A. Anak Autis
1. Pengertian Anak Autis
Anak autis adalah salah satu bentuk anak dengan berkebutuhan
khusus. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak
yang secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan baik
fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional dalam proses
pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.[1]
Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan
tertentu, tetapi kelainan atau penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga
mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk
anak dengan kebutuhan khusus.
Anak autistik merupakan bagian integral
dari anak berkebutuhan khusus. Anak autistik adalah anak yang
mengalami gangguan perkembangan berat yang dapat
mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan
orang lain.[2]
Sebelum membahas tentang autisme, ada
baiknya mengenal beberapa istilah yang berkaitan dengannya, yaitu:
a.
Autisme (autism) yaitu nama gangguan perkembangan
komunikasi, sosial, prilaku pada anak.
b.
Autis (autist) berarti anak yang mengalami ganguan autisme.
c.
Anak autistik (autistic child) berarti keadaan anak
yang mengalami gangguan autisme.
Istilah Autisme berasal dari kata autos
yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti
suatu aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada
dunianya sendiri. Autistik secara istilah berarti suatu gangguan perkembangan
yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas
imajinasi.[3]
Kartono mengemukakan beberapa definisi
autisme sebagai berikut:
a.
Gejala menyendiri atau menutup diri secara total dari dunia
riil dan tidak
mau berkomunikasi lagi dengan dunia luar.
b.
Cara berfikir dikendalikan oleh kebutuhan personal atau
diri sendiri.
c.
Menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan
sendiri, serta menolak realitas.
Anak autis menganggap dunia luar itu
kotor dan jahat, penuh kepalsuan dan mengandung banyak bahaya yang
mengerikan, ia menganggap dirinyalah yang paling baik dan benar.
Oleh karena itu, ia lebih senang melarikan diri ke dalam dunia fantasinya
sendiri.
Autisme adalah gangguan perkembangan yang
terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan
ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi
komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Autisme biasanya terlihat
sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan pada sebagian anak sudah terlihat
sejak lahir. Autisme dapat terjadi pada anak tanpa perbedaan ras, etnik,
tingkat sosial ekonomi dan pendidikan.[5]
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa autisme adalah suatu gangguan perkembangan dalam
berkomunikasi, interaksi sosial dan perilaku; dapat terlihat sebelum anak
berusia tiga tahun yang ditandai dengan ketidak responsifan pada kontak
manusia, lemahnya perkembangan bahasa dan respon yang aneh
pada stimulus lingkungan.
2.
Klasifikasi Anak Autis
Menurut Yatim dalam Ganda Sumekar, anak autis dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu[6]:
a. Autis persepsi; dianggap
autis yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmampuan anak
berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar,
begitu juga ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak
bersikap masa bodoh.
b. Autis reaksi; terjadi
karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orang tua
meninggal, sakit berat, pindah rumah/sekolah dan sebagainya. Autis ini akan
menimbulkan gerakan-gerakan tertentu berulang-berulang kadang-kadang disertai
kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6-7 tahun sebelum anak
memasuki tahapan berfikir logis.
c. Autis yang timbul
kemudian; terjadi setelah anak mulai besar, dikarenakan karena jaringan otak
yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pemberian
pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah
melekat.
3. Penyebab
Autisme
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor
yang menjadi penyebab timbulnya gangguan autisme. Namun
demikian ada beberapa faktor yang dimungkinkan dapat menjadi penyebab
timbulnya autisme, yaitu:
a.
Teori Psikososial
Menurut beberapa ahli seperti Kanner dan
Bruno Bettelhem, autisme dianggap sebagai akibat hubungan
yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian
juga dikatakan, orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku,
obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya
menjadi autistik.
b.
Teori Biologis
1)
Faktor genetik: keluarga yang terdapat anak autistik
memiliki resiko lebih tinggi dibanding keluarga normal.
2)
Adanya gangguan pranatal, natal dan post natal misalnya: pendarahan
pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, dan
anemia.
3)
Neuro anatomi yaitu gangguan atau disfungsi pada sel-sel
otak selama dalam kandugan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan
oksigenasi, perdarahan, atau infeksi.
4)
Struktur dan biokimiawi yaitu kelainan pada cerebellum
dengan selsel purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje
mempunyai kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan
tingginya kandungan dapomin atau opioid dalam darah.
5)
Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang
tinggal dekat tambang batu bara, dan lain sebagainya.
6)
Gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan. Menurut
data yang
ada, 60 % anak autistik mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna.
Dan kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan
dalam pendengaran dan penglihatan.[7]
Menurut Abdul
Hadis, autisme timbul karena beberapa sebab, yaitu:
a.
Penyebab genetika (faktor keturunan); infeksi virus seperti
rubella, toxo, herpes; jamur; nutrisi yang buruk; pendarahan dan keracunan
makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan sel otak, sehingga
fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, interaksi
dan komunikasi.[8]
b.
Kelainan di daerah sistem lembik yang disebut hippocampus
dan amygdala, sehingga terjadi gangguan fungsi control terhadap kreasi dan emosi,
anak kurang dapat mengendalikan emosinya, sehingga seringkali terlalu agresif
atau pasif. Amygdala bertanggung jawab terhadap berbagai rangsangan sensoris seperti
pendengaran, penglihatan, penciuman, peraba, perasa dan rasa takut.
Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya
ingat. Perilaku yang diulangulang dan aneh serta hiperaktif juga disebabkan
karena adanya gangguan hippocampus.
4. Gejala-gejala
Anak Autis
Gejala-gejala pada anak autis dapat
dilihat berdasarkan jenis gangguan yang dialaminya, yaitu gangguan
komunikasi, interaksi sosial, sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi.
Gejala-gejala setiap jenis gangguan dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Gangguan komunikasi dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1)
Perkembangan bahasa anak autistik lambat atau sama sekali
tidak ada.
Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara atau pernah berbicara lalu
kemudian hilang kemampuan bicara.
2)
Kadang-kadang kata yang digunakan tidak sesuai dengan
artinya.
3)
Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang dengan bahasa
yang tidak
dapat dimengerti oleh orang lain.
4)
Bicara tidak dipakai untuk berkomunikasi. Senang meniru
atau membeo.
5)
Bila senang meniru, dapat menghafal kata-kata atau nyanyian
yang didengar
tanpa mengerti artinya.
6)
Sebagian dari anak autis tidak berbicara (bukan kata-kata)
atau sedikit
berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
7)
Senang menarik-narik tangan orang lain untuk
mengekspresikan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin
meminta sesuatu.
b.
Gangguan interaksi sosial dengan gejala-gejala sebagai
berikut:
1)
Anak autistik lebih suka menyendiri.
2)
Anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau menghindari
tatapan muka atau mata dengan orang lain.
3)
Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman, baik
yang sebaya
maupun yang lebih tua dari umurnya.
4)
Bila diajak bermain, anak autistik tidak mau dan akan
menjauh.
c.
Gangguan sensoris dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1)
Anak autistik tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak
suka dipeluk.
2)
Anak autistik bila mendengar suara keras langsung menutup
telinga.
3)
Anak autistik suka mencium-cium, menjilat mainan atau
bendabenda yang ada di sekitarnya.
4)
Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
d.
Gangguan pola bermain dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1)
Anak autistik tidak bemain-main seperti anak-anak pada
umumnya.
2)
Anak autistik tidak suka bermain dengan anak atau teman sebayanya.
3)
Anak autistik tidak memiliki kreativitas dan tidak memiliki imajinasi.
4)
Anak autistik tidak bermain sesuai dengan jenis mainan,
seperti sepeda
dibalik kemudian rodanya diputar-putar.
5)
Anak autistik senang terhadap benda-benda yang
berputar-putar seperti kipas angin, baling-baling dan roda sepeda.
6)
Anak autistik sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang
terus dan dibawa kemana-mana.
e.
Gangguan perilaku dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1)
Anak autistik dapat berperilaku berlebihan atau terlalu
aktif (hiperaktif)
dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
2)
Anak autistik memperlihatkan perilaku stimulasi diri atau merangsang
diri sendiri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan
seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat televisi,
lari atau berjalan dengan bolak-balik, dan melakukan gerakan
yang diulang-ulang.
3)
Anak autistik tidak suka pada perubahan.
4)
Anak autistik duduk bengong dengan tatapan kosong.
f.
Gangguan emosi dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1)
Anak autistik sering marah-marah tanpa alasan yang jelas,
tertawatawa dan menangis tanpa alasan.
2)
Anak autistik dapat mengamuk tak terkendali jika dilarang
atau tidak
diberi apa yang ia inginkan.
3)
Anak autistik kadang agresif dan merusak.
4)
Anak autistik kadang-kadang menyakiti dirinya sendiri.
5)
Anak autistik tidak memiliki empati dan tidak mengerti
perasaan orang
lain yang ada di sekitar atau di dekatnya.[9]
Gejala anak autis menurut Delay &
Deinaker dan Marholin & Philips seperti dikutip oleh Bandi Dhelpie
adalah:
a. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk
menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat dan mata sayu serta
selalu memandang ke bawah.
b. Selalu diam sepanjang waktu.
c. Jika ada pertanyaan terhadapnya,
jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh
ia akan mengucapkan atau menceritakan dirinya dengan beberapa
kata, lalu diam menyendiri lagi.
d. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan
rasa takut, tidak punya keinginan yang bermacam-macam, dan tidak
menyenangi sekelilingnya.
e. Tampak tidak ceria.
f. Tidak perduli pada lingkungannya, kecuali
pada benda yang disukainya seperti boneka atau mobil-mobilan.[10]
Gejala autisme sebagaimana terdapat dalam
wikipedia adalah:
a. tidak bisa menguasai atau sangat lamban
dalam penguasaan bahasa sehari-hari,
b. hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata,
c. mata yang tidak jernih atau tidak
bersinar,
d. tidak suka atau tidak bisa atau tidak mau
melihat mata orang lain,
e. hanya suka akan mainannya sendiri
(kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan),
f. serasa dia punya dunianya sendiri,
g. tidak suka berbicara dengan orang lain,
Secara umum, anak autis mengalami
kelainan dalam berbicara, di samping mengalami gangguan pada kemampuan
intelektual dan fungsi saraf. Hal tersebut dapat terlihat dengan
adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan
lingkungan di sekitarnya. Rincian kelainan anak autistik adalah:
a.
Kelainan berbicara. Keterlambatan serta penyimpangan dalam
berbicara menyebabkan anak autistik sulit berkomunikasi serta tidak
memahami percakapan
orang lain. Sebagian anak autis nampaknya seperti bisu dan bahkan tidak mampu
menggunakan isyarat gerak saat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga
penggunaan bahasa isyarat tidak dapat dilakukan. Biasanya, suara yang keluar
bernada tinggi dan terdengar aneh, berkecenderungan meniru, terkesan menghafal kata-kata
tetapi sesungguhnya mereka tidak mampu berkomunikasi.
b.
Kelainan fungsi saraf dan intelektual. Umumnya, anak autis mengalami
keterbelakangan mental dan kebanyakan mempunyai skor IQ
50. Mereka tidak mempunyai kecakapan untuk memahami bendabenda abstrak atau
simbolik, namun di sisi lain mereka mampu memecahkan taka-teki yang rumit.
c. Perilaku yang ganjil. Anak autis mudah
marah apabila ada perubahan yang dilakukan pada situasi atau
lingkungan tempat ia berada.
d.
Interaksi sosial. Anak autis kurang suka bergaul dan sangat
terisolasi dari lingkungan hidupnya, terlihat kurang ceria, tidak pernah
menaruh perhatian atau keinginan untuk menghargai perasaan orang lain, dan suka
menghindar dengan orang-orang di sekitarnya sekalipun saudaranya sendiri.
Anak autis di SD N 19 Kecamatan Pauh
ada 1 orang, yang bernama Rahmat Fauzan. Lahir di Padang pada tanggal 29 April
2003. Dia merupakan anak ke-2 dar 4 bersaudara. Dari catatan guru pembimbing
khusus yang diperoleh dari laporan dan keterangan orang tua ketika awal masuk
di SD N 19 Kecamatan Pauh dikumpulkan beberapa informasi tentang kondisi dan
perkembangannya. Laporan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Perkembangan Janin
Perkembangan
janin pada masa kehamilan berjalan biasa (normal), kondisi ibu sehat dan tidak
pernah mengalami penyakit yang serius sampai usia kandungan 9 bulan. Proses
kelahiran berjalan dengan lancar di rumah bidan. Bayi lahir dengan berat badan
3.8 kg dan panjang 49 cm. Ketika lahir tidak ditemukan tanda-tanda kelainan
pada bayi.
2.
Perkembangan pada masa balita
Anak menyusu dengan ibunya sampai
berusia 11 bulan, dan selanjutnya minum susu tambahan sampai usia 3 tahun. Anak
mendapatkan imunisasi lengkap dan penimbangan berat badan dilakukan secara
rutin. Kualitas dan kuantitas makanan baik, dan anak tidak mengalami gangguan
makan. Anak dapat berdiri pada usia 6 bulan, dan dapat berjalan pada usia 1
tahun. Pada usia 3 tahun anak sudah bisa mengendarai sepeda (walaupun tidak
dikayuh). Kesulitan gerakan yang dialami anak adalah kesulitan memegang benda,
hal itu terjadi karena empat buah jari anak mengalami kekakuan (bersatu) yaitu
jari telunjuk, tengah, jari manis, dan kelingking. Status gizi dan kesehatan
anak baik.
Anak dapat
meraba dan berciloteh pada usia 1 tahun, dan mengucapkan satu suku kata yang
bermakna kalimat seperti pa berarti bapak pada usia 4 tahun. Berbicara dengan
kalimat lengkap sederhana pada usia 6 tahun. Hubungan anak dengan saudaranya
berjalan dengan baik. Hobi anak nonton TV, main game, dan computer. Minat kusus
anak adalah menggambar.[12]
Dari
laporan perkembangan anak di atas, dapat disimpulkan bahwa gejala autis tidak
terlihat sejak bayi atau balita. Perkembangan fisik dan motorik anak berjalan
normal, sama seperti anak pada umumnya. Perbedaan yang tampak dari anak autis
terlihat dari kemampuan berbahasa. Anak mengalami keterlambatan dalam
berbicara, pada usia 4 tahun, anak baru mampu mengucapkan potongan-potongan
kata. Pada anak normal, usia 4 tahun mereka telah mampu berbicara lancar dan penguasaan bahasa yang cukup banyak.
Kelainan pada
anak baru terlihat jelas pada usia pra sekolah. Anak mengalami gangguan
konsentransi (autis). Proses pendidikan yang dijalani oleh anak adalah Taman
Kanak-Kanak selama 1 tahun, pra Sekolah Dasar selama 1 tahun, setelah itu baru
masuk Sekolah Dasar. Ketiga macam pendidikan itu dijalani di Yayasan
Pengembangan Perilaku Anak (YPPA). Anak tidak bisa mengikuti pendidikan di
sekolah biasa, disebabkan gangguan yang dideritanya.
Setelah
perilaku anak mulai bisa dikendalikan, meskipun belum sembuh, pendidikan anak
di lanjutkan ke sekolah biasa, yaitu ke SD N 19 Kecamatan Pauh. Anak mulai
belajar di sekolah ini tanggal 11 Juli 2011, duduk di kelas II. Berikut ini ada
banyak kebiasaan Fauzan ketika baru masuk di SDN 19 Kecamatan Pauh:
1.
Mencoret-coret meja, papan tulis, buku, kadang-kadang buku
teman dan baju guru juga dicoret-coret.
2.
Sering mengoceh, berteriak-teriak dengan suara yang
keras.
3.
Senang menirukan suara iklan di TV.
4.
Sering lari ke luar kelas ketika proses belajar mengajar
sedang berlangsung.
5.
Masuk kelas lain tanpa izin.
6.
Senang mengambil
barang-barang milik teman untuk dimainkan.
7.
Memeriksa saku celana/rok guru untuk mencari HP.
8.
Senang membaca buku dengan terbalik (dari belakang ke
depan)
9.
Tertawa terbahak-bahak tanpa sebab.
10. Menyanyi tanpa
vocal yang jelas tapi menirukan satu lagu tertentu. Contoh: lagu himne guru.
11. Menuliskan
kata-kata plesetan, contoh: bunga ditulis bunge, satu ditulis zatu.
12. Senang menuliskan
nama-nama benda dalam bahasa Inggris.
13. Malas mengeluarkan
buku dan pensil, setelah disuruh baru dikeluarkan.
14. Suka menghancurkan
penghapus dan meruncing pensil sampai habis.
15. Menilai sendiri
hasil latihan atau PR
16. Mengejar
teman-teman kemudian dipeluk.
17. Lari keluar
pekarangan sekolah.
18. Kalau dilarang
melakukan apa yang diinginkannya memberontak.
19. Suka melemparkan
barang-barang seperti buku, pensil, penghapus dan lain-lain ketika menangis.
20. Sering mengupil
dan memasukkan ke mulut.
21. Menggigit
ujung-ujung jari.
22. Menghapus tulisan
sampai bukunya robek.
23. Tidak mau
mengikuti arahan atau bimbingan guru, contoh: disuruh mengulang/mengubah
latihan yang salah, serta memberi jarak antara tugas yang pertama dengan tugas
berikutnya.
24. Malas menulis
bahkan kadang-kadang minta bantuan guru untuk menuliskan (buk Mil yang tulis)
25. Suka memberikan
jawaban yang salah.[13]
5. Layanan
Pendidikan bagi Anak Autis
Anak autis akan mengalami banyak kendala untuk mengikuti
pembelajaran, apalagi untuk mengikuti pembelajaran bersama dengan anak-anak
normal lainya. Sebelum mengikuti pemebelajaran anak autis memerlukan beberapa
terapi, terapi itu diantaranya:
a. Terapi wicara; membantu anak
melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu anak berbicara lebih baik
b. Terapi okupasi; untuk
melatih motorik halus anak
c. Terpai bermain;
mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain
d. Terapi
medikamentosa/obat-obatan;dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang
berwenang
e. Terapi melalui makanan; untuk
anak-anak dengan masalah alergi makan tertentu
f. Sensory Integration Therapy; untuk anak-anak yang mengalami gangguan pada sensorinya
g. Auditory Integration Therapy; agar pendengaran
anak lebih sempurna
h. Biomedical Therapy; penanganan biomedis yang paling mutakhir, melalui perbaikan
kondisi tubuhagar terlepas dari faktor-faktor yang merusak.[14]
Semua bentuk terapi yang disebutkan diatas adalah sebagai
program intervensi dini bagi anak autis, sehingga dia memiliki bekal dan
kesiapan untuk bisa mengikuti bentuk bimbingan dan pembelajaran lebih lanjut.
Pada anak autis yang telah diterapi dengan baik dan dapat memperlihatkan
keberhasilan yang menggembirakan, anak tersebut bisa dikatakan “sembuh” dari
gejala autisnya.
Pada kondisi ini sebaiknya anak autis mulai diperkenalkan
untuk masuk ke dalam kelompok anak-anak normal, sehingga ia dapat mempunyai figur/role model anak normal
dan meniru tingkah laku anak normal seusianya. Anak
autis dengan kondisi ini telah bisa mengikuti layanan pendidikan lanjutan
berupa:
a. Kelas terpadu sebagai
kelas transisi
Kelas ini ditujukan untuk anak autis yng telah diterapi secara
terpadu dan terstruktur, dan merupakan kelas persiapan dan pengenalan akan
penagajaran dengan kurikulum sekolah biasa, tetapi melalui tata cara pengajaran
untuk anak autis (kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan
visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb). Tujuan
kelas terpadu adalah membantu anak dalam mempersiapkan transisi ke sekolah reguler.
b. Program inklusi
Program ini akan berhasil bila ada:
1)
Keterbukaan dari sekolah umum
2)
Tes masuk tidak didasari hanya oleh tes IQ untuk anak normal
3)
Peningkatan SDM/guru terkait
4)
Proses shadowing dapat
dilaksanakan dengan guru pembimbing khusus
5)
Idealnya anak berhak memilih pelajaran yang ia mampu saja
6)
Anak dapat “tamat” (bukan lulus) dari sekolahnya karena telah
selesai melewati pendidikan di kelasnya bersama-sama teman sekelasnya
7)
Tersedianya tempat khusus (special
unit) bila anak memerlukan terapi.
Di sekolah yang menyelenggarakan program inklusi, pada
bulan-bulan pertama anak autis akan mengalami kesulitan berupa:
1) Kesulitan berkonsentrasi
2) Anak belum dapat
mengikuti instuksi guru
3) Perilaku anak masih
sulit diatur
4) Anak berbicara/mengoceh
atau tertawa sendiri pada saat belajar
5) Timbul tentrum bila
tidak mampu mengerjakan tugas
6) Komonikasi belum lancer
dan tidak runtut dalam bercerita
7) Pemahaman akan materi
sangat kurang
8) Belum mau bermain dan
bekerjasama dengan teman sebayanya.
Pada bulan-bulan pertama inilah pentingnya anak autis
didampingi oleh seorang terpis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus.
Tugas guru pembimbing khusus adalah:
a) Menjembatani instruksi
antara guru dan anak
b) Mengendalikan perilaku
anak di kelas
c) Membantu anak untuk
tetap berkonsentrasi
d) Membantu anak untuk
belajar bermain/berinteraksi dengan teman sebayanya
e) Menjadi media informasi
antara guru dan orang tua dalam membantu anak mengejar ketertinggalan dari
pelajaran di kelasnya.
c. Sekolah khusus
Pada kenyataannya dari kelas terpadu terevaluasi bahwa tidak
semua anak autis dapat transisi ke sekolah regular. Anak-anak ini sangat sulit
untuk berkonsentrasi dengan adanya distraksi di sekeliling mereka. Beberapa
anak memperlihatkan potensi yang sangat baik di bidang tertentu, misalnya olah
raga, music, melukis, keterampilan, dan lain-lain. Anak-anak ini sebaiknya
dimasukkan ke sekolah khusus, sehingga potensi mereka dapat dikembangkan dengan
maksimal.
Contoh sekolah khusus adalah sekolah keterampilan, sekolah
pengembangan olah raga, sekolah musik, sekolah seni lukis, sekolah komputer,
sekolah keterampilan untuk usaha kecil dan lain-lain.
d. Program sekolah di rumah
(Homeschooling Program)
Adapula anak autis yang bahkan tidak mampu ikut serta dalam
kelas khusus karena keterbatasannya, misalnya anak non verbal, retardasi
mental, masalah motorik dan auditory, dan sebagainya. Anak ini sebaiknya diberi
kesempatan ikut serta dalam program sekolah di rumah. Melalui bimbingan para
guru/terapis serta kerjasama yang baik dengan orang tua dan orang-orang
disekitarnya dapat dikembangkan potensi anak.
[3] Dyah Puspita, Kebijakan Pendidikan Bagi Anak Autis,
(www.putrakembara.com, diakses 27 November 2011)
[4] Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas
Seksual (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm 222-223
[6] Ganda Sumekar, op. cit., h. 278
[10] Bandi Delphi, Pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi (Bandung: Refika
Aditama, 2006), h. 121
[12] Studi Dokumentasi, Identitas dan Catatan Perkembangan Anak, tahun
2011
[13] Yanti Karmila,
Wawancara yang dilengkapi dengan catatan pribadi guru pembimbing khusus.
[14] Ganda Sumekar, op. cit., h. 284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar