Cari Blog Ini

Minggu, 10 Maret 2019

Pendidikan Akhlak Remaja


A.    Pendidikan Akhlak Remaja
1.      Pengertian Pendidikan Akhlak Remaja
Menurut Zakiah Daradjat, pengajaran akhlak adalah proses kegiatan belajar mengajar dalam mencapai tujuan supaya yang diajar berakhlak baik.[1] Artinya, orang atau anak yang diajar itu memiliki bentuk batin yang baik menurut ukuran nilai ajaran Islam dan bentuk batin ini hendaknya  kelihatan dalam tindak tanduknya sehari-hari. Pengajaran yang dimaksud dilakukan secara berkesinambungan.
Kehidupan yang akan datang harus dimulai dari sekarang dan hal itu hanyalah mungkin dicapai dengan ilmu. Sehingga Islam menganjurkan dan mendorong mencari ilmu bahkan dikatakan bahwa semua hasil ilmu pengetahuan  modern telah ada dalam al-Qur’an untuk membekali ilmu bagi umat, yang efektif adalah melalui pendidikan, baik formal maupun non formal serta informal. Ini senada dengan pendapat Khursyid Ahmad dan Fazlurrohman seperti yang dikutip oleh Mansur Isna bahwa pembaharuan dalam bentuk apapun harus melalui pendidikan. Kita tidak bisa mencapai suatu cita-cita nasional kecuali dengan pendidikan.[2] Pendidikan merupakan hal yang pokok dalam menggapai cita-cita, termasuk pendidikan akhlak.
Berdasarkan pendapat Khursyid Ahmad dan Fazlurrohman jelaslah bahwa pendidikan itu sangat penting dalam segala hal. Dengan adanya pendidikan, maka akan tercipta sesuatu yang diinginkan. Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan memaparkan pengenai pengertian pendidikan menurut para ahli:
a.       Menurut Syaiful Bahri Djamarah, pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan.[3]
b.      Menurut Arifin, pendidikan adalah  usaha membentuk pribadi manusia harus melalui proses yang panjang, dengan hasil yang tidak dapat diketahui dengan segera.[4]
c.       Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.[5]
d.      Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[6]
e.       Menurut Abuddin Nata, Pendidikan adalah sebuah program yang mengandung komponen visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, guru, murid, sarana dan prasarana, biaya, manajemen pengelolaan, akademis atmosfer, kelembagaan, lingkungan, kerjasama, sistem informasi dan evaluasi.[7]
f.       Menurut S. Nasution, pendidikan adalah proses belajar dan mengajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.[8]
Pengertian pendidikan menurut para ahli di atas memang berbeda. Namun pada hakikatnya sama. Pendidikan yang dimaksud adalah upaya untuk mendewasakan anak dengan memberikan ilmu pengetahuan yang didalamnya terdapat interaksi antara guru dan siswa.
Selanjutnya Akhlak secara etimologi berasal dari kata khalaqa yang berarti mencipta, membuat atau menjadikan. Akhlak adalah kata yang berbentuk mufrad, jamaknya adalah khuluqun yang berrati perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan.[9] Akhlak menurut bahasa (etimologi) dapat penulis kemukakan sebagai berikut:
a.       Menurut  Drs. H. Hamzah Ya’qub, perkataan akhlak berasal dari bahasa arab jama’ dari “khuluqun” yang menurut loghad diartikan ; budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. [10]
b.      Menurut  Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc,M.A, perkataan akhlak berasal dari bahasa arab bentuk jama’ dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.[11]
Dari uraian di atas dapatlah penulis mengambil kesimpulan bahwa akhlak menurut etomologi berarti kebiasaan, budi pekerti, perangai, tabiat dan sebagainya, ataupun gambaran bathin manusia yang melahirkan tingkah laku dalam hidup yang selalu dimiliki oleh setiap pribadi manusia.
Selain pengertian akhlak menurut etimologi, juga ada pengertian akhlak menurut istilah (terminologi). Dalam mengemukakan pengertian akhlak secara terminologi penulis bertitik tolak dari pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, agar dapat dijadikan bahan perbandingan dalam menetapkan pengertian yang akan  penulis gunakan dalam pembahasan selanjutnya.
a.       Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin dalam bukunya “Al – Akhlak”, akhlak adalah salah satu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[12]
b.      Menurut  Iman Al- Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan. Perbuatan dengan gampang dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. [13]
c.       Menurut  Ibrahim Anis, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahir macam – macam perbuatan, baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan perkembangan. [14]
d.      Menurut  Abdul Karim Zaidin, akhlak adalah nilai – nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik dan buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkanya. [15]
Al- khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa karena seandainya ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk suatu hajad dan secara tiba – tiba, maka bukanlah orang yang demikian yang disebut orang dermawan sebagai pantulan dari kepeduliannya. Maka suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran sebab seandainya seseorang yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya atau memaksakan hatinya berdiam berdiam diwaktu timbulnya sesuatu yang memnyebabkan kemarahan dan hal itu diusahakan dengan sungguh–sungguh dan pikir–pikir terlebih dahulu, maka bukanlah orang yang semacam ini yang disebut dermawan.
Akhlak secara terminologis yang dikemukakan oleh Ibnu Mas Kawaih seperti yang dikutip oleh Muhammad Alim, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan  perbuatan  tanpa terlebih dahulu  melalui pemikiran dan pertimbangan.[16] Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan  perbuatan  tanpa terlebih dahulu  melalui pemikiran dan pertimbangan. Imam al-Ghazali seperti yang dikutip oleh Zakiah Daradjat mengatakan bahwa akhlak adalah bentuk batin yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorong ia berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu pemikiran dan bukan berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu pemikiran dan bukan pula karena suatu pertimbangan.[17]
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa akhlak adalah sikap, tingkah laku dan bentuk batin seseorang. Bentuk batin yang dimaksud mendorong seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku. Dalam kajian ini penulis fokuskan pada sikap dan tingkah laku remaja.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, sehingga banyak berbagai macam perubahan dan minat yang diinginkan remaja. Hal itu adalah wajar karena sebagai sarana untuk menuju kedewasaan.
Menurut Zakiah Daradjat, remaja   adalah  orang atau generasi muda yang berusia antara 12 sampai 21 tahun.[18] Sedangkan menurut Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin, usia remaja kurang lebih antara 13-19 tahun.[19] Dalam pembagian  tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progressif. Dalam pembagian yang agak terurai, masa remaja mencakup masa juvenilitas (adolescantium), pubertas dan nubilitas.[20] Lebih lanjut menurut Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin menjelaskan bahwa:
Secara  biologis, remaja ditandai dengan mulai berfungsinya kematangan kelenjer kelamin (buah zakar, kelipir) untuk anak laki-lakidan ovarium atau indung telur untuk anak gadis. Secara fisik tanda-tanda yang dapat diamati adalah tumbuhnya badan yang semakin besar, tumbuhnya rambut pada alat kelamin, ketiak, kumis, cambang dan perubahan suara. Ciri yang mencolok pada anak gadis adalah melebarnya dada dan tumbuhnya payudara, juga melebarnya lapisan lemak  sekitar pinggul, paha dan perut. Secara psikologis anak remaja mengalami  satu bentuk krisis, berupa hilangnya keseimbangan jasmani dan rohani. Kadangkala  fungsi harmoni motoriknya juga terganggu. Sehingga dengan kejadian tersebut anak remaja kadang berperilaku canggung, tidak sopan dan kasar tingkah lakunya. [21]

Adapun usia remaja dalam konteks paedagogis  (pendidikan) adalah batasan dimana anak remaja dapat menerima pengetahuan secara obyektif, sosiolisasi diri dan lain sebagainya.[22] Dengan demikian, maka dapat disimpulkan pada masa remaja inilah remaja dapat digali secara optimal potensinya, namum masa ini juga merupakan masa yang rawan, untuk itu pendidik haruslah berhati-hati dalam mengarahkan dan membina remaja.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan seperti yang dikutip oleh Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin, apabila seorang anak laki-laki telah mencapai masa pubertas, yaitu antara 12-15 tahun dan dia telah mengeluarkan sperma, maka seorang pendidik  harus menjelaskan  terus terang apa itu sperma (mani). Dan dia harus diberi tahu bahwa ia adalah mukhallaf (dibebani), ini dia telah memikul tanggung jawab dan dibebani apa yang menjadi  beban orang dewasa (dalam hal syariah agama). Dan apabila seorang gadis apabila mencapai usia 9 tahun ke atas dan dia telah mimpi bersetubuh  atau setelah tidur ia melihar berwarna kuning  pada pakaian yang digunakan untuk tidur, ini berarti dia sudah baligh (mukhallaf), maka dia harus didik sebagaimana anak laki-laki, sebagaimana telah dijelaskan di atas. [23]
Sikap pubertas yang paling menonjol antara lain adalah sikap tidak tenang dan tidak menentu. Menurut pendapat Elizabeth B. Hurlock seperti yang dikutip oleh Sutrisna sumadi dan Rafi’udin yang mengatakan bahwa masa remaja ada istilah negative phase (tahap negatif) yang salah satu gejalanya adalah pertentangan sosial dan penentangan terhadap kewibawaan orang dewasa.[24]
Menurut Sutrisna sumadi dan Rafi’udin mengindikasikan batasan remaja dari kacamata pendidikan  adalah mulai usia 10 tahun, karena pada usia tersebut diisyaratkan ada usia menentang orangtua untuk tidak mengerjakan shalat, dan antara perintah untuk memisahkan tempat tidur antara laki-laki dan perempuan.[25]
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja ini menyangkut adanya perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan perkembangan itu.
1)      Aspek Perkembangan
Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan remaja itu antara lain:
a)      Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama  merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya. Pikiran dan mental remaja makin berkembang dan makin kritis. Ia menerima agama bukan sekedar ikut-ikutan lagi.
b)      Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, ethis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan  agamis akan cenderung mendorong dirinya untuk lebih dekat  kearah hidup agamis. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama  akan lebih mudah didominasi dorongan seksuil. Masa remaja merupakan masa kematangan seksuil. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.
c)      Pertimbangan
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh pertimbangan sosial.  Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material, remaja sangat bingung mennetukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d)     Perkembangan moral
Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak  dan rasa berdosa serta usaha untuk mencari proteksi. Pada masa remaja ada yang taat pada agama (self directive), mengikuti situasi  lingkungan tanpa melakukan kritik (adaptive), merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama (submissive), belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral (unadjusted), dan menolak dasar dan hukum keagamaan dan moral masyarakat (deviant). [26] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keyakinan pada remaja berbeda-beda tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2)      Konflik dan Keraguan
Menurut Starbuck berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa kebanyakan pada para remaja itu terdapat konflik dan keraguan. Adapun kesalahan-kesalahan pada remaja (deliguency) terdiri atas bentuk :
a)      Habit Disturbance atau gangguan kebiasaan, kekeliruan, kebiasaan yang tidak merugikan orang lain, tetapi tampak sebagai sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pemuda. Misalnya mengisap-isap jari, menggigit kuku, buang air di tempat tidur, tic (gerakan-gerakan pada kepala atau muka).
b)      Contruc disorder atau gangguan kelakuan. Perbuatan ini di samping dapat merugikan diri sendiri, juga dapat merugikan masyarakat. Misalnya membolos, membohong, mencuri, menipu, merusak, berkelahi, melanggar kesesusilaan dan sebagainya.[27]

Sedangkan penyebab yang memungkinkan remaja berperilaku salah (deliquency) adalah :
a)      Dari keadaan badan, keadaan badan ini terbagi menjadi dua yaitu keadaan badan yang diturunkan oleh orangtuanya sejak pertemuan  antara sel telur ibu dan sel sperma ayah. Penyakit-penyakit psikosomatis yang memungkinkan timbulnya gangguan-gangguan (misalnya alergi, asma dan sebagainya) yang diterima oleh anak sebagai penyakit keturunan. Yang kedua yang diterima selama dalam perkembangan, misalnya penyakit-oenyakit yang mengganggu otak secara langsung atau tidak langsung, misalnya peradangan otak, keracunan, kelenjar endokstrin, gangguan pembuluh darah otak, tumor otak, gizi makanan yang terlalu buruk dan sebagainya dapat juga menimbulkan gangguan terebut meskipun kecil.
b)      Dari keadaan jiwa, yang disebabkan oleh faktor keturunan orangtuanya ataukah yang terbentuk karena pengaruh selama dalam perkembangan dan kegagalan atau kekuarangan yang dapat menimbulkan rasa rendah diri atau iri hati, ketidakmampuan dalam menghadapi kenyataan, perasaan yang tertekan yang terus menerus, konflik-konflik yang timbul tidak ada harmoni antara dorongan-dorongan instink dan norma sosial dan sebagainya.
c)      Dari keadaan lingkungan terutama lingkungan sosial (keluarga, sekolah, masayarakat ikut pula mempengaruhi pertumbuhan si anak, sehingga memungkinkan juga memberikan faktor gangguan.[28]
Dengan demikian, hendaklah orang tua sebagai pendidik mampu memelihara dan menjaga remaja serta membina dan mengarahkan dia sehingga tercapai tujuan pendidikan Islam yakni terbentuknya manusia yang insan khamil atua berkepribadian muslim.

2.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Akhlak Remaja
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan prilakunya, baik sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia terhadap kemajuan yang di alaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materi, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia.[29] Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya ada tiga aliran yang memberikan pendapat di bawah ini:
a.       Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan , bakat, akal, dll. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
b.      Menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan terhadap anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak begitu percaya kepada peranan yang di lakuakan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.[30]
c.       Menurut aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan ajaran Islam hal ini dapat dipahami dalam surat an-Nahl ayat:78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (الن حل : ۷۸)

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(Q.S. An Nahl: 78)

Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disukuri dengan cara mengasihinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan yang dilakukan Luqmanul Hakim pada anaknya sebagai mana yang terlihat dalam surat Luqman ayat:13-14
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ $uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ (ﻠﻘﻤﺎﻦ : ۱٤-۱۳)
Artinya :Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar".  Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.  Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(Q,S. Luqman: 13-14) 

Ayat tersebut selain mengambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Luqmanul Hakim, juga berisi materi pelajaran, dan yang utama diantaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimanan yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak.[31]
Segala tindakan dan perbuatan manusia yang memiliki corak berbeda antara satu dengan yang lainnya, pada dasarnya merupakan akibat adanya pengaruh dalam diri manusia.  Maka dengan itu di dalam buku karangan Zahruddin juga dituliskan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akhlak sebagai berikut:
a.       Insting (naluri)
Insting merupakan seperangkat tabiat yang dibawa manusia sejak lahir. Para psikologi menjelaskan bahwa insting (naluri) berfungsi sebagai motivator penggerak yang mendorong lahirnya tingkah laku antara lain sebagai berikut:
a)      Naluri makan (nutritive instinct), begitu manusia lahir telah membawa suatu hasrat makan tanpa di dorong oleh orang lain.
b)      Naluri berjodoh (seksual instinct) laki-laki menginginkan wanita dan wanita ingin berjodoh dengan laki-laki.
c)      Naluri keibubapakan (peternal instinct) tabiat kecintaan orang tua kepada anaknya dan sebaliknya kecintaan anak terhadap orang tuanya.
d)     Naluri perjuangan (combative instinct) tabiat manusia yang cenderung mempertahankan diri dari gangguan dan tantangan’
e)      Naluri bertuhan. Tabiat manusia mencari dan merindukan penciptanya yang mengatur dan memberikan rahmat kepadanya[32].

b.      Adat atau kebiasaan.
Adat atau kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan, seperti berpakaian, makan, tidur olah raga dan sebagainya. Menurut Abu Bakar Zikri. Perbuatan manusia, apabila dikerjakan secara berulang-ulang sehingga menjadi mudah melakukannya, itu dinamakan adat kebiasaan.[33]
c.       Wirotsah (keturunan)
Perbincangan istilah wirotsah berhubungan dengan faktor keturunan. Dalam hal ini secara langsung atau tidak langsung, sangat mempengaruhi bentuk sikap dan tingkah laku seseorang.
Dalam pembahasan ini akan menilai keturunan dari pendekatan ilmu pedagogis. Di dalam ilmu pendidikan, kita mengenal perbedaan pendapat antara aliran nativisme dipelopori oleh Scopenhaur berpendapat bahwa seseorang itu di tentukan oleh bakat yang di bawah sejak lahirnya. Adapun sifat yang diturunkan orang tua terhadap anaknya itu bukanlah sifat yang miliki yang tumbuh dengan matang karena pengaruh lingkungan, adat dan pendidikan, melainkan sifat-sifat bawaan dari sejak lahir. Sifat-sifat yang bisa diturunkan itu pada garis besarnya ada dua ancam:
a)      Sifat-sifat jasmaniah, yakni sifat kekuatan dan kelemahan otot dan urat syaraf orang tua dapat diwariskan kepada anak-anaknya.
b)      Sifat-sifat rohaniah, yakni lemah atau kuatnya suatu naluri dapat diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi tingkah laku anak cucunya. Sebagaimana dimaklumi bahwa setiap manusia mempunyai (insting), tetap kekuatan naluri itu berbeda-beda.[34]

d.      Milieu
Milieu artinya suatu yang melingkupi tubuh yang hidup, meliputi tanah dan udara, sedangkan lingkungan manusia. ialah apa yang mengelilinginya, seperti negeri, lautan udara dan masyarakat. Milieu ada  dua macam:
a)      Lingkungan alam
Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku seseorang. Lingkungan alam ini dapat mematahkan atau mematangkan pertumbuhan bakat yang di bawah oleh seseorang. dengan kata lain alam ini ikut “mencetak” akhlak manusia-manusia yang di pangkuanya.
b)      Lingkungan pergaulan
Lingkungan pergaulan dapat dibagi kepada beberapa kategori:
1.      Lingkungan dalam rumah tangga, akhlak orang tua di rumah dapat pula mempengaruhi akhlak anaknya.
2.      Lingkungan sekolah, akhlak anak sekolah dapat terbina dan terbentuk menurut pendidikan yang diberikan oleh guru-guru di sekolah.
3.      Lingkungan pekerjaan, suasana pekerjaan selaku karyawan dalam suatu perusahaan atau pabrik dapat mempengaruhi pula perkembangan pemikiran, sifat dan kelakuan seseorang.
4.      Lingkungan organisasi jemaah, orang yang menjadi anggota dari suatu organisasi (jemaah) akan memperoleh aspirasi cita-cita yang digariskan organisasi itu.
5.      Lingkungan kehidupan ekonomi, (perdagangan) karena masalah ekonomi adalah masalah primer dalam hajat hidup manusia, hubungan-hubungan ekonomi turut mempengaruhi pikiran dan sifat-sifat seseorang.
6.      Lingkungan pergaulan yang bersifat umum dan bebas, contohnya akibat pergaulan seseorang remaja dengan rekan-rekannya yang sudah ketagihan dengan obat bius (morpinis), maka dia akan terlibat menjadi pecandu obat bius.[35]

3.      Urgensi Pendidikan Akhlak bagi Remaja
Berbicara tentang urgensi pendidikan akhlak berarti berbicara tentang urgensi pendidikan Islam. Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peran yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena pendidikan merupakan proses usaha melestarikan, mengalihkan, serta menstransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus.
Demikian pula dengan peranan pendidikan Islam. Keberadaannya merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam yang bisa melestarikan, mengalihkan, menanamkan (internalisasi), dan mentransformasikan nilai-nilai islam pada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-cita kan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam msyarakat dari waktu kewaktu.[36]
Al-Ghazali menghendaki supaya setiap muslim belajar kemudian beramal dan bekerja dengan ilmunya itu, dan selanjutnya ikhlas dan jujur pula dalam amal perbuatannya. Dimaksudkan juga dengan amal di sini ialah membersihkan hati nurani dari kotoran-kotoran duniawi, kebejatan moral dan selanjutnya berhias dengan akhlak yang terpuji seperti sabar, tahu berterima kasih, tingkah laku yang sopan, pandai bergaul, jujur, hidup sederhana, bertaqwa, menghindari sifat-sifat yang kurang baik.[37]
Ada beberapa alasan mengapa Ilmu Pendidikan Islam itu sangat dibutuhkan, antara lain:
a.       Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus melalui proses yang panjang, dengan hasil yang tidak dapat diketahui dengan segera. Dalam proses pembentukan tersebut diperlukan suatu perhitungan yang matang dan hati-hati berdasarkan pandangan dan pikiran-pikiran atau teori yang tepat, sehingga kegagalan atau kesalahan pembentukan terhadap anak didik dapat dihindarkan.
b.      Yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus bisa menanamkan atau  membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang melandasi, merupakan proses ikhtisar yang secara pedagogic mampu mengembangkan hidup anak ke arah kedewasaan atau kematangan yang menguntungkan dirinya.
c.       Ruang lingkup kependidikan Islam mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia, oleh karenanya pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah Islamiah dalam pribadi manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan.
d.      Teori-teori, hipotesis dan asumsi-asumsi kependidikan yang bersumberkan ajaran Islam sampai kini masih belum tersusun secara ilmiah meskipun bahan-bahan bakunya telah tersedia, baik dalam kitab suci al-Qur’an dan hadis maupun kaul ulama.[38]

Dari beberapa alasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa begitu pentingnya pendidikan Islam dalam pembinaan akhlak bagi umat Islam itu sendiri, karena Islam adalah agama yang sempurna yang menginginkan masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia ini membawa kebahagiaan bagi diri sendiri  dan orang lain. Pada kenyataannya di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu di bina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan rasulnya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada semua makhluk Tuhan dan seterusnya.
Menurut Abuddin Nata ada beberapa penyebab pentingnya pembinaan akhlak. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Pada saat sekarang ini banyak keluhan-keluhan yang disampaikan oleh orang tua, para guru, dan orang yang bergerak di bidang sosial mengeluhkan tentang prilaku sebagian para remaja yang amat mekhawatirkan
b.      Pembinaan akhlak mulia merupakan inti ajaran Islam ”Fahlur Rahman dalam bukunya Islam mengatakan bahwa inti ajaran Islam terdapat dalam al-Qur’an yang bertumpuh pada keimanan dan keadilan sosial”
c.       Akhlak yang mulia sebagai mana yang dinyatakan para ahli bukanlah terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama lingkungan keluarga pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
d.      Pembinaan akhlak terhadap remaja mengingat secara psikologi usia remaja adalah: usia yang berada dalam kegoncangan dan mudah terpengaruh sebagai akibat dari dirinya yang belum memiliki bekal pengetahuan, mental dan pengalaman yang cukup. Akibat dari keadaan yang demikian para remaja mudah terjerumus dalam perbuatan perbuatan yang menghancurkan masa depannya sebagai mana yang tersebut di atas.[39]

Dengan uraian tersebut di atas kita dapat mengatakan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniyah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak dirancang dengan baik, sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Di sinilah letak peran dan pentingnya pendidikan Islam dalam pembinaan akhlak.



[1]Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.  70
[2] Mansur Isna, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi sebuah Pengantar,  (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2009), Edisi Revisi, Cet. ke-1, h. 65
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (suatu Pendekatan Teoretis Psikologis), (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Edisi Revisi, Cet. ke-3, h. 22
[4] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 9
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010),  Cet. ke-2, h. 83
[6] Departemen Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003  tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah RI tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2011),  Cet. ke-3, h. 2
[7] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,  2008), Edisi ke-2, Cet. ke-3, h. 64
[8] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Edisi ke-2, Cet. ke-5, h. 10
[9] Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Edisi Pertama, Cet. ke-2, h. 29
[10] Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro1996), h. 11
[11] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), h. 1
[12] Hamzah Ya’qub, op.cit., h. 12
[13] Yunahar Ilyas, op.cit, h. 2
[14] Loc.cit
[15] Loc.cit
[16]Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam (Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. ke-1, h. 151
[17] Zakiah Daradjat, op.cit., h. 151
[18]Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 97
[19]Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin, Pedoman Pendidikan aqidah Remaja, (Jakarta: Pustaka Quantum Prima, 2002), Cet. ke-1, h. 48
[20]Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT Rineka  Cipta, 1996), Cet ke-7, h. 173
[21] Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin  op.cit., h. 49
[22] Ibid
[23] Ibid., h. 50
[24] Ibid., h. 51
[25] Ibid
[26] Ramayulis, op.cit., h. 87-92
[27] Agus Sujanto, op.cit., h. 204
[28] Ibid., h. 206-207
        [29] Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasauf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), h. 39
        [30] Abuddin Nata,  Ibid., h. 167
        [31] Abuddin Nata, op., cit., h. 169
        [32] Zahruddin & Hasanuddin, op.cit., h. 94

        [33] Ibid, h. 95
        [34] Ibid, h. 97-98
        [35] Ibid., h. 99-100
[36] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 8
[37] Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar  Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 54
        [38] Arifin, op. cit., h. 9
[39] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan  Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 217

Tidak ada komentar: