Cari Blog Ini

Minggu, 10 Maret 2019

Mamak dan Bundo Kanduang


A.    Mamak dan Bundo Kanduang
1.      Pengertian Mamak dan Bundo Kanduang
Setiap golongan dalam kehidupan bermasyarakat, tentu harus mempunyai pimpinan. Sebagai anggota dalam masyarakat yang berdasarkan kekerabatan geologis menurut garis keturunan matrilineal, pimpinan tertinggi berada di tangan mamak menurut tingkatan masing-masing. Untuk sebuah rumah tangga disebut “tungganai” dengan pengertian bahwa rumah tangga di sini bukan berarti untuk satu rumah, melainkan untuk beberapa deretan rumah dari satu kerabat orang-orang yang senenek menurut garis ibu. Sedangkan untuk kaum disebut mamak kaum, pangkatnya disebut penghulu. Menurut Departemen Pendidikan dan kebudayaan mamak adalah merupakan pimpinan formal menurut adat Minangkabau.[1]
Mamak adalah sapaan seorang kepada saudara-saudara ibu yang laki-laki.[2] Setiap anggota kaum yang laki-laki dipersiapkan untuk dapat menggantikan mamaknya dalam memelihara anak kemenakan dan harta pusaka kaumnya. Sapaan mamak semakin meluas kepada orang-orang  setara dengan mamak. Panggilan mamak telah menjadi panggilan umum di minangkabau.
Pendapat di atas, sejalan dengan pendapat Amir MS, yang mengatakan bahwa mamak adalah semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpum yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita.[3] Jadi mamak tidak sebatas saudara kandung ibu, tetapi semua lelaki yang segenerasi dengan ibu kita  dalam suku yang serumpun. Dengan demikian, orang Minangkabau mempunyai mamak kandung, mamak sejengkal, mamak sehasta dan mamak sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaan. Mamak kandung adalah mamak dalam lingkungan samande (seibu).
Selanjutnya istilah bundo kanduang di Minangkabau kini sering dipakai sebagai kata ganti untuk kaum wanita. Posisi dan peran wanita dalam masyarakat sering juga dikatakan  sebagai posisi dan peran bundo kanduang. Padahal pengertian istilah bundo kanduang dalam masyarakat Sumatera Barat pada umumnya berbeda-beda. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Bundo kanduang menurut cerita kaba, menurut Edward Jamaris seperti yang dikutip oleh Amir MS, mengatakan bahwa kaba cindua mato adalah karya sastra Minangkabau. Jadi Bundo Kanduang hanyalah raja khayalan.
b.      Bundo kanduang adalah kaum wanita di Sumatera Barat.
c.       Bundo kanduang merupakan masyarakat adat Minangkabau.[4]

Menurut Amir. MS, Bundo kanduang dalam pandangan masyarakat adat Minangkabau adalah perempuan sulung (tertua atau dituakan) dalam suatu suku, yang memegang pimpinan urusan dalam (domestik = rumah tangga) dari suatu kaum dalam lingkungan masyarakat adat Minangkabau.[5] Bundo kanduang merupakan sebutan seorang ibu di Minangkabau. Menurut Herwandi, dkk, mengatakan bahwa istilah bundo kanduang berarti ibu yang melahirkan diri seseorang, kemudian berubah menjadi istilah untuk mewakili perempuan dan merupakan panggilan terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau.[6] Bundo kanduang adalah panggilan terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau. Artinya, bundo adalah ibu, kanduang adalah sejati. Bundo kanduang adalah ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan.[7] Bundo Kanduang sebagai wanita merupakan pengantara keturunan  yang harus memelihara diri serta mendudukkan diri sendiri dengan aturan adat.
Seorang bundo kanduang harus dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, halal dengan yang haram dalam hal makanan serta perbuatan lahiriah lainnya, karena sebagai pengantara keturunan ia mempunyai tugas pokok dalam membentuk dan menentukan  watak manusia dalam melanjutkan keturunan.
Dalam adat Minangkabau, menurut Hakimy seperti yang dikutip oleh  Herwandi dan kawan-kawannya, fungsi bundo kanduang itu dihimpun dalam satu ungkapan, gurindam adat yang berbunyi:
“Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian, pusek jalo kumpulan padi, sumarak di dalam kampuang, hiasan dalam nagari, nan gadang basa batuah, kok hiduek tampek banaso, kok mati tampek baniat, ka unduang-unduang ka Madinah, kapayuang panji kasarugo. (Bunda sejati, kebesaran rumah gadang, pusat kuasa pemegang kunci, pusat kuasa simpanan warisan pusaka, pusat jala kumpulan tali, semarak dalam kampung, hiasa dalam nagari, yang besar bertuah, kalau hidup tempat bernazar, kalau mati tempat berniat sebagai penuntun ke tanah suci, sebagai payung panji untuk ke surga)”.[8]

Ungkapan adat Minangkabau di atas dapat disimpulkan bahwa adat Minangkabau memberikan beberapa keutamaan dan pengecualian kepada wanita di Minangkabau, yang menandakan bahwa ia diberi kemuliaan dan kehormatan, dan harus dapat menjaga martabat diri dan keluarganya. Sebagai seorang ibu sejati, bundo kanduang harus memiliki sifat-sifat antara lain benar, jujur, pandai berbicara, cerdik dan memiliki rasa malu.[9] Kendati seorang bundo kanduang merupakan pemimpin bagi pendidikan dan pembentuk karakter anak-anaknya.
Untuk lebih jelasnya, dalam kajian penelitian ini, penulis akan memaparkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang bundo kanduang:
a.       Bersifat benar
Seorang bundo kanduang harus memiliki sifat  benar yang tercermin di dalam pergaulan dan perilaku sehari-hari. Ia harus selalu berkata benar dan mendidik lingkungannya, memupuk sifat-sifat kebenaran, dan harus menghindarkan diri dari sifat pendusta. Dengan mempunyai sifat benar, maka akan dapat menciptakan generasi yang lebih baik kendati bundo kanduang merupakan salah satu pendidik yang akan diteladai oleh anak-anaknya.

b.      Bersifat jujur
Bundo kanduang juga harus memiliki sifat jujur dan menghindarkan sifat yang berlawanan  dengan kejujuran tersebut. Dengan bersifat jujur, maka akan terbukalah suatu jalan bagi rumah tangganya yang terbuka dan berakhir dengan kebahagiaan. Menurut Herwandi dan kawan-kawannya, gurindam adat menyebutkan sifat-sifat dusta yang harus dihindarkan oleh seorang bundo kanduang adalah:
Mangguntiang dalam lipatan
Manuhuak kawan sairiang
Malakak kuciang di dapua
Manahan jarek di pintu
Mancari dama ka bawah rumah
Papek di lua runciang di dalam
Tunjuak luruih kalingkiang bakaik
Pilin kacang nak mamanjek
Pilin jariang nak barisi
Mamapeh dalam balango
Panipu koroang jo kampuang
Pangicuah anak kamanakan
Panjua urang di nagari
Tidak memakai malu jo sopan.[10]

Gurindam adat tersebut dapat dibahasa Indonesiakan: menggunting dalam lipatan, mencelakai kawan seiring, memukul kucing di dapur, memasang jerat di pintu, mencari kemiri di bawah rumah, pepat di luar runciang di dalam, telunjuk lurus kelingking berkait, pilin kacang memanjat, pilin jengkol akan berisi, membodohi anak kemenakan, membodohi orang kampung, tidak memiliki sopan dan santun.
Berdasarkan gurindam adat di atas, maka jelaslah bahwa seorang bundo kanduang hendaknya dapat bersifat jujur. Jujur yang dimaksud adalah jujur dalam ucapan dan dalam perbuatan. dengan adanya sifat jujur, maka seorang bundo kanduang dapat dijadikan sebagai panutan dan contoh teladan yang bagi orang-orang ayng ada di sekelilingnya terutama anak-anaknya.
c.       Pandai berbicara, cerdik dan mempunyai rasa malu
Bundo kanduang juga dituntut  memiliki sifat pandai berbicara, yakni fasih lidahnya dalam berkata-kata, karena ia sebagai pendidik  dan pembimbing terhadap kemenakannya yang akhirnya bermuara sebagai pembentuk watak rumah tangga. Kendati bundo kanduang merupakan pendidik bagi anak-anaknya, anak kemenakannya, dan panutan bagi seluruh masyarakat di lingkungan ia berada.
Sejalan dengan hal ini, Herwandi dan kawan-kawan mengemukakan bahwa bundo kanduang harus memiliki sifat cerdik, tahu dan pandai. Dengan demikian, bundo kanduang harus mengetahui “mudharat jo manfaat, mangana labo jo rugi, mengatui sumbang jo salah, tahu jo unak ka manyangkuik, tahu jo rantiang kamancucuak, ingek di dahan kamaimpok, tahu angin nan baseruik, arih di ombak baabunang, tahu di alamat kato sampai”.[11] Gurindam tersebut dapat dibahasa indonesiakan yaitu tahu akan mudarat dan manfaat, mengingat untung dan rugi, mengetahui sumbang dan salah, tahu akan onak yang akan menyangkut, tahu akan ranting yang akan menusuk, ingat akan dahan yang akan menimpa,  tahu pada angin yang akan berkisar, arif kepada ombak yang akan bersabung, tahu maksud dan makna kata sampai.
Bundo kanduang juga dituntut untuk mempunyai rasa malu, karena malu merupakan bagian ajaran adat Minangkabau, yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan melanggar adat dan agama serta norma-norma yang berlaku, serta menjauhkan dari sifat-sifat  yang tercela. Sifat tersebut merupakan benteng bagi seorang wanita dalam menjaga martabatnya.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut kelihatan bahwa bundo kanduang yang diinginkan itu adalah seorang perempuan ideal yang sempurna. Kalau dirunut hanya ada dalam cita-cita dan dalam kebudayaan ideal saja.
2.      Peranan dan Kedudukan Mamak dan Bundo Kanduang dalam Adat Minangkabau
Dalam masyarakat tradisional Minangkabau, kepemimpinan para niniak mamak merupakan salah satu unsur kepemimpinan “tungku tigo sajarangan atau tali tigo sapilin”. Anggotanya terdiri dari niniak mamak, alim ulama dan cerdik pandai.[12]
Mamak dalam nagari adalah sebagai pamong nagari yang bekerja sama dengan mamak seandiko. Maksud mamak yang seandiko, pengertianya sama dengan penghulu pucuk, penghulu payung, yaitu pucuk bagian tertinggi bertunas dan karena itu menjamin kelanjutan hidup  tanaman, payung ialah tempat berlindung dari terik panas ataupun basah hujan, sedangkan istilah “andiko” adalah yang memerintah. Jadi, seandiko adalah dapat dikatakan sebagai ninik mamak yang duduk sebagai anggota KAN atau dewan pemerintahan dalam nagari.[13]
Adat Minangkabau bahkan memberikan kedudukan  dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada mamak. Adat mewajibkan mamak harus  membimbing kemenakan, mengatur dan mengawasi pemanfaatan harta pusaka, dan memacik bungka nan piawai. Kewajiban ini tertuang dalam pepatah adat ataupun dalam kehidupan nyata  sehari-hari. Kewajiban untuk membimbing kemenakan sudah selalu didendangkan orang Minang dimana-mana. Namun, kini sudah mulai jarang diamalkan. Pepatah menyebutkan:
Kaluak paku kacang balimbiang
Buah simantuang lenggang-lenggangkan
Anak dipangku kemenakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan[14]

Pepatah adat di atas, dapat dibahasa indonesiakan seperti sebagai berikut:
Keluk paku kacang belimbing
Buah simantung lenggang-lenggangkan
Anak dipangku kemenakan dibimbing
Orang kampung diberi kemudahan

Berdasarkan pepatah adat Minangkabau di atas, dapat dikemukakan bahwa niniak mamak mempunyai peranan penting dalam membimbing anak kemenakannya. Selain niniak mamak, bundo kanduang juga tidak kalah penting peranannya terhadap generasi muda.
Kaum ibu sebagaimana yang telah kita terangkan disebut “bundo kanduang”. Ini sama halnya dengan “ibu pertiwi” dalam negara kita Indonesia.[15] Kaum ibu mempunyai kedudukan yang khas dalam hukum adat Minangkabau. Terutama sistem keturunan diambil menurut garis ibu (turunan darah menurut garis ibu), susunan yang telah lama berlangsung mulai dari lingkungan yang hidup yang lebih kecil sampai ke lingkungan yang lebih besar, dari keluarga sampai kepada satu negeri.
Menurut Herwandi, dkk, mengatakan bahwa istilah bundo kanduang berarti ibu yang melahirkan diri seseorang, kemudian berubah menjadi istilah untuk mewakili perempuan dan merupakan panggilan terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau.[16] Bundo Kanduang sebagai wanita merupakan pengantara keturunan  yang harus memelihara diri serta mendudukkan diri sendiri dengan aturan adat.
Bundo kanduang di Minangkabau menjadi tumpuan bagi semua anak  Minang untuk mendapatkan pendidikan agama dan budi pekerti sesuai dengan adat yang basandi syarak-syarak basandi kitabullah. Pendidikan agama dan pembentukan budi pekerti suatu generasi bukanlah pekerjaan mudah dan ringan. Tugas ini merupakan tugas utama para bundo kanduang di Minangkabau.[17] Sosok bundo kanduang dalam literature dan pelajaran adat Minangkabau digambarkan sebagai perempuan atau ibu yang ideal, sebagai ibu yang berwibawa, yang arif bijaksana, tempatan undang sangkutan pusaka, tempat meniru meneladan, memakai rasa dan periksa.[18]
Dalam mengembangkan tugasnya sebagai bundo kanduang, maka hendaklah membina, membimbing anak-anak mereka dengan ilmu agama. Peranan bundo kanduang dalam hal ini adalah sebagai wadah bagi anak-anak mereka mendapatkan tauladan yang baik dari seorang bundo kanduang. Tauladan yang baik tersebut disertai dengan upaya bundo kanduang untuk mengajarkan, membimbing, mengarahkan dan membina anak-anak mereka dengan pengetahuan agama dan akhlak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
3.      Tugas dan Tanggung Jawab Mamak dan Bundo Kanduang terhadap Kemenakan
Mamak berfungsi sebagai satuan kekerabatan adat Minangkabau. Mamak bertanggung jawab atas keselamatan saudara-saudara perempuannya beserta para kemenakannya yang berarti kelangsungan clan (sukunya) atas nasib kelangsungan keturunannya, kelangsungan adat dan budayanya.[19]
Penanggung jawab utama dalam pendidikan matrilineal adalah mamak dari suatu keluarga atau kaum kerabat. Menurut perspektif adat, mamak memiliki tanggung jawab dalam membimbing (membelajarkan) kemenakannya.[20]
Secara umum tugas-tugas dan kewajiban yang mendasar bagi mamak adalah menuruik alua nan luruih, manampuah labuah nan pasa, mamalihari harato pusako dan mamaliharo anak kamanakan.[21] Secara singkat, tugas dan kewajiban tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Manuruik alua nan luruih (menurut alur yang lurus) artinya menjalankan segala ketentuan-ketentuan yang sudah ada yaitu aturan-aturan adat dan agama.
b.      Manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang telah disepakati atau telah biasa dipakai) yaitu melaksanakan apa yang telah ada, apa yang telah disepakati atau mengikat.
c.       Mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka). Secara perorangan atau bersama-sama, mamak mempunyai kewajiban memelihara harta pusaka baik yang ganggam bauntuak (genggam beruntuk) maupun yang belum diperuntukkan seperti hutan dan tanah ulayat.
d.      Mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak kemenakan). Artinya mengawasi dan membimbing atau peduli dengan anak kemenakan, atau peduli dengan kaum secara keseluruhan.[22]

Tugas-tugas pada (a), (b) dan (c) di atas adalah untuk menunjang tugas dan kewajiban huruf (d) ini. Dalam rangka kesempurnaan tugas dan kewajiban memelihara anak kemenakan, tugas-tugas pokok lainnya adalah:
a.       Mengetahui dengan pasti populasi anggota kaum. Berapa jumlahnya, jumlah lelaki dan perempuan, pendidikan dan tingkat pendidikannya, yang miskin dan yang mampu, yang di kampung dan di rantau, dan sebagainya.
b.      Menjaga dan mengawasi apakah kemenakan menunaikan tugasnya dengan baik atau tidak atau kurang terhadap agama (Islam) adat dan pemerintahan, apakah patuh membayar kewajiban seperti pajak dan kewajiban lainnya.
c.       Ikut memikirkan dan memecahkan masalah serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi kemenakan.
d.      Membimbing dan mengarahkan anak kemenakan agar mereka menjaga keselamatannya terlepas dari bahaya.
e.       Menyuruh berbuat kebajikan dan menjauhi larangan yang diatur oleh agama, adat dan pemerintah.
f.       Mengajarkan dan mengembangkan adat istiadat kepada anak kemenakan sehingga mereka menjadi pewaris adat yang baik.
g.      Menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi antara sesame kemenakan atau kemenakan dengan pihak lain.[23]

Dalam masyarakat Minangkabau hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara laki-laki ibunya, disebut dengan istilah setempat  hubungan kekerabatan “mamak dengan kemenakan”.[24] Walaupun organisasi masyarakat Minangkabau berdasarkan garis keturunan ibu, namun yang berkuasa dalam satu kesatuan tersebut  selalu orang laki-laki dari garis keturunan ibu, hanya saja kekuasaan selalu didasarkan atas mufakat  seperti buni pepatah minang, “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka mufakat” artinya kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke mufakat. Hal ini menjelaskan bahwa setiap mamak berpedoman terhadap mamaknya, sementara mamak dalam mengambil keputusan berdasarkan mufakat.
Mamak merupakan pemimpin, oleh sebab itu pengertian mamak pada setiap laki-laki yang lebih tua juga berarti pernyataan bahwa yang muda memandang yang lebih tua menjadi pimpinannya. Dimanapun juga di Minangkabau, anak kemenakan amat segan kepada seorang mamaknya, bahkan dia akan lebih patuh kepada mamaknya dari pada perangkat  pemerintah di desanya. Ini bukan berarti rendahnya khari itu di kelurahan Lasmatik pemerintah seorang mamak.
Sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam kekerabatan menurut garis keturunan ibu, maka yang disebut mamak dapat diklasifikasikan atas tiga jenis yaitu:
a.       Mamak rumah adalah, saudara sekandung laki-laki ibu atau garis ibu “serumah gadang” yang terpilih jadi wakil pembimbing/Pembina anggota garis ibu yang terdekat. Tugasnya adalah memelihara, membina dan memimpin kehidupan jasmaniah maupun rohaniah “kemenakan-kemenakannya”. Oleh karena itu ia menguasai sejumlah potensi produktif keluarga yang dikerjakan keluarga (Paruik) termasuk harta pusaka keluarga. Mamak rumah ini disebut  juga “Tungganai” dan dipanggil  dengan istilah Datuak (yang mulia).
b.      Mamak kaum adalah seseorang dipilih diantara beberapa mamak rumah atau tungganai yang terikat  dalam hubungan darah  (geneologis) yang disebut kaum, sehingga mamak kaum disamping berfungsi sebagai mamak bagi keluarga (paruik) juga bertugas  mengurus kepentingan-kepentingan kaum. Disamping itu mamak kaum adalah orang yang mempunyai  “budi yang dalam, bicara yang haluih” artinya orang yang manjadi  mamak kaum itu  mestinya orang-orang yang berbudi pekerti, sopan santun, ramah tamah dan rendah hati karena dia akan menjadi teladan bagi anak kemenakan  yang dipimpinnya seperti pepatah, “nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago. Nan baik iyolah budi, nan indah iyolah baso” artinya yang belang adalah kundi, yang merah adalah sago, yang baik adalah budi, yang indah adalah bahasa.
c.       Mamak suku yaitu yang menjadi pimpinan suku. Apabila sebuah paruik anggota-anggotanya begitu banyaknya sehingga timbullah cabang dari paruik-paruik itu sebagai kesatuan baru, dan apabila ia terus berkembang  lebih jauh lagi sepanjang perjalanan masa, maka akhirnya kita menjumpai  suatu lingkungan yang anggota-anggotanya satu sama lain diikat oleh pertalian darah menurut garis ibu, maka lingkungan ini dipimpin oleh mamak suku.[25]

Berdasarkan pembagian mamak di atas, tanggung jawab mamak yang lebih utama dalam membimbing anak kemenakan adalah mamak rumah (tungganai), ini bukan berarti pula mamak yang lainnya harus mengabaikan tugasnya terhadap kemenakannya. Mamak mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kemenakannya diantaranya memelihara, membina dan memimpin kehidupan jasmaniah maupun rohaniah. Ini berarti tanggung jawab mamak bukan hanya sekedar dalam bidang pendidikan saja. Akan tetapi tanggung jawab mamak lebih besar dari itu yang sifatnya adalah mensejahterakan kehidupan kemenakan. Kesejahteraan kemenakan yang dimaksud adalah sejahtera jasmani dan rohani. Dengan demikian, mamak sangat penting urgensinya dalam adat Minangkabau.
Selanjutnya bundo kanduang, tugas dan kewajiban seorang perempuan tentu juga menjadi tugas dan kewajiban seorang bundo kanduang. Pokok-pokok tugas dan kewajiban itu adalah:
Manuruik alua nan luruih
Manampuah jalan dan pasa
Mamaliharo anak cucu
Mamaliharo harato pusako
Dalam mengemban tugas dan kewajibannya itu, setiap bundo kanduang harus mampu dan mengerti serta dapat membedakan dua wilayah kepemimpinan yang berbeda ruang lingkupnya yang ada dihadapannya. Pertama, sebagai ibu rumah tangga yang di dalamnya ada suami, anak, cucu, dan anggota keluarga lainnya yang diikat oleh periuk nasi siibu rumah tangga. Kedua, sebagai bundo kanduang atau sebagai pemimpin perempuan-perempuan dan anak cucu dalam kaum di bawah payuang panji penghulu kaum.
Sebagai bundo kanduang yang menjadi pemimpin perempuan-perempuan dan anak cucu dalam kaum, ia harus mampu berbuat lebih dari itu.dalam hal prinsip berpegang pada aturan dan prinsip menempuh jalan yang pasar, bobotnya tentu relatif sama antara masing-masing perempuan biasa dan bundo kanduang. Namun, seorang bundo kanduang tentu harus memiliki kualitas yang lebih baik dari yang lainnya. Memiliki ilmu yang lebih dalam, memiliki pengalaman dan pengetahuan empiris yang cukup.
Jika ada permasalahan yang dihadapi, baik antara sesame anak cucu atau antara saudara dalam kaum, maupun antara anggota kaum dengan pihak luar, dia harus mampu berdiri sebagai pemimpin yag berdiri di depan, sebagai:
Urang nan tinggi tampak jauah
Nan dakek jolong basuo
(orang yang tinggi tampak dari jauh
Yang dekat pertama kali bertemu)[26]
Pengertian memelihara keluarga harus diperluas oleh seorang bundo kanduang. Memelihara keluarga bukan lagi hanya memelihara suami, anak cucu dan saudara sendiri, tetapi harus diperluas menjadi seluruh anggota kaum, termasuk para menantu, yang merupakan suami-suami dari anak cucu dan saudara-saudara yang lain. Bundo kanduang harus tampil sebagai pemimpin bagi anggota kaum dalam menghadapi kegiatan baadat balimbago bapucuak jo bagantang dalam bermasyarakat berkorong berkampung.[27]
Bundo kanduang mempunyai kewajiban dan tugas memilihara anak dan kemenakan. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas yang mencakupi bidang-bidang yang terbagi pada lima macam bidang, diantaranya sebagai berikut:
a.       Bundo kanduang sebagai limpapeh
Limpapeh artinya tiang tengah dalam sebuah bangunan tempat memusatkan segala kekuatan tiang-tiang lainnya yang dihubungkan oleh alat-alat lainnya. Limpapeh menurut adat Minangkabau adalah seorang bundo kanduang yang telah meningkat sebagai seorang ibu, seperti kata-kata adat sebagai berikut:
Kalau karuah aia di hulu
Sampai ka muaro karuah juo
Kalau kuriak induaknyo,
Rintiak anaknyo,
Tuturan atok jatuah ka palambahan.

Ibu sebagai limpapeh rumah gadang adalah tampek maniru manuladan kasuri tuladan kain, kacupak tuladan batuang, satitiak namuah jadi lawik, sakapa buliah jadi gunuang. Ibu tugasnya memberikan bimbingan dan pendidikan serta penggemblengan terhadap anak yang dilahirkannya dan semua anggota keluarga dalam rumah tangga dan talli temalinya, seperti bako, baki, handan pasumandan dan sebagainya.
Ibu harus dapat menjadikan rumah tangga dan keluarga sebagai suatu lembaga  pendidikan terendah atau terkecil, karena pendidikan pertam kali diberikan oleh ibu. Seperti kata adat, raso dibaok naiak, pariso turun, artinya pendidikan yang baik harus dimulai di dalam lingkungan rumah tangga dan keluarga, baru ia menjadi orang yang baik di luar rumah tangga.
1)      Manunjuak maajari
Mengajar anaknya serta keluarga rumah tangga dengan sifat-sifat mempunyai rasa malu sesamanya, terutama antara anak laki dengan anak perempuan, antara kakak dan adik, antara mamak dan kemenakan, antara ibu dengan anak, bapak dengan anak, ipar dengan bisan, mertua dengan menantu. Pendidikan yang dimaksud lebih mengutamakan praktek bukan teori. J. Donald Walters mengemukakan bahwa pendidikan terutama harus berbasis pengalaman, bukan sekedar teoritis.[28]   Bundo kanduang dalam hal ini menunjuk maajari. Dalam artian, bundo kanduang dapat mendorong kemenakan untuk belajar dalam memecahkan berbagai persoalan. Colin Rose dan Malcom J. Nicholl mengemukakan bahwa belajar bagaimana berpikir secara logis dan kreatif adalah satu hal yang sangat penting jika ingin dapat memecahkan sosial dan personal secara efektif.[29] Begitu juga dengan kemenakan sebagai generasi muda Minangkabau. Dengan memakaikan raso jo pareso, hereang jo gendeang, nan elok dek awak katuju dek urang, budi baik baso katuju, malatakkan suatu di tampeknyo, manuruik mungkin dengan patuik majilih di tapi aia mardeso di paruik kanyang (kebersihan), mangana hiduik ka mati (ilmu agama).
Sebagai ibu dalam rumah tangga harus mendidik dan mengajar anaknya malu membuka bagian anggota tubuhnya, terutama anak perempuan di hadapan kakak, adik serta family yang laki-laki, apalagi dengan orang lain. Yang dimaksud dengan anggota tubuh (aurat) dalam agama yang sifatnya akan menghilangkan rasa malu sesamanya.
2)      Tingkah dan laku perangai
a)      Seorang ibu harus mendidik dan mengajar anaknya serta anggota keluarganya dengan sifat yang ramah tamah. Nan tuo dihormati, nan ketek dikasihi, samo gadang baok bakawan.
b)      Hormat kepada ibu bapak, mamak, suami istri, kakak, nenek, dan orang yang tua umurnya serta guru dan pemimpin. Muluik manih kucindan murah, baso baik gulo dibibia, muluik manih talempong kato, sakali rundiang disabuik, takana juo salamonyo.
c)      Kasih sayang, sakik dek awak sakik dek urang, rasokan ka dalam diri, apo nan dirasokan urang lain, piriak dagiang awak, piriak dagiang urang. Larang berkata kasar dan sombong, serta kata-kata yang kotor didengar telinga di Minangkabau.
d)     Mendidik dengan berhati sabar dan rela. Nanang ulua bicaro, aniang saribu aka, dek saba bana mandating, hemat dan cermat dalam tingkah laku dan perbuatan, toleransi dan lapang hati, jujur, sakato lahia dengan batin, sakato muluik jo hati, barani pado nan bana, takuik babuek salah.
e)      Pendidikan yang demikian akan menjadi pengetahuan nantinya bagi si anak. apabila dia telah menjadi pemuda dan orang dewasa
f)       Mendidik anak berkata-kata sopan, berpakaian secara sopan menurut adat dan syarak, sopan di dalam makan dan minum dengan segala persoalannya, sopan dalam duduk dan berdiri, berjalan, bergaul dan lain sebagainya.
g)      Ajarkan dan didik anak-anak  untuk tidak mengajarkan pekerjaan sumbang menurut adat Minangkabau.
h)      Mendidik dan mengajar anak dengan ajaran cinta kepada kampung halaman dan tumpah darahnya, cinta kepada alamnya, cinta kepada kebudayaan dan agamanya, cinta kepada ibu bapak, keluarganya, cinta kepada pemimpin dan guru yang mengajarnya.
i)        Mendidik dan mengajar anak-anak dengan menerapkan kehidupan yang sederhana. Mendidik agar anak yakin berusaha dengan kemampuan ilmu dan usahanya.
b.      Bundo kanduang sebagai umbun puruak pegangan kunci
Seorang wanita bila telah menginjak tangga perkawinan, sesuangguhnya sekaligus menambah tugas baru yang berat tetapi mulia. Tugas-tugas tersebut memerlukan:
1)      Arieh bijaksano
2)      Hormat dan khidmat
3)      Capek kaki ringan tangan
4)      Mempunyai sifat yang mulia dan menjauhi larangan.
c.       Bundo kanduang sebagai pusek jalo kumpulan tali
Bundo kanduang sebagai pengatur rumah tangga yang merupakan sumber yang sangat menentukan baik atau jeleknya anggota keluarga. Tugas sebagai pengatur rumah tangga meliputi pengaturan lahiriah dan batiniah dalam lapangan-lapangan, ruangan dalam, kamar tidur, dapur, kamar mandi, halaman keliling rumah, kakus,  hiasan di dalam dan di luar rumah, haruslah malatakkan suatu di tampeknyo, manuruik mungkin jo patuiek, malabihi ancak-ancak, mangurangi nan sio-sio.
d.      Bundo kanduang sebagai sumarak dalam nagari
Dalam adat Minangkabau, wanita adalah anggota masyarakat. Tanpa adanya wanita, maka tidaklah cukup unsur yang disebut masyarakat itu. Tanpa wanita, rumah tangga, korong kampuang, nagari dan Negara tidak akan jadi sumarak.[30]



[1] Departemen pendidikan dan kebudayaan, Peranan Mamak terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau Masa Kini, (Padang: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sumatera Barat, 1996), Edisi ke-1, h. 44
[2] Sjafnir, Sirih Pinang Adat Minangkabau (Pengetahuan Adat Tematis), (Padang: Setra Budaya, 2006), Cet. ke-1, h. 124
[3] Amir MS, Adat Minangkabau (Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang), (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007), h. 181
[4]Amir MS, Masyarakat Adat Minangkabau Terancam-Punah, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007), Cet. ke-1, h. 48-49
[5]Ibid., h. 50
[6]Herwandi, dkk, Rakena: Mandeh Rubiah (Penerus Kebesaran Bundo Kanduang), (Padang: Museum Adityawarman, 2006), Cet. ke-2, h. 37
[7]Amir MS, Masyarakat Adat Minangkabau Terancam-Punah,op.cit., Cet. ke-1 69
[8]Ibid., h. 37-38
[9]Ibid
[10]Ibid
[11]Ibid., h. 39
[12]Departemen pendidikan dan kebudayaan, Peranan Mamak terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau Masa Kini, (Padang: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sumatera Barat, 1996), Edisi ke-1, h. 43
[13] Ibid., h. 49
[14] Amir MS, op.cit., h. 182
[15]Idrus Hakimy, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. ke-6, h. 42
[16]Herwandi, dkk, Rakena: Mandeh Rubiah (Penerus Kebesaran Bundo Kanduang), (Padang: Museum Adityawarman, 2006), Cet. ke-2, h. 37
[17]Amir MS, Masyarakat Adat Minangkabau Terancam-Punah, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007), Cet. ke-1, h. 52
[18]N. Latief, Etnis dan Adat Minangkabau; Permasalahan dan Masa Depannya, (Bandung: Angkas, 2002), Cet. ke-1, h. 82
[19]Ibid., h. 83
[20]Jammaris Jamma, Pendidikan Matrilineal, (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2004), Cet. Ke-1, h. 87
[21] Ibrahim, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), Cet. ke-1, h. 307
[22]Ibid., 307-313
[23]Ibid., 313
[24] Amir MS, Masyarakat Adat Minangkabau Terancam Punah, op.cit., h. 40
[25] Ibid., h. 41
[26] Ibrahim, op.cit., h. 369
[27]Ibid., h. 369-370
[28]J. Donald Walters, Education for Life, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), Diterj. Oleh Agnes Widyastuti, h. 9-10
[29]Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for The 21 ST Century, (Bandung: Nuansa, 2003), Diterj. Oleh Dedi Ahimsa, Cet. ke-4, h. 34
[30]Idrus Hakimy, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. ke-6, h. 101

Tidak ada komentar: