A.
Transformasi Metode
Pembelajaran Pesantren Khalaf
Metode pembelajaran merupakan suatu jalan yang ditempuh agar penyampaian
materi pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, sehingga penyerapan
materi pembelajaran oleh siswa dapat berlangsung maksimal. Oleh karenanya
pemilihan metode pembelajaran sangat tergantung pada karekter materi yang ingin
dipelajari, begitupun di pesantren, materi pembelajaran yang telah dianggap
baku, membuat pesantren menerapkan metode-metode yang yang kurang mampu
menumbuhkan sikap kritis dan kreatif santri.
Seiring dengan usaha pesantren untuk mengintregasikan materi umum
kedalam kurikulumnya pada permulaan abad ke-20,
sedikit banyak pesantren mulai berkenalan dengan metode pembelajaran yang
diterapkan pada ilmu-ilmu umum, hal ini membuat pesantren melakukan
perubahan-perubahan metodologis. Proses ini pun tidak bisa berjalan serempak di
seluruh pesantren, mengingat otoritas Kiai yang besar dalam menentukan segala
bentuk perubahan di pesantren yang dipimpinnya. Secara garis besar perubahan
ini dapat dikategorikan dalam dua tipe. Pertama,
adaptasi dimana metode
pembelajaran ilmu umum di sekolah disesuaikan dengan filosofi pesantren sebelum
diterapkan, diantaranya diterapkannya sistem klasikal bentuk madrasah dalam proses
pembelajaran di beberapa pondok pesantren. Madrasah ini mendapat pengaruh dari Madrasah
Darul Ulum dan Madrasah Shalatiyah di Makkah. Akan tetapi, dalam pengaruh
jenjang kelas dan susunan vertikalnya, jelas sekali menyesuaikan dengan apa
yang disebut “sekolah umum”; seperi HIS, MULO dan AMS di zaman Hindia Belanda.
Setaraf dengan SD, disebut “madrasah ibtidaiyah”, setaraf dengan SMP disebut
“tsanawiyah”, setaraf SMA disebut “aliyah” dan untuk taraf perguruan tinggi,
disebut Ma’had ‘Aly.[1]
Dengan
diselenggarakannya pendidikan madrasah di lingkungan
pondok pesantren, terjadilah perubahan pengertian dimana pondok pesantren tidak
lagi sepenuhnya tergolong pendidikan jalur luar sekolah, tetapi juga jalur
sekolah.[2]
Mengingat metode klasikal pertamakali diterapkan di Indonesia pada sekolah-sekolah
Belanda abad ke-19, sehingga klasikal begitu identik dengan sekolah dan semua
institusi pendidikan yang menerapkan ini dimasukkan dalam kategori sekolah.
Dalam
metode ini santri belajar dalam kelas-kelas.[3]
Dengan perlengkapan khas kelas-kelas dalam sekolah Belanda, seperti meja, yang
di beberapa pesantren bentuknya dibuat lebih rendah, meja ini disebut dampar,
selain itu digunakan pula kapur dan papan tulis. Metode ini sudah dikenal di
Sumatera Barat sejak 1907 dan di pesantren-pesantren Jawa baru awal 1920-an.
Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Sukorejo, misalnya baru mendirikan
Madrasah Ibtida'iyah pada tahun 1925.[4]
Hal
ini bisa dimaklumi mengingat konfrontasi dengan pihak kolonial yang terjadi di
Sumatera Barat tidak sekeras di Jawa, sehingga segala bentuk pembaharuan
pendidikan yang bersumber dari Belanda lebih mudah diterima di sana, meskipun
penerimaan ini tidak bersifat total, melainkan telah disesuaikan dengan
filosofi pendidikan Islam. Pada gilirannya pesantren di Jawa banyak berhutang
pada kaum reformis Sumatera Barat dalam melakukan pembaharuan, sebagaimana
dinyatakan Azyumadi Azra, "Komunitas pesantren menolak paham dan
asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga
tidak bisa lain, kecuali dalam batas tertentu mengikuti jejak langkah kaum
reformis."[5]
Diterapkannya
metode ini memang membuat pesantren memilki penjejangan materi pembelajaran
yang jelas dan mapan, pesantren juga memiliki target waktu untuk menyelesaikan tiap materinya, misalnya kitab
gramatika Alfiyah harus diselesaikan dalam kurun satu atau dua tahun, tanpa
adanya pengulanagan di kelas berikutnya ('adamu tikrar).
Tidak
adanya pengulangan dalam kajian kitab ini membuat jumlah kitab yang harus
dipelajari oleh santri hingga dinyatakan tamat dari pesantren menjadi lebih
banyak. Ini menyebabkan seorang santri harus tinggal dalam satu pesantren saja
untuk waktu bertahun-tahun.[6]
Santri tidak lagi sempat melakukan rihlah ilmiah dari satu pesantren ke
pesantren lain, agar mendapatkan bimbingan terbaik dari guru/Kiai paling 'alim
dalam fan keilmuan tertentu, santri dituntut untuk menerima apapun
kondisi fasilitas maupun kemampuan pengajar hingga tamat.
Pengembangan metode tipe ini juga pernah dilakukan
oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dengan menambahkan
model musyawarah (seminar) di samping metode sorogan (individual) dan bandongan
(kolektif) yang telah ada.[7]
Metode ini merupakan bentuk
adaptasi dari metode diskusi. Ada
satu perbedaan mendasar antara diskusi dan musyawarah yang dirintis oleh Hadratus Syaikh, diskusi memperbolehkan peserta
untuk menggugat secara kritis teori apapun, sedangkan musyawarah masih terbatas
mencari landasan atau dalil dan pemahaman yang tepat dari kitab kuning.
Kegiatan
terpenting dari kelompok musyawarah ini ialah mengikuti seminar-seminar yang
membahas berbagai masalah atau soal-soal agama baik yang dipertanyakan oleh
masyarakat, maupun yang dilontarkan oleh kyai sebagai latihan untuk memecahkan masalah.[8]
Masalah-masalah yang diajukan dalam forum ini cukup variatif, mulai dari bidang
Fiqih, Tauhid, Sosial kemasyarakatan hingga politik, namun persoalan
Fiqih adalah yang paling dominan.
Dalam
kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat berbeda dari sistem sorogan
dan bandongan, para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang
ditunjuk, kyai memimpin kelas musyawarah
seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya
hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab, dan merupakan latihan bagi
para siswa untuk menguji keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber
argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. Sebelum menghadap Kyai, para siswa
biasanya menyelenggarakan diskusi terlebih dahulu antara mereka sendiri dan
menunjuk salah seorag juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah
yang disodorkan oleh Kyainya. Baru setelah itu diikuti dengan diskusi bebas.
Mereka yang akan mengajukan pendapat diminta untuk menyebutkan sumber sebagai
dasar argumentasi.[9]
Sebenarnya
metode ini cukup bagus untuk mengembangkan kecerdasan santri, namun hal itu
agaknya berlebihan, mengingat pembatasan-pembatasan yang diberlakukan―misalnya
santri hanya boleh mengutip ibarat tanpa diizinkan mengkritiknya, itupun hanya
terbatas pada kitab-kitab yang dikarang oleh ulama Syafi'iyah―justru
membelenggu intelektualitas santri.
Bagaimanapun
juga sistem yang dikembangkan oleh Hadratus Syaikh cukup efektif, hal ini dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa para
santri yang menyelesaiklan kelas musyawarah akhirnya menjadi ulama besar yang
dapat mengembangkan pesantren-pesantren besar, diantaranya Kiai Wahab Hasbullah
pempmpin pesantren Tambak Beras, Jombang, Kyai Manaf Abdul Karim pendiri
pesantren Lirboyo (yang kini sangat terkenal), Kyai Abbas Buntet, pemimpin
pesantren Buntet Cirebon, Kyai As'ad pemimpin pesantren Asembagus, Situbondo,
Jawa Timur.[10]
Sayang
sekali sepeninggal Hadratus Syaikh metode ini tidak berlanjut, dikarenakan tidak ditemukannya pengganti
yang sepadan dengan Hadratus Syaikh, untuk memimpin secara langsung musyawarah.
Namun metode yang saat itu masih tergolong baru itu,telah menginspirasi
pesantren untuk mengembangkan metode serupa yaitu Bahtsul Masa’il.
Metode
Bahtsul Masa’il mengacu pada pemecahan masalah-masalah dalam persoalan Fiqh
(hukum Islam atau Furu'iyah). Metode ini bisa digambarkan sebagai bentuk
kegiatan belajar mengajar dalam sebuah forum (biasanya di kelas atau masjid)
yang dipandu oleh seorang pembimbing atau guru dan diikuti oleh santri-santri
yang dianggap sudah menguasai kitab-kitab tertentu untuk memecahkan
permasalahan kontemporer di sekitar hukum-hukum Fiqh (termasuk di
dalamnya Fiqh Ibadah).[11]
Metode
ini digunakan dalam dua tingkatan, Pertama, diselenggarakan oleh sesama
santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih untuk memecahkan masalah yang
menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakaroh yang
dipimpin kiai, di mana hasil mudzakaroh santri diajukan untuk dibahas
dan dinilai seperti dalam seminar.[12]
Tingkatan
pertama disebut bahtsul masa'il sughro, yang kedua disebut bahtsul
masa'il wustho, ada satu tingkat lagi yang hanya berbeda disisi
kuantitas dari bahtsul masa'il wustho yaitu bahtsul masa'il kubro
dimana pesertanya berasal dari berbagai pesantren di pulau Jawa atau bahkan di
luar Jawa. Berbeda dengan musyawarah permasalahan yang dibahas dalam forum bahtsul
masa'il berasal dari santri, ini membuat bahtsul masa'il santri
seolah terpisah dari masalah yang dihadapi masyarakat.
Masalah-masalah
ini dicari solusinya dalam kitab-kitab mu'tabar, yaitu kitab-kitab yang
sesuai dengan paradigma Ahlusunnah wal al-Jama'ah.[13]
Santri diperbolehkan berdebat seputar 'ibarat/dalil mana yang dianggap
paling tepat untuk memecahkan suatu masalah, serta penafsiran seperti apa yang
tepat untul sebuah 'ibarat. Padahal jika ditinjau lebih jauh, materi
tentang metode dan prosedur ijtihad telah dipelajari oleh santri peserta
Bahtsul masa'il. Sebagaimana dituturkan Sahal Mahfud yang dikutip Ahmad
Zahro:
Sebenarnya di pondok pesantren para
Kyai telah mengajarkan kitab-kitab yang berisi manhaj (metode dan
prosedur Ijtihad) Syafi'i Seperti al-Waraqat, Ghayah al-Ushul, Jam'ul
Jawami', al-Mustafa, al-Asyibahwa an-Nazair, Qawaid ibnu Abdis Salam, Tarikh
at-Tasryri' dan lain-lain.[14]
Jika
kitab-kitab diatas dapat dipraktekkan dengan baik, santri dapat berijtihad
merumuskan formulasi hukum yang sama sekali baru, meskipun masih dalam koridor
madzab Syafi'i. Namun kenyataannya, metode dan prosedur berijtihad diatas
digunakan untuk sebatas memahami alur ijtihad seorang mujtahid dalam merumuskan
hukum Islam, bukan berijtihad sendiri. Bahkan seringkali orientasi pembelajaran
materi-materi tersebut lebih sederhana yaitu hanya sebagai wawasan yang kelak
akan diajarkan kembali kepada para santri.
Hal
lain yang cukup aneh adalah terdapatnya hierarki validitas Qoul 'Ulama Fiqih (Faqih),
yang telah diyakini secara luas oleh pesantren, bahkan sebelum isi Qoul itu
diketahui oleh santri, hierarki itu adalah:
1.
Pendapat yang disepakati asy-Syaikhain (Imam
Nawawi dan Rafi'i);
2.
Pendapat yang dipegang Imam Nawawi saja;
3. Pendapat yang dipegang Imam Rafi'i saja;
4. Pendapat yang didukung mayoritas ulama;
5. Pendapat ulama yang terpandai;
6. Pendapat ulama yang paling wara'.[15]
Hal
ini membuat santri tidak terbiasa mengukur validitas qoul dari aspek kekuatan
dalil maupun aspek metodologi ijtihad.
Selain Bahtsul masa'il yang dilakukan para
santri terdapat pula Bahtsul masa'il yang dilakukan para kiai NU, mereka
tergabung dalam lembaga Lajnah Batsul masa'il, lembaga ini
memiliki orientasi selangkah lebih maju, jika bahtsul masa'il santri
bertujuan berlatih memecahkan masalah, maka para Kyai benar-benar mencari
jawaban dan jalan keluar untuk suatu masalah, hasil pembahasan tersebut
dijadikan fatwa yang berlaku bagi warga NU (Nahdliyiin). Bahtsul
masa'il ini dimulai dengan inventarisasi masalah, seperti dilaporkan Djohan
Effendi:
“All
problems coming forward or proposed to the Syuriyah will first be inventoried
and then distributed to all members of Syuriyah. Those problem are classified
in to two categories: the first one is the problem that relates to personal
interest and the second is the problem that relates to public concern.”[16]
Luasnya sekup masalah yang dibahas dalam forum
ini meliputi masalah pribadi dan kepentingan umum, dari warga Nahdliyiin
seluruh Indonesia
menunjukkan komitmen kuat dari Lajnah bahtsul masa'il untuk menyediakan
solusi Syar'i bagi masalah umat. Setiap permasalahan yang muncul dipecahkan
dengan salah satu dari tiga metode berikut:
a. Metode Qauliy
Metode ini adalah suatu cara Istinbat
hukum yang digunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahtsul Masa'il
dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada
kitab-kitab fiqih dari madzab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung
pada bunyi teksnya.[17]
Metode ini adalah yang paling sederhana, karena pengutip dilarang melakukan
perubahan sekecil apapun terhadap teks yang dikutipnya, pengutip dilarang
menarik implikasi yang bersifat prediktif dari teks. Bahkan dilarang melakukan
penarikan kesimpulan terbalik (Mafhum Mukhalafah).
b. Metode Ilhaqiy
Apabila metode qauliy tidak dapat
dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu'tabar,
maka diulakukan apa yang disebut الحاق المسائل بنظائرها yakni menyamakan hukum suatu kasus atau masalah
yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus atau
masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya).[18]
Metode ini membutuhkan ketelitian dalam
mengidentifikasi suatu masalah agar dengan tepat dapat mempersamakan karakter
satu kasus yang telah terjawab dengan kasus lain yang sedang membutuhkan
jawaban. Metode ini menyerupai Qiyas yang diterapkan oleh para Imam Madzab,
hanya saja jika dalam Qiyas satu masala
dipersamakan dengan masalah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an atau Hadits,
maka dalam Ilhaq suatu masalah dipersamakan dengan masalah lain dalam kitab fiqh.
c. Metode Manhajiy
Metode manhajiy adalah suatu cara
menyelesaikan suatu masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa'il
dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun
Imam Madzab.[19]
Metode ini adalah yang paling kompleks, karena menuntut seseorang untuk
menguasai konsep dan operasionalisasi metode istinbath hukum Imam Madzab
tertentu
Dari ketiga metode ini, qouliy adalah
yang paling sering digunakan sebagaimana dilaporkan Ahmad Zahro terhadap
keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masa'il mulai Muktamar I (1926)
sampai Muktamar XXX (1999) ada yang menarik berkaitan dengan metode Istinbat
hukum yang digunakan dala menetapkan hukum Fiqh, yaitu secara keseluruhan
metode qauliy mendominasi keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il karena dari 428 keputusan hukum Fiqih, 362
masalah (84,6%) diputuskan dengan metode qauliy karena memang metode
inilah yang disepakati untuk diterapkan sebagai metode prioritas guna
menyelesaikan masalah yang muncul dalam Lajnah Bahtsul Masa’il, ada 33 masalah
(7,7%) yang diputuskan dengan metode ilhaqiy, dan 8 masalah (1,9)
diputuskan dengan metode manhajiy.[20]
Fakta ini membuat beberapa ulama NU merasa
tidak puas, mengingat teks-teks yang dikutip dalam metode qauliy dianggap
terlalu kaku atau tidak memilki relevansi dengan realitas kekinian, selain itu
mereka merasa kader-kader NU memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk
berijtihad, kecuali keberanian.
Setelah lama menghimpun keberanian akhirnya
pada tahun 1987, Masdar Farid dan sejawatnya di P3M, bersama-sama dengan Gus
Dur, Ahmad Siddiq, dan pemikir-pemikir progresif lainnya, berperan dalam
mendorong dilaksanakannya sebuah simposium di sebuah Pesantren di Probolinggo,
Jawa Timur. Simposiom ini dimaksudkan untuk membuat suatu forum bagi ulama yang
sepaham untuk berkumpul bersama dan terlibat dalam Ijtihad kolektif. Simposium
ini disebut sebagai suatu pertemuan halaqoh.[21]
Forum ini tidak menamakan dirinya Bahtsul Masa’il, dan memang dari sisi
proses maupun hasil pembahasan, forum ini terlalu liberal untuk disebut Bahtsul
Masa’il.
Pada mulanya kelompok kajian ini mendapatkan
respon positif dari kelompok kiai senior, namun belakangan ada diantara kiai
senior yang kurang berkenan dengan kajian tersebut .Alasan yang mereka ajukan
adalah karena mereka khawatir kalau kelompok kiai muda ini “kebablasan” dalam
melakukan ijtihad.[22]Memang
pada kenyataanya forum ini dimotori oleh kiai muda berpemikiran liberal, sebut
saja Masdar Farid Mas’udi, dalam sebuah buku yang kontroversial, Masdar
mengumumkan gagasannya bahwa membayar pajak kepada pemerintah sama dengan
membayar zakat. Dengan ini, ia ingin menyatakan bahwa salah satunya harus
dihapus agar tidak menjadi beban yang berganda.[23]
Metode hampir sama juga diterapkan di Pondok
Pesantren Gontor, proses pembelajaran diawali dengan Fathul Kutub, yakni
belajar membahas kitab-kitab klasik yang ditunjukkan untuk menambah wawasan
tentang berbagai literatur Islam, Adapun materinya meliput Fiqh, Hadits,
Tafsir, dan Tauhid. Kegiatan ini juga ditunjukkan untuk menciptakan reading
habit dikalangan siswa kelas 5 dan 6.[24]
Kemudian ditutup dengan talk show yang menyerupai Bahtsul
Masa’il, misalnya pada akhir Fathul Kutub tahun 2010 diselenggarakan talk
show dengan tema-tema “Inseminasi buatan menurut syari’at Islam,
kedokteran, dan sosial.”[25]
Proses pembelajaran kitab dapat pula dilakukan
melalui metode penulisan karya ilmiah, sekurang-kurangnya dengan menulis resume
atau ikhtisar atau topik yang ada dalam kitab kuning. Cara dapat dilakukan
dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia .
Metode ini diharapkan dapat menghasilkan banyak manfaat: Pertama,
sebagai evaluasi agar guru dapat mengetahui sejauh mana santri mampu memahami
materi-materi yang disajikan. Kedua, sebagai motivasi bagi santri untuk
membaca dan menelaah kitab yang diajarkan maupun kitab yang lain dalam tema
atau topik sejenis. Yang disebut terakhir ini dimasa mendatang bisa
melahirkan para “santri penulis” . Selama kurun waktu yang cukup panjang,
tradisi menulis karya ilmiah sebagaimana dilakukan para ulama terdahulu semakin
berkurang.[26]
Kedua, adopsi dimana metode pembelajaran ilmu umum
disekolah diterapkan begitu saja tanpa perubahan. Diantaranya metode
pembelajaran baru dalam pembelajaran bahasa yang diperkenalkan oleh Imam
Zarkasyi. Ide Imam Zarkasyi untuk memperbaiki metode pengajaran bahasa
didasarkan atas ketidak puasannya melihat metode pengajaran bahasa yang
diterapkan di Pesantren. Mereka
bertahun-tahun belajar tata bahasa dan ilmu-ilmu kebahasaan lainnya di
pesantren, tapi tidak pandai berbicara dan mengarang bahasa Arab. Keadaan
tersebut bukan disebabkan karena muridnya yang terbelakang, melainkan karena metode
yang menekankan materi ilmu kebahasaan secara njlimet tanpa didukung oleh
keterampilan mempergunakannya.[27]
Untuk itu, beliau
memperkenalkan direct method yang diarahkan kepada penguasaan
bahasa secara aktif dengan cara memperbanyak latihan (drill), baik lisan
maupun tulisan. Dengan demikian, tekanan banyak diarahkan pada pembinaan
kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempurna, dan bukan pada alat
atau gramatika tanpa mampu berbahasa dengan baik. Dalam pengajaran bahasa ini,
Imam Zarkasi menerapkan semboyan Al-Kalimah al-wahidah fi alf jumlatin
khairun min alf kalimah fi jumlatin wahidah (kemampuan menggunakan suatu
kalimat dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata
secara hafalan dalam satu kalimat saja).[28]
Penerapan metode ini telah
menampakkan hasil yang cukup baik, terlihat dari kenyataan bahwa alumni
pesantren Gontor memiliki kemahiran dalam bercakap-cakap, tidak hanya dalam
bahasa Arab, tapi juga bahasa Inggris. Penguasaan atas keduanya menumbuhkan
rasa percaya diri santri ketika berinteraksi dengan dunia luar. Banyak diantara
alumni Gontor yang berhasil menempati posisi strategis dalam kiprahnya di
masyarakat.
Terhadap metode-metode
yang diterapkan luas di sekolah formal pesantren salaf tidak tinggal diam. Pemimpin-pemimpin
pesantren yang tergabung dalam Rabithah Ma’ahid telah mempraktekkan
metode-metode yang sangat beragam, kemudian mereka menetapkannya dalam muktamar
I pada 1959, yang meliputi: metode Tanya jawab, diskusi, Imla’, Muthala’ah/recital,
proyek, dialog, karyawisata, hafalan/verbalisme, sosiodrama, widyawisata, problem
solving, pemberian situasi, pembiasaan/habituasi, dramatisasi
(pencontohan tingkah laku), reinforcement, stimulus-respons,
dan sistem modul (meskipun agak sulit).[29]
Seusai muktamar itu
metode-metode yang telah disepakati tersebut mulai diterapkan secara luas,
diantaranya metode diskusi. Diskusi membuka kesempatan timbulnya pemikiran yang
liberal dengan dasar argumentasi ilmiah.[30]
Tidak tanggung-tanggung metode ini mampu meruntuhkan sakralisasi santri
terhadap teks kitab kuning, para santri mulai berani dengan kritis
mempertanyakan relevansi isi teks yang selama ini dikajinya.
Mengingat resikonya yang
cukup besar, metode ini hanya diterapkan bagi santri senior yang telah memahami
kitab kuning, di beberapa pesantren metode ini hanya diperuntukkan bagi santri Ma’had
‘Aly, diantara Ma’had ‘Aly yang telah menerapkan ini adalah Ma’had ‘Aly
Situbondo,[31] Ma’had
‘Aly Al-Munawwir, Krapyak, Ma’had ‘Aly pesantren Wahid Hasyim Sleman.[32]
Metode pembelajaran khas
perguruan tinggi lain yang mulai diterapkan di pesantren adalah penelitian (research).
Diantara yang telah menerapkan metode ini adalah pesantren Darus-Sunnah Ciputat pimpinan kyai
Ali Mustafa Yaqub, dimana setiap santri diharuskan melakukan penelitian untuk
menyusun paper (menyerupai sripsi), sebelum lulus.[33]
Dalam pada ini penelitian yang dilakukan masih terbatas pada tipe literer (library
research), sedangkan penelitian kualitatif dan kuantitatif (field
research) belum dikenal di lingkungan pesantren, hal ini dikarenakan adanya
perbedaan antara epistemologi penelitian jenis ini (bersumber pada pengamatan
empiris terhadap suatu gejala), dengan epistemologi pesantren (althaf rabbaniyyah).
Akhir-akhir ini bahkan ada
juga pesantren yang menerapkan metode seminar. Seminar dilaksanakan dengan mengundang
narasumber dari dalam maupun dari luar. Pesantren al-Hikam Malang, pimpinan
Kyai Hasyim Muzadi maupun pesantren Nurul Jadid pimpinan Kyai A. Wahid Zaeni
cukup sering mengadakan seminar dengan narasumber dari luar, sehingga mengubah
kesan tentang metodik di Pesantren.[34]
Metode ini mambantu santri dalam mengembangkan cakrawala berfikirnya, terutama
jika narasumber yang diundang datang luar dengan paradigma berfikir yang
sedikit banyak berbeda.
Karyawisata telah lama
dilakukan pesantren, objek yang sering menjadi tujuan adalah makam para Auliya’
dan ‘Ulama. Dalam tahap ini, karyawisata tidak diperankan sebagai salah satu
metode pembelajaran, namun sekedar wahana refreshing―oleh karenanya sering
dilakukan pada hari libur―dan ngalap barokah (mencari berkah). Karyawisata sebagai metode
pembelajaran digarap dengan serius oleh beberapa pesantren modern. Berikut ini
adalah obyek-obyek yang menjadi tujuan karyawisata PP Modern Walisongo, Ngabar,
Ponorogo, pada Juni 2006:
1.
Wisata sumber Air Panas Ciater;
2.
Wisata Kawah Gunung Tangkuban Perahu;
3.
Home
Industri Bakso dan makanan siap saji cap “Pohon Mangga” milik Pak Asep
salah satu alaumni Pondok Pesantren walisongo di Heuwi, Panjang Bandung.
4.
Wisata Home Industri kerajinan sepatu
sandal kulit Cibaduyur Bandung
atau yang terkenal dengan pasar pusat sepatu sandal CIBA.
5.
Kunjungan ke Pon-Pes Al-Basyariyah Bandung.
Pondok ini merupakan salah satu pondok di Jawa Barat yang mengambil tenaga
pengajar dari PPWS.
6.
Wisata belanja “Pasar Baru” Bandung .
7.
Kunjungan ke pondok “Daarud Tauhid” dibawah
pimpinan Abdullah Gymnastiar.[35]
Orientasi karyawisata ini beragam, obyek wisata
alam dimaksudkan sebagai sarana refreshing, kunjungan kerumah-rumah industri bertujuan
menumbuhkan jiwa wirausaha (interpreneurship) dan menambah pengetahuan
kewirausahaan, sementara untuk memperluas wawasan ilmiah santri, dilakukan
studi banding ke pesantren-pesantren yang lebih besar.
Masuknya materi keterampilan dalam kurikulum
pesantren membuat pesantren mengadopsi metode kursus (tahassus),
mengingat keterampilan tidak dapat diajarkan dengan metode-metode verbalistik.
Metode pembelajaran yang ditempuh melalui kursus (tahassus) ini
ditekankan pada pengembangan keterampilan berbahasa Inggris, disamping itu
diadakan keterampilan yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik
seperti menjahit, komputer, sablon, dan keterampilan lainnya.[36]
Pesantren Sidogiri pasuruan misalnya, menyelenggarakan kursus akuntansi dan
manajemen koprasi bekerjasama dengan STIE kucecwara, Malang .[37]
Perubahan metode pembelajaran yang terjadi di
pesantren nampak dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu perkembangan metode
pembelajaran sekolah, dan faktor internal yaitu dimasukkannya materi umum yang
tentu saja membutuhkan metode pembelajaran baru. Proses perkembangan metode
pembelajaran sekolah dan dimasukkannya materi umum dalam rangkaian materi
pembelajaran pesantren masih berlangsung hingga hari ini, hal ini membuat
proses pembaharuan metode pembelajaran pesantren masih berlangsung dan
akan terus berlanjut. Sehingga
metode-metode yang hari ini dianggap up to date, akan segera menjadi out
of date atau bahkan menghilang digantikan metode-metode yang lebih baru.
[1] Ajeeb Fiella Aphasia, Ketika Modernism “Mengoyak” Pendidikan
Pesantren, Mihrab Edisi I 2006, H.53
[2]Dikpekapontren, Pola
Pengembangan…, h. 4-5
[3]Kuntowijoyo, Paradigma..., h. 252
[5]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : PT.
Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 100
[6]Dhofier, Tradisi..., h.
39
[7]Ali Yahya, Sama Tapi
Berbeda : Potret Keluarga Besar K. H. A. Wahid Hasyim, (Jombang :
Yayasan K.H. A. Wahid Hasyim, 2007), h.
15-16
[8]Dhofier, Tradisi..., h.
26
[11]Rohadi Abdul Fatah, Rekonstruksi Pesantren
Masa Depan Dari Tradisional, Modern, Hingga Post-Modern, E-book tidak
diterbitkan
[12] Munawaroh, Pembelajaran……,h.117
[13]Djohan Effendi, A Renewal Without Breaking
Tradition: The Emergence Of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama
During The Abdurrahman Wahid Esa, (Yogyakarta: Interfodei, 2008), h. 129
[14]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah
Bahtsul Masa’il 1926-1999, (Yogyakarta :
LkiS, 2004), h. 79
[16]Effendi, A Renewal…, h. 129
[17]Zahro, Tradisi…, h. 118
[21]Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized
Biography of Abdur Rahman Wahid, (Yogyakarta :
Lkis, 2006), h.198
[22] Ali Maschan Moesa, Nasionolisme Kiai: Konstruksi Social Berbasis
Agama, (Yogyakarta :LKiS, 2007), h. 147
[23]Andree Feillard, NU
vis-à-vis Negara: Pencarian Bentuk dan Makna, (Yogyakarta : LkiS,
1999),h. 380
[24]PM Darussalam Gontor, wardun, (Ponorogo:
Darussalam Press, 2009), h. 3-4
[25]PM Darussalam Gontor, Wardun, (Ponorogo:
Walisongo Press, 2006), h. 3
[26]Ditpekapontren, Pola…, h. 47
[27] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 210
[29]Qomar, Pesantren…, h. 151-152
[31]Jamal Ma’mur Asmani, Dialektika
Pesantren dengan Tuntutan Zaman dalam AZ Fanani dan Elly elfajri, Menggagas
Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta : Qirtas, 2003), h. 21, lihat juga Asrori S Karni, Etos Studi Kaum Santri
: Wajah Baru Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan ,2009) h,252
[32] Asrori S Karni, Etos Studi Kaum Santri : Wajah Baru Pendidikan
Islam, (Bandung :
Mizan ,2009) h,273
[34]Qomar, Pesantren…, h. 153
[35]PP Walisongo, Warta
Tahunan, (Ponorogo: Wali Songo Press, 2006), h. 22
[36]Nurhayati, Inovasi…, h. 58
[37] Karni, Etos…, h. 242
Tidak ada komentar:
Posting Komentar