Cari Blog Ini

Senin, 30 April 2018

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam


A.    Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
  1. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Menurut Oemar Hamalik, pembelajaran ialah kombinasi yang tersusun dan meliputi manusia, material, fasilitas perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.[1]  Sedangkan menurut Corey, dalam Ramayulis menyebutkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku dalam kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.[2]
Dalam UU No. 20 tahun 2003 BAB I Pasal I ayat (20) tentang Sisdiknas pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[3]
Jadi pembelajaran secara umum dapat diartikan interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam konteks ruang dan waktu dengan ditunjang adanya sarana dan prasarana serta kurikulum yang saling berpengaruh dalam menentukan proses pembelajaran sendiri.
Sementara pendidikan secara umum adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa-susila.[4]
Sementara Zakiyah Darajat mendefinisikan Pendidikan Agama Islam sebagai bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran Agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan dunia akhirat.[5]
Jadi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik, yang mana pendidik memberikan bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran Agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan dunia akhirat
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
  1. Dasar dan Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Secara yuridis, dasar pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah secara inklusif telah tercermin dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab V tentang peserta didik Pasal 12 ayat (1):
”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”
Secara mendasar dasar Pendidikan Agama Islam adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijtihad. Selanjutnya penulis akan memaparkan masing- masing landasan Pendidikan Agama Islam di atas:
a.       Al-Quran
Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama, pada masa awal pertumbuhan Islam telah menjadikan Al-Quran sebagai dasar pendidikan Islam. Kedudukan Al-Quran sebagai dasar pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat al-Quran itu sendiri, yaitu:
Firman Allah:
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.xtFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ  

Artinya: Ia adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah agar mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Q.S. Shad: 29)

b.      Sunnah
Sunnah dapat dijadikan dasar pendidikan Islam karena sunnah menjadi sumber utama pendidikan Islam, karena Allah telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi umatnya.
Firman Allah:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym ….

Artinya: Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu…(Q.S. Al Ahzab:21)

c.       Ijtihad
Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Quran dan sunnah hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja. Dengan demikian untuk melengkapi dan merealisir ajaran Islam itu memang sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari Al-Quran dan sunnah saja belum menjamin tujuan pendidikan Islam akan tercapai.[6]
Adapun tujuan pendidikan Islam secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia.
b.      Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
c.       Persiapan untuk mencari rezki.
d.      Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar.
e.       Menyiapkan pelajar dari segi professional.[7]
  1. Komponen-Komponen Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Kajian tentang komponen pembelajaran pendidikan berarti kajian tentang sistem pendidikan yang merupakan satu kesatuan, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Adapun komponen pembelajaran pendidikan agama Islam adalah:
a.      Kurikulum
Kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilainilai.[8]
Menurut Abuddin Nata, kurikulum adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seseorang dapat dikatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.[9]  Sedangkan pengertian kurikulum menurut Samsul Nizar adalah landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental.[10]
Kurikulum memiliki beberapa komponen, yaitu tujuan pembelajaran, isi atau materi yang akan disampaikan pada anak didik, metode atau proses belajar mengajar dan evaluasi yang berguna untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Penyusunan kurikulum harus berdasarkan beberapa asas, yaitu:
1)      Asas filosofis berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan.
2)      Asas sosiologis berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3)      Asas organisatoris berfungsi memberikan dasar-dasar penyusunan kurikulum secara sistematis.
4)      Asas psikologis berperan memberikan berbagai prinsip tentang perkembangan anak didik.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum agar dapat dipergunakan bagi semua peserta didik, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan deklarasi Salamanca adalah:
1.      Kurikulum sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan anak bukan sebaliknya. Oleh karenanya sekolah sebaiknya sekolah sebaiknya memberikan kesempatan kurikuler yang disesuaikan dengan kemampuan dan bakat peserta didik.
2.      Untuk mengikuti kemajuan masing-masing anak, prosedur assesmen harus ditinjau. Evaluasi sebaiknya dilakukan sejalan dengan proses pembelajaran agar siswa dan guru selalu mendapat informasi tentang penguasaan pelajaran yang sudah dicapai. Dalam proses pembelajaran, guru yang mengidentifikasi kesulitan yang dihadapi dan membantu siswa menghadapinya.
3.      Kapabilitas seyogyanya dibangun dan penelitian dilakukan pada taraf regional maupun nasional untuk mengevaluasi dan mengembangkan pendidikan inklusif.[11]
Proses perkembangan dan tingkat pencapaian anak autis tidak sama dengan anak normal sebayanya, oleh karena itu kurikulum unntuk anak autis adalah kurikulum yang berdeferensiasi, artinya kurikulum dapat dipilih, dimodifikasi, dan dikembangkan oleh guru dengan bertitik tolak pada kebutuhan masing-masing anak berdasarkan hasil identifikasi. Pemilihan dan modifikasi kurikulum juga disesuaikan dengan tingkat perkembangann kemampuan anak, dan ketidakmampuannya, usia anak, serta memperhatikan sumber daya/lingkungan yang ada.
Kurikulum untuk anak autis dititik beratkan pada perkembanagan kemampuan dasar, yaitu:
1.      Kemampuan dasar kognitif
2.      Kemampuan dasar bahasa/komonikasi
3.      Kemampuan dasar sensomotorik
4.      Kemampuan dasar bina diri, dan
5.      Sosialisasi
Apabila kemampuan dasar tersebut dapat dicapai oleh anak dengan mengacu kepada kemampuan anak yang sebaya, maka kurikulum dapat ditingkatkan pada kemampuan pra akademik dan kemampuan akademik, yang meliputi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
b.      Pendidik
Pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik. Tugas pendidik secara umum adalah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi kognitif, afektif atau psikomotor seoptimal mungkin menurut ajaran Islam.[12]
Menurut M. Athiyah Al Abrasy, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat berikut ini:
1)      Zuhud, yaitu tidak mengutamakan materi, mengajar dilakukan karena mengharapkan ridha Allah.
2)      Memiliki jiwa dan tubuh yang bersih, jauh dari dosa, rasa iri dan dengki, serta jauh dari sifat-sifat tercela lainnya.
3)      Ikhlas dalam menjalankan tugas.
4)      Bersifat pemaaf terhadap muridnya, dapat menahan diri, dapat menahan marah, lapang hati dan sabar.
5)      Kebapakan, yakni mencintai murid seperti mencintai anak sendiri.
6)      Mengetahui karakter murid yang mencakup kebiasaan, pembawaan, perasaan dan pemikiran.
7)      Menguasai bidang studi dan materi yang diajarkan.[13]
Pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, pendidik dibagi menjadi 2 yakni:
1.      Guru Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran adalah guru yang mengajar mata pelajaran tertentu sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Guru mata pelajaran bertugas melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran siswa untuk satu mata pelajaran tertentu. Guru bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar.
2.      Guru Pembimbing Khusus
Guru pembimbing khusus adalah guru yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa atau pernah mendapat pelatihan khusus tentang pendidikan luar biasa. Guru pembimbing khusus bertugas membantu guru mata pelajaran dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam sekolah penyelenggara program  inklusi, tugas guru pembimbing khusus mendampingi siswa berkebutuhan khusus ketika pembelajaran berlangsung, dalam pembahasan ini dikhususkan untuk mendampingi anak autis.
c.       Peserta didik
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan.[14] Pengertian ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah pribadi yang belum dewasa, sehingga memerlukan bimbingan untuk menggali potensi-potensi yang dimilikinya.
Berkaitan dengan peserta didik, ada beberapa hal yang harus dipahami, yaitu:
1)      Anak didik bukanlah miniatur orang dewasa, tetapi memiliki dunia sendiri. Oleh karena itu metode, media dan sumber belajar yang digunakan tidak boleh disamakan dengan orang dewasa.
2)      Anak didik mengikuti periode perkembangan dan pertumbuhan.
3)      Anak didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin.
4)      Anak didik memiliki perbedaan individual, baik disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
5)      Anak didik merupakan kesatuan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6)      Anak didik merupakan objek pendidikan yang aktif, kreatif dan produktif, karena memiliki aktivitas dan kreativitas sendiri.[15]
Pada sekolah penyelenggara program inklusi, peserta didik terdiri dari berbagai karakter dan kebutuhan belajar dalam satu kelas, secara umum peserta didik dibagi menjadi:
a)      Siswa normal; Siswa normal adalah siswa yang memiliki kemampuan standar dan tidak mengalami kekurangan fisik, emosional, intelektual.
b)      Siswa/anak berkebutuhan khusus; siswa yang memiliki kendala dalam hal emosional, fisik dan intelektual. Termasuk anak autis, siswa tuna rungu, tuna netra, tuna grahita, tuna laras, tuna wicara dan lain sebagainya.
d.      Metode
Dalam interaksi belajar mengajar, metode pembelajaran dipandang sebagai salah satu komponen yang ada di dalamnya di mana komponen yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Metode dalam proses belajar mengajar dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik.
Dalam kitabnya yang diterjemahkan Hasan Langgulung, Al-Syaibani mengemukakan beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam mengenai definisi metode ini. Mohammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikannya metode pembelajaran sebagai jalan yang kita ikuti untuk memberi paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Metode adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas itu. Prof. Abd. Al-Rahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada peserta didik. Adapun Edgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi guru yang menyebabkan terjadinya proses belajar mengajar, hingga pelajaran menjadi berkesan.[16]
Barangkali masih banyak definisi-definisi tentang metode pembelajaran yang dikemukakan para ahli pendidikan, namun yang penting kita tangkap adalah makna pokok yang terkandung dalam pengertian metode itu sendiri. Makna pokok yang disimak antara lain bahwa: (1) Metode pendidikan adalah cara yang digunakan untuk menjelaskan materi pendidikan kepada peserta didik, (2) Cara yang digunakan merupakan cara yang tepat guna untuk menyampaikan materi pendidikan tertentu dalam kondisi tertentu, dan (3) Melalui cara itu diharapkan materi yang disampaikan mampu memberi kesan yang mendalam kepada peserta didik.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa metode pembelajaran pendidikan agama Islam adalah cara-cara yang paling cocok untuk dapat digunakan dalam mencapai hasil-hasil pembelajaran pendidikan agama Islam yang berada dalam kondisi pembelajaran tertentu.
Mengacu pada kepentingan tersebut, maka metode pembelajaran paling tidak harus disesuaikan dengan materi, murid, situasi kondisi, media pengajaran.[17]  Karena itu, metode yang digunakan dapat bervariasi. Satu metode mungkin dapat dinilai baik untuk materi dan kondisi tertentu tetapi sebaliknya kurang tepat digunakan pada penyampaian materi yang berbeda dan suasana yang berlainan.
Namun ada ketentuan umum dalam masing-masing metode mengajar, guru dapat memilih metode yang manakah yang tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan yang berdasarkan kelebihan dan kelemahan metode yang akan digunakan. Beberapa metode yang dapat dipakai guru dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam terutama bagi anak autis adalah sebagai berikut:
1)      Metode Tanya Jawab
Adalah suatu metode di mana guru menggunakan atau memberi pertanyaan kepada peserta didik dan peserta didik menjawab, atau sebaliknya peserta didik yang bertanya dan guru yang menjawab. Metode tanya jawab ini dapat dilakukan bersamaan dengan metode ceramah, diskusi, demonstrasi dan lainnya dengan tujuan untuk lebih meningkatkan kemampuan berpikir dan keaktifan belajar anak.
Hal yang harus diperhatikan guru ketika menggunakan metode ini, mengingat dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan berbedabeda tingkat IQ-nya.
a)      Pertanyaan yang diajukan hendaknya tidak keluar dari pokok bahasan yang sedang dipelajari.
b)      Setiap jawaban peserta didik hendaknya dihargai.
Seperti pada metode ceramah, metode tanya jawab tidak dapat dipandang baik atau jelek, akan tetapi metode ini akan tepat digunakan apabila:
a)      Guru hendak meletakkan hubungan antara pelajaran yang lalu yang telah dimiliki siswa dengan pelajaran baru
b)      Guru hendak memberi kesempatan kepada peserta didik menanyakan hal-hal yang belum dimengerti baik pelajaran yang sedang dipelajari atau pelajaran yang sudah disampaikan
c)      Apabila guru melihat keadaan peserta didik semakin kurang tertarik terhadap materi yang diberikan guru
d)     Guru hendak mendorong aktivitas anak dan partisipasinya dalam pelajaran
e)      Menjelang akhir pelajaran guru hendak mengetahui sejauh mana peserta didik menguasai bahan yang telah disampaikan.
Walaupun guru sudah menyiapkan secara sungguh-sungguh tentang pelaksanaan metode ini, tetapi tanya jawab tidak terlepas dari beberapa keuntungan dan kelemahan. Keuntungan menggunakan metode tanya jawab adalah:
a)      Suasana menjadi lebih aktif.
b)      Peserta didik mendapat kesempatan baik secara individu maupun kelompok untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.
c)      Guru dapat mengetahui bagaimana penguasaan peserta didik terhadap materi yang sedang disampaikan.
d)     Mendorong anak untuk berani mengajukan pendapatnya.
Adapun kelemahan metode tanya jawab adalah sebagai berikut:
a)      Pertanyaan yang dari guru sering menuju kepada pertanyaan yang sifatnya hafalan.
b)      Tanya jawab yang dilakukan terus-menerus akan dapat menyimpang dari pokok bahasan yang sedang dipelajari.
c)      Guru tidak dapat mengetahui secara pasti apakah anak yang mengajukan pertanyaan itu telah memahami dan menguasai materi yang telah diberikan.
2)      Metode Resitasi
Metode resitasi (pemberian tugas) sering diartikan sebagai pekerjaan rumah, akan tetapi sebenarnya resitasi ini mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibanding dengan pekerjaan rumah karena resitasi adalah pemberian tugas dari guru kepada peserta didik untuk diselesaikan an dipertanggungjawabkan. peserta didik dapat menyelesaikan di sekolah, di perpustakaan, di rumah atau di tempat lain yang kiranya dapat menunjang terselesaikannya tugas yang dibebankan kepadanya.
Metode resitasi tepat diberikan apabila:
a)      Suatu pokok bahasan tertentu yang membutuhkan latihan atau pemecahan yang lebih banyak di luar jam pelajaran yang melibatkan beberapa sumber belajar
b)      Ruang lingkup bahan pengajaran terlalu luas sedangkan waktunya terbatas.
c)      Apabila guru berhalangan untuk melaksanakan pengajaran, sedangkan tugas yang harus disampaikan kepada peserta didik sangat banyak.
d)     Suatu pekerjaan terlalu banyak sehingga tidak mungkin diselesaikan dalam hanya melalui jam pelajaran di sekolah.[18]
Beberapa kelebihan metode resitasi adalah sebagai berikut:
a)      Dapat membangkitkan anak untuk lebih giat belajar apalagi tugas yang diberikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
b)      Dapat memupuk rasa tanggung jawab peserta didik, baik tanggung jawab terhadap tugas yang diselesaikan maupun kepada guru yang memberi tugas.
c)      Dapat memupuk rasa percaya diri
d)     Dapat mengembangkan pola berpikir, keterampilan maupun efektif peserta didik yang berhubungan dengan tugas yang diberikan padanya.
Di samping mempunyai kelebihan, resitasi juga mempunyai kelemahan, antara lain adalah:
a)      Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik sukar dikontrol oleh guru, sehingga guru sulit menentukan apakah tugas itu diselesaikan sendiri atau diselesaikan orang lain yang lebih ahli.
b)      Sulit untuk memberikan tugas yang dapat memenuhi perbedaan individu.
c)      Kalau tugas yang diberikan terlalu sulit bagi peserta didik, maka dapat menurunkan minat belajar peserta didik itu sendiri.
3)      Metode Demonstrasi
Istilah demonstrasi dalam pembelajaran dipakai untuk menggambar kan suatu cara mengajar yang pada umumnya menggabungkan penjelasan verbal dengan suatu tindak kerja fisik atau pengoperasian peralatan, barang atau benda. Orang yang mendemonstrasikan (guru, peserta didik atau orang luar) mempertunjukkan sambil menjelaskan tentang:
a)      Cara-cara melakukan kerja fisik atau cara-cara menggunakan peralatan
b)      Hal-hal yang harus diamati/diperhatikan ketika kerja fisik atau penggunaan peralatan itu diselenggarakan
c)      Alasan-alasan mengapa hal itu dilakukan dan mengapa pula hasilnya demikian
d)     Kepentingannya dilakukan langkah demi langkah dalam demonstrasi tersebut.
Di samping mempunyai beberapa kebaikan, maka demonstrasi juga tidak terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat membuat demonstrasi kurang efektif adalah:
a)      Apabila tidak direncanakan secara matang, maka demonstrasi bias terjadi banyak kesulitan, misalnya kurang waktunya, kesulitan teknis, kurang adanya kesempatan bagi peserta didik untuk mengadakan Tanya jawab dan lain sebagainya
b)      Kadangkala sesuatu dibawa ke kelas untuk didemonstrasikan terjadi proses yang berlainan dengan proses yang terjadi dalam situasi yang sebenarnya
c)      Demonstrasi menjadi kurang efektif apabila tidak diikuti secara aktif oleh para peserta didik untuk mengamati
d)     Demonstrasi akan merupakan metode yang kurang efektif bila alat yang didemonstrasikan itu tidak dapat diamati secara seksama oleh siswa.[19]

4)      Metode Karyawisata
Kadang-kadang dalam proses belajar mengajar siswa perlu diajak keluar sekolah, untuk meninjau tempat tertentu atau objek yang lain. Hal ini bukan sekedar rekreasi, tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajaran dengan melihat kenyataannya.
Metode karyawisata adalah metode yang dilakukan dengan mengajak peserta didik keluar kelas untuk mengunjungi suatu peristiwa atau tempat yang ada kaitannya dengan pokok bahasan. Sebelum keluar kelas, guru terlebih dahulu membicarakan dengan peserta didik tentang hal-hal yang akan diselidiki, aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan untuk lebih terarahnya dalam beberapa kelompok sesuai dengan kebutuhan permasalahan yang akan diselidiki.[20]
Metode ini dipandang perlu untuk pembelajaran anak autis mengingat kondisi anak autis yang sulit dalam menerima penjelasan dari orang lain, sulit berkonsentrasi, mudah bosan, suka berjalan-jalan, dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Penggunaan metode ini diharapkan mampu menarik perhatian anak autis terhadap objek yang dipelajari sehingga ia dapat belajar sambil bermain.
Ada beberapa kelebihan dari metode karyawisata:
a)      Membuat apa yang dipelajari di sekolah lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan di masyarakat
b)      Dapat merangsang kreatifitas siswa
c)      Bahan pelajaran lebih luas dan actual.
Di samping itu, ada beberapa kelemahan metode karyawisata ini yaitu:
a)      Memerlukan fasilitas dan biaya yang besar
b)      Sulit mengarahkan siswa pada kegiatan studi yang menjadi permasalahan, apalagi dengan jumlah siswa yang banyak.
c)      Terkadang unsur rekreasi menjadi lebih prioritas dari pada tujuan utama, sedang unsure studinya menjadi terabaikan.
e.       Evaluasi
Secara umum, evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau, berharga atau tidak dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan erat dengan keputusan nilai (value judgment).[21]
Dalam hubungannya dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, evaluasi lebih diarahkan pada upaya untuk mengetahui dengan jelas dan obyektif terhadap keberhasilan pembelajaran yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka mengikuti kegiatan pembelajaran.
Evaluasi merupakan salah satu unsur penting dalam rangkaian proses pembelajaran, karena dengan penilaian, maka guru dapat mengetahui sejauh mana penguasaan materi peserta didik, efektifitas metode yang disampaikan, keberhasilan materi yang disampaikan dan juga dengan evaluasi akan dapat memperbaiki proses pembelajaran.
Berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran dalam mencapai tujuannya adalah dilihat setelah evaluasi terhadap produk yang dihasilkan. Jika hasil suatu pembelajaran sesuai dengan yang diprogramkan, maka pembelajaran tersebut dinilai berhasil tetapi jika sebaliknya maka dinilai gagal.
Dalam hubungannya ini, A. Tabrani Rasyan dkk. Sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa evaluasi pembelajaran mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a)      Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
b)      Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya di mana segisegi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.
c)      Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran. Bagi peserta didik, berguna untuk mengetahui bahwa pelajaran yang diberikan telah dikuasainya. Dan bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya program-program yang dilaksanakan
d)     Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran dan mengadakan program remedial bagi peserta didik
e)      Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar
f)       Untuk menempatkan peserta didik dalam situasi belajar mengajar yang tepat
g)      Untuk mengenal latar belakang peserta didik yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar.[22]
Selama proses pembelajaran, guru dapat melaksanakan evaluasi kepada peserta didik dengan tiga tahap, yaitu dapat dilaksanakan sebelum, selama dan setelah materi disajikan.
Pelaksanaan evaluasi yang diberikan sebelum materi disajikan (pre-tes) dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan persepsi peserta didik terhadap materi yang akan disampaikan, sehingga mudah bagi guru menentukan dari mana materi harus diberikan kepada peserta didik agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik.[23]
Pelaksanaan evaluasi yang diberikan selama materi disajikan (sedang berlangsung) biasanya melalui tes lisan, dengan tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk membangkitkan motivasi anak pada permasalahan yang sedang di bahas atau untuk mengetahui apakah materi yang disampaikan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan anak. Di samping itu, guru juga bisa mengevaluasi performance siswa dalam mempresentasikan hasil kerjanya serta memberikan penilaian sikap selama pembelajaran.
Sedangkan evaluasi yang diberikan setelah berakhirnya penyajian materi (post-tes) mempunyai tujuan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah disajikan dan juga untuk keperluan memperbaiki proses pembelajaran.
Untuk mengadakan evaluasi terhadap proses belajar-mengajar, guru dapat menggunakan beberapa alat evaluasi. Namun pada garis besarnya dari berbagai alat evaluasi itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1)      Evaluasi Tes
Evaluasi dengan tes ini untuk menilai tentang kemampuan hasil belajar dan tingkat kecerdasan peserta didik. Dalam pelaksanaannya, guru dapat melakukannya dengan tiga cara, yaitu: dengan tes tertulis, tes lisan dan tes perbuatan. Masing-masing cara pelaksanaan tes tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Tes tertulis diberikan untuk menilai kemampuan hasil belajar peserta didik dari materi yang luas dan menyangkut dari segi afektif, psikomotor dan kognitif. Tes lisan biasanya dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan hasil belajar peserta didik secara mendalam dan biasanya dilaksanakan sebagai pendamping tes tertulis. Sedangkan tes perbuatan dilaksanakan khususnya untuk mengukur kemampuan segi psikomotor peserta didik misalnya tes untuk berwudlu, sholat, melafalkan bacaan-bacaan Qur'an dan sebagainya.
2)      Penilaian Dengan Non-tes
Dalam mengevaluasi kemampuan hasil belajar peserta didik, sikap peserta didik dan tingkah laku peserta didik, disamping guru dapat menggunakan dengan tes, maka guru dapat pula menggunakan alat nontes. Penilaian dengan non-tes dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan pengamatan, daftar cek, skala penilaian, wawancara, kuesioner dan sebagainya. Secara umum evaluasi dengan non-tes biasanya untuk menilai tentang sikap, tingkah laku dan kepribadian peserta didik secara menyeluruh.
Evaluasi pendidikan untuk anak autis meliputi:
a)      Evaluasi proses; penilaian guru terhadap anak dalam setiap hari,
b)      Evaluasi bulanan; laporan dari orang tua kepada guru atau sebaliknya,
c)      Evaluasi catur wulan; laporan untuk orang tua berbentuk deskripsi kemampuan anak dengan penilaian kualitatif.[24]


[1]  Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: BumiAksara, 1995), h. 57
[2]  Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 2008, h. 239
[3]  Depdiknas, Undang-Undang, op. cit., h. 3
[4]  Sudarminto, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma, 1990), h. 12
[5]  Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 86
[6]  Ramayulis, op. cit., h. 128
[7]  M. Athiyah al-Abrasyi, Al- Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Qahirah: Isa al-Habi al-Halabi, 1969), h.71
[8] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 1
[9] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123
[10] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),  h. 56
[11]  Budiyanto, Pengantar pendidikan Inklusif berbasis Budaya Lokal, (Jakarta: Depdiknas, 2005), h. 23
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet VI: 2005),  h 74

[13] M. Athiyah Al Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani &
Johar Bahri (Djakarta: Bulan Bintang, 1974), h.  13
[14] Muhaimin, op.cit., h. 177
[15] Ibid, h.  181
[16]  Umar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 551-552
[17] Soetomo,  Dasar-Dasar Interaksi Belajar Mengajar (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), h. 144
[18]  Ibid, h. 65-67
[19]  Zakiyah Darajat,  Metodologi , op. cit., h. 144-145
[20]  Soetomo, Dasar-Dasar, op .cit., h. 68
[21]  Mimin Haryati, Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h. 15
[22]  Abuddin Nata, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 187-189
[23]  Soetomo, Dasar-Dasar, op cit, h. 70
[24] Ganda Sumekar, Anak Berkebutuhan Khusus; Cara Membantu Mereka agar Berhasil dalam Pendidikan Inklusif, ( Padang: UNP Press, 2009), h. 289

Tidak ada komentar: