dan pikiran-pikiran atau teori yang tepat,
sehingga kegagalan atau kesalahan pembentukan terhadap anak didik dapat
dihindarkan.
b. Yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus bisa menanamkan
atau membentuk sikap hidup yang dijiwai
nilai-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan
dengan nilai-nilai Islam yang melandasi, merupakan proses ikhtisar yang secara
pedagogic mampu mengembangkan hidup anak ke arah kedewasaan atau kematangan
yang menguntungkan dirinya.
c. Ruang lingkup kependidikan Islam mencakup segala bidang kehidupan
manusia di dunia, oleh karenanya pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah
Islamiah dalam pribadi manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui
proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan
kependidikan.
d. Teori-teori, hipotesis dan asumsi-asumsi kependidikan yang bersumberkan
ajaran Islam sampai kini masih belum tersusun secara ilmiah meskipun
bahan-bahan bakunya telah tersedia, baik dalam kitab suci al-Qur’an dan hadis
maupun kaul ulama.[38]
Dari beberapa alasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa begitu pentingnya pendidikan Islam dalam pembinaan akhlak bagi umat Islam
itu sendiri, karena Islam adalah agama yang sempurna yang menginginkan
masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia ini membawa kebahagiaan bagi
diri sendiri dan orang lain. Pada
kenyataannya di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga
pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini
menunjukkan bahwa akhlak memang perlu di bina, dan pembinaan ini ternyata
membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia,
taat kepada Allah dan rasulnya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada semua
makhluk Tuhan dan seterusnya.
Menurut Abuddin Nata ada beberapa penyebab pentingnya
pembinaan akhlak. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Pada saat sekarang ini banyak keluhan-keluhan yang disampaikan oleh
orang tua, para guru, dan orang yang bergerak di bidang sosial mengeluhkan
tentang prilaku sebagian para remaja yang amat mekhawatirkan
b. Pembinaan akhlak mulia merupakan inti ajaran Islam ”Fahlur Rahman dalam
bukunya Islam mengatakan bahwa inti ajaran Islam terdapat dalam al-Qur’an yang
bertumpuh pada keimanan dan keadilan sosial”
c. Akhlak yang mulia sebagai mana yang dinyatakan para ahli bukanlah
terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama
lingkungan keluarga pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
d. Pembinaan akhlak terhadap remaja mengingat secara psikologi usia remaja
adalah: usia yang berada dalam kegoncangan dan mudah terpengaruh sebagai akibat
dari dirinya yang belum memiliki bekal pengetahuan, mental dan pengalaman yang
cukup. Akibat dari keadaan yang demikian para remaja mudah terjerumus dalam
perbuatan perbuatan yang menghancurkan masa depannya sebagai mana yang tersebut
di atas.[39]
Dengan uraian tersebut di atas kita dapat
mengatakan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan
sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniyah yang terdapat dalam diri
manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak dirancang dengan baik,
sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan
anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Di sinilah letak peran dan pentingnya pendidikan Islam dalam pembinaan
akhlak.
[1]Zakiah
Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2004), h. 70
[2] Mansur Isna, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2009), Edisi Revisi, Cet. ke-1, h. 65
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru
dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (suatu Pendekatan Teoretis Psikologis),
(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Edisi Revisi, Cet. ke-3, h. 22
[5] Ramayulis
dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam (Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran para Tokohnya, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2010), Cet. ke-2, h. 83
[6] Departemen
Republik Indonesia, Undang-Undang RI
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
dan Peraturan Pemerintah RI tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta
Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2011), Cet. ke-3, h. 2
[7] Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan (Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), Edisi ke-2, Cet. ke-3, h. 64
[9] Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), Edisi Pertama, Cet.
ke-2, h. 29
[16]Muhammad Alim, Pendidikan
Agama Islam (Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim), (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. ke-1, h. 151
[18]Zakiyah Daradjat, Membina
Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 97
[19]Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin, Pedoman Pendidikan aqidah Remaja,
(Jakarta: Pustaka Quantum Prima, 2002), Cet. ke-1, h. 48
[20]Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan,
(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996), Cet
ke-7, h. 173
[36] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), h. 8
[37] Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971), h. 54
[39] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2003), h. 217
Tidak ada komentar:
Posting Komentar