- Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perilaku Beragama Remaja
a. Pengaruh Sosial
Faktor sosial mencakup semua pengaruh
sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua,
tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh
lingkungan. Lingkungan (baca: dalam keluarga maupun masyarakat) sangat
mempengaruhi keyakinan dan implementasi keberagamaan pada diri remaja.
Lingkungan dapat menjadi contoh yang baik dalam peningkatkan pengalaman dan
pengamalan agama remaja, namun disisi lain lingkungan juga dapat berpengaruh
negative terhadap keyakinan bergama
remaja.
Sahilun A. Nasir mengemukakan bahwa remaja
yang hidup dalam lingkungan yang agamis sebagai faktor ekstren dan dia memiliki
kesadaran yang tinggi dalam hidup beragama sebagai faktor intern, akan
menghasilkan perilaku keagamaan yang mantap. Dia mampu mengkombinasikan antara
faktor-faktor rasional dan emosional secara terpadu. Norma-norma agama
ditelusuri dengan analisa-analisa rasional sesuai dengan tingkat umur remaja
yang ingin bebas dan terikat, tetapi dia juga memperhatikan emosinya agar
memperoleh tempat yang layak dalam kehidupannya.[1]
Begitu juga sebaliknya remaja yang hidup dalam lingkungan yang tidak atau
hampir tidak pernah melaksanakan ajaran agama maka remaja juga akan terpengaruh
dengan kebiasaan yang terjadi pada lingkungan tersebut.[2]
b. Pengaruh Kebutuhan
Faktor lain yang dianggap sebagai
sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi
secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan
agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian,
antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan akan
kebahagiaan, kebutuhan untuk memperoleh harga diri[3]
dan kebutuhan yang timbul karena adanya keyakinan terhadap adanya kematian.
Agama adalah salah satu cara hidup bagaimana mendapatkan kebutuhan-kebutuhan
tersebut, sebab agama memiliki konsep tentang pemenuhan terhadap kebutuhan
pribadi manusia baik di dunia maupun setelah mati.[4]
1)
Pengaruh
pengalaman
Faktor terakhir adalah pemikiran yang
agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai
kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang
mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Pengalaman mereka
sehari-hari dapat menjadi pemicu tentang sikap mereka terhadap ajaran agama.
Mereka dapat bertambah yakin terhadap agama jika pengalamnnya membuktikan bahwa
ajaran agama itu dapat dibuktikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan begitu
juga sebaliknya mereka menjadi tidak percaya kepada ajaran agama karena mereka
anggap tidak rasional dan atau menyimpang dari pemikiran dan pengalaman mereka.
Dalam posisi ini mereka menganggap agama dan ajarannya sebagai doktrin biasa
saja. Disisi lain mereka akan mengkritik guru agama yang tidak rasional dalam
menjelaskan ajaran- ajaran agama Islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin
tahu dengan pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis
remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai
pengalaman.
2)
Pengaruh Proses Pemikiran
Keyakinan terhadap agama bagi
sebagian orang diawali dari proses pencarian kebenaran melalui pemikiran.
Pencarian itu dilakukan dengan memperhatikan struktur dan gejala-gejala alam
semesta. Selanjutnya menemukan jawaban dari hasil pemikirannya itu. Ahmad Yamani dalam Ramayulis menyatakan bahwa
:
“Tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat
berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk
memahami dan belajar mengenai alam sekitar-nya di samping rasa ketakutan
terhadap rasa kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong
insane tadi untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan
membimbingnya, disaat-saat yang gawat. Insan primitive telah menemukan
apa yang dicarinya pada gejala alam itu sendiri, berangsur-angsur dan silih
berganti menuju gejala-gejala alam tadi sesuai dengan penemuannya dan
menetapkannya ke dalam jalan kehidupannya. Dengan demikian timbullah
penyembahan terhadap api, matahari, bulan, atau benda lainnya dari gejal-gejala
alam tersebut yang akhirnya sampailah pada sebuah keyakinan bahwa manusia perlu
percaya kepada pencipta alam semesta.[5]
Nabi Ibrahim melalui proses berfikir
dan pengamatan dia telah meninggalkan kepercayaan yang dianut oleh ayahnya dan
nenek moyangnya, karena menemukan dan menyimpulkan bahwa kepercayaan mereka itu
salah. Dengan pikiran dia mencari kebenaran, tentang Tuhan yang berhak disembah
dan agama yang benar untuk diyakini.
Keyakinan beragama Ibrahim tampaknya sangat dipengaruhi oleh perjuangan
dan pemikirannya dalam mencari dan memperoleh kebenaran.
[1]Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan
Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 157
[2]Berkaitan dengan pengaruh lingkungan ini, dalam hadisnya Rasulullah
SAW., bersabda “Setiap anak tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah
(suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, nasrani, Majusi
atau Musyrik”. (HR Bukhari dan Muslim). Lihat Al-Din Ali Mahmud al Baghdady, Tafsir
Khazin Musamma Lubab al Ta’wil fi Ma’ani al Tanzi; (Bairut: dar al-Fikri,
tt), h. 434
[3]Keterangan selanjutnya tentang teori kebutuhan Maslow ini dapat
dibaca dalam bukunya yang berjudul Motivasi dan kepribadian, (Jakarta: LLPM dan
PT Pustaka Binaman Pressiud, 1977)
[4]Pentingnya seseorang berpegang teguh pada falsafah agama, sosial,
atau moral supaya a dapat merasakan kebahagiaan, dan orang yang bahagia adalah
orang yang betul-betul bahagia adalah yang memiliki pribadi yang kuat yang
selalu berusaha mengejar tujuan yang mulia dan kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan-keinginannya tidak bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan.
A.A.Al-Qoussy, ‘Ilm al-Nafs al-‘Am: Ususuh wa Tatbiqatuh, (Kairo:
Dar al-Nahdah Al-Misriyah, 1952), h. 294
[5]Ramayulis, Op.Cit., h. 46-47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar