1.
Pembelajaran
Berbasis ICT dalam Perspektif Pendidikan Islam
Pembelajaran
berbasis ICT menjadikan ICT
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan pengajar dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran sehingga aktivitas tesebut
benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.[1] Dengan
demikian pembelajaran berbasis ICT merupakan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran yang berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi. Sedangkan
ICT itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan segala
aktifitas yang berhubungan dengan pemrosesan,manipulasi, pengelolaan, dan
transfer/pemindahan informasi antarmedia.
Selanjutnya, ketika kita membahas tentang pembelajaran
berbasis teknologi informasi dan komunikasi, kita perlu mengungkap tentang
teori belajar yang melandasinya yakni teori belajar behaviorisme yang
dikemukakan oleh B.F. Skinner. Berdasarkan percobaan yang dilakukannya, maka ia
berhasil menemukan metode yang digunakannya dalam mengubah kelakuan binatang
(burung merpati). Adapun metode yang digunakannya pertama kali adalah dengan
memberikan stimulus (S1) tertentu dan
bila binatang itu memberi respons yang menuju ke arah bentuk kelakuan yang diharapkan, maka respons
(R1) itu diperkuat atau diberi reinforcement, sehingga terjadi ikatan yang erat
antara S1 dan R1. Kemudian R1 menjadi stimulus (S2) yang dapat memunculkan
respons (R2) yang lebih mendekati bentuk kelakuan yang diharapkan R2 diberi
reinforcement atau penguatan. Demikianlah binatang tersebut diajar
berangsur-angsur dengan rentetan bentuk kelakuan sehingga tercapai bentuk
kelakuan yang kita tentukan.[2]

Ilustrasi 2:
Temuan B. F. Skinner tentang Metode Belajar
Urutan
atau langkah-langkah dalam mengajarkan sesuatu sangat penting dalam proses
pembelajaran. Menentukan urutan merupakan suatu seni, akan tetapi
berangur-angsur meningkat menjadi suatu teknologi.[4]
Teknologi pembelajaran merupakan suatu proses yang
kompleks dan terpadu meliputi manusia, prosedur, ide, alat, dan organisasi
untuk menganalisis masalah serta
merancang, melaksanakan, menilai, dan mengelola usaha pemecahan masalah dalam
situasi belajar yang bertujuan dan terkontrol.[5] Adapun
yang dimaksud dengan situasi belajar
yang bertujuan dan terkontrol pada teknologi pembelajaran menurut Pawit M.
Yusuf, berkaitan dengan kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan membelajarkan
siswa dengan segala komponen yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut.
Adapun komponen-komponen yang dimaksud adalah pesan, orang, bahan, alat,
teknik, dan lingkungan. Komponen-komponen tersebut, baik sebagian maupun
seluruhnya dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan hasil belajar siswa
secara terkendali sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.[6] Artinya,
belajar merupakan kegiatan yang memiliki perencanaan di antaranya dengan
menetapkan tujuan dan terkendali dengan memanfaatkan komponen-komponen
pembelajaran yang diarahkan dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran.
Sedangkan pemecahan masalah dalam teknologi pembelajaran
adalah melalui komponen sistem pembelajaran sebagaimana yang telah diutarakan
di atas, yang telah disusun dalam fungsi desain atau seleksi, dan dalam
pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem instruksional yang
lengkap. Oleh karena itu, sistem pembelajaran perlu dikembangkan. Pengembangan
sistem pembelajaran merupakan usaha sistematis dari teknologi pembelajaran
untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. [7]Adapun prinsip dasar dalam
pengembangan sistem pembelajaran tersebut adalah berfokus pada siswa,
pendekatan sistem, dan pemanfaatan sumber belajar secara maksimal.[8]
1.
Berfokus pada siswa.
Perubahan
yang terjadi sebagai akibat adanya tindak belajar pada pihak siswa lebih
ditekankan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam artian, segala sesuatu
yang menyangkut kegiatan pembelajaran harus diarahkan kepada kepentingan
belajar siswa, bukan kepentingan guru. Sehingga wajar saja dalam merumuskan tujuan pembelajaran, yang
diharapkan dapat mencapainya adalah siswa, bukan guru.[9] Hal lain
yang diperhatikan adalah bahwa siswa dalam kegiatan pembelajaran merupakan subjek
yang aktif. Prinsip ini juga memandang bahwa dalam setiap proses pembelajaran,
siswa hendaknya bertindak sebagai pihak yang aktif dan dibuat aktif. Namun hal
ini bukan berarti bahwa guru adalah pihak yang pasif. Kedua-duanya harus
bertindak aktif. Guru aktif memberikan kemudahan (fasilitas) belajar kepada
siswa dan siswa aktif berinteraksi dengan sumber-sumber lain yang dapat
mempermudah proses belajar.[10]
Anak
bukanlah miniatur orang dewasa. Anak memiliki potensi yang mesti dikembangkan
melalui berbagai cara, salah satunya dengan mengaktifkan mereka. Oleh karena
itu, perlu adanya penekanan pada kegiatan anak dalam proses pembelajaran.
Dampak positif dari kegiatan partisipasi aktif dijelaskan dalam Q.S. Al-Isra':
9.[11]
و يبشر المؤمنين الذين الذين يعملون
صالحات ان لهم اجرا كبيرا…
( بني اسرآءيل: )
"…Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min
yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.
(Al-Isra': 9)"[12]
Oleh karena itu, pendidik
juga hendaknya mampu menggunakan berbagai strategi, metode, teknik untuk
membelajarkan siswa sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang mencakup
ketiga aspek, baik kognitif, afektif maupun psikomotor.[13]
Selanjutnya
prinsip ini juga berarti bahwa guru hendaknya juga mengetahui segala aspek yang
menyangkut peserta didik.[14] Menurut
Samsul Nizar, manusia memiliki dua dimensi yang menyatu secara integral yakni
dimensi jasmani dan dimensi rohani. Dimensi jasmani tersusun secara bertahap dan sangat sempurna,
sehingga mampu mendukung pengaplikasian eksistensinya secara optimal. Di
samping itu, ia memiliki daya hayat atau daya berkembang, msekipun tanpa adanya
dimensi rohani. Sedangkan dimensi rohani meliputi al-qalb, al-'aql dan an-nafs.[15] Selanjutnya perlu juga dipahami bahwa
manusia memiliki potensi berupa fitrah. Manusia dilengkapi dengan berbagai
potensi yang dapat dkembangkan antara lain fitrah ketauhidan. Fitrah ketauhidan
dilambangkan dengan kecenderungan manusia untuk tunduk kepada sang Pencipta.[16] Untuk pengembangannya menuju sosok
pribadi muslim yang ideal, fitrah perlu dipupuk dengan hal-hal kebaikan. Namun,
terlepas dari hal tersebut, dalam Islam terdapat pula faktor hidayah Allah juga
merupakan penentu terbentuknya kepribadian yang mulia.[17]
Dengan
demikian berfokus pada siswa dapat juga berarti bahwa pembelajaran yang
dilakukan oleh pendidik hendaknya
benar-benar beranjak dari pemahaman tentang hakikat peserta didik.
Implikasinya, guru mampu membelajarkan siswa dengan strategi, metode, pendekatan
dan teknik yang tepat serta menghasilkan out put yang merasa puas dengan hasil
belajar yang diperolehnya karena sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri selaku
peserta didik yang menjadi fokus atau penekanan dalam pembelajaran.
Terkait
dengan hal ini, Abdurrahman Shaleh
Abdullah menyatakan bahwa jika praktek pendidikan tidak dibangun di atas konsep
dasar yang jelas tentang sifat dasar manusia, maka pendidikan akan mengalami
kegagalan.[18] Manusia adalah makhluk yang unik,
artinya mereka berbada satu dengan yang lain, tidak hanya dari segi fisik
tetapi juga psikis. Mereka memiliki daya intelektual, bakat, sifat dan
potensi yang berbeda satu sama lain. Jika pendidik tidak mengenali manusia yang
dididiknya, tentu saja pendidikan yang diberikan kepada peserta didik tidak
dapat terlaksana secara efektif dan sangat mungkin mengalami kegagalan dalam
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
2.
Pendekatan sistem
Prinsip
ini memandang bahwa masalah belajar adalah merupakan suatu sistem. Maksudnya,
penanganan terhadap satu komponen pembelajaran dalam pengembangan sistem
pembelajaran harus pula mempertimbangkan integrasi komponen-komponen yang lain
sehingga diperoleh efek yang sinergis untuk memecahkan persoalan-persoalan
belajar. Dengan adanya keterpaduan komponen-komponen tersebut, maka
masalah-masalah belajar dapat terpecahkan dengan baik.[19]
Misalnya, media sebagai salah satu sistem pembelajaran. Tugas media bukan hanya
sekedar mengkomunikasikan hubungan antara sumber (pengajar) dan sipenerima (si
anak didik), namun lebih dari itu merupakan bagian yang integral dan saling
mempunyai keterkaitan antra komponen yang satu dengan yang lain, saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi untuk memecahkan persoalan-persoalan belajar. [20]
Persoalan
yang ditemui dalam sebuah komponen dalam pembelajaran bukanlahh dipandang
sebagai persoalan sebuah komponen saja. Pembelajaran merupakan sebuah
sistem, artinya masing-masing komponennya saling berkaitan (interdependent).
Ketika terjadi suatu permasalahan pada sebuah komponen, maka komponen-komponen
lain dalam pembelajaran turut dipertimbangkan dalam mencarikan solusinya.
Artinya pembelajaran merupakan sebuah sistem, maka pemecahan terhadap persoalan
pembelajaran didekati dengan pendekatan sistem.
3.
Pemanfaatan
sumber belajar secara maksimal.
Prinsip ini memandang semua komponen sumber belajar baik
pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar harus dimanfaatkan secara luas dan maksimal. Hal ini dilakukan
dalam rangka memecahkan masalah-masalah belajar. Dengan demikian tujuan
pembelajaran dapat tercapai secara lebih efektif dan efisien.[21]
Sumber belajar, jika dilacak lebih jauh, bisa dicirikan
dari sumber belajar yang dirancang khusus untuk tujuan-tujuan belajar dan
sumber belajar yang langsung tersedia apa adanya di alam. Sumber belajar jenis
terakhir tinggal memanfaatkan saja tanpa perlu mengolahnya terlebih dahulu.
Buku, majalah, surat kabar, media cetak lainnya, adalah sumber belajar yang
pengadaannya, juga berbagai pesan yang direkam dalam perekaman berupa perangkat
lunak seperti transparansi, slide, film, merupakan sumber-sumber belajar yang
direncanakan. Lain halnya dengan data dan fakta alam secara apa adanya seperti
hutan lindung, pepohonan, hewan dan objek-obejek alamiah lainnya yang merupakan
sumber-sumber belajar yang sudah tersedia secara langsung tanpa dipola lebih
dahulu oleh manusia. Sumber – sumber belajar yang terakhir termasuk kelompok
yang tinggal dimanfaatkan.[22] Namun
demikian, tentu saja sumber yang digunakan dalam pembelajaran perlu memenuhi
persyaratan. Sumber-sumber dalam teknologi pembelajaran lebih khusus. Beberapa
syarat yang harus dipenuhi adalah:
1)
Harus dipilih dan
dirancang terlebih dahulu sesuai dengan tujuan serta pengontrolan belajar
2) Harus
disesuaikan dengan maksud perencanaan dan pemilihannya
Selanjutnya, Nasution berpandangan bahwa yang diutamakan
dalam teknologi pembelajaran adalah media komunikasi yang berkembang pesat yang
dapat dimanfaatkan dalam pendidikan secara umum dan pembelajaran secara khusus.[24]
Sehingga, wajar saja, dalam pengertian sempit, orang sering menghubungkan
teknologi pembelajaran dengan media.[25]
Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran yang direncanakan secara integral
dan sistematis merupakan wujud dari pemecahan masalah menurut teknologi
pembelajaran. [26] Adapun
masalah – masalah yang ingin diatasi dengan teknologi pembelajaran dengan
menggunakan media pembelajaran di antaranya adalah sulitnya mempelajari konsep
yang abstrak, sulitnya membayangkan peristiwa yang telah lalu, sulit mengamati
sesuatu objek yang terlalu kecil/besar, dan sulit memperoleh pengalaman
langsung. Untuk melakukan hal ini, guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan
khusus untuk keperluan itu, yaitu di bidang teknologi pendidikan atau teknologi
pembelajaran dalam lingkup lebih kecil.[27]
Eric Ashby mengatakan bahwa dalam sejarah peradaban
manusia, setidaknya telah terjadi empat revolusi besar pada bidang teknologi
pembelajaran. Revolusi pertama yakni terjadi ketika orangtua menitipkan anak
kepada seorang guru untuk mendapatkan pendidikan. Masa ini merupakan cikal
bakal dimulainya sebuah profesi yang disebut guru. Guru saat itu merupakan
orang yang dipandang mempunyai kelebihan. Siswa datang kepada guru untuk
belajar. Revolusi kedua terjadi ketika manusia mengenal tulisan. Tulisan
sebagai lambang-lambang yang disepakati guna menyampaikan suatu pesan. Sejak
saat itu pesan-pesan mulai disampaikan secara tertulis. Saat itu orang menulis
dengan mempergunakan media apa saja, seperti kayu, tulang, batu, daun, sampai
ditemukannya kertas. Kertas pertama kali diperkenalkan di negeri Cina oleh
seorang bernama Cai Lun tahun 105 M. Sejak ditemukannya kertas, budaya tulis
semakin berkembang pesat. Perkembangan budaya tulis semakin pesat saat memasuki
revolusi ketiga, yakni ditemukannya mesin cetak. Mesin cetak membawa dampak
yang sangat luas dalam komunikasi tulisan, yang semula buku ditulis dan disalin
oleh orang per orang, maka setelah ditemukannya mesin cetak, tulisan dapat
diterbitkan secara masal. Mesin cetak telah memberi warna kepada kehidupan
manusia modern. Pada penghujung abad 20 kita menyaksikan revolusi selanjutnya
yang sangat menakjubkan, yaitu revolusi elektronik. Revolusi elektronik pada
bidang teknologi pembelajaran dimulai sejak ditemukannya citra bergerak (motion
picture) tahun 1910, siaran radio (1930), televisi pendidikan (1950) serta
computer dan internet (1980). Awal abad 21 merupakan kelanjutan dari revolusi
elektronik. Pada masa ini, dikenal berbagai istilah berkaitan dengan
pembelajaran elektronik atau sering disebut elearning. Konsep elearning sendiri
mencakup terminologi yang sangat luas, mulai dari pembelajaran plus elektronik
sampai dengan electronic based learning.[28]
Saat ini di sekolah telah mulai diperkenalkan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi. Pendayagunaan ICT dalam pendidikan pada
dasarnya adalah suatu kelanjutan proses revolusi pembelajaran yang masih belum
selesai. Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, istilah ICT sendiri
semakin identik dengan komputer.[29] Di
samping itu, perlu dipahami bahwa dalam proses pembelajaran, setidaknya TIK
menempati tiga peranan, yakni sebagai konten pembelajaran (standar kompetensi),
sebagai media pembelajaran dan sebagai alat belajar. Dapat juga dikatakan
belajar menggunakan komputer, menggunakan computer untuk belajar, dan belajar
melalui komputer.[30] Oleh
karena itu, apabila disebutkan ICT maka yang dimaksud biasanya akan menunjuk
kepada penggunaan komputer dan tidak ketinggalan juga internet.[31]
Perkembangan ICT telah memberikan pengaruh terhadap dunia
pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001),
dengan berkembangnya penggunaan ICT ada
lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan
saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke
fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media
pendidikan dilakukan dengan menggunakan
media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb.
Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap
muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat
memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula
siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber
melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan internet.[32]
Untuk dapat
memanfaatkan ICT dalam memperbaiki mutu pembelajaran, ada tiga hal yang harus
diwujudkan yaitu (1) siswa dan guru harus memiliki akses kepada teknologi
digital dan internet dalam kelas, sekolah, dan lembaga pendidikan guru, (2)
harus tersedia materi yang berkualitas, bermakna, dan dukungan kultural bagi
siswa dan guru, dan (3) guru harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam
menggunakan alat-alat dan sumber-sumber digital untuk membantu siswa agar
mencapai standar akademik. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ICT, maka telah
terjadi pergeseran pandangan tentang pembelajaran baik di kelas maupun di luar
kelas. Dalam pandangan tradisional di masa lalu (dan masih ada pada masa sekarang),
proses pembelajaran dipandang sebagai: (1) sesuatu yang sulit dan berat, (2)
upaya mengisi kekurangan siswa, (3) satu proses transfer dan penerimaan
informasi, (4) proses individual atau soliter, (5) kegiatan yang dilakukan
dengan menjabarkan materi pelajaran kepada satuan-satuan kecil dan terisolasi,
(6) suatu proses linear. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah terjadi perubahan pandangan mengenai pembelajaran yaitu
pembelajaran sebagai: (1) proses alami, (2) proses sosial, (3) proses aktif dan
pasif, (4) proses linear dan atau tidak linear, (5) proses yang berlangsung
integratif dan kontekstual, (6) aktivitas yang berbasis pada model kekuatan,
kecakapan, minat, dan kultur siswa, (7) aktivitas yang dinilai berdasarkan
pemenuhan tugas, perolehan hasil, dan pemecahan masalah nyata baik individual
maupun kelompok.[33]
Pembelajaran berbasis ICT juga telah mengubah peran guru dan siswa dalam pembelajaran.
Peran guru telah berubah dari: (1)
sebagai penyampai pengetahuan, sumber utama informasi, ahli materi, dan sumber
segala jawaban, menjadi sebagai fasilitator pembelajaran,
pelatih, kolaborator, navigator pengetahuan, dan mitra belajar; (2) dari mengendalikan
dan mengarahkan semua aspek pembelajaran, menjadi lebih banyak memberikan
lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam proses
pembelajaran. Sementara itu peran siswa
dalam pembelajaran telah mengalami perubahan yaitu: (1) dari penerima informasi yang
pasif menjadi
partisipan aktif dalam proses pembelajaran, (2) dari mengungkapkan kembali
pengetahuan menjadi
menghasilkan dan berbagai pengetahuan, (3) dari pembelajaran sebagai
aktiivitas individual (soliter) menjadi pembelajaran berkolaboratif dengan
siswa lain.
Lingkungan pembelajaran yang di masa lalu berpusat pada
guru telah bergesar menjadi berpusat pada siswa. Secara rinci dapat digambarkan
sebagai berikut: [34]
Lingkungan
|
Berpusat pada guru
|
Berpusat pada siswa
|
Aktivitas kelas
|
Guru sebagai sentral dan bersifat didaktis
|
Siswa sebagai sentral dan bersifat interaktif
|
Peran guru
|
Menyampaikan fakta-fakta, guru sebagai ahli
|
Kolaboratif, kadang-kadang siswa sebagai ahli
|
Penekanan pengajaran
|
Mengingat fakta-fakta
|
Hubungan antara informasi dan temuan
|
Konsep pengetahuan
|
Akumujlasi fakta secara kuantitas
|
Transformasi fakta-fakta
|
Penampilan keberhasilan
|
Penilaian acuan norma
|
Kuantitas pemahaman , penilaian acuan patokan
|
Penilaian
|
Soal-soal pilihan berganda
|
Protofolio, pemecahan masalah, dan penampilan
|
Penggunaan teknologi
|
Latihan dan praktek
|
Komunikasi, akses, kolaborasi, ekspresi
|
Tabel
1: Perbandingan Proses Pembelajaran yang Berpusat pada Guru dengan Pembelajaran
yang Berpusat pada Siswa.
ICT mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap proses
dan hasil pembelajaran baik di kelas
maupun di luar kelas. ICT telah memungkinkan terjadinya individualisasi,
akselerasi, pengayaan, perluasan, efektivitas dan produktivitas pembelajaran
yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan sebagai
infrastruktur pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Melalui
penggunaan ICT setiap siswa akan terangsang untuk belajar maju berkelanjutan
sesuai dengan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Pembelajaran dengan
menggunakan ICT menuntut kreativitas dan kemandirian diri sehingga memungkinkan
mengembangkan semua potensi yang
dimilikinya.[35]
Menurut Semiawan, kreatifitas merupakan kemampuan membuat
kombinasi-kombinasi baru, atau melihat hubungan-hubungan baru atau unsur, data,
atau hal-hal yang sudah ada sebelumnya.[36] Kreatifitas merupakan
suatu proses mental yang dapat diwujudkan dalam suatu kemampuan berpikir
seseorang, di antaranya ia mampu menciptakan karya baru meskipun karya tersebut
sebenarnya tidak seluruhnya baru, tetapi dapat berupa gabungan atau kombinasi
dari unsur-unsur yang sudah ada. Kreatifitas seseorang dapat dilihat dari cara
berpikir mereka yang meliputi keterampilan berpikir lancar, fleksibel, orisinal
dan memerinci.[37]
Munandar
menegaskan bahwa kreatifitas penting dipupuk dan dikembangkan dalam diri anak
mengingat: (1) dengan berkreasi, orang dapat mewujudkan dirinya dan perwujudan
diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam diri manusia, (2) Kreatifitas
atau berfikir kreatif merupakan kemampuan melihat bermacam-macam kemungkinan
penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai
saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal. Pendidikan
anak di sekolah lebih diutamakan pada pengetahuan, ingatan,dan kemampuan
berfikir logis atau penalaran yaitu kemampuan menemukan satu jawaban yang paling
tepat terhadap masalah yang diberikan berdasarkan informasi yang tersedia, (3)
menyibukkan diri secara kreatif, selain bermanfaat, juga akan memberikan
kepuasan tersendiri bagi individu, (4) Melalui kreatifitas memungkinkan manusia
untuk meningkatkan kualitas hidupnya.[38]
Dalam menghadapi
tantangan kehidupan modern di abad-21 ini kreativitas dan kemandirian sangat
diperlukan untuk mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kreativitas sangat
diperlukan dalam hidup ini dengan beberapa alasan antara lain: pertama, kreativitas memberikan peluang bagi
individu untuk mengaktualisasikan dirinya, kedua, kreativitas memungkinkan orang dapat menemukan berbagai
alternatif dalam pemecahan masalah, ketiga,
kreativitas dapat memberikan kepuasan hidup, dan keempat, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.
Dari segi kognitifnya, kreativitas merupakan kemampuan berfikir yang memiliki
kelancaran, keluwesan, keaslian, dan perincian. Sedangkan dari segi afektifnya
kreativitas ditandai dengan motivasi yang kuat, rasa ingin tahu, tertarik
dengan tugas majemuk, berani menghadapi resiko, tidak mudah putus asa,
menghargai keindahan, memiliki rasa humor, selalu ingin mencari pengalaman
baru, menghargai diri sendiri dan orang lain dan sebagainya. Karya-karya
kreatif ditandai dengan orisinalitas, memiliki nilai, dapat ditransformasikan,
dan dapat dikondensasikan.[39]
Dalam Jurnal
el-Hikmah dijelaskan bahwa pengembangan kreatifitas anak seyogyanya dapat
mencakup segi kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan kognitif
diperlukan karena setiap proses pemikiran harus menggunakan fakta dan gagasan
yang telah dipelajari yang lebih tinggi. Pengembangan kognitif antara lain
dapat dilakukan dengan cara merangsang kelancaran, kelenturan, dan keaslian
dalam berpikir. Pengembangan afektif dilakukan melalui pemupukan sikap dan
minat untuk menyibukkan diri secara kreatif. Sedangkan pengembangan psikomotor
dapat dilakukan dengan cara penyediaan sarana dan prasarana yang memungkinkan
anak mengembangkan keterampilannya alam membuat karya yang produktif inovatif.[40]
Menurut Renzulli, ada beberapa hal yang mampu mendorong
manusia kreatif, menggunakan kemampuan intelektual yang memadai, motivasi yang
tinggi serta komitmen yang baik untuk mencapai keunggulan serta penguasaan pada
bidang ilmu yang ditekuni. Namun hal lain yang juga ikut mendorong seorang
kreatif adalah lingkungan yang kondusif sehingga tidak menghambat timbulnya
sikap kritis dan tumbuhnya peluang kebebasan dalam penyampaian gagasan maupun
mewujudkan gagasan kreatif, ketersediaan akses terhadap sumber-sumber informasi
yang memadai dan tumbuhnya budaya untuk berprestasi.[41] Dengan adanya
pembelajaran berbasis ICT, para siswa dapat termotivasi untuk menjadi insan
yang kreatif karena lingkungan pembelajaran siswa sangat mendukung untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Selanjutnya
kemandirian sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini sebab
kemandirian merupakan kunci utama bagi individu untuk mampu mengarahkan dirinya
ke arah tujuan dalam kehidupannya. Kemandirian didukung dengan kualitas pribadi
yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap
pendiriannya, kreatif dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan
dirinya, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai hal.[42]
Dengan memperhatikan ciri-ciri kreativitas dan
kemandirian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ICT memberikan peluang untuk
berkembangnya kreativitas dan kemandirian siswa. Pembelajaran dengan dukungan
ICT memungkinkan dapat menghasilkan karya-karya baru yang orsinil, memiliki
nilai yang tinggi, dan dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan yang
lebih bermakna.[43]
Hal ini memungkinkan dilakukan oleh siswa, misalnya dengan membuat slide
presentasi dengan microsoft power poin dengan menggunakan animasi yang mereka
inginkan.
Faktor motivasi merupakan aspek yang membebaskan,
menggerakkan, dan membimbing kekuatan psikologis seorang untuk melakukan suatu
kreatifitas. Di sisi lain, faktor lingkungan juga turut mendorong, maksudnya
faktor lingkungan dimana individu berada bersifat toleran, lentur, menghormati
kebebasan pribadi dalam berfikir dan bercakap, tidak cepat membuat keputusan
mengenai pemikiran dan percakapan seseorang, maka itu boleh dianggap sebagai
titik permulaan dari kreatifitas. Kreatifitas bergantung pula di antaranya
kepada sikap orang tua, cara pemasyarakatan kanak-kanak, dan suasana kegiatan.[44]
Melalui ICT siswa akan memperoleh berbagai informasi
dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam sehingga meningkatkan wawasannya.
Hal ini merupakan rangsangan yang kondusif bagi berkembangnya kemandirian anak
terutama dalam hal pengembangan kompetensi, kreativitas, pengendalian diri,
konsistensi, dan komitmennya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak
lain. [45] Menurut Ramayulis, setiap
peserta didik dilahirkan dalam keadaan berbeda (farq al-fardiyah) dan
masing-masing mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Karena itu kegiatan
pembelajaran diciptakan sedemikian rupa sehingga membuat potensi setiap peserta
didik dapat dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu, dalam kegiatan
pembelajaran peserta didik perlu dikondisikan agar mempunyai kesempatan dan
kebebasan mengembangkan diri sesuai dengan kecendrungan dan bakat
masing-masing. Guru hendaknya berupaya memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mengemukakan pendapatnya sebanyak mungkin.[46] Tidak hanya itu, peranan
orang tua dan masyarakat juga sangat
menentukan bagi keberhasilan pembinaan dan pengembangan kreatifitas siswa,
karena kreativitas merupakan suatu potensi yang tidak akan berkembang bila siswa
tidak berada dalam lingkungan yang kondusif.[47] Pendidikan bertanggung
jawab memandu dan mengembangkan kreatifitas yang dimiliki siswa.
[1] Budi Setyono, Pengertian Teknologi Informasi dan Komunikasi, 2006,
p. , http://pgri1amlapura.co.cc/
[6] Pawit M Yusuf, Komunikasi
Pendidikan dan Komunikasi Instruksional, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1990), h.76
[7] Karti Soeharto, Teknologi
Pembelajaran: Pendekatan Sistem, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber
Belajar dan Media, Surabaya: Surabaya Intellectual Club, 2003), h. 25-26
[15] Samsul Nizar, Peserta Didik dalam Perpektif Pendidikan Islam:
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press,
1999), h. 28.
[18] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Filsafat Tarbiyah
al-Islamiyah, terjemah, Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
h. 344
[28] Ariasdi, Pelatihan Multimedia
pembelajaran Berbasis ICT di SMAN IX Koto Singkarak, 2008, p. ,
http://enewaletterdisdik.wordpress.com/
[29] Ariasdi, Pelatihan Multimedia pembelajaran
Berbasis ICT di SMAN IX Koto Singkarak, 2008, p. ,
http://enewaletterdisdik.wordpress.com/
[30] Ariasdi, Pelatihan Multimedia pembelajaran
Berbasis ICT di SMAN IX Koto Singkarak, 2008, p. ,
http://enewaletterdisdik.wordpress.com/
[32]
Mohammad
Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu
Pembelajaran di Kelas, 2006, p. ,
http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/
[33]
Mohammad
Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu
Pembelajaran di Kelas, 2006, p. ,
http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/
[34]
Mohammad
Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu
Pembelajaran di Kelas, 2006, p. ,
http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/
[35]
Mohammad
Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu
Pembelajaran di Kelas, 2006, p. ,
http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/
[36] Samsul Susilawati,"Pengembangan
Kreatifitas Anak dalam Berpikir dan Bersikap Kreatif.", El-Hikmah:
Jurnal Kependidikan dan Keagamaan V, 2 (Januari, 2008), h. 279
[39] Muhammad Surya, Potensi Teknologi
Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas, 2006, p.
, http://www.edukasi.net/artikel/artiel_files/
[42]
Mohammad
Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu
Pembelajaran di Kelas, 2006, p. ,
http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/
[43] Mohammad Surya, Potensi
Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas,
2006, p. ,
http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/
[44] Hasan Langgulung, Kreatifitas dan
Pendidikan Islam Analisis Psikologi dan Falsafah, Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1991), h. 374
[45]
Mohammad
Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu
Pembelajaran Kelas, 2006, p. ,
http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/
[47] Rahmat Aziz, "Model Pembelajaran
Synetics sebagai Alternatif Pengembangan Kemampuan Berpikir Kreatif", El-Hikmah:
Jurnal Kependidikan dan Keagamaan V, 2 (Januari, 2008), h. 341
Tidak ada komentar:
Posting Komentar