Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2019

Konsep Kecerdasan Emosional


1.      Konsep Kecerdasan Emosional
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai konsep kecerdasan emosional, terlebih dahulu dikemukakan makna masing-masing istilah secara mendetail. Istilah kecerdasan merupakan terjemahan dari kata intelligence. Kata intelligence (kecerdasan) berasal dari bahasa latin “intelligere” yang berarti menghubungkan/menyatukan satu sama lain.[1]
Menurut Yusuf Murad seperti dikutip Abdul Mujib, dalam bahasa Arab istilah intelligence disebut dengan al-dzakâ' yang berarti pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Begitu cepatnya penangkapan itu, sehingga Ibnu Sina, seorang psikolog falsafi, menyebut kecerdasan sebagai kekuatan intuitif  ( الحدث ) (al-hadtsu).[2]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kecerdasan (Intelligence) berarti daya reaksi penyesuaian yang cepat dan tepat baik secara fisik atau mental terhadap pengalaman-pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi baru.[3] Saifuddin Azwar mengutip pendapat Alfred Binet (1857-1911), tokoh perintis pengukuran intelligence bahwa kecerdasan adalah tindakan yang terdiri dari tiga kemampuan yaitu: a) kemampuan mengarahkan pikiran, b) kemampuan mengubah arah tindakan bila tindakan itu telah dilaksanakan, dan c) kemampuan mengkritik diri sendiri.[4]
J.P. Chaplin juga mengemukakan setidaknya ada tiga dimensi kecerdasan, yaitu: a) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif, b) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti: memahami, berpendapat, mengontrol dan mengkritik dan c) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan sangat cepat.[5]
Stern Berg mendefinisikan intelligence (kecerdasan) adalah kemam-puan yang memiliki lima karakeristik umum yaitu kemampuan untuk belajar, mengambil manfaat dari pengalaman, berfikir secara abstrak, beradaptasi, dan memotivasi diri sendiri dalam menyelesaikan masalah secara tepat.[6]
Dari uraian di atas dipahami bahwa kecerdasan merupakan suatu kemampuan mengarahkan, memahami, dan menyesuaikan jiwa, pikiran, tindakan, serta menyelesaikan masalah yang dihadapi secara cepat dengan cara-cara yang tepat (efektif). Kemampuan tersebut pada gilirannya mendatangkan kebahagiaan bagi seseorang yang mengamalkannya.
Selanjutnya istilah emosional berasal dari kata emosi. Menurut Sarlito Wirawan, emosi adalah setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai dengan warna afektif, baik pada  tingkat  yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang kuat (mendalam).[7] Warna afektif di sini adalah perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan manusia sehari-hari.[8]
Ahmad Fauzi mengutip pendapat J. Bruno bahwa emosi dapat ditinjau dari dua sudut pandang. Pertama, secara fisiologis, emosi adalah proses perubahan jasmani karena perasaan yang meluap. Kedua, secara psikologis, emosi merupakan reaksi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.[9] Sementara Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa  amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.[10]
Perbedaan antara emosi dan perasaan tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada saat tertentu, suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi dapat juga dikatakan sebagai emosi.[11] Kendati demikian, ada juga yang berupaya melihat sisi lain dari kedua istilah tersebut bahwa perasaan merupakan suatu keadaan individu pada suatu waktu sebagai akibat dari stimulus yang mengenainya. Kalau keadaan telah begitu melampaui batas hingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya mungkin terganggu, hal ini akan menyangkut soal emosi.[12]
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan emosi di sini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai dengan warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang kuat (mendalam). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa emosi (motion) merupakan suasana kesadaran individu. Emosi lebih kompak daripada perasaan, dan emosi dapat timbul dari kombinasi beberapa perasaan. Dengan kata lain, perasaan merupakan bagian dari emosi. Emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dan dirasakan secara sadar dalam diri manusia.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara emosi yang dialami oleh individu dengan gejala kejasmanian. Hal ini sekaligus mengisyaratkan pula adanya hubungan antara kejasmanian dan kejiwaan. Bila individu sedang mengalami emosi, pada individu itu akan terdapat perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya, misalnya kalau orang mengalami ketakutan, mukanya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar.[13]
Contoh lain dapat dilihat dari perilaku ibu-ibu selama mengandung yang memperlihatkan perilaku ketegangan emosional, yang biasanya akan menimbulkan persoalan pada anaknya yang belum lahir. Seperti orang lain juga, ibu yang sedang hamil ini dapat merespons terhadap emosi, seperti kemarahan dan kecemasan, yang mengakibatkan hormon adrenalin naik. Selanjutnya aliran hormon adrenalin ini tentu akan diteruskan ke janin melalui plasenta. Bila terlalu banyak dapat menimbulkan hal yang membahayakan.
Bila ibu-ibu semasa hamil mengalami ketegangan jiwa yang berat, misalnya ditinggal mati orang yang dicintainya, ternyata gerakan yang dibuat oleh janin berlipat ganda sampai ratusan kali. Bila si ibu tetap dalam keadaan tertekan jiwanya sampai beberapa minggu lagi, bayi akan bergerak memutar-mutar secara berlebihan. Dari penelitian korelasi, tampak bahwa ketegangan jiwa yang dialami ibu hamil amat erat hubungannya dengan sifat bayi seperti mudah tersinggung, cengeng, gangguan pencernaan, abnormalitas, seperti sumbing atau lidah pendek (dua cacat bayi yang disebabkan karena ketika pembentukannya di dalam gerak agak kurang sempurna), dan sakit-sakitan.[14] Hanya saja penemuan-penemuan tersebut belum cukup kuat membuktikan bahwa gangguan emosional ibu akan mencelakakan bayinya.
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan oleh psikolog Petersolovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan menyebutkan kualifikasi emosi manusia seperti: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, mampu menyesuaikan diri, mampu memecahkan masalah antar pribadi, tekun dan kesetiakawanan, ramah, dan sikap hormat.[15]
Istilah ini populer pada 1995 yang diprakarsai Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional Intelligence; Why It Can Better More Than IQ.[16] Karyanya ini menjadikan dirinya terkenal di bidang psikologi. Hasil risetnya yang menggemparkan dengan mendefinisikan apa arti cerdas, dan adanya temuan baru tentang otak dan manusia, memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru gagal sementara yang ber-IQ sedang menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Daniel yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi. Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki  kurang lebih lima ribu perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Daniel mendapatkan gambaran keterampilan yang dimiliki para bintang kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan lainnya. Dari pekerja tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan intelektual, pendidikan tinggi atau keterampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.[17]
Hampir sama dengan ungkapan di atas, Ari Ginanjar mengatakan bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak orang yang memiliki gelar yang tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil. Kebanyakan program hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal yang diperlukan adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi.[18]
Menurut Robert K. Cooper seperti dikutip Ginanjar, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif, menerapkan  daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.[19] Di samping itu, kecerdasan emosi juga dipahami sebagai kemampuan memahami perasaan diri sendiri dan kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.[20] Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.[21]
Menurut John Gottman, kecerdasan emosi ini mencakup kemampuan untuk mengendalikan dengan hati, menunda perasaan, memotivasi diri, membaca isyarat sosial orang lain, dan menangani naik turunnya kehidupan.[22] Pengertian yang hampir sama namun redaksinya berbeda, juga dikemukakan oleh Solovey dan John Mayer seperti dikutip Shapiro bahwa kecerdasan emosi adalah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain; memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.[23] Dengan kata lain, kecerdasan emosi adalah pola yang dilakukan seseorang untuk mengatasi atau menghadapi suatu kondisi tertentu.
Dalam buku yang lain Daniel Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati  dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa.[24]
Deporter dan Hernacki menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan hasil dari aktivitas otak kanan, sebaliknya otak kiri menghasilkan kecerdasan intelektual. Otak kanan manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak teratur, intuititif, dan holistik, sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional dan linear.[25]
Dari beberapa pengertian di atas yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan  kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan, baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi. Dengan demikian aspek perasaan yang berpusat di hati, berperan penting dalam diri manusia sebagai alat kendali terhadap setiap aktivitas fisik maupun psikis.


[1]A. Budiarjo dkk,  Kamus Psikologi, (Semarang: Dhara Prize, 1987), h. 211
[2]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet.ke-2, h. 317
[3]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Ed. III, cet.ek-2, h. 209
[4]Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),  h. 6
[5]J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, diterjemahkan oleh Kartini Kartono dari judul asli: Dictionary of Psychologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 253
[6]Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1996), h. 129
[7]Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 59
[8]Ibid.
[9]Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia), h. 55
[10]Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, Edisi Spesial No. 4 th 2002, h. 21
[11]Netty Hartati dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), cet.ke-1, h. 89
[12]Ibid., h. 91
[13]Ibid., h. 93
[14]Ibid., h. 94
[15]Laurence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Inteligensi pada Anak, diterjemahkan oleh Alek Tri Kantjono dari judul asli: How to Raise A Child High EQ, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 5
[16]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., h. 320
[17]Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, diterjemahkan oleh T. Hermaya dari judul asli: Emotional Intelligence, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), sampul belakang.
[18]Ari Ginanjar Agustian,  Rahasia Sukses Membangun  Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2002), h. 56
[19]Ibid., h. 44
[20]Daniel Goleman, Emotional…op.cit., h. 512
[21]Komarudin Hidayat, Menyinari Relung-Relung Ruhani, (Bandung: Hikmah, 2002), h. 173
[22]John Gottman, Jon De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), h. 2
[23]Laurence E. Shapiro, op.cit., h. 19
[24]Daniel Goleman, Emotional…op.cit., h. 45
[25]Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, diterjemahkan oleh Alawiyyah Abdurrahman dari judul asli: Quantum Learning Unlesing The Genius In You, (Bandung: Kaifa, 1999), h. 39

Tidak ada komentar: