- Anak
Berkebutuhan Khusus
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Dahulu anak berkebutuhan khusus
(ABK) sering disebut anak yang abnormal. Kata abnormal terdiri dari kata benda norm yang maknanya ukuran ditambah
dengan akhiran al yang menunjukkan
kata sifat. Normal berarti sesuai dengan ukuran, adapun awalan Ab menunjukkan keluar atau penyimpangan.[1]
Kata abnormal mempunyai arti keluar atau menyimpang dari yang norma, artinya
berbeda dari rata-rata atau banyak orang. Jadi yang dimaksud anak berkebutuhan
khusus adalah anak-anak yang mengalami penyimpangan, kelainan atau ketunaan
dalam segi fisik, mental, emosi dan sosial, atau gabungan dari hal-hal tersebut
sedemikian rupa sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus,
yang disesuaikan dengan penyimpangan, kelalian, atau ketunaan mereka.
Banyak lagi ahli yang mengemukakan
pendapatnya tentang definisi anak yang berkebutuhan khusus, namun jelas dari
definisi-definisi itu bahwa anak sekedar berbeda dari yang normal tidak disebut
anak yang berkebutuhan khusus sekalipun perbedaannya besar atau banyak. Ia
hanya akan disebut berkebutuhan khusus jika perbedaannya menimbulkan kebutuhan
modifikasi pendidikan untuk mencapai tingkat pendidikan yang sebaik-baiknya.
Anak albino, terpotong daun telinga, berjari enam dan sebagainya tidak disebut
anak berkebutuhan khusus, karena tidak memerlukan modifikasi pelayanan dan pendidikan.
Pendidikan kebutuhan khusus
merupakan disiplin ilmu yang dianggap masih muda dengan akar yang sudah tua,
yang membentang dari kebudayaan kuno mediteraniahingga sejarah modern Eropa.[2]
Disebutkan yang membutuhkan layanan pendidikan khusus, Peserta didik yang
karena internalnya mengalami kecacatan/ kelaianan (disability) seperti
(tungarahita, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, anak berbakat dan
berkecerdasan istimewa, autis, dan
sebagainya).[3]
Ganda Sumekar mengemukakan beberapa
defenisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ditinjau dari beberapa Segi:
1) ABK dari segi Medis
Anak
yang berkelainan atau anak cacat yang dalam peyanan pendidikannya memerlukan
upaya-upaya pelayanan medis berupa pengobatan dan penyembuhan menuju keadaan
sehat jasmani dan rohani agar dapat mencapai tujuan pendidikan seoptimal
mungkin.
2) ABK dari segi Hukum
Anak-anak
yang mengalami kelainan atau anak cacat pada dasarnya mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh layanan pendidikan.
3) ABK dari segi Agama
Baik
ditinjau dari segi agama, dari Undang-undang dan peraturan pemerintah pada
dasarnya mempunyai konsep yang sama bahwa anak luar biasa atau anak
berkebutuhan khusus perlu diberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan
kemampuannya.
4) ABK dari Segi Psikologi
Anak
cacat adalah anak yang mengalami hambatan dalam penyesuaian emosi dan
intelegensi sehingga memerlukan pembinaan dan bimbingan agar dapat mencapai
kestabilan emosi dan intelegensi sesuai dengan kemampuannya.
5) ABK dari segi Sosiologi
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan akibat dari
kelalain/kecacatannya dalam penyesuaian dirinya dengan lingkungan sosialnya
sehingga memerlukan bimbingan dan pembinaan berupa usaha-usaha sosialisasi yang
dapat mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial dalam masyarakat.
6) ABK dari Segi Didaktik
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelalaian/kecacatan yang
pelayanannya memerlukan metode yang berorientasi pada pencapaian tujuan
pendidikan secara optimal sesuai dengan tingkat kecacatan dan kemampuannya. [4]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahawa Anak Berkebutuhan Khusus adalah Anaka yang Cacat secara mental,
fisik, emosional maupun sosial yang mampu dididik baik secara formal maupun informal
pada tingak satuan pendidikan teretntu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Ganda Sumekar,
dalam bukunya Anak Berkebutuhan Khusus, diklasifikasikan ke dalam 3 aspek,
diantaranya:[5]
1) Aspek Psikologis
Sehubungan
dengan usaha-usaha pengklasifikasian anak berkebutuhan khusus, maka orientasinya
lebih dominant pada kemampuan intelektual atau kecerdasan. Sebagai gambaran
berikut ini divisualisasikan tentang klasifikasi tingkat kecerdasan :
Klasifikasi
kecerdasan menurut Wechsler/WISC (Intelegence Classifications)
Intelegence
Quotient IQ)
|
Classification
|
Percent
Included
|
130
and above
120-129
110-1199
90-109
80-89
70-79
69
and above
|
Very
superior
Superior
Bright
Normal
Average
Dull
Normal
Bordeline
Mental
Deffective
|
2,2
6,7
16,1
50,0
16,1
6,7
2,2
|
Kemudian
Klasifikasi menurut Terman sebagai berikut:
Intelegence Quotient IQ)
|
Classification
|
Kemampuan
|
75-85
55-74
20-54
0-19
|
Slow Learner/
Borderline
Moron atau
Debil
Imbecil
Idiot
|
Pendidikan
Umum
Dengan
bimbingan
Mampu dididik
Mampu latih
Perlu rawat
|
Klasifikasi
berdasarkan jenjang pendidikan
Intelegence Quotient IQ)
|
Classification
|
Kemampuan
|
75-85
55-74
20-54
0-19
|
Slow Learner/
Borderline
Moron atau
Debil
Imbecil
Idiot
|
Sekolah normal
dengan bimbingan khusus (kelas khusus di sekolah regular)
SLBC
(tunagrahita ringan)
SLBC1 (tunagrahita sedang) SLB D1 (tunadaksa
sedang)
Day center care
(panti perawatan)
|
Sementara
berdasarkan Educational program for people who care for mentally handicapped
persons. Inter Aid. Lebih lanjut tentang pengelompokkan anak-anak tunagrahita
sebagai berikut:
![]() |
![]() |
Dilihat
dari kemampuan intelektual anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
- Lambat Belajar (Slow
Learner)
Menurut
hasil seminar tentang masalah cacat mental
yang dilaksanakan di Magelang pada tanggal 18 Agustus 1975, yang
dimaksud dengan lambat belajar adalah anak yang berada di ambang batas normal
dengan IQ antara 75-85. mereka memerlukan pelayanan sosial dan pendidikan
secara khusus. Dengan perhatian dan pelayanan khusus, mereka akan dapat
menyelesaikan program pendidikan dasar. Bagi anak yang malas hamper pada tiap
kelas dijalani dalam waktu 2 tahun.
- Mampu Didik
(Debil)
Tingkat
intelegensi anak dari golongan ini sudah tergolong rendah, namun masih dapat
dididik secara khusus dengan program dan metoda yang khusus pula. IQnya antara
50-70. tingkatan intelegensinya sama, seperti anak lain usia 7-12 tahun. Paling
tinggi dapat menyelesaikan pendidikan setaraf dengan sekolah dasar sampai kelas
IV atau kelas V. untk menyelesaikan sampai jenjang kelas VI memerlukan
perjuangan dan pembinaan dari seua pihak yang terkait.
- Mampu latih (Embisil)
Secara
pedagogis tingkat intelegensi anak ini sudah tergolong rendah, tidak mempu
menerima pendidkan secara akademis. Sesuai dengan kemampuannya mereka ahanya
dapat menerima pendidikan secara kebiasaan (habitual). Lebih dititik beratkan
pada pendidikan latihan keterampilan khusus. IQnya antara 25-50. tingkatan ini
sama dengan anak apada umumnya usia 3 sampai 7 tahun. Paling tinggi dapat
menyelesaikan tingkat pendidikan di Sekolah dasar sampai kelas I atau kelas II
(sekedar bisa membaca, menulis dan berhitung/3 R yang sederhana sekali).
- Perlu rawat (idiot)
Ditinjau dari segi
pedagogis tingkat intelegensi anak kelompok ini terlalu rendah. Tidak mampu
menerima pendidikan secara akademis, juga tidak mampu menerima pendidikan
keterampilan. Perkembangan mentalnya sangat sedikit, tidak bisa memahami
sesuatu dan sukar dilatih sesuatu kecakapan, IQ kelompok anak ini kurang dari
25. Tingkat intelegensinya sama dengan anak pada umumnya yang berusia 1-3
tahun.[6]
2) Aspek Fisiologis
Jenis
kebutuhan khusus peserta didik terdiri atas kebutuhan khusus fisik dan/atau
mental, perilaku dan social. Kebutuhan fisik meliputi :
a. Gangguan
penglihatan, adalah kerusakan atau cacat yang mengakibatkan seseorang tidak
dapat melihat (buta) atau orang yang kurang daya penglihatannya.
b. Gangguan
pendengaran, adalah kerusakan atau kelainan pendengaran yang mengakibatkan
seseorang tidak dapat mendengar (tuli) atau orang yang kurang daya
pendengarannya.
c. Gangguan
fisik dan kesehatan, adalah kelainan/cacat tubuh yang mengakibatkan kurang
berfungsinya kemampuan gerak, termasuk motorik, sensorik dan mobilitas.[7]
Anak
dengan masalah intelegensi mental meliputi:
1. Anak
dengan intelegensi do atas rata-rata, dalam UURI Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 5
ayat (4): “anak yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan
pendidikan khusus”. Anak ini biasa disingkat menjadi CIBI.
2. Anak
slow learner
3. Anak
dengan intelektual di bawah rata-rata, yang termasuk dalam jenis anak ini
adalah : anak mampu didik (debil), anak mampu latih (embisil) dan anak perlu
rawat (idiot). [8]
Hal
yang perlu mendapat pertimbangan dalam menetapkan program yang akan diberikan
kepada anak berkebutuhan khusus. Beberapa problem penyerta yang dialami anak
berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut: selain mereka mengalami kelainan
fisik, namun tidak seluruhnya kelaianan fisik saja, tetapi ada gejala lain, hal
ini diakibatkan adanya kerusakan fungsi fisik itu sendiri. Seperti:
a. Retardasi
mental. Akibat adanya kerusakan di otak maka akan mempengaruhi kemampuan mental
intelektual, keterbatasan untuk belajar, penyelesaian sosoal dan tingkah laku,
sehingga kemampuannya lebih rendah dibanding dengan anak pada umumnya.
b. Gangguan
pendengaran. Hal ini terjadi karena kerusakan sentral/tidak jarang anak cacat
otak mengalami hambatan pendengaran, bukan tuli tetapi persepsi pendengarannya
yang terganggu, ia mendengar tetapi tidak mengerti apa yang didengarnya.
c. Gangguan
penglihatan. Terjadi akibat adanya ketidakseimbangan otot-otot mata, misalnya
mata jerang/juling (strabismus).
d. Gangguan
taktil dan kinestetik. Anak berkebutuhan khusus ada yang mengalami kesulitan
untuk mengamati sesuatu melalui fungsi taktilnya demikian pula fungsi
kinestetiknya, dengan demikian meraka mengalami kesulitan dalam merasakan
gerakannya sendiri.
e. Gangguan
body image. Gangguan ini adalah kesulitan untuk merasakan adanya bagian tubuh
sendiri tanpa melihat atau memegang, hal ini akan mengalami kesulitan untuk
melakukan suatu gerakan.
f. Gangguan
persepsi. Gangguan ini kesulitan untuk mengolah rangsangan melalui penglihatan
(visuil), pendengaran (auditory), dan rasa raba (tactile) yang diterimanya.
Mereka mengalami kesulitan di dalam konsep bentuk, ruang, warna, bunyi dan
sebagainya.
g. Gangguan
literalisasi. Gangguan ini mengalami kesulitan dalam menggunakan anggota tubuh
yang dominant. Hal ini terjadi akibat adanya kerusakan yang terjadi pada
hemisphere dominannya.
h. Gangguan
epilepsy (kejang-kejang). Gangguan seperti ini yang dialami oleh anak
berkebutuhan khusus merupakan suatu serangan ulang dari kelainan pusat susunan
syaraf yang terjadi.[9]
3) Aspek Sosiologis
Yang
utama sekali harus dikerjakan oleh guru dalam menghadapi anak berkebutuhan
khusus yaitu membangkitkan sosialisasi anak. Anak dianjurkan saling mengenal
satu sama lainnya, yang penting membina anak sebagai anggota kelompok. Mereka
harus bertingkah laku sesuai dengan harapan orang lain, mencoba menyesuaikan
tingkah laku.
Sebagian
besar proses sosialisasi adalah dengan cara meniru menyamakan dan mencontoh tingkah
laku orang tuanya, gurunya dan kawan-kawannya. Dalam sosialisasi ini bukan
berarti orang tua bukan harus terus menerus melayani anak berkebutuhan khusus,
akan tetapi beberapa kecakapan yang dapat dilakukan anak diserahkan kepada anak
itu sendiri.
Kecakapan
sosialisasi yang dimaksud adalah merupakan pergaulan antara anak dengan orang
lain. Kepada anak dapat ditanamkan tingkah laku yang mesti ditaati seperti :
a. Tidak mengganggu orang lain;
segala tingkah laku anak itu hanya
berdasarkan kepuasan hati pada dirinya sendiri. Apa yang dilakukan hanya untuk
kenikmatan diri sendiri, dia tidak akan peduli dengan keinginan orang lain.
Kadang-kadang dengan adanya anak lain hanya untuk kesenangannya sendiri.
Walaupun anak itu bersama-sama tetapi perhatiannya tetap pada kepuasan diri
sendiri.
b. Tidak menyakiti orang lain;
Suatu barang dapat berubah menjadi suatu
permainan. Anak akan bergaul sesamanya karena peraturan permainan itu. Bagaimana
melaksanakan peraturan itu dilakukan menurut cara-cara sendiri dari masing-masing
anak. Anak tidak akan memperhatikan tingkah laku orang lain, yang dia amati
ialah peraturan tersebut. Sepanjang aturan itu tidak berubah tetap anak
melaksanakan peraturan itu.
c. Tidak mengambil milik orang lain.
Peraturan permainan atau objek diluar dirinya
mulai difikirkan untuk kepentingan bersama sehingga apa yang dapat dikatakan
baik tergantung kepada pendapat orang lain. Keinginan harapan orang lain
menjadi ukuran penyesuaian dalam pergaulan. Kelancaran penyesuaian sosial
tergantung kepada kemampuan intelektual dan anggapan orang tua atau masyarakat
terhadap anak tersebut.[10]
Demikan
uraian mengenai tahapan kemampuan sosialisasi bagi beberapa anak yang terhambat
penyesuaian sosialnya sehingga menjadi kendala. Sebab-sebab adanya penyimpangan
sosial adalah sebagai berikut:[11]
- Keadaan di dalam diri sendiri.
Keadaan
diri anak cacat mengakibatkan penyimpangan penyesuaian social karena
kecacatannya, tubuh/fisiknya yang cacat atau keadaan sensorisnya, hal ini akan
mempengaruhi kepribadiannya.
- Konflik dan proses
perkembangannya.
Di
dalam menjalani proses perkembangn, tiap anak harus melalui beberapa macam
komplikasi yang pada umumnya dapat dilalui dengan lancer dan sukses. Tetapi
juga yang mengalami gangguan atau hambatan dalam mengjhadapi konflik-konflik
tersebut, sehingga tidak dapat dilampaui dengan memuaskan dan menimbulkan
gangguan-gangguan emosi dan tingkah laku.
- Sebab-sebab lingkungan.
- Anak hidup di dalam tiga dimensi
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Yaitu :
1. Lingkungan
keluarga
2. Lingkungan
sekitarnya
3. Lingkungan
sekolah.
Dari
sebab-sebab yang dialami oleh anak tersebut dalam penyesuaian sosialnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
- Anak
yang mengalami penyimpangan sosial
Pada
golongan anak-anak ini gangguan terletak pada perkembangan perasaan dan
sikap-sikap sosialnya. Menurut Cruickshank, anak-anak ini dapat di bagi dalam
beberapa kelompok, yaitu :
1. Anak-anak yang disebut semi socialized,
yaitu mereka yang dapat mengadakan hubungan sosial yang terbatas di dalam
kelompok tertentu;
2. Anak-anak yang dengan tingkatan
sosialisasi yang primitif. Golongan ini terganggu perkembangan sosialnya pada
level yang masih rendah.
3. Anak-anak yang tidak memiliki kemampuan
untuk belajar sosialisasi.[12]
Reiss dalam buku Ganda Sumekar, membedakan
anak dalam tiga type psokologis, yaitu :
1. Relatively integrated delinquent
Anak-anak pada kelompok ini relative mempunyai penyesuaian yang
baik dan hanya menunjukkan tingkah laku yang menyimpang dalam bentuk-bentuk
tertentu, misalnya menyendiri.
2. Delinquent dengan ego control yang lemah
Anak-anak ini adalah anak yang merasa tidak aman, tidak
mempunyai kepercayaan diri sendiri, dan merasa dirinya rendah. Anak-anak ini
juga menunjukkan tingkah laku yang agresif dan sikap permusuhan.
3. Delinquent dengan hambatan pada super
ego control
Pada anak ini sikap sosial dan tingkah laku sosial tidak
berkembang, cirri-ciri anak ini adalah ketidak matangan dalam aspek emosi. [13]
- Anak
yang terganggu emosinya
Anak
ini anak-anak yang sakit mentalnya, pada anak ini dapat diadakan pengelompokan
berdasarkan tingkatan gangguan, yaitu :
1. Anak yang mengalami gangguan emosi yang
bersifat sementara saja dan dapat teratasi dengan sendirinya.
2. Anak-anak yang mengalami gangguan emosi
sehingga mempengaruhi tingkah laku mereka. gangguan yang mereka alami dapat
mempengaruhi prestasi belajar mereka. mereka masih dapat mengikuti pelajaran,
tetapi memerlukan bantuan dari pembimbing/konselor.
3. Anak-anak dengan gangguan yang lebih
parah lagi sehingga praktis mereka sudah tidak dapat mengikuti program sekolah
dan penyesuaian sosial dan mereka terancam. Pada golongan ini yang pertama
diperlukan psikoterapy.
4. Anak-anak yang mengalami gangguan mental
yang sudah parah sekali sehingga penyesuaian sosialnya terganggu, mereka
memerlukan bantuan perawatan khusus.
5. Anak dengan tingkatan sosialisasinya
yang primitive. Golongan ini terganggu perkembangan sosialnya pada level yang
masih rendah.
6. Anak-anak yang tidak memiliki kemampuan
untuk belajar social behavior (tingkah laku sosial).
- Klasifikasi
dan etiologi anak berkebutuhan khusus
Anak
berkebutuhan khusus dapat dibedakan berdasarkan jenis kelainannya. Tiap-tiap
jenis kelainan dapat dibagi lebih lanjut berdasarkan berat ringannya
masing-masing sebagai berikut:
a. Kelainan penglihatan
Kelaianan
penglihatan yang paling berat ialah buta, yang ringan terdiri dari yang rabun
dekat, rabun jauh, astigmatisme dan sebagainya. Kriterianya terletak apda
penangkapan cahaya. Yang disebut buta ialah yang tidak dapat menangkap cahaya
sama sekali. Orang yang masih dapat melihat jari yang bergerak kurang dari satu
meter jauhnya dari matanya, demikian juga yang mempunyau visual acuity
(ketajaman penglihatan) kurang dari 20/200feet belum buta, akan tetapi dalam
pendidikannya dimasukkan ke gelas Braille (untuk yang buta).
Penglihatan
yang normal dapat melihat cahaya yang punya gelombang antara 380 nanometer
(violet) dan 760 nanometer (merah).
b. Kelainan pendengaran
Kelainan
pendengaran yang paling berat ialah tuli sama sekali. Dalam bahasa sehari-hari
orang yang hanya dapat menangkap suara keras disebut tuli (pekak). Dalam
pendidikan luar biasa yang disebut tuli hanyalah yang tidak dapat menagkap
suara sama sekali, sekalipun dibantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
Anak yang masih dapat mendengar suara sekalipun suara keras atau dibantu dengan
alat bantu dengar (hearing aid) disebut kurang pendengaran. Suara keras oleh
mereka terdengar lemah. Jadi berkurang selisih ini disebut kehilangan
pendengaran. Keras lemahnya suaradihiting dengan satuan decibel (disingkat dB).
decibel adalah ratio antara tekanan suara dengan tekanan yang terjadi pada
ambang pendengaran orang normal. Jadi 20 deciBel adalah 10 kali tekanan pada
ambang pendengaran, 40 dB adalah 100 kali, 60 dB adalah 100 kali, 120 dB adalah
sejuta kali. Orang yang sedang bercakap-cakap menggunakan suara antara 50-70
dB, suara berbisik 20 dB, suara petir ialah 120 dB. Satuan nada ialah Hert
(jumlah getaran dalam jarak satu meter). Pendengaran normal dapat menangkap
nada antara 20 sampai 20.000 Hz, suara yang paling jelas ialah antara 1000
hingga 4000Hz. [14]
c. Kelainan Bicara
Kelainan
bicara yang paling keras adalah bisu/gagu, yang ringan terdiri dari berbagai
kelainan. Adapun batas antara anak-anak yang mengalami kelainan bicara dengan
yang normal adalah anak-anak/orang yang cacat bicara memaksa pemerhati/lawan
bicara untuk memperhatikan cara bicaranya dalam menangkap isi pembicaraannya.
Dalam
kaitannya dalam kelainan bicara berbagai kalainan yang akan kita temukan di
lapangan antaranya stuttering (gagap), disartria (kelainan artikulasi), afasia
(kehilangan bahasa), kelambatan berbicara dibanding dengan usianya (delayed
speech).
Anak
yang berbicaranya sepotong-potong misalnya bola diucapkan ia (short memory
span), dan tidak jarang kita temukan anak dengan autism yaitu yang mempuanyai
karakteristik bicara khas.[15]
d. Kelainan kecerdasan
Kalianan
kecerdasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami perkembangan dan
kemampuan intelektual yang terbelakang. Keterbelakangan mental menyangkut
tingkatan operasional dari kecerdasan seseorang. Terman mengemukakan bahwa
keterbelakangan mental dapat ditafsirkan menurut tingkatan keterbelakangannya :
1. Idiot,
yaitu mereka yang mempunyai IQ antara 0-20 atau 25 kelompok ini disebut totally
dependent, karena tidak dapat belajar memelihara diri sendiri dan hanya memerlukan
perawatan (perlu rawat).
2. Imbesil,
yaitu anak yang memiliki IQ antara 20/25-50/55. Mereka dikatakan mampu latih
(trainable), karena mereka tidak dapat belajar membaca, menulis dan hanya dapat
dilatih dalam kebiasaan sehari-hari.
3. Moron
atau debil, mereka yang mempunyai IQ antara 50/55-70/75. Mereka masih dapat
diberi pelajaran setaraf SD dan disebut mampu didik (educable).
4. Slow
learner atau berder line mempunyai IQ di bawah rata-rata yaitu 75 atau 85.
Mereka ini tidak termasuk terbelakang mental dan juga tidak termasuk normal.[16]
e. Kelainan tubuh atau fisik
Kelainan
yang Nampak pada anak kelainan tubuh ini yang mencolok adalah masalah gerak
yaitu adanya kelainan daripada gerak. Kata lain dari anak dari kelompok ini
adalah tunadaksa yang meliputi :
1. Orthopedically handicapped, yaitu
anak-anak yang mempunyai deformity yaitu mengganggu fungsi normal dari tulang,
otot atau persendian.
2. Neurological handicapped, yaitu cacat tubuh yang disebabkan oleh
gangguan-gangguan fungsi syarat karena adanya gangguan di otak.[17]
f. Kalainan penyesuaian sosial
Anak-anak
dengan gangguan emosi dan perkembangan sosial, mereka dimasukkan dalam golongan
yang sulit menyesuaikan diri dengan norma-norma atau kenyataan. Tingkah laku
yang mereka lakukan misalnya mencuri, merusak, menyakiti, dan sebagainya. Dalam
golongan anak-anak ini termasuk anak-anak yang disebutjuvenille delinquent yang
artinya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dianggap melanggar hukum dan
dilakukan oleh anak-anak yang belum mencapai kedewasaan.
Anak-anak
dengan gangguan perkembangan sosial termasuk di dalamnya adalah anak autism,
yaitu anak yang memiliki cirri asik dengan dirinya sendiri. Disamping itu ada
juga anak yang memiliki gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas, dalam
bahasa inggris dikenal dengan ADHD (attention devicite and Hiperactivity
disorder).
Factor-faktor
yang terjadi pada prenatal, natal dan post natal, dapat mengakibatkan seseorang
dilahirkan dengan mengalami kelainan/luar biasa. Pengaruh keturunan disebut
factor endogen diwariskan melalui kromosom dan sel keturunan. Hal-hal yang
bukan keturunan banyak, misalnya: infeksi, virus, anoxia, anemia ibu, blood
incompatibility dan sebagainya.
Data-data mengenai jumlah anak
berkebutuhan khusus banyak ragamnya, salah satu diantaranya mengatakan
kira-kira 12% jumlah anak sekolah adalah anak berkebutuhan khusus.[18]
3. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus
A. Intelektual di bawah rata-rata
Anak dengan intelektual dibawah
rata-rata (retardasi mental) atau disebut juga dengan tunagarhita adalah anak
yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental
intelektual jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan
dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan
layanan pendidikan kebutuhan khusus.[19]
Anak-anak yang mengalami lamban belajar
memiliki cirri-ciri:
1) Daya tangkap terhadap pelajaran lambat
2) Sering lambat dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik
3) Rata-rata prestasi belajar selalu
rendah, dan
4) Pernah tidak naik kelas[20]
Untuk memberikan layanan bagi siswa yang
mengalami gangguan in telektual maka ada beberapa hal yang harus diperlukan,
diantaranya:
a) Guru yang efektif bagi siswa bergangguan
intelektual
Dalam
prinsip guru yang efektif ini Wong, Kauffman dan Lloyd yang dikutip Ganda Sumekar disebutkan ciri-cirinya antara lain:
1) Punya harapan bahwa siswa akan berhasil
2) Memberi pengawasan yang sering pada
tugas-tugas sekolah siswa serta member umpan balik
3) Memeberikan penjelasan standar-standar,
arah-arah, dan harapan-harapan pembelajaran
4) Fleksibel dalam menangani siswa
5) Mempunyai komitmen dalam memperlakukan
tiap siswa
6) Bersikap responsif terhadap pertanyaan
dan komentar siswa
7) Melakukan pendekatan tersusun dengan
baik dalam pengajaran
8) Bersikap hangat, sabar, humoris kepada
siswa
9) Bersifat teguh dan konsisten dalam
pengaharapan-pengaharapan
10) Mempunyai pendekatan-pendekatan
pengaturan berbagai sikap
11) Bersikap terbuka dan positif terhadap
perbedaan dan kelainan anak-anak dan orang dewasa
12) Mempunyai kemauan kerjasama dengan
gurupendidikan khusus dan bersikap responsive dalam membantu orang lain
13) Mempunyai rasa percaya diri dan
kompetensi sebagai seorang guru
14) Punya rasa keterlibatan professional
yang tinggi serta pemuasan professional
b) Menajemen dan disiplin kelas
1) Guru dan siswa menggunakan waktu secara
efisien
2) Siswa-siswa tidak menunggu untuk meminta
bantuan
3) Siswa-siswa hanaya mengggunakan sedikit
waktu dalam melakukan perpindahan dari satu aktifitas ke aktivitas lainnya
4) Tidak banyak yang diperlukan untuk
menegakkan disiplin
5) Guru jarang melakukan hukuman
6) Penaganan-penaganan khusus lainnya tidak
diperlukan dalam mengatur sikap
c) Umpan balik selama pembelajaran
1) Guru memberikan umpan balik positif bagi
siswa untuk mendapatkan sikap dan prestasi yang layak
2) Guru membantu siswa menemukan jawaban
yang benar bila jawabannnya salah
3) Guru mengindari umpan balik yang negatif
kepada siswa, serta menghindari kritik kepada siswa dan tugas mereka
d) Pengembangan pembelajaran yang tepat
1) Guru memberikan tugas-tugas pada tingkat
kesulitan yang layak bagi setiap siswa
2) Siswa dapat melakukan setiap tugas
dengan sedikit kesalahan
3) Siswa dapat diberikan nilai tinggi
terhadap jawaban yang benar dari tugas dan pertanyaan guru
4) Guru dan murid berinteraksi sangat
positif yang berhubungan dengan tugas pengajaran
e) Suasana pembelajaran yang kondusif
1) Guru melakukan penangan yang mendukung
ketimbang menuduh
2) Guru merespon dengan perhatian dan
pemahaman kepada siswa yang mempunyai tingkat kemampuan lebih rendah
3) Guru lebih mendukung bila siswa
mempunyai suatu masalaha pembelajaran
4) Siswa percaya pada guru dan mau meminta
bantuan
5) Rasa percaya diri siswa terhadap
kemampuan dalam belajar meningkat
6) Tingkat dan kualiatas proses
pembelajaran siswa menjadi kokoh.[21]
B. Gangguan Prilaku
Gangguan-gangguan perhatian dan hyper
aktivitas diberi kategori tunggal, yaitu attention deficit/ hyperactivitiy
disorders (ADHD) oleh American Psyciatric Association dalam diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders tersebut tidak
membedakan antara keduanya dikarenakan kurang bukti bahwa hyperactivity dan
attention deficits merupakan kategori perilaku yang berbeda.[22]
Berikut beberapa layanan yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami gangguan perilaku:
1. Mengatasi masalah emosi dan prilaku
Ganda sumekar mengutif pendapat Sabatino
tentang berapa cara dianjurkan dalam menciptakan susana kelas yang dapat
meningkatkan sikap-sikap positif dan membantu mencegah sikap-sikap negatif:
a) Buatlah
harapan-harapan akademis dan prilaku siswa yang anda inginkan sejelas mungkin
bagi mereka
b) Tunjukkan
pada siswa bahwa anda jujur dalam berhubungan dengan mereka
c) Berikan
perhatian dan pengakuan pada siswa atas sifat-sifat dan prestasi yang positif.
Suatu aturan yang baik adalah menemukan suatu yang positif untuk dinyatakan
kepada siswa setiap hari
d) Buatlah
contoh sikap, kebiasaan kerja, dan hubungan yang positif
e) Persiapan
pola pengajaran dan berikan kurikulum yang tersusun dengan baik
f) Buatlah
Susana kelas yang dapat diterima, baik secara fisik maupun sosial.[23]
2. Keterampilan menajemen diri
(self-menagement skill)
Menurut
Alberto dan Troutman seperti yang dikutip Ganda sumekar menyatakan beberapa
cara menajemen diri dapat dicoba kepada siswa-siswa dikelas-kelas inklusif,
adalah:
a) Pemantauan diri (self-monitoring)
Teknik
pemantauan diri (self-monitoring) telah dipakai dalam berbagai cara-cara yang
strategis dalam mengubah dan menyusun sikap-sikap di kelas. Termasuk mengubah
pola pengajaran siswa agar sadar dan mencatat seberapa sering mereka tidak
masuk kelas, jumlah waktu mereka bercakap-cakap diluar kelas, jumlah waktu
mereka melakukan tindakan agresif terhadap orang lain, dan jumlah waktu mreka
melakukan tugas-tugas akademis
b) Intervensi diri (self-inrevention)
Setelah
mereka sadar akan sikap diri mereka sendiri dan dampaknya terhadap orang lain,
mungkin penting mengajari mereka cara memberikan penghargaan diri mereka
sendiri secara sistematis bagi perubahan dalam sikap tersebut, seperti
pemberian bintang emas, sertifikasi prestasi yang diperlihatkan kepada orang
tua mereka
c) Pengarahan diri (self-instruction)
Menurut
J. David Smith yang dikutip oleh Ganda Sumekar, ada beberapa latihan-latihan
dalam mengajarkan mereka menganalisis masalah serta mengembangkan solusi yang
tepat bagi masalah-masalah tersebut, meliputi:
1) Mengenali
masalah (apa yang telah diminta untuk saya kerjakan?)
2) Menciptakan
solusi yang mungkin (cara apa yang dapat
saya lakukan)
3) Analisis
solusi-solusi yang mungkin (solusi apa yang nampaknya sangat tepat bagi sesuatu
yang telah diminta untuk dilakukan?)
4) Berusaha
memecahkan masalah (bagaimana memilih suatu solusi yang dapat dilakukan?
5) Nilailah
apakah solusi itu berhasil (apakah ini membantu untuk menyelesaikan tugas
secara berhasil?)
3. Penerapan analisis prilaku
Dalam
beberapa kasus, sikap-sikap tidak pantas siswa yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku mungkin membutuhkan penanganan konsultan pendidikan khusus, yang dapat membantu gru
kelas dalam menganalisis sifat dasar sikap-sikap tersebut, serta member bantuan
dalam mengembangkan strategi-strategi penanganan. Berikut beberapa kemungkinan
pertanyaan yang akan diajukan:
a) Seberapa
seringkah perilaku itu terjadi ? kapan berakhirnya ketika itu terjadi? Seberapa
beda perilaku ini dalam frekwensi dan durasi disbanding anak lain dikelas? Apa
yang mengakibatkan munculnya perilaku ini? Adakah factor-faktor yang membuat
perilaku ini semakin intensif? Adakah factor-faktor yang menguranginya?
b) Bagaimana
asal-mulanya masalah ini? Sudah berapa lama siswa mempunyai perilaku ini?
Berkembangkah perilaku itu kini? Apakah itu muncul atau menjadi besar sekarang
ini dikarenakan perubahan kondisi siswa? Apakah sikap ini berhubungan berhubungan
dengan mata pelajaran atau aktifitas
tertentu di sekolah? Apakah itu muncul berhubungan dengan kecemasan tertentu
atau pola-pola kegagalan akademis?
c) Sebagian
hasil pertanyaan-pertanyaan ini, suatu gambaran mungkin muncul bagi
masalah-masalah dan pola-pola yang perlu dibicarakan untuk memudahkan kelas
berfungsi secara layak dan berhasil. Suatu rencana penganan dapat dibuat yang
memuat pengawasan konsekwensi-konsekwensi dari sikap tersebut yang sudah
diketahui sebagai masalah. Pilihan penguatan-penguatan yang positif dalam dalam
meningkatkan sikap-sikap yang diinginkan atau solusi-solusi untuk mencegah
menguatnya sikap-sikap yang tidak diinginkan berdasarkan atas analisis ini.
4. Latihan ketrampilan sosial
(skillsteaming)
Berikut
beberapa program-program ini meliputi unsure-unsur:
a) Peniruan/ modeling
b) Bermain peran/ role playing
c) Umpan balik untu kerja/ performance
feedback
d) Mengalihkan keterampilan latihan/
transfer of training
5. Partisipasi keluarga
Menurut
Welkowitz seperti yang dikutip Ganda Sumekar, Para orang tua melaporkan bahwa,
dengan bertambahnya tingkat komunikasi dan berbagai informasi, proses kerja tim
ini dapat ditindak lanjuti di rumah pada program pendidikan anak. Proses kerja tim
ini dapat ditindaklanjuti di rumah pada program pendidikan anak. Proses kerja
tim ini juga memungkinkan guru belajar dari orang tua.
6. Latihan prilaku kognisi (cognitive
behavioral training)
Latihan
perilaku kognisi ini merupakan suatu kumpulam cara-cara perubahan sikap dan
strategi pengajaran lainnya. Cara ini menitik beratkan pada penggunaan mediasi
verbal dalam meningkatkan sikap-sikap. Berikut ini suatu contoh latihan
perilaku kognisi sebagaimana yang dikutip Ganda Sumekar pendapat J. David
Smith, antara lain:
Langkah 1 : berhentilah
dan fikirkan sebelum bertindak, tahan keinginan bertindak tanpa berfikir
Langkah 2 : katakana
pada diri sendiri bagaimana persaan anda dan apa masalah bagi anda, tentukan
masalahnya
Langkah 3 : pikirkan
solusi masalah sebanyak mungkin, perhatikan alternative-alternatif terhadap
cara anda bertindak lanjut sebelumnya
Langkah 4 : pikirkan
lagi terhadap kemungkinan jika anda menggunakan alternatif, perhatikan
konsekuensi yang mungkin bagi sikap anda
Langkah 5 : ketika
anda mendapatkan alternatif yang terbaik, cobalah, bertindaklah. [24]
7. Kolaborasi teman sebaya (peer
collaboration)
Bentuk
kerjasama teman sebaya lain yang dapat
berguna bagi siswa di kelas Inklusif
adalah perantara teman sebaya (peer mediation). Teknik ini menyangkut
latihan siswa dalam menengahi perbedaan-perbedaan di antara teman-teman mereka.
Penegangah dilakukan saat latihan dalam teknik-teknik resolusi konflik
8. Sikap guru
Sesuatu
yang penting dalam keberhasilan inklusi siswa penyandang hambatan emosi dan
perilaku di kelas-kelas regular adalah sikap-sikap guru yang mengatur
kelas-kelas itu.
Menurut
J. David Smith yang dikutip Ganda Sumekar, menuturkan beberapa sikap yang telah
diidentifikasi yaitu:[25]
a) Fleksibel
dalam harapan-harapan akademis, mengetahui bahwa siswa belajar berbeda-beda,
pada tingkat-tingkat berbeda pula.
b) Fleksibel
dalam harapan-harapan perilaku, berkeinginan untuk menangani siswa kearah
kemampuan sikap dan sosial yang meningkat
c) Sikap
humor, mampu memperlihatkan sikap humornya di kelas dan bias tertawa bersama
dengan siswa oleh humor-humor tersebut. [26]
C. Autisme
Istilah Autisme berasal dari kata autos
(bahasa Yunani) yang berarti self atau ‘diri sendiri’. Jadi penyandang autism
pada dasarnya seseorang yang cenderung menikmati kegiatan dengan dirinya sendiri.[27]
Beberapa perilaku dibawah merupakan ciri
khas dari anak-anak autis:
1) Kesulitan dengan komunikasi verbal
maupun non verbal
2) Kesulitan melakukan interaksi sosial
3) Bertingkah laku sama terus-menerus, dan
memili ketertarikan yang sempit serta obsesif.
[28]
Menurut
PA (American Psychiatric Assosiation) telah menetapkan krikteria Diagnostik Gangguan Spektrum Autisme,
berdasarkan Statistical Manual of Mental Disorder IV, lebih lanjut sebgaaimana
yang dikutip Kak Kresno sebagai berikut:
1. Harus
ada sedikit gejala dari (1), (2), dan (3):
a) Gangguan
kualitatif dalam interaksi sosial yang timbale balik. Minimal harus ada 2 dari
gejala gejala di bawah ini:
1) Tidak
mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kontak mata sangat kurang,
ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.
2) Tidak
bisa bermain dengan teman sebaya (sesuai dengan usia anak)
3) Tidak
bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain
4) Kurangnya
hubungan sosial dan emosional yang timbal-balik
b) Gangguan
kualitatif dalam bidang komunikasi, seperti ditunjukkan minimal 1 dari
gejala-gejala dibawah ini:
1) Bicara
terlambat atau bahkan sama seklai tidak berkembang (tak ada usaha un tuk mengimbangi
komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)
2) Bila
bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
3) Sering
menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
4) Cara
bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bias meniru.
c) Ada
suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulangi dalam perilaku, minat dan
kegiatan. Sedikitnya harus ada 1 dari gejala di bawah ini:
1) Mempertahankan
satu minat atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebih-lebihan
2) Ada
gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
3)
Sering kali
sangat terpukau pada bagian-bagian benda
2. Gejala-gejala
di atas timbul sebelum usia 3 tahun, dan adanya keterlambatan/ gangguan dalam
bidang:
1) Interaksi
sosial
2) Bicara/
bahasa
3) Cara
bermain baik simbolik atau imajinatif
3. Tidak
termasuk sindroma Rett, gangguann disintegrasi masa kanak, dan Sindroma
Asperger. [29]
Dalam
persiapan anak autis untuk memasuki sekolah regular, maka dalam pembuatn sebuah
kurikulum, perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu:
a) Materi atau aktivitas yang diajarkan
harus dimulai dengan kepatuhan dan kontak mata. Keduanya harus dikuasai anak
dengan baik, semakin konsisten, semakin baik
b) Kemudian, ajarkan kemampuan menirukan
dan berlanjutke kemampuan bahasa reseptif atau kognitif. Lanjutkan terus kek
kemampuan bahasa ekspresif. Perlu diketahui bahwa kadang-kadangdijumpai anak
autis yang lebih mudah memahami bahasa reseptif daripada menirukan. Bila hal ini
terjai urutan yang biasa boleh saja dimodifikasi
c) Kemampuan akademik baru diajarkan
apabila kemampuan bahasa reseptif telah dikuasai anak
d) Pada awal terapi mulailah dengan jumlah
aktivitas yang kecil
e) Bil ternyata kemampuan anak tinggi,
jumlah aktivitas yang diajarkan boleh disesuaikan
f) Urutan aktvitas yang diajarkan sebaiknya
konsisten agar lebih mudah dikuasai anak
g) Perlu diingat bahwa cara mengajarkan
tiap aktivitas adalah dengan siklus DTT.[30]
Kecuali kepatuhan dan kontak mata yang diajarkan dengan cara DTT yang khusus. [31]
Adapun
layanan pendidikan bagi penderita Autis ini pada program inklusi dengan daya
ukur keberhasilan bila ada:
a) Keterbukaan
dari sekolah umum
b) Test
masuk tidak didasari hanya oleh test IQ untuk anak normal
c) Peningkatan
SDM/guru terkait
d) Proses
shadowing/ dapat dilaksanakan guru pendamping khusus (GPK)
e) Idealnya
anak berhak memilih pelajaran yang ia mampu saja (mempunyai IEP/ program
pendidikan individu sesuai dengan kemampuannya)
f) Anak
dapat tamat (bukan lulus) dari sekolahnya karena telah selesai melewati
pendidikan di kelasnya bersama-sama teman sekelasnya/peers.
g) Tersedianya
tempat khusus (special unit) bila anak memerlukan terapi 1:1 di sekolah umum. [32]
Menurut
Yosfan Azwandi, sebaiknya anak autistk didampingi oleh seorang guru pembimbing
khusus (GPK) dan guru pendamping/shadow. Guru pembimbing khusus adalah
ortopedagog (tenaga ahli PLB) yang bertugas sebagai:
a) Konsultan dalam menangani anak
b) Ikut serta dalam merencanakan program
pembelajaran
c) Memonitor pelaksanaan program
pembelajaran
d) Mengevaluasi pelaksanaan program
pembelajaran.[33]
Anak
autisme mempunyai cara berfikir yang berbeda dan kemampuan yang tidak merata
disemua bidang, misalnya pintar matematika, tapi tidak suka menulis dsb. Ciri
khas anak autisme sebagai berikut:
a) Anak
tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang lain
b) Anak
tidak mempunyai empati dan tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya
c) Pemahaman
anak sangat kurang, shingga apa yang ia baca sukar dipahami. Misalnya dalam
bercerita kembali dan soal berhitung yang menggunakan kalimat
d) Anak
kadang mempunyai daya ingat yang sangat kuat, seperti perkalian, kalender, dan
lagu-lagu
e) Anak
lebih mudah belajar memahami lewat gambar-gambar (visual-learners)
f) Anak
belum dapat bersosialisasi dengan teman sekelasnya, seperti sukar bekerjasama
dalam kelompok, bermain peran dsb.
g) Anak
sukar mengekspresikan perasaannya, seperti mudah frustasi bila tidak dimengerti
dan dapat menimbulkan tantrum. [34]
Akibat
dari gangguan saraf yang di deritanya, seringkali anak autis mengalami kesulitan
belajar, yang mempengaruhi kemampuannnya menyimpan, memproses, atau memproduksi
informasi. Walaupun intelegensinya tergolong tinggi atau cukup, kesulitan
belajar membuat anak lemah atau mempunyai masalah dalam satu atau beberapa mata pelajaran di
sekolah, misalnya membaca, menulis, bahasa, matematika, IPS, atau geografi.
Saat
itulah anak membutuhkan terapi remedial. Biasanya, terapi ini diberikan bagi
anak yang mengalami kesulitan belajar atau specific learning disability
sehingga terapis harus memberikan remediasi atau pengulangan kembali
konsep-konsep atau materi yang diberikan sekolah mulai dari awal, secara one on
one atau satu guru satu murid.[35]
Dengan adanya terapi ini diharapkan siswa dapat mengingat kembali pelajaran
yang telah dipelajari dengan guru di kelas.
[2]Tarmansyah, Inklusi
Pendidikan Untuk Semua, (Padang: DIKTI; 2006), h.107
[3] Direktoral PSLB, Profil
Pendidikan Inklusif Indonesia, (Kemendiknas:2010), h. 16
[14] Ganda Sumekar, Op
Cit, lihat halamn 25-28
[20]Kementrian Pendidikan
Nasional, Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, (Jakarta:Kemendiknas,
2010), Edisi Revisi, h. 42
[23] Ibid, h. 223
[24] Ganda Sumekar, Op. Cit, h.228
[25] Ganda Sumekar, Op. Cit, h. 229
[26] Ibid, lihat
halaman 223-230
[27] Kak Kresno, Autism
is treatable, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo;2011), h. 13
[28] Simone Griffin dan
Dianne Sandler, Motivate To Communate, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2010), h.2
[30] DTT: adalah
kependekan dari Discreat Trial Training. Adalah salah satu teknik utama ABA.
ABA mempunyai prinsip dasar metodenya dengan cara pendekatan kepada anak
seperti; Kehanagatan, Tegas, Tanpa Kekerasan, Bantuan/ arahan, apresiasi dengan
imbalan.
[31] Y. Handojo, Autisme
Pada Anak, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer;2009), h.254
[33] Yosfan Azwandi, Mengenal
dan Membantu Penyandang Autisme, (Jakarta: DIKTI; 2005), h. 140
[35] Bonny Danuatmaja, Terapi
Anak Autis di Rumah, (Jakarta: Puspa Swara; 2005), Cet ke-3, h.176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar