A. Mamak dan Bundo
Kanduang
1. Pengertian
Mamak dan Bundo Kanduang
Setiap golongan dalam kehidupan bermasyarakat, tentu
harus mempunyai pimpinan. Sebagai anggota dalam masyarakat yang berdasarkan
kekerabatan geologis menurut garis keturunan matrilineal, pimpinan tertinggi
berada di tangan mamak menurut tingkatan masing-masing. Untuk sebuah rumah
tangga disebut “tungganai” dengan pengertian bahwa rumah tangga di sini
bukan berarti untuk satu rumah, melainkan untuk beberapa deretan rumah dari
satu kerabat orang-orang yang senenek menurut garis ibu. Sedangkan untuk kaum
disebut mamak kaum, pangkatnya disebut penghulu. Menurut Departemen Pendidikan
dan kebudayaan mamak adalah merupakan pimpinan formal menurut adat Minangkabau.[1]
Mamak adalah sapaan seorang kepada saudara-saudara ibu
yang laki-laki.[2] Setiap anggota kaum yang
laki-laki dipersiapkan untuk dapat menggantikan mamaknya dalam memelihara anak
kemenakan dan harta pusaka kaumnya. Sapaan mamak semakin meluas kepada
orang-orang setara dengan mamak.
Panggilan mamak telah menjadi panggilan umum di minangkabau.
Pendapat di atas, sejalan dengan pendapat Amir MS,
yang mengatakan bahwa mamak adalah semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam
suku yang serumpum yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita.[3] Jadi
mamak tidak sebatas saudara kandung ibu, tetapi semua lelaki yang segenerasi
dengan ibu kita dalam suku yang
serumpun. Dengan demikian,
orang Minangkabau mempunyai mamak kandung, mamak sejengkal, mamak
sehasta dan mamak sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaan. Mamak
kandung adalah mamak dalam lingkungan samande (seibu).
Selanjutnya istilah bundo kanduang di Minangkabau kini
sering dipakai sebagai kata ganti untuk kaum wanita. Posisi dan peran wanita dalam masyarakat sering
juga dikatakan sebagai posisi dan peran
bundo kanduang. Padahal pengertian istilah bundo kanduang dalam masyarakat
Sumatera Barat pada umumnya berbeda-beda. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Bundo kanduang
menurut cerita kaba, menurut Edward Jamaris seperti yang dikutip oleh Amir MS,
mengatakan bahwa kaba cindua mato adalah karya sastra Minangkabau. Jadi Bundo
Kanduang hanyalah raja khayalan.
b. Bundo kanduang
adalah kaum wanita di Sumatera Barat.
c. Bundo kanduang
merupakan masyarakat adat Minangkabau.[4]
Menurut Amir. MS, Bundo kanduang dalam pandangan masyarakat adat Minangkabau
adalah perempuan sulung (tertua atau dituakan) dalam suatu suku, yang memegang
pimpinan urusan dalam (domestik = rumah tangga) dari suatu kaum dalam
lingkungan masyarakat adat Minangkabau.[5] Bundo
kanduang merupakan sebutan seorang ibu di Minangkabau. Menurut Herwandi, dkk,
mengatakan bahwa istilah bundo kanduang berarti ibu yang melahirkan diri
seseorang, kemudian berubah menjadi istilah untuk mewakili perempuan dan
merupakan panggilan terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau.[6] Bundo kanduang adalah panggilan
terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau. Artinya, bundo adalah ibu,
kanduang adalah sejati. Bundo kanduang adalah ibu sejati yang memiliki
sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan.[7]
Bundo Kanduang sebagai wanita merupakan pengantara keturunan yang harus memelihara diri serta mendudukkan
diri sendiri dengan aturan adat.
Seorang bundo kanduang harus dapat membedakan antara
yang baik dengan yang buruk, halal dengan yang haram dalam hal makanan serta
perbuatan lahiriah lainnya, karena sebagai pengantara keturunan ia mempunyai
tugas pokok dalam membentuk dan menentukan
watak manusia dalam melanjutkan keturunan.
Dalam adat Minangkabau, menurut Hakimy seperti yang
dikutip oleh Herwandi dan
kawan-kawannya, fungsi bundo kanduang itu dihimpun dalam satu ungkapan,
gurindam adat yang berbunyi:
“Bundo
kanduang limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci, umbun puruak
aluang bunian, pusek jalo kumpulan padi, sumarak di dalam kampuang, hiasan
dalam nagari, nan gadang basa batuah, kok hiduek tampek banaso, kok mati tampek
baniat, ka unduang-unduang ka Madinah, kapayuang panji kasarugo. (Bunda sejati,
kebesaran rumah gadang, pusat kuasa pemegang kunci, pusat kuasa simpanan
warisan pusaka, pusat jala kumpulan tali, semarak dalam kampung, hiasa dalam
nagari, yang besar bertuah, kalau hidup tempat bernazar, kalau mati tempat
berniat sebagai penuntun ke tanah suci, sebagai payung panji untuk ke surga)”.[8]
Ungkapan adat Minangkabau di atas dapat disimpulkan
bahwa adat Minangkabau memberikan beberapa keutamaan dan pengecualian kepada
wanita di Minangkabau, yang menandakan bahwa ia diberi kemuliaan dan
kehormatan, dan harus dapat menjaga martabat diri dan keluarganya. Sebagai
seorang ibu sejati, bundo kanduang harus memiliki sifat-sifat antara lain
benar, jujur, pandai berbicara, cerdik dan memiliki rasa malu.[9]
Kendati seorang bundo kanduang merupakan pemimpin bagi pendidikan dan pembentuk
karakter anak-anaknya.
Untuk lebih jelasnya, dalam kajian penelitian ini,
penulis akan memaparkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang bundo
kanduang:
a.
Bersifat benar
Seorang bundo kanduang harus memiliki sifat benar yang tercermin di dalam pergaulan dan
perilaku sehari-hari. Ia harus selalu berkata benar dan mendidik lingkungannya,
memupuk sifat-sifat kebenaran, dan harus menghindarkan diri dari sifat
pendusta. Dengan mempunyai sifat benar, maka akan dapat menciptakan generasi
yang lebih baik kendati bundo kanduang merupakan salah satu pendidik yang akan
diteladai oleh anak-anaknya.
b.
Bersifat jujur
Bundo kanduang juga harus memiliki sifat jujur dan
menghindarkan sifat yang berlawanan
dengan kejujuran tersebut. Dengan bersifat jujur, maka akan terbukalah
suatu jalan bagi rumah tangganya yang terbuka dan berakhir dengan kebahagiaan.
Menurut Herwandi dan kawan-kawannya, gurindam adat menyebutkan sifat-sifat
dusta yang harus dihindarkan oleh seorang bundo kanduang adalah:
Mangguntiang dalam lipatan
Manuhuak kawan sairiang
Malakak kuciang di dapua
Manahan jarek di pintu
Mancari dama ka bawah rumah
Papek di lua runciang di dalam
Tunjuak luruih kalingkiang bakaik
Pilin kacang nak mamanjek
Pilin jariang nak barisi
Mamapeh dalam balango
Panipu koroang jo kampuang
Pangicuah anak kamanakan
Panjua urang di nagari
Tidak memakai malu jo sopan.[10]
Gurindam adat tersebut dapat dibahasa Indonesiakan:
menggunting dalam lipatan, mencelakai kawan seiring, memukul kucing di dapur,
memasang jerat di pintu, mencari kemiri di bawah rumah, pepat di luar runciang
di dalam, telunjuk lurus kelingking berkait, pilin kacang memanjat, pilin
jengkol akan berisi, membodohi anak kemenakan, membodohi orang kampung, tidak
memiliki sopan dan santun.
Berdasarkan gurindam adat di atas, maka jelaslah bahwa
seorang bundo kanduang hendaknya dapat bersifat jujur. Jujur yang dimaksud
adalah jujur dalam ucapan dan dalam perbuatan. dengan adanya sifat jujur, maka
seorang bundo kanduang dapat dijadikan sebagai panutan dan contoh teladan yang
bagi orang-orang ayng ada di sekelilingnya terutama anak-anaknya.
c.
Pandai berbicara, cerdik dan
mempunyai rasa malu
Bundo kanduang juga dituntut memiliki sifat pandai berbicara, yakni fasih
lidahnya dalam berkata-kata, karena ia sebagai pendidik dan pembimbing terhadap kemenakannya yang
akhirnya bermuara sebagai pembentuk watak rumah tangga. Kendati bundo kanduang
merupakan pendidik bagi anak-anaknya, anak kemenakannya, dan panutan bagi
seluruh masyarakat di lingkungan ia berada.
Sejalan dengan hal ini, Herwandi dan kawan-kawan
mengemukakan bahwa bundo kanduang harus memiliki sifat cerdik, tahu dan pandai.
Dengan demikian, bundo kanduang harus mengetahui “mudharat jo manfaat,
mangana labo jo rugi, mengatui sumbang jo salah, tahu jo unak ka manyangkuik,
tahu jo rantiang kamancucuak, ingek di dahan kamaimpok, tahu angin nan
baseruik, arih di ombak baabunang, tahu di alamat kato sampai”.[11]
Gurindam tersebut dapat dibahasa indonesiakan yaitu tahu akan mudarat dan
manfaat, mengingat untung dan rugi, mengetahui sumbang dan salah, tahu akan
onak yang akan menyangkut, tahu akan ranting yang akan menusuk, ingat akan
dahan yang akan menimpa, tahu pada angin
yang akan berkisar, arif kepada ombak yang akan bersabung, tahu maksud dan
makna kata sampai.
Bundo kanduang juga dituntut untuk mempunyai rasa
malu, karena malu merupakan bagian ajaran adat Minangkabau, yang dapat mencegah
seseorang dari perbuatan melanggar adat dan agama serta norma-norma yang
berlaku, serta menjauhkan dari sifat-sifat
yang tercela. Sifat tersebut merupakan benteng bagi seorang wanita dalam
menjaga martabatnya.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut kelihatan bahwa bundo
kanduang yang diinginkan itu adalah seorang perempuan ideal yang sempurna.
Kalau dirunut hanya ada dalam cita-cita dan dalam kebudayaan ideal saja.
2. Peranan dan
Kedudukan Mamak dan Bundo Kanduang dalam Adat Minangkabau
Dalam
masyarakat tradisional Minangkabau, kepemimpinan para niniak mamak merupakan
salah satu unsur kepemimpinan “tungku tigo sajarangan atau tali tigo sapilin”. Anggotanya
terdiri dari niniak mamak, alim ulama dan cerdik pandai.[12]
Mamak
dalam nagari adalah sebagai pamong nagari yang bekerja sama dengan mamak
seandiko. Maksud mamak yang seandiko, pengertianya sama dengan penghulu pucuk,
penghulu payung, yaitu pucuk bagian tertinggi bertunas dan karena itu menjamin
kelanjutan hidup tanaman, payung ialah
tempat berlindung dari terik panas ataupun basah hujan, sedangkan istilah
“andiko” adalah yang memerintah. Jadi, seandiko adalah dapat dikatakan sebagai
ninik mamak yang duduk sebagai anggota KAN atau dewan pemerintahan dalam
nagari.[13]
Adat Minangkabau bahkan memberikan kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada
mamak. Adat mewajibkan mamak harus
membimbing kemenakan, mengatur dan mengawasi pemanfaatan harta pusaka,
dan memacik bungka nan piawai.
Kewajiban ini tertuang dalam pepatah adat ataupun dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kewajiban untuk membimbing
kemenakan sudah selalu didendangkan orang Minang dimana-mana. Namun, kini sudah
mulai jarang diamalkan. Pepatah menyebutkan:
Kaluak paku kacang balimbiang
Buah simantuang lenggang-lenggangkan
Anak dipangku kemenakan
dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan[14]
Pepatah adat di atas, dapat dibahasa indonesiakan
seperti sebagai berikut:
Keluk paku
kacang belimbing
Buah simantung
lenggang-lenggangkan
Anak dipangku
kemenakan dibimbing
Orang kampung diberi kemudahan
Berdasarkan
pepatah adat Minangkabau di atas, dapat dikemukakan bahwa niniak mamak
mempunyai peranan penting dalam membimbing anak kemenakannya. Selain niniak
mamak, bundo kanduang juga tidak kalah penting peranannya terhadap generasi
muda.
Kaum ibu sebagaimana yang telah kita terangkan disebut
“bundo kanduang”. Ini sama halnya dengan “ibu pertiwi” dalam negara kita
Indonesia.[15] Kaum ibu mempunyai
kedudukan yang khas dalam hukum adat Minangkabau. Terutama sistem keturunan diambil
menurut garis ibu (turunan darah menurut garis ibu), susunan yang telah lama
berlangsung mulai dari lingkungan yang hidup yang lebih kecil sampai ke
lingkungan yang lebih besar, dari keluarga sampai kepada satu negeri.
Menurut Herwandi, dkk, mengatakan bahwa istilah bundo
kanduang berarti ibu yang melahirkan diri seseorang, kemudian berubah menjadi
istilah untuk mewakili perempuan dan merupakan panggilan terhadap golongan
wanita menurut adat Minangkabau.[16]
Bundo Kanduang sebagai wanita merupakan pengantara keturunan yang harus memelihara diri serta mendudukkan
diri sendiri dengan aturan adat.
Bundo kanduang di Minangkabau menjadi tumpuan bagi
semua anak Minang untuk mendapatkan
pendidikan agama dan budi pekerti sesuai dengan adat yang basandi syarak-syarak
basandi kitabullah. Pendidikan agama dan pembentukan budi pekerti suatu
generasi bukanlah pekerjaan mudah dan ringan. Tugas ini merupakan tugas utama
para bundo kanduang di Minangkabau.[17] Sosok bundo kanduang dalam
literature dan pelajaran adat Minangkabau digambarkan sebagai perempuan atau
ibu yang ideal, sebagai ibu yang berwibawa, yang arif bijaksana, tempatan
undang sangkutan pusaka, tempat meniru meneladan, memakai rasa dan periksa.[18]
Dalam mengembangkan tugasnya sebagai bundo kanduang,
maka hendaklah membina, membimbing anak-anak mereka dengan ilmu agama. Peranan
bundo kanduang dalam hal ini adalah sebagai wadah bagi anak-anak mereka
mendapatkan tauladan yang baik dari seorang bundo kanduang. Tauladan yang baik
tersebut disertai dengan upaya bundo kanduang untuk mengajarkan, membimbing,
mengarahkan dan membina anak-anak mereka dengan pengetahuan agama dan akhlak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
3. Tugas dan
Tanggung Jawab Mamak dan Bundo Kanduang terhadap Kemenakan
Mamak
berfungsi sebagai satuan kekerabatan adat Minangkabau. Mamak bertanggung jawab
atas keselamatan saudara-saudara perempuannya beserta para kemenakannya yang
berarti kelangsungan clan (sukunya) atas nasib kelangsungan
keturunannya, kelangsungan adat dan budayanya.[19]
Penanggung
jawab utama dalam pendidikan matrilineal adalah mamak dari suatu keluarga atau
kaum kerabat. Menurut perspektif adat, mamak memiliki tanggung jawab dalam
membimbing (membelajarkan) kemenakannya.[20]
Secara
umum tugas-tugas dan kewajiban yang mendasar bagi mamak adalah menuruik alua
nan luruih, manampuah labuah nan pasa, mamalihari harato pusako dan mamaliharo
anak kamanakan.[21]
Secara singkat, tugas dan kewajiban tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Manuruik alua
nan luruih (menurut alur yang lurus) artinya menjalankan segala
ketentuan-ketentuan yang sudah ada yaitu aturan-aturan adat dan agama.
b. Manampuah jalan
nan pasa (menempuh jalan yang telah disepakati atau telah biasa dipakai) yaitu
melaksanakan apa yang telah ada, apa yang telah disepakati atau mengikat.
c. Mamaliharo
harato pusako (memelihara harta pusaka). Secara perorangan atau bersama-sama,
mamak mempunyai kewajiban memelihara harta pusaka baik yang ganggam bauntuak
(genggam beruntuk) maupun yang belum diperuntukkan seperti hutan dan tanah
ulayat.
d. Mamaliharo anak
kamanakan (memelihara anak kemenakan). Artinya mengawasi dan membimbing atau
peduli dengan anak kemenakan, atau peduli dengan kaum secara keseluruhan.[22]
Tugas-tugas
pada (a), (b) dan (c) di atas adalah untuk menunjang tugas dan kewajiban huruf
(d) ini. Dalam rangka kesempurnaan tugas dan kewajiban memelihara anak
kemenakan, tugas-tugas pokok lainnya adalah:
a. Mengetahui
dengan pasti populasi anggota kaum. Berapa jumlahnya, jumlah lelaki dan
perempuan, pendidikan dan tingkat pendidikannya, yang miskin dan yang mampu,
yang di kampung dan di rantau, dan sebagainya.
b. Menjaga dan
mengawasi apakah kemenakan menunaikan tugasnya dengan baik atau tidak atau
kurang terhadap agama (Islam) adat dan pemerintahan, apakah patuh membayar
kewajiban seperti pajak dan kewajiban lainnya.
c. Ikut memikirkan
dan memecahkan masalah serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi kemenakan.
d. Membimbing dan
mengarahkan anak kemenakan agar mereka menjaga keselamatannya terlepas dari
bahaya.
e. Menyuruh
berbuat kebajikan dan menjauhi larangan yang diatur oleh agama, adat dan
pemerintah.
f. Mengajarkan dan
mengembangkan adat istiadat kepada anak kemenakan sehingga mereka menjadi
pewaris adat yang baik.
g. Menyelesaikan
sengketa yang mungkin terjadi antara sesame kemenakan atau kemenakan dengan
pihak lain.[23]
Dalam masyarakat Minangkabau hubungan kekerabatan
antara seorang anak dengan saudara laki-laki ibunya, disebut dengan istilah
setempat hubungan kekerabatan “mamak
dengan kemenakan”.[24]
Walaupun organisasi masyarakat Minangkabau berdasarkan garis keturunan ibu,
namun yang berkuasa dalam satu kesatuan tersebut selalu orang laki-laki dari garis keturunan
ibu, hanya saja kekuasaan selalu didasarkan atas mufakat seperti buni pepatah minang, “Kamanakan
barajo ka mamak, mamak barajo ka mufakat” artinya kemenakan beraja ke mamak,
mamak beraja ke mufakat. Hal ini menjelaskan bahwa setiap mamak berpedoman
terhadap mamaknya, sementara mamak dalam mengambil keputusan berdasarkan
mufakat.
Mamak merupakan pemimpin, oleh sebab itu pengertian
mamak pada setiap laki-laki yang lebih tua juga berarti pernyataan bahwa yang
muda memandang yang lebih tua menjadi pimpinannya. Dimanapun juga di
Minangkabau, anak kemenakan amat segan kepada seorang mamaknya, bahkan dia akan
lebih patuh kepada mamaknya dari pada perangkat
pemerintah di desanya. Ini bukan berarti rendahnya khari itu di kelurahan Lasmatik pemerintah seorang mamak.
Sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam kekerabatan
menurut garis keturunan ibu, maka yang disebut mamak dapat diklasifikasikan
atas tiga jenis yaitu:
a.
Mamak rumah adalah, saudara
sekandung laki-laki ibu atau garis ibu “serumah gadang” yang terpilih jadi
wakil pembimbing/Pembina anggota garis ibu yang terdekat. Tugasnya adalah
memelihara, membina dan memimpin kehidupan jasmaniah maupun rohaniah
“kemenakan-kemenakannya”. Oleh karena itu ia menguasai sejumlah potensi
produktif keluarga yang dikerjakan keluarga (Paruik) termasuk harta pusaka
keluarga. Mamak rumah ini disebut juga
“Tungganai” dan dipanggil dengan istilah
Datuak (yang mulia).
b.
Mamak kaum adalah seseorang
dipilih diantara beberapa mamak rumah atau tungganai yang terikat dalam hubungan darah (geneologis) yang disebut kaum, sehingga
mamak kaum disamping berfungsi sebagai mamak bagi keluarga (paruik) juga bertugas mengurus kepentingan-kepentingan kaum.
Disamping itu mamak kaum adalah orang yang mempunyai “budi yang dalam, bicara yang haluih” artinya
orang yang manjadi mamak kaum itu mestinya orang-orang yang berbudi pekerti,
sopan santun, ramah tamah dan rendah hati karena dia akan menjadi teladan bagi
anak kemenakan yang dipimpinnya seperti
pepatah, “nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago. Nan baik iyolah budi,
nan indah iyolah baso” artinya yang belang adalah kundi, yang merah adalah
sago, yang baik adalah budi, yang indah adalah bahasa.
c.
Mamak suku yaitu yang menjadi
pimpinan suku. Apabila sebuah paruik anggota-anggotanya begitu banyaknya
sehingga timbullah cabang dari paruik-paruik itu sebagai kesatuan baru, dan
apabila ia terus berkembang lebih jauh
lagi sepanjang perjalanan masa, maka akhirnya kita menjumpai suatu lingkungan yang anggota-anggotanya satu
sama lain diikat oleh pertalian darah menurut garis ibu, maka lingkungan ini
dipimpin oleh mamak suku.[25]
Berdasarkan pembagian mamak di atas, tanggung jawab
mamak yang lebih utama dalam membimbing anak kemenakan adalah mamak rumah
(tungganai), ini bukan berarti pula mamak yang lainnya harus mengabaikan
tugasnya terhadap kemenakannya. Mamak mempunyai tanggung jawab yang besar
terhadap kemenakannya diantaranya memelihara, membina dan memimpin kehidupan
jasmaniah maupun rohaniah. Ini berarti tanggung jawab mamak bukan hanya sekedar
dalam bidang pendidikan saja. Akan tetapi tanggung jawab mamak lebih besar dari
itu yang sifatnya adalah mensejahterakan kehidupan kemenakan. Kesejahteraan
kemenakan yang dimaksud adalah sejahtera jasmani dan rohani. Dengan demikian,
mamak sangat penting urgensinya dalam adat Minangkabau.
Selanjutnya
bundo kanduang, tugas dan kewajiban seorang perempuan tentu juga menjadi tugas
dan kewajiban seorang bundo kanduang. Pokok-pokok tugas dan kewajiban itu
adalah:
Manuruik alua nan luruih
Manampuah jalan dan pasa
Mamaliharo anak cucu
Mamaliharo harato pusako
Dalam
mengemban tugas dan kewajibannya itu, setiap bundo kanduang harus mampu dan
mengerti serta dapat membedakan dua wilayah kepemimpinan yang berbeda ruang
lingkupnya yang ada dihadapannya. Pertama, sebagai ibu rumah tangga yang di
dalamnya ada suami, anak, cucu, dan anggota keluarga lainnya yang diikat oleh
periuk nasi siibu rumah tangga. Kedua, sebagai bundo kanduang atau sebagai
pemimpin perempuan-perempuan dan anak cucu dalam kaum di bawah payuang panji
penghulu kaum.
Sebagai
bundo kanduang yang menjadi pemimpin perempuan-perempuan dan anak cucu dalam
kaum, ia harus mampu berbuat lebih dari itu.dalam hal prinsip berpegang pada
aturan dan prinsip menempuh jalan yang pasar, bobotnya tentu relatif sama
antara masing-masing perempuan biasa dan bundo kanduang. Namun, seorang bundo
kanduang tentu harus memiliki kualitas yang lebih baik dari yang lainnya.
Memiliki ilmu yang lebih dalam, memiliki pengalaman dan pengetahuan empiris
yang cukup.
Jika ada permasalahan yang dihadapi,
baik antara sesame anak cucu atau antara saudara dalam kaum, maupun antara
anggota kaum dengan pihak luar, dia harus mampu berdiri sebagai pemimpin yag
berdiri di depan, sebagai:
Urang nan tinggi tampak jauah
Nan dakek jolong basuo
(orang yang tinggi tampak dari jauh
Yang dekat pertama kali bertemu)[26]
Pengertian
memelihara keluarga harus diperluas oleh seorang bundo kanduang. Memelihara
keluarga bukan lagi hanya memelihara suami, anak cucu dan saudara sendiri,
tetapi harus diperluas menjadi seluruh anggota kaum, termasuk para menantu,
yang merupakan suami-suami dari anak cucu dan saudara-saudara yang lain. Bundo
kanduang harus tampil sebagai pemimpin bagi anggota kaum dalam menghadapi
kegiatan baadat balimbago bapucuak jo bagantang dalam bermasyarakat berkorong
berkampung.[27]
Bundo
kanduang mempunyai kewajiban dan tugas memilihara anak dan kemenakan.
Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas yang mencakupi
bidang-bidang yang terbagi pada lima macam bidang, diantaranya sebagai berikut:
a. Bundo kanduang
sebagai limpapeh
Limpapeh
artinya tiang tengah dalam sebuah bangunan tempat memusatkan segala kekuatan
tiang-tiang lainnya yang dihubungkan oleh alat-alat lainnya. Limpapeh menurut
adat Minangkabau adalah seorang bundo kanduang yang telah meningkat sebagai
seorang ibu, seperti kata-kata adat sebagai berikut:
Kalau karuah aia di hulu
Sampai ka muaro karuah juo
Kalau kuriak induaknyo,
Rintiak anaknyo,
Tuturan atok jatuah ka palambahan.
Ibu
sebagai limpapeh rumah gadang adalah tampek maniru manuladan kasuri tuladan
kain, kacupak tuladan batuang, satitiak namuah jadi lawik, sakapa buliah jadi
gunuang. Ibu tugasnya memberikan bimbingan dan pendidikan serta penggemblengan
terhadap anak yang dilahirkannya dan semua anggota keluarga dalam rumah tangga
dan talli temalinya, seperti bako, baki, handan pasumandan dan sebagainya.
Ibu
harus dapat menjadikan rumah tangga dan keluarga sebagai suatu lembaga pendidikan terendah atau terkecil, karena
pendidikan pertam kali diberikan oleh ibu. Seperti kata adat, raso dibaok
naiak, pariso turun, artinya pendidikan yang baik harus dimulai di dalam
lingkungan rumah tangga dan keluarga, baru ia menjadi orang yang baik di luar
rumah tangga.
1) Manunjuak
maajari
Mengajar
anaknya serta keluarga rumah tangga dengan sifat-sifat mempunyai rasa malu
sesamanya, terutama antara anak laki dengan anak perempuan, antara kakak dan
adik, antara mamak dan kemenakan, antara ibu dengan anak, bapak dengan anak,
ipar dengan bisan, mertua dengan menantu. Pendidikan yang dimaksud lebih
mengutamakan praktek bukan teori. J. Donald Walters mengemukakan bahwa
pendidikan terutama harus berbasis pengalaman, bukan sekedar teoritis.[28] Bundo
kanduang dalam hal ini menunjuk maajari. Dalam artian, bundo kanduang
dapat mendorong kemenakan untuk belajar dalam memecahkan berbagai persoalan.
Colin Rose dan Malcom J. Nicholl mengemukakan bahwa belajar bagaimana berpikir
secara logis dan kreatif adalah satu hal yang sangat penting jika ingin dapat
memecahkan sosial dan personal secara efektif.[29]
Begitu juga dengan kemenakan sebagai generasi muda Minangkabau. Dengan
memakaikan raso jo pareso, hereang jo gendeang, nan elok dek awak katuju dek
urang, budi baik baso katuju, malatakkan suatu di tampeknyo, manuruik mungkin
dengan patuik majilih di tapi aia mardeso di paruik kanyang (kebersihan), mangana
hiduik ka mati (ilmu agama).
Sebagai
ibu dalam rumah tangga harus mendidik dan mengajar anaknya malu membuka bagian
anggota tubuhnya, terutama anak perempuan di hadapan kakak, adik serta family
yang laki-laki, apalagi dengan orang lain. Yang dimaksud dengan anggota tubuh
(aurat) dalam agama yang sifatnya akan menghilangkan rasa malu sesamanya.
2) Tingkah dan
laku perangai
a) Seorang ibu
harus mendidik dan mengajar anaknya serta anggota keluarganya dengan sifat yang
ramah tamah. Nan tuo dihormati, nan ketek dikasihi, samo
gadang baok bakawan.
b) Hormat kepada
ibu bapak, mamak, suami istri, kakak, nenek, dan orang yang tua umurnya serta
guru dan pemimpin. Muluik manih kucindan murah, baso baik gulo dibibia,
muluik manih talempong kato, sakali rundiang disabuik, takana juo salamonyo.
c) Kasih sayang, sakik
dek awak sakik dek urang, rasokan ka dalam diri, apo nan dirasokan urang lain,
piriak dagiang awak, piriak dagiang urang. Larang berkata kasar dan
sombong, serta kata-kata yang kotor didengar telinga di Minangkabau.
d) Mendidik dengan
berhati sabar dan rela. Nanang ulua bicaro, aniang saribu aka, dek saba bana
mandating, hemat dan cermat dalam tingkah laku dan perbuatan, toleransi dan
lapang hati, jujur, sakato lahia dengan batin, sakato muluik jo hati, barani
pado nan bana, takuik babuek salah.
e) Pendidikan yang
demikian akan menjadi pengetahuan nantinya bagi si anak. apabila dia telah
menjadi pemuda dan orang dewasa
f) Mendidik anak
berkata-kata sopan, berpakaian secara sopan menurut adat dan syarak, sopan di
dalam makan dan minum dengan segala persoalannya, sopan dalam duduk dan
berdiri, berjalan, bergaul dan lain sebagainya.
g) Ajarkan dan
didik anak-anak untuk tidak mengajarkan
pekerjaan sumbang menurut adat Minangkabau.
h) Mendidik dan
mengajar anak dengan ajaran cinta kepada kampung halaman dan tumpah darahnya,
cinta kepada alamnya, cinta kepada kebudayaan dan agamanya, cinta kepada ibu
bapak, keluarganya, cinta kepada pemimpin dan guru yang mengajarnya.
i)
Mendidik dan mengajar anak-anak dengan
menerapkan kehidupan yang sederhana. Mendidik agar anak yakin berusaha dengan
kemampuan ilmu dan usahanya.
b. Bundo kanduang
sebagai umbun puruak pegangan kunci
Seorang
wanita bila telah menginjak tangga perkawinan, sesuangguhnya sekaligus menambah
tugas baru yang berat tetapi mulia. Tugas-tugas tersebut memerlukan:
1) Arieh bijaksano
2) Hormat dan
khidmat
3) Capek kaki
ringan tangan
4) Mempunyai sifat
yang mulia dan menjauhi larangan.
c. Bundo kanduang
sebagai pusek jalo kumpulan tali
Bundo
kanduang sebagai pengatur rumah tangga yang merupakan sumber yang sangat
menentukan baik atau jeleknya anggota keluarga. Tugas sebagai pengatur rumah
tangga meliputi pengaturan lahiriah dan batiniah dalam lapangan-lapangan,
ruangan dalam, kamar tidur, dapur, kamar mandi, halaman keliling rumah,
kakus, hiasan di dalam dan di luar
rumah, haruslah malatakkan suatu di tampeknyo, manuruik mungkin jo patuiek,
malabihi ancak-ancak, mangurangi nan sio-sio.
d. Bundo kanduang
sebagai sumarak dalam nagari
Dalam
adat Minangkabau, wanita adalah anggota masyarakat. Tanpa adanya wanita, maka
tidaklah cukup unsur yang disebut masyarakat itu. Tanpa wanita, rumah tangga, korong
kampuang, nagari dan Negara tidak akan jadi sumarak.[30]
[1] Departemen pendidikan dan kebudayaan, Peranan Mamak terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau Masa Kini,
(Padang: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sumatera Barat,
1996), Edisi ke-1, h. 44
[2] Sjafnir, Sirih Pinang Adat
Minangkabau (Pengetahuan Adat Tematis), (Padang: Setra Budaya, 2006), Cet.
ke-1, h. 124
[3] Amir MS, Adat Minangkabau
(Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang), (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007),
h. 181
[4]Amir MS, Masyarakat
Adat Minangkabau Terancam-Punah, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007),
Cet. ke-1, h. 48-49
[6]Herwandi, dkk, Rakena:
Mandeh Rubiah (Penerus Kebesaran Bundo Kanduang), (Padang: Museum
Adityawarman, 2006), Cet. ke-2, h. 37
[12]Departemen pendidikan dan kebudayaan, Peranan Mamak terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau Masa Kini,
(Padang: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sumatera Barat,
1996), Edisi ke-1, h. 43
[15]Idrus Hakimy, Rangkaian
Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), Cet. ke-6, h. 42
[16]Herwandi, dkk, Rakena:
Mandeh Rubiah (Penerus Kebesaran Bundo Kanduang), (Padang: Museum
Adityawarman, 2006), Cet. ke-2, h. 37
[17]Amir MS,
Masyarakat Adat Minangkabau Terancam-Punah, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
2007), Cet. ke-1, h. 52
[18]N. Latief, Etnis dan Adat Minangkabau; Permasalahan dan Masa
Depannya, (Bandung: Angkas, 2002), Cet. ke-1, h. 82
[20]Jammaris Jamma, Pendidikan Matrilineal, (Padang: Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2004), Cet. Ke-1, h. 87
[21] Ibrahim, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang
Orang Minang, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), Cet. ke-1, h. 307
[25] Ibid., h. 41
[28]J. Donald Walters, Education for Life, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), Diterj. Oleh Agnes Widyastuti, h. 9-10
[29]Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for The
21 ST Century, (Bandung: Nuansa, 2003), Diterj. Oleh Dedi
Ahimsa, Cet. ke-4, h. 34
[30]Idrus Hakimy, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang dan Pidato Alua
Pasambahan Adat di Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet.
ke-6, h. 101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar