1.
Konsep
Kecerdasan Emosional
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai konsep
kecerdasan emosional, terlebih dahulu dikemukakan makna masing-masing istilah
secara mendetail. Istilah kecerdasan merupakan terjemahan dari kata intelligence.
Kata intelligence (kecerdasan)
berasal dari bahasa latin “intelligere” yang berarti menghubungkan/menyatukan
satu sama lain.[1]
Menurut Yusuf Murad seperti dikutip Abdul Mujib,
dalam bahasa Arab istilah intelligence disebut dengan al-dzakâ' yang berarti
pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Begitu cepatnya penangkapan
itu, sehingga Ibnu Sina, seorang psikolog falsafi, menyebut kecerdasan sebagai
kekuatan intuitif ( الحدث ) (al-hadtsu).[2]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kecerdasan
(Intelligence) berarti daya reaksi penyesuaian yang cepat dan tepat baik
secara fisik atau mental terhadap pengalaman-pengalaman baru, membuat
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan
pada fakta-fakta atau kondisi baru.[3]
Saifuddin Azwar mengutip pendapat Alfred Binet (1857-1911), tokoh perintis
pengukuran intelligence bahwa kecerdasan adalah tindakan yang terdiri dari
tiga kemampuan yaitu: a) kemampuan mengarahkan pikiran, b) kemampuan mengubah
arah tindakan bila tindakan itu telah dilaksanakan, dan c) kemampuan mengkritik
diri sendiri.[4]
J.P. Chaplin juga mengemukakan setidaknya ada tiga
dimensi kecerdasan, yaitu: a) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap situasi baru secara cepat dan efektif, b) kemampuan menggunakan konsep
abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti: memahami,
berpendapat, mengontrol dan mengkritik dan c) kemampuan memahami
pertalian-pertalian dan belajar dengan sangat cepat.[5]
Stern Berg mendefinisikan intelligence
(kecerdasan) adalah kemam-puan yang memiliki lima karakeristik umum yaitu
kemampuan untuk belajar, mengambil manfaat dari pengalaman, berfikir secara
abstrak, beradaptasi, dan memotivasi diri sendiri dalam menyelesaikan masalah
secara tepat.[6]
Dari uraian di atas dipahami bahwa kecerdasan
merupakan suatu kemampuan mengarahkan, memahami, dan menyesuaikan jiwa, pikiran,
tindakan, serta menyelesaikan masalah yang dihadapi secara cepat dengan
cara-cara yang tepat (efektif). Kemampuan tersebut pada gilirannya mendatangkan
kebahagiaan bagi seseorang yang mengamalkannya.
Selanjutnya istilah emosional berasal dari kata emosi. Menurut Sarlito Wirawan, emosi adalah setiap
keadaan pada diri seseorang yang disertai dengan warna afektif, baik pada tingkat
yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang kuat (mendalam).[7]
Warna afektif di sini adalah perasaan senang atau tidak senang yang selalu
menyertai perbuatan manusia sehari-hari.[8]
Ahmad Fauzi mengutip pendapat J. Bruno bahwa emosi
dapat ditinjau dari dua sudut pandang. Pertama, secara fisiologis, emosi
adalah proses perubahan jasmani karena perasaan yang meluap. Kedua,
secara psikologis, emosi merupakan reaksi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan.[9] Sementara Daniel Goleman
merumuskan emosi sebagai perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi
dapat dikelompokkan pada rasa amarah,
kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.[10]
Perbedaan antara emosi dan perasaan tidak dapat
dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan
kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada saat tertentu, suatu warna afektif
dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi dapat juga dikatakan sebagai emosi.[11] Kendati demikian, ada juga yang berupaya melihat
sisi lain dari kedua istilah tersebut bahwa perasaan merupakan suatu keadaan
individu pada suatu waktu sebagai akibat dari stimulus yang mengenainya. Kalau
keadaan telah begitu melampaui batas hingga untuk mengadakan hubungan dengan
sekitarnya mungkin terganggu, hal ini akan menyangkut soal emosi.[12]
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan emosi di
sini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap
keadaan pada diri seseorang yang disertai dengan warna efektif, baik pada
tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang kuat (mendalam). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa emosi (motion) merupakan suasana
kesadaran individu. Emosi lebih kompak daripada perasaan, dan emosi dapat
timbul dari kombinasi beberapa perasaan. Dengan kata lain, perasaan merupakan
bagian dari emosi. Emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dan dirasakan
secara sadar dalam diri manusia.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara emosi
yang dialami oleh individu dengan gejala kejasmanian. Hal ini sekaligus
mengisyaratkan pula adanya hubungan antara kejasmanian dan kejiwaan. Bila
individu sedang mengalami emosi, pada individu itu akan terdapat
perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya, misalnya kalau orang mengalami
ketakutan, mukanya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar.[13]
Contoh lain dapat dilihat dari perilaku ibu-ibu
selama mengandung yang memperlihatkan perilaku ketegangan emosional, yang
biasanya akan menimbulkan persoalan pada anaknya yang belum lahir. Seperti
orang lain juga, ibu yang sedang hamil ini dapat merespons terhadap emosi,
seperti kemarahan dan kecemasan, yang mengakibatkan hormon adrenalin naik.
Selanjutnya aliran hormon adrenalin ini tentu akan diteruskan ke janin melalui
plasenta. Bila terlalu banyak dapat menimbulkan hal yang membahayakan.
Bila ibu-ibu semasa hamil mengalami ketegangan
jiwa yang berat, misalnya ditinggal mati orang yang dicintainya, ternyata
gerakan yang dibuat oleh janin berlipat ganda sampai ratusan kali. Bila si ibu
tetap dalam keadaan tertekan jiwanya sampai beberapa minggu lagi, bayi akan
bergerak memutar-mutar secara berlebihan. Dari penelitian korelasi, tampak
bahwa ketegangan jiwa yang dialami ibu hamil amat erat hubungannya dengan sifat
bayi seperti mudah tersinggung, cengeng, gangguan pencernaan, abnormalitas,
seperti sumbing atau lidah pendek (dua cacat bayi yang disebabkan karena ketika
pembentukannya di dalam gerak agak kurang sempurna), dan sakit-sakitan.[14]
Hanya saja penemuan-penemuan tersebut belum cukup kuat membuktikan bahwa
gangguan emosional ibu akan mencelakakan bayinya.
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan
oleh psikolog Petersolovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan menyebutkan kualifikasi
emosi manusia seperti: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
pengendalian amarah, kemandirian, mampu menyesuaikan diri, mampu memecahkan
masalah antar pribadi, tekun dan kesetiakawanan, ramah, dan sikap hormat.[15]
Istilah ini populer pada 1995 yang diprakarsai
Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University dalam karya
monumentalnya berjudul Emotional Intelligence; Why It Can Better More Than
IQ.[16]
Karyanya ini menjadikan dirinya terkenal di bidang psikologi. Hasil risetnya
yang menggemparkan dengan mendefinisikan apa arti cerdas, dan adanya temuan
baru tentang otak dan manusia, memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi
justru gagal sementara yang ber-IQ sedang menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Daniel yang dapat memacu
seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan
emosi. Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki
kurang lebih lima ribu perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Daniel
mendapatkan gambaran keterampilan yang dimiliki para bintang kinerja di segala
bidang, yang membuat mereka berbeda dengan lainnya. Dari pekerja tingkat bawah
sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan intelektual,
pendidikan tinggi atau keterampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.[17]
Hampir sama dengan ungkapan di atas, Ari Ginanjar
mengatakan bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak
orang yang memiliki gelar yang tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia
pekerjaan. Bahkan seringkali yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata
banyak yang lebih berhasil. Kebanyakan program hanya berpusat pada kecerdasan
akal (IQ), padahal yang diperlukan adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan
emosi.[18]
Menurut Robert K. Cooper seperti dikutip Ginanjar,
kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif,
menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.[19]
Di samping itu, kecerdasan emosi juga dipahami sebagai kemampuan memahami perasaan
diri sendiri dan kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan
dalam hubungannya dengan orang lain.[20] Kecerdasan
emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan
agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain,
tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.[21]
Menurut John Gottman, kecerdasan emosi ini mencakup kemampuan untuk
mengendalikan dengan hati, menunda perasaan, memotivasi diri, membaca isyarat
sosial orang lain, dan menangani naik turunnya kehidupan.[22]
Pengertian yang hampir sama namun redaksinya berbeda, juga dikemukakan oleh Solovey
dan John Mayer seperti dikutip Shapiro bahwa kecerdasan emosi adalah himpunan
bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan
emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain; memilah-milah semuanya
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.[23]
Dengan kata lain, kecerdasan emosi adalah pola yang dilakukan seseorang untuk
mengatasi atau menghadapi suatu kondisi tertentu.
Dalam buku yang lain Daniel Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,
mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan,
mengatur suasana hati dan menjaga agar
bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa.[24]
Deporter dan Hernacki menjelaskan bahwa kecerdasan emosional
merupakan hasil dari aktivitas otak kanan, sebaliknya otak kiri menghasilkan
kecerdasan intelektual. Otak kanan manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak
teratur, intuititif, dan holistik, sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang
logis, sekuensial, rasional dan linear.[25]
Dari beberapa pengertian di atas yang dimaksud dengan kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati
agar tidak melumpuhkan kejernihan
berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan, baik
kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi. Dengan demikian aspek
perasaan yang berpusat di hati, berperan penting dalam diri manusia sebagai
alat kendali terhadap setiap aktivitas fisik maupun psikis.
[1]A. Budiarjo dkk, Kamus
Psikologi, (Semarang: Dhara Prize, 1987), h. 211
[2]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002), cet.ke-2, h. 317
[3]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002),
Ed. III, cet.ek-2, h. 209
[5]J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, diterjemahkan oleh
Kartini Kartono dari judul asli: Dictionary of Psychologi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1999), h. 253
[6]Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, (Jakarta:
Erlangga, 1996), h. 129
[7]Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum
Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 59
[11]Netty Hartati dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004),
cet.ke-1, h. 89
[15]Laurence E. Shapiro, Mengajarkan
Emosional Inteligensi pada Anak, diterjemahkan oleh Alek Tri Kantjono dari
judul asli: How to Raise A Child High EQ, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), h. 5
[16]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., h. 320
[17]Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, diterjemahkan oleh T.
Hermaya dari judul asli: Emotional Intelligence, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009), sampul belakang.
[18]Ari Ginanjar Agustian, Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta : Arga, 2002), h.
56
[22]John Gottman, Jon De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang
Memiliki Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), h.
2
[25]Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum
Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, diterjemahkan oleh
Alawiyyah Abdurrahman dari judul asli: Quantum Learning Unlesing The Genius
In You, (Bandung: Kaifa, 1999), h. 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar