Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2019

Pembelajaran Berbasis ICT dalam Perspektif Pendidikan Islam


1.        Pembelajaran Berbasis ICT dalam Perspektif Pendidikan Islam

Pembelajaran  berbasis ICT menjadikan  ICT sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran sehingga aktivitas tesebut benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.[1] Dengan demikian pembelajaran berbasis ICT merupakan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi. Sedangkan ICT itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan segala aktifitas yang berhubungan dengan pemrosesan,manipulasi, pengelolaan, dan transfer/pemindahan informasi antarmedia.
Selanjutnya, ketika kita membahas tentang pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, kita perlu mengungkap tentang teori belajar yang melandasinya yakni teori belajar behaviorisme yang dikemukakan oleh B.F. Skinner. Berdasarkan percobaan yang dilakukannya, maka ia berhasil menemukan metode yang digunakannya dalam mengubah kelakuan binatang (burung merpati). Adapun metode yang digunakannya pertama kali adalah dengan memberikan stimulus  (S1) tertentu dan bila binatang itu memberi respons yang menuju ke arah  bentuk kelakuan yang diharapkan, maka respons (R1) itu diperkuat atau diberi reinforcement, sehingga terjadi ikatan yang erat antara S1 dan R1. Kemudian R1 menjadi stimulus (S2) yang dapat memunculkan respons (R2) yang lebih mendekati bentuk kelakuan yang diharapkan R2 diberi reinforcement atau penguatan. Demikianlah binatang tersebut diajar berangsur-angsur dengan rentetan bentuk kelakuan sehingga tercapai bentuk kelakuan yang kita tentukan.[2]
Selanjutnya, B.F. Skinner mengaplikasikannya kepada manusia. Untuk itu, Skinner menganalisis suatu tujuan pelajaran dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik yang dimasukkan dalam frame. Siswa harus memberikan jawaban terhadap frame tersebut. Konfirmasi segera diberikan bahwa jawaban itu benar (reinforcement) sebelum melanjutkan ke frame berikutnya. [3]





Ilustrasi 2: Temuan B. F. Skinner tentang Metode Belajar

Urutan atau langkah-langkah dalam mengajarkan sesuatu sangat penting dalam proses pembelajaran. Menentukan urutan merupakan suatu seni, akan tetapi berangur-angsur meningkat menjadi suatu teknologi.[4]
Teknologi pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan terpadu meliputi manusia, prosedur, ide, alat, dan organisasi untuk menganalisis masalah  serta merancang, melaksanakan, menilai, dan mengelola usaha pemecahan masalah dalam situasi belajar yang bertujuan dan terkontrol.[5] Adapun yang dimaksud dengan  situasi belajar yang bertujuan dan terkontrol pada teknologi pembelajaran menurut Pawit M. Yusuf, berkaitan dengan kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan membelajarkan siswa dengan segala komponen yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Adapun komponen-komponen yang dimaksud adalah pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan. Komponen-komponen tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan hasil belajar siswa secara terkendali sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.[6] Artinya, belajar merupakan kegiatan yang memiliki perencanaan di antaranya dengan menetapkan tujuan dan terkendali dengan memanfaatkan komponen-komponen pembelajaran yang diarahkan dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran.
Sedangkan pemecahan masalah dalam teknologi pembelajaran adalah melalui komponen sistem pembelajaran sebagaimana yang telah diutarakan di atas, yang telah disusun dalam fungsi desain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem instruksional yang lengkap. Oleh karena itu, sistem pembelajaran perlu dikembangkan. Pengembangan sistem pembelajaran merupakan usaha sistematis dari teknologi pembelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. [7]Adapun prinsip dasar dalam pengembangan sistem pembelajaran tersebut adalah berfokus pada siswa, pendekatan sistem, dan pemanfaatan sumber belajar secara maksimal.[8]
1.        Berfokus pada siswa.
Perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya tindak belajar pada pihak siswa lebih ditekankan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam artian, segala sesuatu yang menyangkut kegiatan pembelajaran harus diarahkan kepada kepentingan belajar siswa, bukan kepentingan guru. Sehingga wajar saja dalam  merumuskan tujuan pembelajaran, yang diharapkan dapat mencapainya adalah siswa, bukan guru.[9] Hal lain yang diperhatikan adalah bahwa siswa dalam kegiatan pembelajaran merupakan subjek yang aktif. Prinsip ini juga memandang bahwa dalam setiap proses pembelajaran, siswa hendaknya bertindak sebagai pihak yang aktif dan dibuat aktif. Namun hal ini bukan berarti bahwa guru adalah pihak yang pasif. Kedua-duanya harus bertindak aktif. Guru aktif memberikan kemudahan (fasilitas) belajar kepada siswa dan siswa aktif berinteraksi dengan sumber-sumber lain yang dapat mempermudah proses belajar.[10]
Anak bukanlah miniatur orang dewasa. Anak memiliki potensi yang mesti dikembangkan melalui berbagai cara, salah satunya dengan mengaktifkan mereka. Oleh karena itu, perlu adanya penekanan pada kegiatan anak dalam proses pembelajaran. Dampak positif dari kegiatan partisipasi aktif dijelaskan dalam Q.S. Al-Isra': 9.[11]
و يبشر المؤمنين الذين الذين يعملون صالحات ان لهم اجرا كبيرا
( بني اسرآءيل:      ) 
"…Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Al-Isra': 9)"[12]              

Oleh karena itu, pendidik juga hendaknya mampu menggunakan berbagai strategi, metode, teknik untuk membelajarkan siswa sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang mencakup ketiga aspek, baik kognitif, afektif maupun psikomotor.[13]
Selanjutnya prinsip ini juga berarti bahwa guru hendaknya juga mengetahui segala aspek yang menyangkut peserta didik.[14] Menurut Samsul Nizar, manusia memiliki dua dimensi yang menyatu secara integral yakni dimensi jasmani dan dimensi rohani. Dimensi jasmani  tersusun secara bertahap dan sangat sempurna, sehingga mampu mendukung pengaplikasian eksistensinya secara optimal. Di samping itu, ia memiliki daya hayat atau daya berkembang, msekipun tanpa adanya dimensi rohani. Sedangkan dimensi rohani meliputi al-qalb,  al-'aql dan an-nafs.[15] Selanjutnya perlu juga dipahami bahwa manusia memiliki potensi berupa fitrah. Manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dkembangkan antara lain fitrah ketauhidan. Fitrah ketauhidan dilambangkan dengan kecenderungan manusia untuk tunduk kepada sang Pencipta.[16] Untuk pengembangannya menuju sosok pribadi muslim yang ideal, fitrah perlu dipupuk dengan hal-hal kebaikan. Namun, terlepas dari hal tersebut, dalam Islam terdapat pula faktor hidayah Allah juga merupakan penentu terbentuknya kepribadian yang mulia.[17]
Dengan demikian berfokus pada siswa dapat juga berarti bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh  pendidik hendaknya benar-benar beranjak dari pemahaman tentang hakikat peserta didik. Implikasinya, guru mampu membelajarkan siswa dengan strategi, metode, pendekatan dan teknik yang tepat serta menghasilkan out put yang merasa puas dengan hasil belajar yang diperolehnya karena sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri selaku peserta didik yang menjadi fokus atau penekanan dalam pembelajaran. 
Terkait dengan hal ini,  Abdurrahman Shaleh Abdullah menyatakan bahwa jika praktek pendidikan tidak dibangun di atas konsep dasar yang jelas tentang sifat dasar manusia, maka pendidikan akan mengalami kegagalan.[18] Manusia adalah makhluk yang unik, artinya mereka berbada satu dengan yang lain, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga psikis. Mereka memiliki daya intelektual, bakat, sifat dan potensi yang berbeda satu sama lain. Jika pendidik tidak mengenali manusia yang dididiknya, tentu saja pendidikan yang diberikan kepada peserta didik tidak dapat terlaksana secara efektif dan sangat mungkin mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.






2.        Pendekatan sistem
Prinsip ini memandang bahwa masalah belajar adalah merupakan suatu sistem. Maksudnya, penanganan terhadap satu komponen pembelajaran dalam pengembangan sistem pembelajaran harus pula mempertimbangkan integrasi komponen-komponen yang lain sehingga diperoleh efek yang sinergis untuk memecahkan persoalan-persoalan belajar. Dengan adanya keterpaduan komponen-komponen tersebut, maka masalah-masalah belajar dapat terpecahkan dengan baik.[19] Misalnya, media sebagai salah satu sistem pembelajaran. Tugas media bukan hanya sekedar mengkomunikasikan hubungan antara sumber (pengajar) dan sipenerima (si anak didik), namun lebih dari itu merupakan bagian yang integral dan saling mempunyai keterkaitan antra komponen yang satu dengan yang lain, saling berinteraksi dan saling mempengaruhi untuk memecahkan persoalan-persoalan     belajar. [20]
Persoalan yang ditemui dalam sebuah komponen dalam pembelajaran bukanlahh dipandang sebagai persoalan sebuah komponen saja. Pembelajaran merupakan sebuah sistem, artinya masing-masing komponennya saling berkaitan (interdependent). Ketika terjadi suatu permasalahan pada sebuah komponen, maka komponen-komponen lain dalam pembelajaran turut dipertimbangkan dalam mencarikan solusinya. Artinya pembelajaran merupakan sebuah sistem, maka pemecahan terhadap persoalan pembelajaran didekati dengan pendekatan sistem.
3.        Pemanfaatan sumber belajar secara maksimal.
Prinsip ini memandang semua komponen sumber belajar baik pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar harus dimanfaatkan  secara luas dan maksimal. Hal ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah-masalah belajar. Dengan demikian tujuan pembelajaran dapat tercapai secara lebih efektif dan efisien.[21]
Sumber belajar, jika dilacak lebih jauh, bisa dicirikan dari sumber belajar yang dirancang khusus untuk tujuan-tujuan belajar dan sumber belajar yang langsung tersedia apa adanya di alam. Sumber belajar jenis terakhir tinggal memanfaatkan saja tanpa perlu mengolahnya terlebih dahulu. Buku, majalah, surat kabar, media cetak lainnya, adalah sumber belajar yang pengadaannya, juga berbagai pesan yang direkam dalam perekaman berupa perangkat lunak seperti transparansi, slide, film, merupakan sumber-sumber belajar yang direncanakan. Lain halnya dengan data dan fakta alam secara apa adanya seperti hutan lindung, pepohonan, hewan dan objek-obejek alamiah lainnya yang merupakan sumber-sumber belajar yang sudah tersedia secara langsung tanpa dipola lebih dahulu oleh manusia. Sumber – sumber belajar yang terakhir termasuk kelompok yang tinggal dimanfaatkan.[22] Namun demikian, tentu saja sumber yang digunakan dalam pembelajaran perlu memenuhi persyaratan. Sumber-sumber dalam teknologi pembelajaran lebih khusus. Beberapa syarat yang harus dipenuhi adalah:
1)       Harus dipilih dan dirancang terlebih dahulu sesuai dengan tujuan serta pengontrolan belajar
2)       Harus disesuaikan dengan maksud perencanaan dan pemilihannya
3)       Adanya sistem pembelajaran yang mengkombinasikan berbagai komponen-komponennya.[23]

Selanjutnya, Nasution berpandangan bahwa yang diutamakan dalam teknologi pembelajaran adalah media komunikasi yang berkembang pesat yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan secara umum dan pembelajaran secara khusus.[24] Sehingga, wajar saja, dalam pengertian sempit, orang sering menghubungkan teknologi pembelajaran dengan media.[25] Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran yang direncanakan secara integral dan sistematis merupakan wujud dari pemecahan masalah menurut teknologi pembelajaran. [26] Adapun masalah – masalah yang ingin diatasi dengan teknologi pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran di antaranya adalah sulitnya mempelajari konsep yang abstrak, sulitnya membayangkan peristiwa yang telah lalu, sulit mengamati sesuatu objek yang terlalu kecil/besar, dan sulit memperoleh pengalaman langsung. Untuk melakukan hal ini, guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus untuk keperluan itu, yaitu di bidang teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran dalam lingkup lebih kecil.[27]
Eric Ashby mengatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia, setidaknya telah terjadi empat revolusi besar pada bidang teknologi pembelajaran. Revolusi pertama yakni terjadi ketika orangtua menitipkan anak kepada seorang guru untuk mendapatkan pendidikan. Masa ini merupakan cikal bakal dimulainya sebuah profesi yang disebut guru. Guru saat itu merupakan orang yang dipandang mempunyai kelebihan. Siswa datang kepada guru untuk belajar. Revolusi kedua terjadi ketika manusia mengenal tulisan. Tulisan sebagai lambang-lambang yang disepakati guna menyampaikan suatu pesan. Sejak saat itu pesan-pesan mulai disampaikan secara tertulis. Saat itu orang menulis dengan mempergunakan media apa saja, seperti kayu, tulang, batu, daun, sampai ditemukannya kertas. Kertas pertama kali diperkenalkan di negeri Cina oleh seorang bernama Cai Lun tahun 105 M. Sejak ditemukannya kertas, budaya tulis semakin berkembang pesat. Perkembangan budaya tulis semakin pesat saat memasuki revolusi ketiga, yakni ditemukannya mesin cetak. Mesin cetak membawa dampak yang sangat luas dalam komunikasi tulisan, yang semula buku ditulis dan disalin oleh orang per orang, maka setelah ditemukannya mesin cetak, tulisan dapat diterbitkan secara masal. Mesin cetak telah memberi warna kepada kehidupan manusia modern. Pada penghujung abad 20 kita menyaksikan revolusi selanjutnya yang sangat menakjubkan, yaitu revolusi elektronik. Revolusi elektronik pada bidang teknologi pembelajaran dimulai sejak ditemukannya citra bergerak (motion picture) tahun 1910, siaran radio (1930), televisi pendidikan (1950) serta computer dan internet (1980). Awal abad 21 merupakan kelanjutan dari revolusi elektronik. Pada masa ini, dikenal berbagai istilah berkaitan dengan pembelajaran elektronik atau sering disebut elearning. Konsep elearning sendiri mencakup terminologi yang sangat luas, mulai dari pembelajaran plus elektronik sampai dengan electronic based learning.[28]
Saat ini di sekolah telah mulai diperkenalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Pendayagunaan ICT dalam pendidikan pada dasarnya adalah suatu kelanjutan proses revolusi pembelajaran yang masih belum selesai. Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, istilah ICT sendiri semakin identik dengan komputer.[29] Di samping itu, perlu dipahami bahwa dalam proses pembelajaran, setidaknya TIK menempati tiga peranan, yakni sebagai konten pembelajaran (standar kompetensi), sebagai media pembelajaran dan sebagai alat belajar. Dapat juga dikatakan belajar menggunakan komputer, menggunakan computer untuk belajar, dan belajar melalui komputer.[30] Oleh karena itu, apabila disebutkan ICT maka yang dimaksud biasanya akan menunjuk kepada penggunaan komputer dan tidak ketinggalan juga internet.[31]
Perkembangan ICT telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan  ICT ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan  dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan internet.[32]
  Untuk dapat memanfaatkan ICT dalam memperbaiki mutu pembelajaran, ada tiga hal yang harus diwujudkan yaitu (1) siswa dan guru harus memiliki akses kepada teknologi digital dan internet dalam kelas, sekolah, dan lembaga pendidikan guru, (2) harus tersedia materi yang berkualitas, bermakna, dan dukungan kultural bagi siswa dan guru, dan (3) guru harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menggunakan alat-alat dan sumber-sumber digital untuk membantu siswa agar mencapai standar akademik. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ICT, maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam pandangan tradisional di masa lalu (dan masih ada pada masa sekarang), proses pembelajaran dipandang sebagai: (1) sesuatu yang sulit dan berat, (2) upaya mengisi kekurangan siswa, (3) satu proses transfer dan penerimaan informasi, (4) proses individual atau soliter, (5) kegiatan yang dilakukan dengan menjabarkan materi pelajaran kepada satuan-satuan kecil dan terisolasi, (6) suatu proses linear. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah terjadi perubahan pandangan mengenai pembelajaran yaitu pembelajaran sebagai: (1) proses alami, (2) proses sosial, (3) proses aktif dan pasif, (4) proses linear dan atau tidak linear, (5) proses yang berlangsung integratif dan kontekstual, (6) aktivitas yang berbasis pada model kekuatan, kecakapan, minat, dan kultur siswa, (7) aktivitas yang dinilai berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil, dan pemecahan masalah nyata baik individual maupun kelompok.[33]
Pembelajaran berbasis ICT juga telah mengubah peran guru dan siswa dalam pembelajaran. Peran guru telah berubah dari: (1) sebagai penyampai pengetahuan, sumber utama informasi, ahli materi, dan sumber segala jawaban, menjadi sebagai fasilitator pembelajaran, pelatih, kolaborator, navigator pengetahuan, dan mitra belajar; (2) dari mengendalikan dan mengarahkan semua aspek pembelajaran, menjadi lebih banyak memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam proses pembelajaran. Sementara itu peran siswa dalam pembelajaran telah mengalami perubahan yaitu: (1) dari penerima informasi yang pasif menjadi partisipan aktif dalam proses pembelajaran, (2) dari mengungkapkan kembali pengetahuan menjadi menghasilkan dan berbagai pengetahuan, (3) dari pembelajaran sebagai aktiivitas individual (soliter) menjadi pembelajaran berkolaboratif dengan siswa lain.
Lingkungan pembelajaran yang di masa lalu berpusat pada guru telah bergesar menjadi berpusat pada siswa. Secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut: [34]
Lingkungan
Berpusat pada guru
Berpusat pada siswa
Aktivitas kelas
Guru sebagai sentral dan bersifat didaktis
Siswa sebagai sentral dan bersifat interaktif
Peran guru
Menyampaikan fakta-fakta, guru sebagai ahli
Kolaboratif, kadang-kadang siswa sebagai ahli
Penekanan pengajaran
Mengingat fakta-fakta
Hubungan antara informasi dan temuan
Konsep pengetahuan
Akumujlasi fakta secara kuantitas
Transformasi fakta-fakta
Penampilan keberhasilan
Penilaian acuan norma
Kuantitas pemahaman , penilaian acuan patokan
Penilaian
Soal-soal pilihan berganda
Protofolio, pemecahan masalah, dan penampilan
Penggunaan teknologi
Latihan dan praktek
Komunikasi, akses, kolaborasi, ekspresi

Tabel 1: Perbandingan Proses Pembelajaran yang Berpusat pada Guru dengan Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa.




ICT mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap proses dan hasil  pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. ICT telah memungkinkan terjadinya individualisasi, akselerasi, pengayaan, perluasan, efektivitas dan produktivitas pembelajaran yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Melalui penggunaan ICT setiap siswa akan terangsang untuk belajar maju berkelanjutan sesuai dengan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Pembelajaran dengan menggunakan ICT menuntut kreativitas dan kemandirian diri sehingga memungkinkan mengembangkan  semua potensi yang dimilikinya.[35]
Menurut Semiawan, kreatifitas merupakan kemampuan membuat kombinasi-kombinasi baru, atau melihat hubungan-hubungan baru atau unsur, data, atau hal-hal yang sudah ada sebelumnya.[36] Kreatifitas merupakan suatu proses mental yang dapat diwujudkan dalam suatu kemampuan berpikir seseorang, di antaranya ia mampu menciptakan karya baru meskipun karya tersebut sebenarnya tidak seluruhnya baru, tetapi dapat berupa gabungan atau kombinasi dari unsur-unsur yang sudah ada. Kreatifitas seseorang dapat dilihat dari cara berpikir mereka yang meliputi keterampilan berpikir lancar, fleksibel, orisinal dan memerinci.[37]
Munandar menegaskan bahwa kreatifitas penting dipupuk dan dikembangkan dalam diri anak mengingat: (1) dengan berkreasi, orang dapat mewujudkan dirinya dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam diri manusia, (2) Kreatifitas atau berfikir kreatif merupakan kemampuan melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal. Pendidikan anak di sekolah lebih diutamakan pada pengetahuan, ingatan,dan kemampuan berfikir logis atau penalaran yaitu kemampuan menemukan satu jawaban yang paling tepat terhadap masalah yang diberikan berdasarkan informasi yang tersedia, (3) menyibukkan diri secara kreatif, selain bermanfaat, juga akan memberikan kepuasan tersendiri bagi individu, (4) Melalui kreatifitas memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya.[38]
Dalam menghadapi tantangan kehidupan modern di abad-21 ini kreativitas dan kemandirian sangat diperlukan untuk mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kreativitas sangat diperlukan dalam hidup ini dengan beberapa alasan antara lain: pertama, kreativitas memberikan peluang bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya, kedua, kreativitas memungkinkan orang dapat menemukan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah, ketiga, kreativitas dapat memberikan kepuasan hidup, dan keempat, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dari segi kognitifnya, kreativitas merupakan kemampuan berfikir yang memiliki kelancaran, keluwesan, keaslian, dan perincian. Sedangkan dari segi afektifnya kreativitas ditandai dengan motivasi yang kuat, rasa ingin tahu, tertarik dengan tugas majemuk, berani menghadapi resiko, tidak mudah putus asa, menghargai keindahan, memiliki rasa humor, selalu ingin mencari pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain dan sebagainya. Karya-karya kreatif ditandai dengan orisinalitas, memiliki nilai, dapat ditransformasikan, dan dapat dikondensasikan.[39]
Dalam Jurnal el-Hikmah dijelaskan bahwa pengembangan kreatifitas anak seyogyanya dapat mencakup segi kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan kognitif diperlukan karena setiap proses pemikiran harus menggunakan fakta dan gagasan yang telah dipelajari yang lebih tinggi. Pengembangan kognitif antara lain dapat dilakukan dengan cara merangsang kelancaran, kelenturan, dan keaslian dalam berpikir. Pengembangan afektif dilakukan melalui pemupukan sikap dan minat untuk menyibukkan diri secara kreatif. Sedangkan pengembangan psikomotor dapat dilakukan dengan cara penyediaan sarana dan prasarana yang memungkinkan anak mengembangkan keterampilannya alam membuat karya yang produktif inovatif.[40]
Menurut Renzulli, ada beberapa hal yang mampu mendorong manusia kreatif, menggunakan kemampuan intelektual yang memadai, motivasi yang tinggi serta komitmen yang baik untuk mencapai keunggulan serta penguasaan pada bidang ilmu yang ditekuni. Namun hal lain yang juga ikut mendorong seorang kreatif adalah lingkungan yang kondusif sehingga tidak menghambat timbulnya sikap kritis dan tumbuhnya peluang kebebasan dalam penyampaian gagasan maupun mewujudkan gagasan kreatif, ketersediaan akses terhadap sumber-sumber informasi yang memadai dan tumbuhnya budaya untuk berprestasi.[41] Dengan adanya pembelajaran berbasis ICT, para siswa dapat termotivasi untuk menjadi insan yang kreatif karena lingkungan pembelajaran siswa sangat mendukung untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Selanjutnya kemandirian sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini sebab kemandirian merupakan kunci utama bagi individu untuk mampu mengarahkan dirinya ke arah tujuan dalam kehidupannya. Kemandirian didukung dengan kualitas pribadi yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap pendiriannya, kreatif dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan dirinya, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai hal.[42]
Dengan memperhatikan ciri-ciri kreativitas dan kemandirian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ICT memberikan peluang untuk berkembangnya kreativitas dan kemandirian siswa. Pembelajaran dengan dukungan ICT memungkinkan dapat menghasilkan karya-karya baru yang orsinil, memiliki nilai yang tinggi, dan dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan yang lebih bermakna.[43] Hal ini memungkinkan dilakukan oleh siswa, misalnya dengan membuat slide presentasi dengan microsoft power poin dengan menggunakan animasi yang mereka inginkan.
Faktor motivasi merupakan aspek yang membebaskan, menggerakkan, dan membimbing kekuatan psikologis seorang untuk melakukan suatu kreatifitas. Di sisi lain, faktor lingkungan juga turut mendorong, maksudnya faktor lingkungan dimana individu berada bersifat toleran, lentur, menghormati kebebasan pribadi dalam berfikir dan bercakap, tidak cepat membuat keputusan mengenai pemikiran dan percakapan seseorang, maka itu boleh dianggap sebagai titik permulaan dari kreatifitas. Kreatifitas bergantung pula di antaranya kepada sikap orang tua, cara pemasyarakatan kanak-kanak, dan suasana kegiatan.[44]
Melalui ICT siswa akan memperoleh berbagai informasi dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam sehingga meningkatkan wawasannya. Hal ini merupakan rangsangan yang kondusif bagi berkembangnya kemandirian anak terutama dalam hal pengembangan kompetensi, kreativitas, pengendalian diri, konsistensi, dan komitmennya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain. [45] Menurut Ramayulis, setiap peserta didik dilahirkan dalam keadaan berbeda (farq al-fardiyah) dan masing-masing mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Karena itu kegiatan pembelajaran diciptakan sedemikian rupa sehingga membuat potensi setiap peserta didik dapat dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu, dalam kegiatan pembelajaran peserta didik perlu dikondisikan agar mempunyai kesempatan dan kebebasan mengembangkan diri sesuai dengan kecendrungan dan bakat masing-masing. Guru hendaknya berupaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya sebanyak mungkin.[46] Tidak hanya itu, peranan orang tua dan  masyarakat juga sangat menentukan bagi keberhasilan pembinaan dan pengembangan kreatifitas siswa, karena kreativitas merupakan suatu potensi yang tidak akan berkembang bila siswa tidak berada dalam lingkungan yang kondusif.[47] Pendidikan bertanggung jawab memandu dan mengembangkan kreatifitas yang dimiliki siswa.



[1] Budi Setyono, Pengertian Teknologi Informasi dan Komunikasi, 2006, p.  , http://pgri1amlapura.co.cc/


[2] Nasution, Teknologi Pendidikan, (Bandung: Jemmars, 1982), h. 65.
[3] Ibid.
[4] Ibid., h. 69

[6] Pawit M Yusuf, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), h.76

[7] Karti Soeharto, Teknologi Pembelajaran: Pendekatan Sistem, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media, Surabaya: Surabaya Intellectual Club, 2003), h. 25-26
[8] Ibid., h. 27.
[9] Pawit M Yusuf, op. cit., h.  80.
[10] Karti Soeharto, op. cit., h. 27

[11] Ramayulis, op. cit., h. 105

[12] Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Departemen Agama RI, op. cit., h. 225

[13] Pawit M Yusuf, loc. cit.
[14] Ibid.
[15] Samsul Nizar, Peserta Didik dalam Perpektif Pendidikan Islam: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999), h. 28.

[16]  Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 18

[17] Samsul Nizar, op. cit., h. 45.
[18] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Filsafat Tarbiyah al-Islamiyah, terjemah, Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 344
[19] Karti Soeharto, op. cit., h. 27
[20] Fatah Syukur, op. cit., h.120.
[21] Karti Soeharto, op. cit., h. 28.
[22] Pawit M. Yusuf, op. cit., h. 84.
[23] Karti Soeharto, op. cit., h.104.
[24] Nasution, Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 1.

[25] Karti Soeharto, loc. cit.
[26] Ibid

[27] Yusufhadi Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 554.
[28] Ariasdi, Pelatihan Multimedia pembelajaran Berbasis ICT di SMAN IX Koto Singkarak, 2008, p. , http://enewaletterdisdik.wordpress.com/

[29]  Ariasdi, Pelatihan Multimedia pembelajaran Berbasis ICT di SMAN IX Koto Singkarak, 2008, p. , http://enewaletterdisdik.wordpress.com/

[30] Ariasdi, Pelatihan Multimedia pembelajaran Berbasis ICT di SMAN IX Koto Singkarak, 2008, p. , http://enewaletterdisdik.wordpress.com/


[31]Khoirul Akmal, ICT dalam Pendidikan,  , p.  , www.scribd.com/doc/




[32] Mohammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas, 2006, p.  , http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/


[33] Mohammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas, 2006, p.  , http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/



[34] Mohammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di  Kelas, 2006, p.  , http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/



[35] Mohammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas, 2006, p.  , http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/

[36] Samsul Susilawati,"Pengembangan Kreatifitas Anak dalam Berpikir dan Bersikap Kreatif.", El-Hikmah: Jurnal Kependidikan dan Keagamaan V, 2 (Januari, 2008), h. 279

[37] Ibid., h. 280.
[38] Ibid., h. 282.
[39] Muhammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas, 2006, p. , http://www.edukasi.net/artikel/artiel_files/
[40] Ibid., h. 283.
[41] Ibid., h. 284

[42] Mohammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas, 2006, p.  , http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/

[43] Mohammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas, 2006, p.  , http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/

[44] Hasan Langgulung, Kreatifitas dan Pendidikan Islam Analisis Psikologi dan Falsafah, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1991), h. 374

[45] Mohammad Surya, Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Kelas, 2006, p.  , http://www.e-dukasi.net/artikel/artikel_files/

[46] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, op. cit., h.100.

[47] Rahmat Aziz, "Model Pembelajaran Synetics sebagai Alternatif Pengembangan Kemampuan Berpikir Kreatif", El-Hikmah: Jurnal Kependidikan dan Keagamaan V, 2 (Januari, 2008), h. 341

Tidak ada komentar: