A. Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
- Pengertian
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Menurut Oemar Hamalik, pembelajaran ialah kombinasi yang
tersusun dan meliputi manusia, material, fasilitas perlengkapan dan prosedur
yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.[1] Sedangkan menurut Corey, dalam Ramayulis menyebutkan bahwa
pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang seseorang secara
disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku dalam
kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.[2]
Dalam UU No. 20 tahun 2003 BAB I Pasal I ayat (20) tentang
Sisdiknas pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[3]
Jadi pembelajaran secara umum dapat diartikan interaksi antara
peserta didik dan pendidik dalam konteks ruang dan waktu dengan ditunjang
adanya sarana dan prasarana serta kurikulum yang saling berpengaruh dalam
menentukan proses pembelajaran sendiri.
Sementara pendidikan secara umum adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk
membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya
pribadi yang dewasa-susila.[4]
Sementara Zakiyah Darajat mendefinisikan Pendidikan Agama
Islam sebagai bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah
selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran Agama Islam
sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan dunia
akhirat.[5]
Jadi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu proses
yang di dalamnya terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik, yang mana
pendidik memberikan bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar nantinya
setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran Agama Islam
sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan dunia
akhirat
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang
selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun
peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban
bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam
menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan
masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
- Dasar
dan Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Secara yuridis, dasar pelaksanaan pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Sekolah secara inklusif telah tercermin dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas Bab V tentang peserta didik Pasal 12 ayat (1):
”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama”
Secara mendasar dasar Pendidikan Agama Islam adalah Al Qur’an,
As Sunnah dan Ijtihad. Selanjutnya penulis akan memaparkan masing- masing
landasan Pendidikan Agama Islam di atas:
a.
Al-Quran
Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama, pada masa awal
pertumbuhan Islam telah menjadikan Al-Quran sebagai dasar pendidikan Islam.
Kedudukan Al-Quran sebagai dasar pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari
ayat al-Quran itu sendiri, yaitu:
Firman Allah:
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
Artinya: Ia adalah
sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah agar mereka
memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran (Q.S. Shad: 29)
b.
Sunnah
Sunnah dapat dijadikan dasar pendidikan Islam karena sunnah
menjadi sumber utama pendidikan Islam, karena Allah telah menjadikan Nabi
Muhammad SAW sebagai teladan bagi umatnya.
Firman Allah:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym ….
Artinya: Sungguh telah ada pada diri
Rasulullah itu teladan yang baik bagimu…(Q.S. Al Ahzab:21)
c.
Ijtihad
Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran
Islam yang terdapat di dalam Al-Quran dan sunnah hanya berupa prinsip-prinsip
pokok saja. Dengan demikian untuk melengkapi dan merealisir ajaran Islam itu
memang sangat dibutuhkan ijtihad,
sebab globalisasi dari Al-Quran dan sunnah saja belum menjamin tujuan
pendidikan Islam akan tercapai.[6]
Adapun tujuan pendidikan Islam secara umum adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengadakan
pembentukan akhlak yang mulia.
b. Persiapan untuk
kehidupan dunia dan akhirat.
c. Persiapan untuk mencari
rezki.
d. Menumbuhkan semangat
ilmiah pada pelajar.
e. Menyiapkan pelajar dari
segi professional.[7]
- Komponen-Komponen
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Kajian
tentang komponen pembelajaran pendidikan berarti kajian tentang sistem
pendidikan yang merupakan satu kesatuan, saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Adapun komponen pembelajaran
pendidikan agama Islam adalah:
a.
Kurikulum
Kata
kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu currere yang berarti jarak
tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari. Dalam
konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik
atau guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan
dan sikap serta nilainilai.[8]
Menurut
Abuddin Nata, kurikulum adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan
jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seseorang dapat dikatakan
lulus dan berhak memperoleh ijazah.[9] Sedangkan
pengertian kurikulum menurut Samsul Nizar adalah landasan yang digunakan
pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang
diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap
mental.[10]
Kurikulum
memiliki beberapa komponen, yaitu tujuan pembelajaran, isi atau materi yang
akan disampaikan pada anak didik, metode atau proses belajar mengajar dan
evaluasi yang berguna untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan.
Penyusunan
kurikulum harus berdasarkan beberapa asas, yaitu:
1) Asas filosofis berperan sebagai penentu
tujuan umum pendidikan.
2) Asas sosiologis berperan memberikan
dasar untuk menentukan apa saja yang dipelajari sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3) Asas organisatoris berfungsi memberikan
dasar-dasar penyusunan kurikulum secara sistematis.
4) Asas psikologis berperan memberikan
berbagai prinsip tentang perkembangan anak didik.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum agar
dapat dipergunakan bagi semua peserta didik, khususnya bagi anak berkebutuhan
khusus sesuai dengan deklarasi Salamanca adalah:
1. Kurikulum sebaiknya
disesuaikan dengan kebutuhan anak bukan sebaliknya. Oleh karenanya sekolah
sebaiknya sekolah sebaiknya memberikan kesempatan kurikuler yang disesuaikan
dengan kemampuan dan bakat peserta didik.
2. Untuk mengikuti kemajuan
masing-masing anak, prosedur assesmen harus ditinjau. Evaluasi sebaiknya
dilakukan sejalan dengan proses pembelajaran agar siswa dan guru selalu
mendapat informasi tentang penguasaan pelajaran yang sudah dicapai. Dalam
proses pembelajaran, guru yang mengidentifikasi kesulitan yang dihadapi dan
membantu siswa menghadapinya.
3. Kapabilitas seyogyanya
dibangun dan penelitian dilakukan pada taraf regional maupun nasional untuk
mengevaluasi dan mengembangkan pendidikan inklusif.[11]
Proses perkembangan dan tingkat
pencapaian anak autis tidak sama dengan anak normal sebayanya, oleh karena itu
kurikulum unntuk anak autis adalah kurikulum yang berdeferensiasi, artinya kurikulum dapat dipilih, dimodifikasi, dan
dikembangkan oleh guru dengan bertitik tolak pada kebutuhan masing-masing anak
berdasarkan hasil identifikasi. Pemilihan dan modifikasi kurikulum juga
disesuaikan dengan tingkat perkembangann kemampuan anak, dan ketidakmampuannya,
usia anak, serta memperhatikan sumber daya/lingkungan yang ada.
Kurikulum untuk anak autis dititik
beratkan pada perkembanagan kemampuan dasar, yaitu:
1. Kemampuan dasar kognitif
2. Kemampuan dasar bahasa/komonikasi
3. Kemampuan dasar sensomotorik
4. Kemampuan dasar bina diri, dan
5. Sosialisasi
Apabila kemampuan dasar tersebut
dapat dicapai oleh anak dengan mengacu kepada kemampuan anak yang sebaya, maka
kurikulum dapat ditingkatkan pada kemampuan pra akademik dan kemampuan
akademik, yang meliputi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
b.
Pendidik
Pendidik
dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak
didik. Tugas pendidik secara umum adalah mendidik, yaitu mengupayakan
perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi kognitif, afektif atau
psikomotor seoptimal mungkin menurut ajaran Islam.[12]
Menurut
M. Athiyah Al Abrasy, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat berikut ini:
1) Zuhud, yaitu tidak mengutamakan materi,
mengajar dilakukan karena mengharapkan ridha Allah.
2) Memiliki jiwa dan tubuh yang bersih,
jauh dari dosa, rasa iri dan dengki, serta jauh dari sifat-sifat tercela
lainnya.
3) Ikhlas dalam menjalankan tugas.
4) Bersifat pemaaf terhadap muridnya, dapat
menahan diri, dapat menahan marah, lapang hati dan sabar.
5) Kebapakan, yakni mencintai murid seperti
mencintai anak sendiri.
6) Mengetahui karakter murid yang mencakup
kebiasaan, pembawaan, perasaan dan pemikiran.
Pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi,
pendidik dibagi menjadi 2 yakni:
1. Guru Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran adalah guru yang mengajar mata pelajaran
tertentu sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Guru mata pelajaran
bertugas melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran siswa untuk satu
mata pelajaran tertentu. Guru bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan
siswa dalam proses belajar mengajar.
2. Guru Pembimbing Khusus
Guru pembimbing khusus adalah guru yang memiliki latar
belakang pendidikan luar biasa atau pernah mendapat pelatihan khusus tentang pendidikan
luar biasa. Guru pembimbing khusus bertugas membantu guru mata pelajaran dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam sekolah penyelenggara program inklusi, tugas guru pembimbing khusus
mendampingi siswa berkebutuhan khusus ketika pembelajaran berlangsung, dalam
pembahasan ini dikhususkan untuk mendampingi anak autis.
c.
Peserta
didik
Peserta
didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun
psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan.[14]
Pengertian ini menunjukkan bahwa peserta didik
adalah pribadi yang belum dewasa, sehingga memerlukan bimbingan untuk menggali
potensi-potensi yang dimilikinya.
Berkaitan
dengan peserta didik, ada beberapa hal yang harus dipahami, yaitu:
1) Anak didik bukanlah miniatur orang
dewasa, tetapi memiliki dunia sendiri. Oleh karena itu metode, media dan sumber
belajar yang digunakan tidak boleh disamakan dengan orang dewasa.
2) Anak didik mengikuti periode
perkembangan dan pertumbuhan.
3) Anak didik memiliki kebutuhan dan
menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin.
4) Anak didik memiliki perbedaan
individual, baik disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia
berada.
5) Anak didik merupakan kesatuan dari dua
unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6) Anak didik merupakan objek pendidikan
yang aktif, kreatif dan produktif, karena memiliki aktivitas dan kreativitas
sendiri.[15]
Pada sekolah penyelenggara program inklusi, peserta didik terdiri
dari berbagai karakter dan kebutuhan belajar dalam satu kelas, secara umum
peserta didik dibagi menjadi:
a) Siswa normal; Siswa
normal adalah siswa yang memiliki kemampuan standar dan tidak mengalami
kekurangan fisik, emosional, intelektual.
b) Siswa/anak berkebutuhan
khusus; siswa yang memiliki kendala dalam hal emosional, fisik dan intelektual.
Termasuk anak autis, siswa tuna rungu, tuna netra, tuna grahita, tuna laras,
tuna wicara dan lain sebagainya.
d. Metode
Dalam interaksi belajar mengajar, metode pembelajaran
dipandang sebagai salah satu komponen yang ada di dalamnya di mana komponen
yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Metode dalam proses belajar
mengajar dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan materi pelajaran
kepada peserta didik.
Dalam kitabnya yang diterjemahkan Hasan Langgulung,
Al-Syaibani mengemukakan beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam mengenai
definisi metode ini. Mohammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikannya metode
pembelajaran sebagai jalan yang kita ikuti untuk memberi paham kepada
murid-murid dalam segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Metode adalah
rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita
terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas itu. Prof. Abd. Al-Rahim
Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk
menyampaikan sesuatu kepada peserta didik. Adapun Edgar Bruce Wesley
mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi guru yang menyebabkan
terjadinya proses belajar mengajar, hingga pelajaran menjadi berkesan.[16]
Barangkali masih banyak definisi-definisi tentang metode pembelajaran
yang dikemukakan para ahli pendidikan, namun yang penting kita tangkap adalah
makna pokok yang terkandung dalam pengertian metode itu sendiri. Makna pokok
yang disimak antara lain bahwa: (1) Metode pendidikan adalah cara yang
digunakan untuk menjelaskan materi pendidikan kepada peserta didik, (2) Cara
yang digunakan merupakan cara yang tepat guna untuk menyampaikan materi
pendidikan tertentu dalam kondisi tertentu, dan (3) Melalui cara itu diharapkan
materi yang disampaikan mampu memberi kesan yang mendalam kepada peserta didik.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa metode pembelajaran
pendidikan agama Islam adalah cara-cara yang paling cocok untuk dapat digunakan
dalam mencapai hasil-hasil pembelajaran pendidikan agama Islam yang berada
dalam kondisi pembelajaran tertentu.
Mengacu pada kepentingan tersebut, maka metode pembelajaran
paling tidak harus disesuaikan dengan materi, murid, situasi kondisi, media
pengajaran.[17] Karena itu, metode yang digunakan dapat bervariasi. Satu
metode mungkin dapat dinilai baik untuk materi dan kondisi tertentu tetapi
sebaliknya kurang tepat digunakan pada penyampaian materi yang berbeda dan
suasana yang berlainan.
Namun ada ketentuan umum dalam masing-masing metode mengajar,
guru dapat memilih metode yang manakah yang tepat untuk digunakan dalam proses
pembelajaran yang akan dilaksanakan yang berdasarkan kelebihan dan kelemahan
metode yang akan digunakan. Beberapa metode yang dapat dipakai guru dalam
pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam terutama bagi anak autis adalah
sebagai berikut:
1) Metode Tanya Jawab
Adalah suatu metode di mana guru menggunakan atau memberi
pertanyaan kepada peserta didik dan peserta didik menjawab, atau sebaliknya
peserta didik yang bertanya dan guru yang menjawab. Metode tanya jawab ini
dapat dilakukan bersamaan dengan metode ceramah, diskusi, demonstrasi dan
lainnya dengan tujuan untuk lebih meningkatkan kemampuan berpikir dan keaktifan
belajar anak.
Hal yang harus diperhatikan guru ketika menggunakan metode
ini, mengingat dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan berbedabeda
tingkat IQ-nya.
a) Pertanyaan yang diajukan
hendaknya tidak keluar dari pokok bahasan yang sedang dipelajari.
b) Setiap jawaban peserta
didik hendaknya dihargai.
Seperti pada metode ceramah, metode tanya jawab tidak dapat
dipandang baik atau jelek, akan tetapi metode ini akan tepat digunakan apabila:
a)
Guru hendak meletakkan hubungan antara pelajaran yang lalu
yang telah dimiliki siswa dengan pelajaran baru
b)
Guru hendak memberi kesempatan kepada peserta didik menanyakan
hal-hal yang belum dimengerti baik pelajaran yang sedang dipelajari atau
pelajaran yang sudah disampaikan
c)
Apabila guru melihat keadaan peserta didik semakin kurang
tertarik terhadap materi yang diberikan guru
d)
Guru hendak mendorong aktivitas anak dan partisipasinya dalam
pelajaran
e)
Menjelang akhir pelajaran guru hendak mengetahui sejauh mana
peserta didik menguasai bahan yang telah disampaikan.
Walaupun guru sudah menyiapkan secara sungguh-sungguh tentang
pelaksanaan metode ini, tetapi tanya jawab tidak terlepas dari beberapa
keuntungan dan kelemahan. Keuntungan menggunakan metode tanya jawab adalah:
a) Suasana menjadi lebih
aktif.
b) Peserta didik mendapat
kesempatan baik secara individu maupun kelompok untuk menanyakan hal-hal yang
belum dimengerti.
c) Guru dapat mengetahui
bagaimana penguasaan peserta didik terhadap materi yang sedang disampaikan.
d) Mendorong anak untuk
berani mengajukan pendapatnya.
Adapun kelemahan metode tanya jawab adalah sebagai berikut:
a) Pertanyaan yang dari
guru sering menuju kepada pertanyaan yang sifatnya hafalan.
b) Tanya jawab yang
dilakukan terus-menerus akan dapat menyimpang dari pokok bahasan yang sedang
dipelajari.
c) Guru tidak dapat
mengetahui secara pasti apakah anak yang mengajukan pertanyaan itu telah
memahami dan menguasai materi yang telah diberikan.
2)
Metode Resitasi
Metode resitasi (pemberian tugas) sering diartikan sebagai
pekerjaan rumah, akan tetapi sebenarnya resitasi ini mempunyai ruang lingkup
yang lebih luas dibanding dengan pekerjaan rumah karena resitasi adalah
pemberian tugas dari guru kepada peserta didik untuk diselesaikan an
dipertanggungjawabkan. peserta didik dapat menyelesaikan di sekolah, di
perpustakaan, di rumah atau di tempat lain yang kiranya dapat menunjang
terselesaikannya tugas yang dibebankan kepadanya.
Metode resitasi tepat diberikan apabila:
a) Suatu pokok bahasan
tertentu yang membutuhkan latihan atau pemecahan yang lebih banyak di luar jam
pelajaran yang melibatkan beberapa sumber belajar
b) Ruang lingkup bahan
pengajaran terlalu luas sedangkan waktunya terbatas.
c) Apabila guru berhalangan
untuk melaksanakan pengajaran, sedangkan tugas yang harus disampaikan kepada
peserta didik sangat banyak.
d) Suatu pekerjaan terlalu
banyak sehingga tidak mungkin diselesaikan dalam hanya melalui jam pelajaran di
sekolah.[18]
Beberapa kelebihan metode resitasi adalah sebagai berikut:
a) Dapat membangkitkan anak
untuk lebih giat belajar apalagi tugas yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
b) Dapat memupuk rasa
tanggung jawab peserta didik, baik tanggung jawab terhadap tugas yang
diselesaikan maupun kepada guru yang memberi tugas.
c) Dapat memupuk rasa
percaya diri
d) Dapat mengembangkan pola
berpikir, keterampilan maupun efektif peserta didik yang berhubungan dengan
tugas yang diberikan padanya.
Di samping mempunyai kelebihan, resitasi juga mempunyai
kelemahan, antara lain adalah:
a) Tugas-tugas yang
diberikan kepada peserta didik sukar dikontrol oleh guru, sehingga guru sulit
menentukan apakah tugas itu diselesaikan sendiri atau diselesaikan orang lain
yang lebih ahli.
b) Sulit untuk memberikan
tugas yang dapat memenuhi perbedaan individu.
c) Kalau tugas yang
diberikan terlalu sulit bagi peserta didik, maka dapat menurunkan minat belajar
peserta didik itu sendiri.
3)
Metode Demonstrasi
Istilah demonstrasi dalam pembelajaran dipakai untuk menggambar
kan suatu cara mengajar yang pada umumnya menggabungkan penjelasan verbal
dengan suatu tindak kerja fisik atau pengoperasian peralatan, barang atau
benda. Orang yang mendemonstrasikan (guru, peserta didik atau orang luar)
mempertunjukkan sambil menjelaskan tentang:
a) Cara-cara melakukan
kerja fisik atau cara-cara menggunakan peralatan
b) Hal-hal yang harus
diamati/diperhatikan ketika kerja fisik atau penggunaan peralatan itu
diselenggarakan
c) Alasan-alasan mengapa
hal itu dilakukan dan mengapa pula hasilnya demikian
d) Kepentingannya dilakukan
langkah demi langkah dalam demonstrasi tersebut.
Di samping mempunyai beberapa kebaikan, maka demonstrasi juga
tidak terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat membuat demonstrasi
kurang efektif adalah:
a) Apabila tidak direncanakan
secara matang, maka demonstrasi bias terjadi banyak kesulitan, misalnya kurang
waktunya, kesulitan teknis, kurang adanya kesempatan bagi peserta didik untuk
mengadakan Tanya jawab dan lain sebagainya
b) Kadangkala sesuatu
dibawa ke kelas untuk didemonstrasikan terjadi proses yang berlainan dengan
proses yang terjadi dalam situasi yang sebenarnya
c) Demonstrasi menjadi
kurang efektif apabila tidak diikuti secara aktif oleh para peserta didik untuk
mengamati
d) Demonstrasi akan
merupakan metode yang kurang efektif bila alat yang didemonstrasikan itu tidak
dapat diamati secara seksama oleh siswa.[19]
4) Metode Karyawisata
Kadang-kadang dalam proses belajar mengajar siswa perlu diajak
keluar sekolah, untuk meninjau tempat tertentu atau objek yang lain. Hal ini bukan
sekedar rekreasi, tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajaran dengan
melihat kenyataannya.
Metode karyawisata adalah metode yang dilakukan dengan
mengajak peserta didik keluar kelas untuk mengunjungi suatu peristiwa atau
tempat yang ada kaitannya dengan pokok bahasan. Sebelum keluar kelas, guru
terlebih dahulu membicarakan dengan peserta didik tentang hal-hal yang akan
diselidiki, aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan untuk lebih terarahnya
dalam beberapa kelompok sesuai dengan kebutuhan permasalahan yang akan
diselidiki.[20]
Metode ini dipandang perlu untuk pembelajaran anak autis
mengingat kondisi anak autis yang sulit dalam menerima penjelasan dari orang
lain, sulit berkonsentrasi, mudah bosan, suka berjalan-jalan, dan tidak peduli
dengan lingkungan sekitarnya. Penggunaan metode ini diharapkan mampu menarik
perhatian anak autis terhadap objek yang dipelajari sehingga ia dapat belajar
sambil bermain.
Ada beberapa kelebihan dari metode karyawisata:
a) Membuat apa yang
dipelajari di sekolah lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan di
masyarakat
b) Dapat merangsang
kreatifitas siswa
c) Bahan pelajaran lebih
luas dan actual.
Di samping itu, ada beberapa kelemahan metode karyawisata ini
yaitu:
a) Memerlukan fasilitas dan
biaya yang besar
b) Sulit mengarahkan siswa
pada kegiatan studi yang menjadi permasalahan, apalagi dengan jumlah siswa yang
banyak.
c) Terkadang unsur rekreasi
menjadi lebih prioritas dari pada tujuan utama, sedang unsure studinya menjadi
terabaikan.
e. Evaluasi
Secara umum, evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk
melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau,
berharga atau tidak dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi
pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan erat dengan keputusan nilai (value
judgment).[21]
Dalam hubungannya dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
evaluasi lebih diarahkan pada upaya untuk mengetahui dengan jelas dan obyektif
terhadap keberhasilan pembelajaran yang telah dicapai oleh peserta didik
setelah mereka mengikuti kegiatan pembelajaran.
Evaluasi merupakan salah satu unsur penting dalam rangkaian
proses pembelajaran, karena dengan penilaian, maka guru dapat mengetahui sejauh
mana penguasaan materi peserta didik, efektifitas metode yang disampaikan,
keberhasilan materi yang disampaikan dan juga dengan evaluasi akan dapat
memperbaiki proses pembelajaran.
Berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran dalam mencapai
tujuannya adalah dilihat setelah evaluasi terhadap produk yang dihasilkan. Jika
hasil suatu pembelajaran sesuai dengan yang diprogramkan, maka pembelajaran
tersebut dinilai berhasil tetapi jika sebaliknya maka dinilai gagal.
Dalam hubungannya ini, A. Tabrani Rasyan dkk. Sebagaimana yang
dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa evaluasi pembelajaran mempunyai
beberapa fungsi, yaitu:
a) Untuk mengetahui
tercapai tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek
kognitif, afektif dan psikomotor.
b) Sebagai umpan balik yang
berguna bagi tindakan berikutnya di mana segisegi yang sudah dapat dicapai
lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin
dihindari.
c) Bagi pendidik, evaluasi
berguna untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran. Bagi peserta didik,
berguna untuk mengetahui bahwa pelajaran yang diberikan telah dikuasainya. Dan
bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya program-program yang
dilaksanakan
d) Untuk memberikan umpan
balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran dan
mengadakan program remedial bagi peserta didik
e) Untuk menentukan angka
kemajuan atau hasil belajar
f) Untuk menempatkan
peserta didik dalam situasi belajar mengajar yang tepat
Selama proses pembelajaran, guru dapat melaksanakan evaluasi
kepada peserta didik dengan tiga tahap, yaitu dapat dilaksanakan sebelum,
selama dan setelah materi disajikan.
Pelaksanaan evaluasi yang diberikan sebelum materi disajikan
(pre-tes) dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan persepsi
peserta didik terhadap materi yang akan disampaikan, sehingga mudah bagi guru
menentukan dari mana materi harus diberikan kepada peserta didik agar sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.[23]
Pelaksanaan evaluasi yang diberikan selama materi disajikan
(sedang berlangsung) biasanya melalui tes lisan, dengan tujuan-tujuan tertentu,
misalnya untuk membangkitkan motivasi anak pada permasalahan yang sedang di
bahas atau untuk mengetahui apakah materi yang disampaikan sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan anak. Di samping itu, guru juga bisa mengevaluasi
performance siswa dalam mempresentasikan hasil kerjanya serta memberikan
penilaian sikap selama pembelajaran.
Sedangkan evaluasi yang diberikan setelah berakhirnya
penyajian materi (post-tes) mempunyai tujuan untuk mengetahui sejauh mana
penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah disajikan dan juga untuk
keperluan memperbaiki proses pembelajaran.
Untuk mengadakan evaluasi terhadap proses belajar-mengajar,
guru dapat menggunakan beberapa alat evaluasi. Namun pada garis besarnya dari
berbagai alat evaluasi itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1)
Evaluasi Tes
Evaluasi dengan tes ini untuk menilai tentang kemampuan hasil
belajar dan tingkat kecerdasan peserta didik. Dalam pelaksanaannya, guru dapat
melakukannya dengan tiga cara, yaitu: dengan tes tertulis, tes lisan dan tes
perbuatan. Masing-masing cara pelaksanaan tes tersebut memiliki fungsi yang
berbeda.
Tes tertulis diberikan untuk menilai kemampuan hasil belajar
peserta didik dari materi yang luas dan menyangkut dari segi afektif,
psikomotor dan kognitif. Tes lisan biasanya dilaksanakan untuk mengetahui
kemampuan hasil belajar peserta didik secara mendalam dan biasanya dilaksanakan
sebagai pendamping tes tertulis. Sedangkan tes perbuatan dilaksanakan khususnya
untuk mengukur kemampuan segi psikomotor peserta didik misalnya tes untuk
berwudlu, sholat, melafalkan bacaan-bacaan Qur'an dan sebagainya.
2)
Penilaian Dengan Non-tes
Dalam mengevaluasi kemampuan hasil belajar peserta didik,
sikap peserta didik dan tingkah laku peserta didik, disamping guru dapat
menggunakan dengan tes, maka guru dapat pula menggunakan alat nontes. Penilaian
dengan non-tes dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan
pengamatan, daftar cek, skala penilaian, wawancara, kuesioner dan sebagainya.
Secara umum evaluasi dengan non-tes biasanya untuk menilai tentang sikap,
tingkah laku dan kepribadian peserta didik secara menyeluruh.
Evaluasi pendidikan untuk anak autis meliputi:
a) Evaluasi proses;
penilaian guru terhadap anak dalam setiap hari,
b) Evaluasi bulanan;
laporan dari orang tua kepada guru atau sebaliknya,
c) Evaluasi catur wulan;
laporan untuk orang tua berbentuk deskripsi kemampuan anak dengan penilaian
kualitatif.[24]
[2] Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 2008, h. 239
[6] Ramayulis, op. cit., h. 128
[7] M. Athiyah al-Abrasyi, Al- Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Qahirah: Isa al-Habi
al-Halabi, 1969), h.71
[8] Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 1
[11] Budiyanto, Pengantar
pendidikan Inklusif berbasis Budaya Lokal, (Jakarta: Depdiknas, 2005), h. 23
[12] Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet VI: 2005), h 74
Johar Bahri
(Djakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 13
[14] Muhaimin, op.cit.,
h. 177
[15] Ibid, h. 181
[16] Umar Muhammad
al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 551-552
[21] Mimin Haryati, Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h. 15
[24] Ganda Sumekar, Anak Berkebutuhan Khusus; Cara Membantu
Mereka agar Berhasil dalam Pendidikan Inklusif, ( Padang: UNP Press, 2009),
h. 289
Tidak ada komentar:
Posting Komentar