Cari Blog Ini

Kamis, 04 April 2019

Transformasi Metode Pembelajaran Pesantren Khalaf


A.    Transformasi Metode Pembelajaran Pesantren Khalaf
Metode pembelajaran merupakan suatu jalan yang ditempuh agar penyampaian materi pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, sehingga penyerapan materi pembelajaran oleh siswa dapat berlangsung maksimal. Oleh karenanya pemilihan metode pembelajaran sangat tergantung pada karekter materi yang ingin dipelajari, begitupun di pesantren, materi pembelajaran yang telah dianggap baku, membuat pesantren menerapkan metode-metode yang yang kurang mampu menumbuhkan sikap kritis dan kreatif santri.
Seiring dengan usaha pesantren untuk mengintregasikan materi umum kedalam kurikulumnya pada permulaan abad ke-20, sedikit banyak pesantren mulai berkenalan dengan metode pembelajaran yang diterapkan pada ilmu-ilmu umum, hal ini membuat pesantren melakukan perubahan-perubahan metodologis. Proses ini pun tidak bisa berjalan serempak di seluruh pesantren, mengingat otoritas Kiai yang besar dalam menentukan segala bentuk perubahan di pesantren yang dipimpinnya. Secara garis besar perubahan ini dapat dikategorikan dalam dua tipe. Pertama, adaptasi dimana metode pembelajaran ilmu umum di sekolah disesuaikan dengan filosofi pesantren sebelum diterapkan, diantaranya diterapkannya sistem klasikal bentuk madrasah dalam proses pembelajaran di beberapa pondok pesantren. Madrasah ini mendapat pengaruh dari Madrasah Darul Ulum dan Madrasah Shalatiyah di Makkah. Akan tetapi, dalam pengaruh jenjang kelas dan susunan vertikalnya, jelas sekali menyesuaikan dengan apa yang disebut “sekolah umum”; seperi HIS, MULO dan AMS di zaman Hindia Belanda. Setaraf dengan SD, disebut “madrasah ibtidaiyah”, setaraf dengan SMP disebut “tsanawiyah”, setaraf SMA disebut “aliyah” dan untuk taraf perguruan tinggi, disebut Ma’had ‘Aly.[1]
Dengan diselenggarakannya pendidikan madrasah di lingkungan pondok pesantren, terjadilah perubahan pengertian dimana pondok pesantren tidak lagi sepenuhnya tergolong pendidikan jalur luar sekolah, tetapi juga jalur sekolah.[2] Mengingat metode klasikal pertamakali diterapkan di Indonesia pada sekolah-sekolah Belanda abad ke-19, sehingga klasikal begitu identik dengan sekolah dan semua institusi pendidikan yang menerapkan ini dimasukkan dalam kategori sekolah.
Dalam metode ini santri belajar dalam kelas-kelas.[3] Dengan perlengkapan khas kelas-kelas dalam sekolah Belanda, seperti meja, yang di beberapa pesantren bentuknya dibuat lebih rendah, meja ini disebut dampar, selain itu digunakan pula kapur dan papan tulis. Metode ini sudah dikenal di Sumatera Barat sejak 1907 dan di pesantren-pesantren Jawa baru awal 1920-an. Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Sukorejo, misalnya baru mendirikan Madrasah Ibtida'iyah pada tahun 1925.[4]
Hal ini bisa dimaklumi mengingat konfrontasi dengan pihak kolonial yang terjadi di Sumatera Barat tidak sekeras di Jawa, sehingga segala bentuk pembaharuan pendidikan yang bersumber dari Belanda lebih mudah diterima di sana, meskipun penerimaan ini tidak bersifat total, melainkan telah disesuaikan dengan filosofi pendidikan Islam. Pada gilirannya pesantren di Jawa banyak berhutang pada kaum reformis Sumatera Barat dalam melakukan pembaharuan, sebagaimana dinyatakan Azyumadi Azra, "Komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga tidak bisa lain, kecuali dalam batas tertentu mengikuti jejak langkah kaum reformis."[5]
Diterapkannya metode ini memang membuat pesantren memilki penjejangan materi pembelajaran yang jelas dan mapan, pesantren juga memiliki target waktu untuk menyelesaikan tiap materinya, misalnya kitab gramatika Alfiyah harus diselesaikan dalam kurun satu atau dua tahun, tanpa adanya pengulanagan di kelas berikutnya ('adamu tikrar).
Tidak adanya pengulangan dalam kajian kitab ini membuat jumlah kitab yang harus dipelajari oleh santri hingga dinyatakan tamat dari pesantren menjadi lebih banyak. Ini menyebabkan seorang santri harus tinggal dalam satu pesantren saja untuk waktu bertahun-tahun.[6] Santri tidak lagi sempat melakukan rihlah ilmiah dari satu pesantren ke pesantren lain, agar mendapatkan bimbingan terbaik dari guru/Kiai paling 'alim dalam fan keilmuan tertentu, santri dituntut untuk menerima apapun kondisi fasilitas maupun kemampuan pengajar hingga tamat.
Pengembangan metode tipe ini juga pernah dilakukan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dengan menambahkan model musyawarah (seminar) di samping metode sorogan (individual) dan bandongan (kolektif) yang telah ada.[7] Metode ini merupakan bentuk adaptasi dari metode diskusi. Ada satu perbedaan mendasar antara diskusi dan musyawarah yang dirintis oleh Hadratus Syaikh, diskusi memperbolehkan peserta untuk menggugat secara kritis teori apapun, sedangkan musyawarah masih terbatas mencari landasan atau dalil dan pemahaman yang tepat dari kitab kuning.
Kegiatan terpenting dari kelompok musyawarah ini ialah mengikuti seminar-seminar yang membahas berbagai masalah atau soal-soal agama baik yang dipertanyakan oleh masyarakat, maupun yang dilontarkan oleh kyai sebagai latihan untuk memecahkan masalah.[8] Masalah-masalah yang diajukan dalam forum ini cukup variatif, mulai dari bidang Fiqih, Tauhid, Sosial kemasyarakatan hingga politik, namun persoalan Fiqih adalah yang paling dominan.
Dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat berbeda dari sistem sorogan dan bandongan, para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk, kyai memimpin kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab, dan merupakan latihan bagi para siswa untuk menguji keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. Sebelum menghadap Kyai, para siswa biasanya menyelenggarakan diskusi terlebih dahulu antara mereka sendiri dan menunjuk salah seorag juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang disodorkan oleh Kyainya. Baru setelah itu diikuti dengan diskusi bebas. Mereka yang akan mengajukan pendapat diminta untuk menyebutkan sumber sebagai dasar argumentasi.[9]
Sebenarnya metode ini cukup bagus untuk mengembangkan kecerdasan santri, namun hal itu agaknya berlebihan, mengingat pembatasan-pembatasan yang diberlakukan―misalnya santri hanya boleh mengutip ibarat tanpa diizinkan mengkritiknya, itupun hanya terbatas pada kitab-kitab yang dikarang oleh ulama Syafi'iyah―justru membelenggu intelektualitas santri.
Bagaimanapun juga sistem yang dikembangkan oleh Hadratus Syaikh cukup efektif, hal ini dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa para santri yang menyelesaiklan kelas musyawarah akhirnya menjadi ulama besar yang dapat mengembangkan pesantren-pesantren besar, diantaranya Kiai Wahab Hasbullah pempmpin pesantren Tambak Beras, Jombang, Kyai Manaf Abdul Karim pendiri pesantren Lirboyo (yang kini sangat terkenal), Kyai Abbas Buntet, pemimpin pesantren Buntet Cirebon, Kyai As'ad pemimpin pesantren Asembagus, Situbondo, Jawa Timur.[10]
Sayang sekali sepeninggal Hadratus Syaikh metode ini tidak berlanjut, dikarenakan tidak ditemukannya pengganti yang sepadan dengan Hadratus Syaikh, untuk memimpin secara langsung musyawarah. Namun metode yang saat itu masih tergolong baru itu,telah menginspirasi pesantren untuk mengembangkan metode serupa yaitu Bahtsul Masa’il.
Metode Bahtsul Masa’il mengacu pada pemecahan masalah-masalah dalam persoalan Fiqh (hukum Islam atau Furu'iyah). Metode ini bisa digambarkan sebagai bentuk kegiatan belajar mengajar dalam sebuah forum (biasanya di kelas atau masjid) yang dipandu oleh seorang pembimbing atau guru dan diikuti oleh santri-santri yang dianggap sudah menguasai kitab-kitab tertentu untuk memecahkan permasalahan kontemporer di sekitar hukum-hukum Fiqh (termasuk di dalamnya Fiqh Ibadah).[11]
Metode ini digunakan dalam dua tingkatan, Pertama, diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih untuk memecahkan masalah yang menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakaroh yang dipimpin kiai, di mana hasil mudzakaroh santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam seminar.[12]
Tingkatan pertama disebut bahtsul masa'il sughro, yang kedua disebut bahtsul masa'il wustho, ada satu tingkat lagi yang hanya berbeda disisi kuantitas dari bahtsul masa'il wustho yaitu bahtsul masa'il kubro dimana pesertanya berasal dari berbagai pesantren di pulau Jawa atau bahkan di luar Jawa. Berbeda dengan musyawarah permasalahan yang dibahas dalam forum bahtsul masa'il berasal dari santri, ini membuat bahtsul masa'il santri seolah terpisah dari masalah yang dihadapi masyarakat.
Masalah-masalah ini dicari solusinya dalam kitab-kitab mu'tabar, yaitu kitab-kitab yang sesuai dengan paradigma Ahlusunnah wal al-Jama'ah.[13] Santri diperbolehkan berdebat seputar 'ibarat/dalil mana yang dianggap paling tepat untuk memecahkan suatu masalah, serta penafsiran seperti apa yang tepat untul sebuah 'ibarat. Padahal jika ditinjau lebih jauh, materi tentang metode dan prosedur ijtihad telah dipelajari oleh santri peserta Bahtsul masa'il. Sebagaimana dituturkan Sahal Mahfud yang dikutip Ahmad Zahro:
Sebenarnya di pondok pesantren para Kyai telah mengajarkan kitab-kitab yang berisi manhaj (metode dan prosedur Ijtihad) Syafi'i Seperti al-Waraqat, Ghayah al-Ushul, Jam'ul Jawami', al-Mustafa, al-Asyibahwa an-Nazair, Qawaid ibnu Abdis Salam, Tarikh at-Tasryri' dan lain-lain.[14]

Jika kitab-kitab diatas dapat dipraktekkan dengan baik, santri dapat berijtihad merumuskan formulasi hukum yang sama sekali baru, meskipun masih dalam koridor madzab Syafi'i. Namun kenyataannya, metode dan prosedur berijtihad diatas digunakan untuk sebatas memahami alur ijtihad seorang mujtahid dalam merumuskan hukum Islam, bukan berijtihad sendiri. Bahkan seringkali orientasi pembelajaran materi-materi tersebut lebih sederhana yaitu hanya sebagai wawasan yang kelak akan diajarkan kembali kepada para santri.
Hal lain yang cukup aneh adalah terdapatnya hierarki validitas Qoul 'Ulama Fiqih (Faqih), yang telah diyakini secara luas oleh pesantren, bahkan sebelum isi Qoul itu diketahui oleh santri, hierarki itu adalah:
1.      Pendapat yang disepakati asy-Syaikhain (Imam Nawawi dan Rafi'i);
2.      Pendapat yang dipegang Imam Nawawi saja;
3.      Pendapat yang dipegang Imam Rafi'i saja;
4.      Pendapat yang didukung mayoritas ulama;
5.      Pendapat ulama yang terpandai;
6.      Pendapat ulama yang paling wara'.[15]

Hal ini membuat santri tidak terbiasa mengukur validitas qoul dari aspek kekuatan dalil maupun aspek metodologi ijtihad.
Selain Bahtsul masa'il yang dilakukan para santri terdapat pula Bahtsul masa'il yang dilakukan para kiai NU, mereka tergabung dalam lembaga Lajnah Batsul masa'il, lembaga ini memiliki orientasi selangkah lebih maju, jika bahtsul masa'il santri bertujuan berlatih memecahkan masalah, maka para Kyai benar-benar mencari jawaban dan jalan keluar untuk suatu masalah, hasil pembahasan tersebut dijadikan fatwa yang berlaku bagi warga NU (Nahdliyiin). Bahtsul masa'il ini dimulai dengan inventarisasi masalah, seperti dilaporkan Djohan Effendi:
“All problems coming forward or proposed to the Syuriyah will first be inventoried and then distributed to all members of Syuriyah. Those problem are classified in to two categories: the first one is the problem that relates to personal interest and the second is the problem that relates to public concern.”[16]

Luasnya sekup masalah yang dibahas dalam forum ini meliputi masalah pribadi dan kepentingan umum, dari warga Nahdliyiin seluruh Indonesia menunjukkan komitmen kuat dari Lajnah bahtsul masa'il untuk menyediakan solusi Syar'i bagi masalah umat. Setiap permasalahan yang muncul dipecahkan dengan salah satu dari tiga metode berikut:
a.       Metode Qauliy
Metode ini adalah suatu cara Istinbat hukum yang digunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahtsul Masa'il dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqih dari madzab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya.[17] Metode ini adalah yang paling sederhana, karena pengutip dilarang melakukan perubahan sekecil apapun terhadap teks yang dikutipnya, pengutip dilarang menarik implikasi yang bersifat prediktif dari teks. Bahkan dilarang melakukan penarikan kesimpulan terbalik (Mafhum Mukhalafah).

b.      Metode Ilhaqiy
Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu'tabar, maka diulakukan apa yang disebut الحاق المسائل بنظائرها yakni menyamakan hukum suatu kasus atau masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus atau masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya).[18]
Metode ini membutuhkan ketelitian dalam mengidentifikasi suatu masalah agar dengan tepat dapat mempersamakan karakter satu kasus yang telah terjawab dengan kasus lain yang sedang membutuhkan jawaban. Metode ini menyerupai Qiyas yang diterapkan oleh para Imam Madzab, hanya saja jika dalam  Qiyas satu masala dipersamakan dengan masalah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an atau Hadits, maka dalam Ilhaq suatu masalah dipersamakan dengan masalah lain dalam kitab fiqh.
c.       Metode Manhajiy
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan suatu masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa'il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun Imam Madzab.[19] Metode ini adalah yang paling kompleks, karena menuntut seseorang untuk menguasai konsep dan operasionalisasi metode istinbath hukum Imam Madzab tertentu
Dari ketiga metode ini, qouliy adalah yang paling sering digunakan sebagaimana dilaporkan Ahmad Zahro terhadap keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masa'il mulai Muktamar I (1926) sampai Muktamar XXX (1999) ada yang menarik berkaitan dengan metode Istinbat hukum yang digunakan dala menetapkan hukum Fiqh, yaitu secara keseluruhan metode qauliy mendominasi keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il  karena dari 428 keputusan hukum Fiqih, 362 masalah (84,6%) diputuskan dengan metode qauliy karena memang metode inilah yang disepakati untuk diterapkan sebagai metode prioritas guna menyelesaikan masalah yang muncul dalam Lajnah Bahtsul Masa’il, ada 33 masalah (7,7%) yang diputuskan dengan metode ilhaqiy, dan 8 masalah (1,9) diputuskan dengan metode manhajiy.[20]
Fakta ini membuat beberapa ulama NU merasa tidak puas, mengingat teks-teks yang dikutip dalam metode qauliy dianggap terlalu kaku atau tidak memilki relevansi dengan realitas kekinian, selain itu mereka merasa kader-kader NU memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk berijtihad, kecuali keberanian.
Setelah lama menghimpun keberanian akhirnya pada tahun 1987, Masdar Farid dan sejawatnya di P3M, bersama-sama dengan Gus Dur, Ahmad Siddiq, dan pemikir-pemikir progresif lainnya, berperan dalam mendorong dilaksanakannya sebuah simposium di sebuah Pesantren di Probolinggo, Jawa Timur. Simposiom ini dimaksudkan untuk membuat suatu forum bagi ulama yang sepaham untuk berkumpul bersama dan terlibat dalam Ijtihad kolektif. Simposium ini disebut sebagai suatu pertemuan halaqoh.[21] Forum ini tidak menamakan dirinya Bahtsul Masa’il, dan memang dari sisi proses maupun hasil pembahasan, forum ini terlalu liberal untuk disebut Bahtsul Masa’il.
Pada mulanya kelompok kajian ini mendapatkan respon positif dari kelompok kiai senior, namun belakangan ada diantara kiai senior yang kurang berkenan dengan kajian tersebut .Alasan yang mereka ajukan adalah karena mereka khawatir kalau kelompok kiai muda ini “kebablasan” dalam melakukan ijtihad.[22]Memang pada kenyataanya forum ini dimotori oleh kiai muda berpemikiran liberal, sebut saja Masdar Farid Mas’udi, dalam sebuah buku yang kontroversial, Masdar mengumumkan gagasannya bahwa membayar pajak kepada pemerintah sama dengan membayar zakat. Dengan ini, ia ingin menyatakan bahwa salah satunya harus dihapus agar tidak menjadi beban yang berganda.[23]
Metode hampir sama juga diterapkan di Pondok Pesantren Gontor, proses pembelajaran diawali dengan Fathul Kutub, yakni belajar membahas kitab-kitab klasik yang ditunjukkan untuk menambah wawasan tentang berbagai literatur Islam, Adapun materinya meliput Fiqh, Hadits, Tafsir, dan Tauhid. Kegiatan ini juga ditunjukkan untuk menciptakan reading habit dikalangan siswa kelas 5 dan 6.[24] Kemudian ditutup dengan talk show yang menyerupai Bahtsul Masa’il, misalnya pada akhir Fathul Kutub tahun 2010 diselenggarakan talk show dengan tema-tema “Inseminasi buatan menurut syari’at Islam, kedokteran, dan sosial.”[25]
Proses pembelajaran kitab dapat pula dilakukan melalui metode penulisan karya ilmiah, sekurang-kurangnya dengan menulis resume atau ikhtisar atau topik yang ada dalam kitab kuning. Cara dapat dilakukan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia. Metode ini diharapkan dapat menghasilkan banyak manfaat: Pertama, sebagai evaluasi agar guru dapat mengetahui sejauh mana santri mampu memahami materi-materi yang disajikan. Kedua, sebagai motivasi bagi santri untuk membaca dan menelaah kitab yang diajarkan maupun kitab yang lain dalam tema atau topik sejenis. Yang disebut terakhir ini dimasa mendatang bisa melahirkan para “santri penulis” . Selama kurun waktu yang cukup panjang, tradisi menulis karya ilmiah sebagaimana dilakukan para ulama terdahulu semakin berkurang.[26]
Kedua, adopsi dimana metode pembelajaran ilmu umum disekolah diterapkan begitu saja tanpa perubahan. Diantaranya metode pembelajaran baru dalam pembelajaran bahasa yang diperkenalkan oleh Imam Zarkasyi. Ide Imam Zarkasyi untuk memperbaiki metode pengajaran bahasa didasarkan atas ketidak puasannya melihat metode pengajaran bahasa yang diterapkan di Pesantren. Mereka bertahun-tahun belajar tata bahasa dan ilmu-ilmu kebahasaan lainnya di pesantren, tapi tidak pandai berbicara dan mengarang bahasa Arab. Keadaan tersebut bukan disebabkan karena muridnya yang terbelakang, melainkan karena metode yang menekankan materi ilmu kebahasaan secara njlimet tanpa didukung oleh keterampilan mempergunakannya.[27]
Untuk itu, beliau memperkenalkan direct method yang diarahkan kepada penguasaan bahasa secara aktif dengan cara memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, tekanan banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempurna, dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa dengan baik. Dalam pengajaran bahasa ini, Imam Zarkasi menerapkan semboyan Al-Kalimah al-wahidah fi alf jumlatin khairun min alf kalimah fi jumlatin wahidah (kemampuan menggunakan suatu kalimat dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja).[28]
Penerapan metode ini telah menampakkan hasil yang cukup baik, terlihat dari kenyataan bahwa alumni pesantren Gontor memiliki kemahiran dalam bercakap-cakap, tidak hanya dalam bahasa Arab, tapi juga bahasa Inggris. Penguasaan atas keduanya menumbuhkan rasa percaya diri santri ketika berinteraksi dengan dunia luar. Banyak diantara alumni Gontor yang berhasil menempati posisi strategis dalam kiprahnya di masyarakat.
Terhadap metode-metode yang diterapkan luas di sekolah formal pesantren salaf tidak tinggal diam. Pemimpin-pemimpin pesantren yang tergabung dalam Rabithah Ma’ahid telah mempraktekkan metode-metode yang sangat beragam, kemudian mereka menetapkannya dalam muktamar I pada 1959, yang meliputi: metode Tanya jawab, diskusi, Imla’, Muthala’ah/recital, proyek, dialog, karyawisata, hafalan/verbalisme, sosiodrama, widyawisata, problem solving, pemberian situasi, pembiasaan/habituasi, dramatisasi (pencontohan tingkah laku), reinforcement, stimulus-respons, dan sistem modul (meskipun agak sulit).[29]
Seusai muktamar itu metode-metode yang telah disepakati tersebut mulai diterapkan secara luas, diantaranya metode diskusi. Diskusi membuka kesempatan timbulnya pemikiran yang liberal dengan dasar argumentasi ilmiah.[30] Tidak tanggung-tanggung metode ini mampu meruntuhkan sakralisasi santri terhadap teks kitab kuning, para santri mulai berani dengan kritis mempertanyakan relevansi isi teks yang selama ini dikajinya.
Mengingat resikonya yang cukup besar, metode ini hanya diterapkan bagi santri senior yang telah memahami kitab kuning, di beberapa pesantren metode ini hanya diperuntukkan bagi santri Ma’had ‘Aly, diantara Ma’had ‘Aly yang telah menerapkan ini adalah Ma’had ‘Aly Situbondo,[31] Ma’had ‘Aly Al-Munawwir, Krapyak, Ma’had ‘Aly pesantren Wahid Hasyim Sleman.[32]
Metode pembelajaran khas perguruan tinggi lain yang mulai diterapkan di pesantren adalah penelitian (research). Diantara yang telah menerapkan metode ini adalah  pesantren Darus-Sunnah Ciputat pimpinan kyai Ali Mustafa Yaqub, dimana setiap santri diharuskan melakukan penelitian untuk menyusun paper (menyerupai sripsi), sebelum lulus.[33] Dalam pada ini penelitian yang dilakukan masih terbatas pada tipe literer (library research), sedangkan penelitian kualitatif dan kuantitatif (field research) belum dikenal di lingkungan pesantren, hal ini dikarenakan adanya perbedaan antara epistemologi penelitian jenis ini (bersumber pada pengamatan empiris terhadap suatu gejala), dengan epistemologi pesantren (althaf  rabbaniyyah).
Akhir-akhir ini bahkan ada juga pesantren yang menerapkan metode seminar. Seminar dilaksanakan dengan mengundang narasumber dari dalam maupun dari luar. Pesantren al-Hikam Malang, pimpinan Kyai Hasyim Muzadi maupun pesantren Nurul Jadid pimpinan Kyai A. Wahid Zaeni cukup sering mengadakan seminar dengan narasumber dari luar, sehingga mengubah kesan tentang metodik di Pesantren.[34] Metode ini mambantu santri dalam mengembangkan cakrawala berfikirnya, terutama jika narasumber yang diundang datang luar dengan paradigma berfikir yang sedikit banyak berbeda.
Karyawisata telah lama dilakukan pesantren, objek yang sering menjadi tujuan adalah makam para Auliya’ dan ‘Ulama. Dalam tahap ini, karyawisata tidak diperankan sebagai salah satu metode pembelajaran, namun sekedar wahana refreshing―oleh karenanya sering dilakukan pada hari libur―dan ngalap barokah (mencari berkah). Karyawisata sebagai metode pembelajaran digarap dengan serius oleh beberapa pesantren modern. Berikut ini adalah obyek-obyek yang menjadi tujuan karyawisata PP Modern Walisongo, Ngabar, Ponorogo, pada Juni 2006:
1.      Wisata sumber Air Panas Ciater;
2.      Wisata Kawah Gunung Tangkuban Perahu;
3.       Home Industri Bakso dan makanan siap saji cap “Pohon Mangga” milik Pak Asep salah satu alaumni Pondok Pesantren walisongo di Heuwi, Panjang Bandung.
4.      Wisata Home Industri kerajinan sepatu sandal kulit Cibaduyur Bandung atau yang terkenal dengan pasar pusat sepatu sandal CIBA.
5.      Kunjungan ke Pon-Pes Al-Basyariyah Bandung. Pondok ini merupakan salah satu pondok di Jawa Barat yang mengambil tenaga pengajar dari PPWS.
6.      Wisata belanja “Pasar Baru” Bandung.
7.      Kunjungan ke pondok “Daarud Tauhid” dibawah pimpinan Abdullah Gymnastiar.[35]
Orientasi karyawisata ini beragam, obyek wisata alam dimaksudkan sebagai sarana refreshing, kunjungan kerumah-rumah industri bertujuan menumbuhkan jiwa wirausaha (interpreneurship) dan menambah pengetahuan kewirausahaan, sementara untuk memperluas wawasan ilmiah santri, dilakukan studi banding ke pesantren-pesantren yang lebih besar.
Masuknya materi keterampilan dalam kurikulum pesantren membuat pesantren mengadopsi metode kursus (tahassus), mengingat keterampilan tidak dapat diajarkan dengan metode-metode verbalistik. Metode pembelajaran yang ditempuh melalui kursus (tahassus) ini ditekankan pada pengembangan keterampilan berbahasa Inggris, disamping itu diadakan keterampilan yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik seperti menjahit, komputer, sablon, dan keterampilan lainnya.[36] Pesantren Sidogiri pasuruan misalnya, menyelenggarakan kursus akuntansi dan manajemen koprasi bekerjasama dengan STIE kucecwara, Malang.[37]
Perubahan metode pembelajaran yang terjadi di pesantren nampak dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu perkembangan metode pembelajaran sekolah, dan faktor internal yaitu dimasukkannya materi umum yang tentu saja membutuhkan metode pembelajaran baru. Proses perkembangan metode pembelajaran sekolah dan dimasukkannya materi umum dalam rangkaian materi pembelajaran pesantren masih berlangsung hingga hari ini, hal ini membuat proses pembaharuan metode pembelajaran pesantren masih berlangsung dan akan  terus berlanjut. Sehingga metode-metode yang hari ini dianggap up to date, akan segera menjadi out of date atau bahkan menghilang digantikan metode-metode yang lebih baru.


[1] Ajeeb Fiella Aphasia, Ketika Modernism “Mengoyak” Pendidikan Pesantren, Mihrab Edisi I 2006, H.53
[2]Dikpekapontren, Pola Pengembangan…, h. 4-5
[3]Kuntowijoyo, Paradigma..., h. 252
[4]Ibid., h. 252
[5]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 100
[6]Dhofier, Tradisi..., h. 39
[7]Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda : Potret Keluarga Besar K. H. A. Wahid Hasyim, (Jombang : Yayasan K.H. A. Wahid Hasyim, 2007),  h. 15-16
[8]Dhofier, Tradisi..., h. 26
[9]Ibid., h. 31
[10]Ibid., h. 26
[11]Rohadi Abdul Fatah, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan Dari Tradisional, Modern, Hingga Post-Modern, E-book tidak diterbitkan
[12] Munawaroh, Pembelajaran……,h.117
[13]Djohan Effendi, A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence Of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Esa, (Yogyakarta: Interfodei, 2008), h. 129
[14]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 79
[15]Ibid., h. 170, lihat juga Djohan Effendi, A Renewal…, h. 130-131
[16]Effendi, A Renewal…, h. 129
[17]Zahro, Tradisi…, h. 118
[18]Ibid., h. 121
[19]Ibid., h. 124
[20]Ibid., h. 169
[21]Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdur Rahman Wahid, (Yogyakarta: Lkis, 2006), h.198
[22] Ali Maschan Moesa, Nasionolisme Kiai: Konstruksi Social Berbasis Agama, (Yogyakarta:LKiS, 2007),  h. 147
[23]Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Bentuk dan Makna, (Yogyakarta : LkiS, 1999),h. 380
[24]PM Darussalam Gontor, wardun, (Ponorogo: Darussalam Press, 2009), h. 3-4
[25]PM Darussalam Gontor, Wardun, (Ponorogo: Walisongo Press, 2006), h. 3
[26]Ditpekapontren, Pola…, h. 47
[27] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 210
[28]Ibid., h. 210
[29]Qomar, Pesantren…, h. 151-152
[30]Ibid., h. 152
[31]Jamal Ma’mur Asmani, Dialektika Pesantren dengan Tuntutan Zaman dalam AZ Fanani dan Elly elfajri, Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta : Qirtas, 2003), h. 21, lihat juga Asrori S Karni, Etos Studi Kaum Santri : Wajah Baru Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan ,2009) h,252
[32] Asrori S Karni, Etos Studi Kaum Santri : Wajah Baru Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan ,2009) h,273
[33] Ibid., h.  h,268
[34]Qomar, Pesantren…, h. 153
[35]PP Walisongo, Warta Tahunan, (Ponorogo: Wali Songo Press, 2006), h. 22
[36]Nurhayati, Inovasi…, h. 58
[37] Karni, Etos…, h. 242

Tidak ada komentar: