Cari Blog Ini

Minggu, 29 April 2018

Anak Berkebutuhan Khusus


  1. Anak Berkebutuhan Khusus
1.      Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Dahulu anak berkebutuhan khusus (ABK) sering disebut anak yang abnormal. Kata abnormal terdiri dari kata benda norm yang maknanya ukuran ditambah dengan akhiran al yang menunjukkan kata sifat. Normal berarti sesuai dengan ukuran, adapun awalan Ab menunjukkan keluar atau penyimpangan.[1] Kata abnormal mempunyai arti keluar atau menyimpang dari yang norma, artinya berbeda dari rata-rata atau banyak orang. Jadi yang dimaksud anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami penyimpangan, kelainan atau ketunaan dalam segi fisik, mental, emosi dan sosial, atau gabungan dari hal-hal tersebut sedemikian rupa sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus, yang disesuaikan dengan penyimpangan, kelalian, atau ketunaan mereka.
Banyak lagi ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang definisi anak yang berkebutuhan khusus, namun jelas dari definisi-definisi itu bahwa anak sekedar berbeda dari yang normal tidak disebut anak yang berkebutuhan khusus sekalipun perbedaannya besar atau banyak. Ia hanya akan disebut berkebutuhan khusus jika perbedaannya menimbulkan kebutuhan modifikasi pendidikan untuk mencapai tingkat pendidikan yang sebaik-baiknya. Anak albino, terpotong daun telinga, berjari enam dan sebagainya tidak disebut anak berkebutuhan khusus, karena tidak memerlukan modifikasi pelayanan dan pendidikan.
Pendidikan kebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang dianggap masih muda dengan akar yang sudah tua, yang membentang dari kebudayaan kuno mediteraniahingga sejarah modern Eropa.[2] Disebutkan yang membutuhkan layanan pendidikan khusus, Peserta didik yang karena internalnya mengalami kecacatan/ kelaianan (disability) seperti (tungarahita, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, anak berbakat dan berkecerdasan  istimewa, autis, dan sebagainya).[3]
Ganda Sumekar mengemukakan beberapa defenisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ditinjau dari beberapa Segi:
1)      ABK dari segi Medis
Anak yang berkelainan atau anak cacat yang dalam peyanan pendidikannya memerlukan upaya-upaya pelayanan medis berupa pengobatan dan penyembuhan menuju keadaan sehat jasmani dan rohani agar dapat mencapai tujuan pendidikan seoptimal mungkin.
2)      ABK dari segi Hukum
Anak-anak yang mengalami kelainan atau anak cacat pada dasarnya mempunyai hak yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan.
3)      ABK dari segi Agama
Baik ditinjau dari segi agama, dari Undang-undang dan peraturan pemerintah pada dasarnya mempunyai konsep yang sama bahwa anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus perlu diberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
4)      ABK dari Segi Psikologi
Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan dalam penyesuaian emosi dan intelegensi sehingga memerlukan pembinaan dan bimbingan agar dapat mencapai kestabilan emosi dan intelegensi sesuai dengan kemampuannya.
5)      ABK dari segi Sosiologi
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan akibat dari kelalain/kecacatannya dalam penyesuaian dirinya dengan lingkungan sosialnya sehingga memerlukan bimbingan dan pembinaan berupa usaha-usaha sosialisasi yang dapat mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial dalam masyarakat.
6)      ABK dari Segi Didaktik
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelalaian/kecacatan yang pelayanannya memerlukan metode yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan secara optimal sesuai dengan tingkat kecacatan dan kemampuannya. [4]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahawa Anak Berkebutuhan Khusus adalah Anaka yang Cacat secara mental, fisik, emosional maupun sosial yang mampu  dididik baik secara formal maupun informal pada tingak satuan pendidikan teretntu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

2.      Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Ganda Sumekar, dalam bukunya Anak Berkebutuhan Khusus, diklasifikasikan ke dalam 3 aspek, diantaranya:[5]
1)      Aspek Psikologis
Sehubungan dengan usaha-usaha pengklasifikasian anak berkebutuhan khusus, maka orientasinya lebih dominant pada kemampuan intelektual atau kecerdasan. Sebagai gambaran berikut ini divisualisasikan tentang klasifikasi tingkat kecerdasan :
Klasifikasi kecerdasan menurut Wechsler/WISC (Intelegence Classifications)
Intelegence Quotient IQ)
Classification
Percent Included
130 and above
120-129
110-1199
90-109
80-89
70-79
69 and above
Very superior
Superior
Bright Normal
Average
Dull Normal
Bordeline
Mental Deffective

2,2
6,7
16,1
50,0
16,1
6,7
2,2




Kemudian Klasifikasi menurut Terman sebagai berikut:

Intelegence Quotient IQ)
Classification
Kemampuan
75-85

55-74
20-54
0-19
Slow Learner/ Borderline

Moron atau Debil
Imbecil
Idiot

Pendidikan Umum
Dengan bimbingan
Mampu dididik
Mampu latih
Perlu rawat
Klasifikasi berdasarkan jenjang pendidikan
Intelegence Quotient IQ)
Classification
Kemampuan
75-85


55-74
20-54

0-19
Slow Learner/ Borderline

Moron atau Debil
Imbecil

Idiot

Sekolah normal dengan bimbingan khusus (kelas khusus di sekolah regular)
SLBC (tunagrahita ringan)
SLBC1 (tunagrahita sedang) SLB D1 (tunadaksa sedang)
Day center care
(panti perawatan)










Sementara berdasarkan Educational program for people who care for mentally handicapped persons. Inter Aid. Lebih lanjut tentang pengelompokkan anak-anak tunagrahita sebagai berikut:
 




 








Dilihat dari kemampuan intelektual anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan sebagai berikut :
    1. Lambat Belajar (Slow Learner)
Menurut hasil seminar tentang masalah cacat mental  yang dilaksanakan di Magelang pada tanggal 18 Agustus 1975, yang dimaksud dengan lambat belajar adalah anak yang berada di ambang batas normal dengan IQ antara 75-85. mereka memerlukan pelayanan sosial dan pendidikan secara khusus. Dengan perhatian dan pelayanan khusus, mereka akan dapat menyelesaikan program pendidikan dasar. Bagi anak yang malas hamper pada tiap kelas dijalani dalam waktu 2 tahun.
    1. Mampu Didik (Debil)
Tingkat intelegensi anak dari golongan ini sudah tergolong rendah, namun masih dapat dididik secara khusus dengan program dan metoda yang khusus pula. IQnya antara 50-70. tingkatan intelegensinya sama, seperti anak lain usia 7-12 tahun. Paling tinggi dapat menyelesaikan pendidikan setaraf dengan sekolah dasar sampai kelas IV atau kelas V. untk menyelesaikan sampai jenjang kelas VI memerlukan perjuangan dan pembinaan dari seua pihak yang terkait.
    1. Mampu latih (Embisil)
Secara pedagogis tingkat intelegensi anak ini sudah tergolong rendah, tidak mempu menerima pendidkan secara akademis. Sesuai dengan kemampuannya mereka ahanya dapat menerima pendidikan secara kebiasaan (habitual). Lebih dititik beratkan pada pendidikan latihan keterampilan khusus. IQnya antara 25-50. tingkatan ini sama dengan anak apada umumnya usia 3 sampai 7 tahun. Paling tinggi dapat menyelesaikan tingkat pendidikan di Sekolah dasar sampai kelas I atau kelas II (sekedar bisa membaca, menulis dan berhitung/3 R yang sederhana sekali).
    1. Perlu rawat (idiot)
Ditinjau dari segi pedagogis tingkat intelegensi anak kelompok ini terlalu rendah. Tidak mampu menerima pendidikan secara akademis, juga tidak mampu menerima pendidikan keterampilan. Perkembangan mentalnya sangat sedikit, tidak bisa memahami sesuatu dan sukar dilatih sesuatu kecakapan, IQ kelompok anak ini kurang dari 25. Tingkat intelegensinya sama dengan anak pada umumnya yang berusia 1-3 tahun.[6]

2)      Aspek Fisiologis
Jenis kebutuhan khusus peserta didik terdiri atas kebutuhan khusus fisik dan/atau mental, perilaku dan social. Kebutuhan fisik meliputi :
a.       Gangguan penglihatan, adalah kerusakan atau cacat yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat (buta) atau orang yang kurang daya penglihatannya.
b.      Gangguan pendengaran, adalah kerusakan atau kelainan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat mendengar (tuli) atau orang yang kurang daya pendengarannya.
c.       Gangguan fisik dan kesehatan, adalah kelainan/cacat tubuh yang mengakibatkan kurang berfungsinya kemampuan gerak, termasuk motorik, sensorik dan mobilitas.[7]

Anak dengan masalah intelegensi mental meliputi:
1.      Anak dengan intelegensi do atas rata-rata, dalam UURI Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 5 ayat (4): “anak yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus”. Anak ini biasa disingkat menjadi CIBI.
2.      Anak slow learner
3.      Anak dengan intelektual di bawah rata-rata, yang termasuk dalam jenis anak ini adalah : anak mampu didik (debil), anak mampu latih (embisil) dan anak perlu rawat (idiot). [8]

Hal yang perlu mendapat pertimbangan dalam menetapkan program yang akan diberikan kepada anak berkebutuhan khusus. Beberapa problem penyerta yang dialami anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut: selain mereka mengalami kelainan fisik, namun tidak seluruhnya kelaianan fisik saja, tetapi ada gejala lain, hal ini diakibatkan adanya kerusakan fungsi fisik itu sendiri. Seperti:
a.       Retardasi mental. Akibat adanya kerusakan di otak maka akan mempengaruhi kemampuan mental intelektual, keterbatasan untuk belajar, penyelesaian sosoal dan tingkah laku, sehingga kemampuannya lebih rendah dibanding dengan anak pada umumnya.
b.      Gangguan pendengaran. Hal ini terjadi karena kerusakan sentral/tidak jarang anak cacat otak mengalami hambatan pendengaran, bukan tuli tetapi persepsi pendengarannya yang terganggu, ia mendengar tetapi tidak mengerti apa yang didengarnya.
c.       Gangguan penglihatan. Terjadi akibat adanya ketidakseimbangan otot-otot mata, misalnya mata jerang/juling (strabismus).
d.      Gangguan taktil dan kinestetik. Anak berkebutuhan khusus ada yang mengalami kesulitan untuk mengamati sesuatu melalui fungsi taktilnya demikian pula fungsi kinestetiknya, dengan demikian meraka mengalami kesulitan dalam merasakan gerakannya sendiri.
e.       Gangguan body image. Gangguan ini adalah kesulitan untuk merasakan adanya bagian tubuh sendiri tanpa melihat atau memegang, hal ini akan mengalami kesulitan untuk melakukan suatu gerakan.
f.       Gangguan persepsi. Gangguan ini kesulitan untuk mengolah rangsangan melalui penglihatan (visuil), pendengaran (auditory), dan rasa raba (tactile) yang diterimanya. Mereka mengalami kesulitan di dalam konsep bentuk, ruang, warna, bunyi dan sebagainya.
g.      Gangguan literalisasi. Gangguan ini mengalami kesulitan dalam menggunakan anggota tubuh yang dominant. Hal ini terjadi akibat adanya kerusakan yang terjadi pada hemisphere dominannya.
h.      Gangguan epilepsy (kejang-kejang). Gangguan seperti ini yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus merupakan suatu serangan ulang dari kelainan pusat susunan syaraf yang terjadi.[9]


3)      Aspek Sosiologis
Yang utama sekali harus dikerjakan oleh guru dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus yaitu membangkitkan sosialisasi anak. Anak dianjurkan saling mengenal satu sama lainnya, yang penting membina anak sebagai anggota kelompok. Mereka harus bertingkah laku sesuai dengan harapan orang lain, mencoba menyesuaikan tingkah laku.
Sebagian besar proses sosialisasi adalah dengan cara meniru menyamakan dan mencontoh tingkah laku orang tuanya, gurunya dan kawan-kawannya. Dalam sosialisasi ini bukan berarti orang tua bukan harus terus menerus melayani anak berkebutuhan khusus, akan tetapi beberapa kecakapan yang dapat dilakukan anak diserahkan kepada anak itu sendiri.
Kecakapan sosialisasi yang dimaksud adalah merupakan pergaulan antara anak dengan orang lain. Kepada anak dapat ditanamkan tingkah laku yang mesti ditaati seperti :
a.       Tidak mengganggu orang lain;
segala tingkah laku anak itu hanya berdasarkan kepuasan hati pada dirinya sendiri. Apa yang dilakukan hanya untuk kenikmatan diri sendiri, dia tidak akan peduli dengan keinginan orang lain. Kadang-kadang dengan adanya anak lain hanya untuk kesenangannya sendiri. Walaupun anak itu bersama-sama tetapi perhatiannya tetap pada kepuasan diri sendiri.
b.      Tidak menyakiti orang lain;
Suatu barang dapat berubah menjadi suatu permainan. Anak akan bergaul sesamanya karena peraturan permainan itu. Bagaimana melaksanakan peraturan itu dilakukan menurut cara-cara sendiri dari masing-masing anak. Anak tidak akan memperhatikan tingkah laku orang lain, yang dia amati ialah peraturan tersebut. Sepanjang aturan itu tidak berubah tetap anak melaksanakan peraturan itu.
c.       Tidak mengambil milik orang lain.
Peraturan permainan atau objek diluar dirinya mulai difikirkan untuk kepentingan bersama sehingga apa yang dapat dikatakan baik tergantung kepada pendapat orang lain. Keinginan harapan orang lain menjadi ukuran penyesuaian dalam pergaulan. Kelancaran penyesuaian sosial tergantung kepada kemampuan intelektual dan anggapan orang tua atau masyarakat terhadap anak tersebut.[10]

Demikan uraian mengenai tahapan kemampuan sosialisasi bagi beberapa anak yang terhambat penyesuaian sosialnya sehingga menjadi kendala. Sebab-sebab adanya penyimpangan sosial adalah sebagai berikut:[11]
    1. Keadaan di dalam diri sendiri.
Keadaan diri anak cacat mengakibatkan penyimpangan penyesuaian social karena kecacatannya, tubuh/fisiknya yang cacat atau keadaan sensorisnya, hal ini akan mempengaruhi kepribadiannya.
    1. Konflik dan proses perkembangannya.
Di dalam menjalani proses perkembangn, tiap anak harus melalui beberapa macam komplikasi yang pada umumnya dapat dilalui dengan lancer dan sukses. Tetapi juga yang mengalami gangguan atau hambatan dalam mengjhadapi konflik-konflik tersebut, sehingga tidak dapat dilampaui dengan memuaskan dan menimbulkan gangguan-gangguan emosi dan tingkah laku.
    1. Sebab-sebab lingkungan.
    2. Anak hidup di dalam tiga dimensi lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Yaitu :
1.      Lingkungan keluarga
2.      Lingkungan sekitarnya
3.      Lingkungan sekolah.

Dari sebab-sebab yang dialami oleh anak tersebut dalam penyesuaian sosialnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Anak yang mengalami penyimpangan sosial
Pada golongan anak-anak ini gangguan terletak pada perkembangan perasaan dan sikap-sikap sosialnya. Menurut Cruickshank, anak-anak ini dapat di bagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
1.      Anak-anak yang disebut semi socialized, yaitu mereka yang dapat mengadakan hubungan sosial yang terbatas di dalam kelompok tertentu;
2.      Anak-anak yang dengan tingkatan sosialisasi yang primitif. Golongan ini terganggu perkembangan sosialnya pada level yang masih rendah.
3.      Anak-anak yang tidak memiliki kemampuan untuk belajar sosialisasi.[12]

Reiss dalam buku Ganda Sumekar, membedakan anak dalam tiga type psokologis, yaitu :
1.      Relatively integrated delinquent
      Anak-anak pada kelompok ini relative mempunyai penyesuaian yang baik dan hanya menunjukkan tingkah laku yang menyimpang dalam bentuk-bentuk tertentu, misalnya menyendiri.
2.      Delinquent dengan ego control yang lemah
      Anak-anak ini adalah anak yang merasa tidak aman, tidak mempunyai kepercayaan diri sendiri, dan merasa dirinya rendah. Anak-anak ini juga menunjukkan tingkah laku yang agresif dan sikap permusuhan.
3.      Delinquent dengan hambatan pada super ego control
      Pada anak ini sikap sosial dan tingkah laku sosial tidak berkembang, cirri-ciri anak ini adalah ketidak matangan dalam aspek emosi. [13]
  1. Anak yang terganggu emosinya
Anak ini anak-anak yang sakit mentalnya, pada anak ini dapat diadakan pengelompokan berdasarkan tingkatan gangguan, yaitu :
1.      Anak yang mengalami gangguan emosi yang bersifat sementara saja dan dapat teratasi dengan sendirinya.
2.      Anak-anak yang mengalami gangguan emosi sehingga mempengaruhi tingkah laku mereka. gangguan yang mereka alami dapat mempengaruhi prestasi belajar mereka. mereka masih dapat mengikuti pelajaran, tetapi memerlukan bantuan dari pembimbing/konselor.
3.      Anak-anak dengan gangguan yang lebih parah lagi sehingga praktis mereka sudah tidak dapat mengikuti program sekolah dan penyesuaian sosial dan mereka terancam. Pada golongan ini yang pertama diperlukan psikoterapy.
4.      Anak-anak yang mengalami gangguan mental yang sudah parah sekali sehingga penyesuaian sosialnya terganggu, mereka memerlukan bantuan perawatan khusus.
5.      Anak dengan tingkatan sosialisasinya yang primitive. Golongan ini terganggu perkembangan sosialnya pada level yang masih rendah.
6.      Anak-anak yang tidak memiliki kemampuan untuk belajar social behavior (tingkah laku sosial).

  1. Klasifikasi dan etiologi anak berkebutuhan khusus
Anak berkebutuhan khusus dapat dibedakan berdasarkan jenis kelainannya. Tiap-tiap jenis kelainan dapat dibagi lebih lanjut berdasarkan berat ringannya masing-masing sebagai berikut:
a.       Kelainan penglihatan
Kelaianan penglihatan yang paling berat ialah buta, yang ringan terdiri dari yang rabun dekat, rabun jauh, astigmatisme dan sebagainya. Kriterianya terletak apda penangkapan cahaya. Yang disebut buta ialah yang tidak dapat menangkap cahaya sama sekali. Orang yang masih dapat melihat jari yang bergerak kurang dari satu meter jauhnya dari matanya, demikian juga yang mempunyau visual acuity (ketajaman penglihatan) kurang dari 20/200feet belum buta, akan tetapi dalam pendidikannya dimasukkan ke gelas Braille (untuk yang buta).
Penglihatan yang normal dapat melihat cahaya yang punya gelombang antara 380 nanometer (violet) dan 760 nanometer (merah).
b.      Kelainan pendengaran
Kelainan pendengaran yang paling berat ialah tuli sama sekali. Dalam bahasa sehari-hari orang yang hanya dapat menangkap suara keras disebut tuli (pekak). Dalam pendidikan luar biasa yang disebut tuli hanyalah yang tidak dapat menagkap suara sama sekali, sekalipun dibantu dengan alat bantu dengar (hearing aid). Anak yang masih dapat mendengar suara sekalipun suara keras atau dibantu dengan alat bantu dengar (hearing aid) disebut kurang pendengaran. Suara keras oleh mereka terdengar lemah. Jadi berkurang selisih ini disebut kehilangan pendengaran. Keras lemahnya suaradihiting dengan satuan decibel (disingkat dB). decibel adalah ratio antara tekanan suara dengan tekanan yang terjadi pada ambang pendengaran orang normal. Jadi 20 deciBel adalah 10 kali tekanan pada ambang pendengaran, 40 dB adalah 100 kali, 60 dB adalah 100 kali, 120 dB adalah sejuta kali. Orang yang sedang bercakap-cakap menggunakan suara antara 50-70 dB, suara berbisik 20 dB, suara petir ialah 120 dB. Satuan nada ialah Hert (jumlah getaran dalam jarak satu meter). Pendengaran normal dapat menangkap nada antara 20 sampai 20.000 Hz, suara yang paling jelas ialah antara 1000 hingga 4000Hz. [14]
c.       Kelainan Bicara
Kelainan bicara yang paling keras adalah bisu/gagu, yang ringan terdiri dari berbagai kelainan. Adapun batas antara anak-anak yang mengalami kelainan bicara dengan yang normal adalah anak-anak/orang yang cacat bicara memaksa pemerhati/lawan bicara untuk memperhatikan cara bicaranya dalam menangkap isi pembicaraannya.
Dalam kaitannya dalam kelainan bicara berbagai kalainan yang akan kita temukan di lapangan antaranya stuttering (gagap), disartria (kelainan artikulasi), afasia (kehilangan bahasa), kelambatan berbicara dibanding dengan usianya (delayed speech).
Anak yang berbicaranya sepotong-potong misalnya bola diucapkan ia (short memory span), dan tidak jarang kita temukan anak dengan autism yaitu yang mempuanyai karakteristik bicara khas.[15]
d.      Kelainan kecerdasan
Kalianan kecerdasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami perkembangan dan kemampuan intelektual yang terbelakang. Keterbelakangan mental menyangkut tingkatan operasional dari kecerdasan seseorang. Terman mengemukakan bahwa keterbelakangan mental dapat ditafsirkan menurut tingkatan keterbelakangannya :
1.      Idiot, yaitu mereka yang mempunyai IQ antara 0-20 atau 25 kelompok ini disebut totally dependent, karena tidak dapat belajar memelihara diri sendiri dan hanya memerlukan perawatan (perlu rawat).
2.      Imbesil, yaitu anak yang memiliki IQ antara 20/25-50/55. Mereka dikatakan mampu latih (trainable), karena mereka tidak dapat belajar membaca, menulis dan hanya dapat dilatih dalam kebiasaan sehari-hari.
3.      Moron atau debil, mereka yang mempunyai IQ antara 50/55-70/75. Mereka masih dapat diberi pelajaran setaraf SD dan disebut mampu didik (educable).
4.      Slow learner atau berder line mempunyai IQ di bawah rata-rata yaitu 75 atau 85. Mereka ini tidak termasuk terbelakang mental dan juga tidak termasuk normal.[16]

e.       Kelainan tubuh atau fisik
Kelainan yang Nampak pada anak kelainan tubuh ini yang mencolok adalah masalah gerak yaitu adanya kelainan daripada gerak. Kata lain dari anak dari kelompok ini adalah tunadaksa yang meliputi :
1.      Orthopedically handicapped, yaitu anak-anak yang mempunyai deformity yaitu mengganggu fungsi normal dari tulang, otot atau persendian.
2.      Neurological handicapped, yaitu  cacat tubuh yang disebabkan oleh gangguan-gangguan fungsi syarat karena adanya gangguan di otak.[17]
f.       Kalainan penyesuaian sosial
Anak-anak dengan gangguan emosi dan perkembangan sosial, mereka dimasukkan dalam golongan yang sulit menyesuaikan diri dengan norma-norma atau kenyataan. Tingkah laku yang mereka lakukan misalnya mencuri, merusak, menyakiti, dan sebagainya. Dalam golongan anak-anak ini termasuk anak-anak yang disebutjuvenille delinquent yang artinya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dianggap melanggar hukum dan dilakukan oleh anak-anak yang belum mencapai kedewasaan.
Anak-anak dengan gangguan perkembangan sosial termasuk di dalamnya adalah anak autism, yaitu anak yang memiliki cirri asik dengan dirinya sendiri. Disamping itu ada juga anak yang memiliki gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas, dalam bahasa inggris dikenal dengan ADHD (attention devicite and Hiperactivity disorder).
Factor-faktor yang terjadi pada prenatal, natal dan post natal, dapat mengakibatkan seseorang dilahirkan dengan mengalami kelainan/luar biasa. Pengaruh keturunan disebut factor endogen diwariskan melalui kromosom dan sel keturunan. Hal-hal yang bukan keturunan banyak, misalnya: infeksi, virus, anoxia, anemia ibu, blood incompatibility dan sebagainya.
Data-data mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus banyak ragamnya, salah satu diantaranya mengatakan kira-kira 12% jumlah anak sekolah adalah anak berkebutuhan khusus.[18]

3.      Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
A.    Intelektual di bawah rata-rata
Anak dengan intelektual dibawah rata-rata (retardasi mental) atau disebut juga dengan tunagarhita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus.[19]
Anak-anak yang mengalami lamban belajar memiliki cirri-ciri:
1)      Daya tangkap terhadap pelajaran lambat
2)      Sering lambat dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik
3)      Rata-rata prestasi belajar selalu rendah, dan
4)      Pernah tidak naik kelas[20]
Untuk memberikan layanan bagi siswa yang mengalami gangguan in telektual maka ada beberapa hal yang harus diperlukan, diantaranya:
a)      Guru yang efektif bagi siswa bergangguan intelektual
Dalam prinsip guru yang efektif ini Wong, Kauffman dan Lloyd yang dikutip Ganda  Sumekar disebutkan ciri-cirinya antara lain:
1)      Punya harapan bahwa siswa akan berhasil
2)      Memberi pengawasan yang sering pada tugas-tugas sekolah siswa serta member umpan balik
3)      Memeberikan penjelasan standar-standar, arah-arah, dan harapan-harapan pembelajaran
4)      Fleksibel dalam menangani siswa
5)      Mempunyai komitmen dalam memperlakukan tiap siswa
6)      Bersikap responsif terhadap pertanyaan dan komentar siswa
7)      Melakukan pendekatan tersusun dengan baik dalam pengajaran
8)      Bersikap hangat, sabar, humoris kepada siswa
9)      Bersifat teguh dan konsisten dalam pengaharapan-pengaharapan
10)  Mempunyai pendekatan-pendekatan pengaturan berbagai sikap
11)  Bersikap terbuka dan positif terhadap perbedaan dan kelainan anak-anak dan orang dewasa
12)  Mempunyai kemauan kerjasama dengan gurupendidikan khusus dan bersikap responsive dalam membantu orang lain
13)  Mempunyai rasa percaya diri dan kompetensi sebagai seorang guru
14)  Punya rasa keterlibatan professional yang tinggi serta pemuasan professional
b)      Menajemen dan disiplin kelas
1)      Guru dan siswa menggunakan waktu secara efisien
2)      Siswa-siswa tidak menunggu untuk meminta bantuan
3)      Siswa-siswa hanaya mengggunakan sedikit waktu dalam melakukan perpindahan dari satu aktifitas ke aktivitas lainnya
4)      Tidak banyak yang diperlukan untuk menegakkan disiplin
5)      Guru jarang melakukan hukuman
6)      Penaganan-penaganan khusus lainnya tidak diperlukan dalam mengatur sikap
c)      Umpan balik selama pembelajaran
1)      Guru memberikan umpan balik positif bagi siswa untuk mendapatkan sikap dan prestasi yang layak
2)      Guru membantu siswa menemukan jawaban yang benar bila jawabannnya salah
3)      Guru mengindari umpan balik yang negatif kepada siswa, serta menghindari kritik kepada siswa dan tugas mereka
d)     Pengembangan pembelajaran yang tepat
1)      Guru memberikan tugas-tugas pada tingkat kesulitan yang layak bagi setiap siswa
2)      Siswa dapat melakukan setiap tugas dengan sedikit kesalahan
3)      Siswa dapat diberikan nilai tinggi terhadap jawaban yang benar dari tugas dan pertanyaan guru
4)      Guru dan murid berinteraksi sangat positif yang berhubungan dengan tugas pengajaran
e)      Suasana pembelajaran yang kondusif
1)      Guru melakukan penangan yang mendukung ketimbang menuduh
2)      Guru merespon dengan perhatian dan pemahaman kepada siswa yang mempunyai tingkat kemampuan lebih rendah
3)      Guru lebih mendukung bila siswa mempunyai suatu masalaha pembelajaran
4)      Siswa percaya pada guru dan mau meminta bantuan
5)      Rasa percaya diri siswa terhadap kemampuan dalam belajar meningkat
6)      Tingkat dan kualiatas proses pembelajaran siswa menjadi kokoh.[21]

B.     Gangguan Prilaku
Gangguan-gangguan perhatian dan hyper aktivitas diberi kategori tunggal, yaitu attention deficit/ hyperactivitiy disorders (ADHD) oleh American Psyciatric Association dalam diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Diagnostic and statistical manual of mental disorders  tersebut tidak membedakan antara keduanya dikarenakan kurang bukti bahwa hyperactivity dan attention deficits merupakan kategori perilaku yang berbeda.[22]
Berikut beberapa layanan yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami gangguan perilaku:
1.      Mengatasi masalah emosi dan prilaku
Ganda sumekar mengutif pendapat Sabatino tentang berapa cara dianjurkan dalam menciptakan susana kelas yang dapat meningkatkan sikap-sikap positif dan membantu mencegah sikap-sikap negatif:
a)      Buatlah harapan-harapan akademis dan prilaku siswa yang anda inginkan sejelas mungkin bagi mereka
b)      Tunjukkan pada siswa bahwa anda jujur dalam berhubungan dengan mereka
c)      Berikan perhatian dan pengakuan pada siswa atas sifat-sifat dan prestasi yang positif. Suatu aturan yang baik adalah menemukan suatu yang positif untuk dinyatakan kepada siswa setiap hari
d)     Buatlah contoh sikap, kebiasaan kerja, dan hubungan yang positif
e)      Persiapan pola pengajaran dan berikan kurikulum yang tersusun dengan baik
f)       Buatlah Susana kelas yang dapat diterima, baik secara fisik maupun sosial.[23]

2.      Keterampilan menajemen diri (self-menagement skill)
Menurut Alberto dan Troutman seperti yang dikutip Ganda sumekar menyatakan beberapa cara menajemen diri dapat dicoba kepada siswa-siswa dikelas-kelas inklusif, adalah:
a)      Pemantauan diri (self-monitoring)
Teknik pemantauan diri (self-monitoring) telah dipakai dalam berbagai cara-cara yang strategis dalam mengubah dan menyusun sikap-sikap di kelas. Termasuk mengubah pola pengajaran siswa agar sadar dan mencatat seberapa sering mereka tidak masuk kelas, jumlah waktu mereka bercakap-cakap diluar kelas, jumlah waktu mereka melakukan tindakan agresif terhadap orang lain, dan jumlah waktu mreka melakukan tugas-tugas akademis
b)      Intervensi diri (self-inrevention)
Setelah mereka sadar akan sikap diri mereka sendiri dan dampaknya terhadap orang lain, mungkin penting mengajari mereka cara memberikan penghargaan diri mereka sendiri secara sistematis bagi perubahan dalam sikap tersebut, seperti pemberian bintang emas, sertifikasi prestasi yang diperlihatkan kepada orang tua mereka
c)      Pengarahan diri (self-instruction)
Menurut J. David Smith yang dikutip oleh Ganda Sumekar, ada beberapa latihan-latihan dalam mengajarkan mereka menganalisis masalah serta mengembangkan solusi yang tepat bagi masalah-masalah tersebut, meliputi:
1)      Mengenali masalah (apa yang telah diminta untuk saya kerjakan?)
2)      Menciptakan solusi yang mungkin  (cara apa yang dapat saya lakukan)
3)      Analisis solusi-solusi yang mungkin (solusi apa yang nampaknya sangat tepat bagi sesuatu yang telah diminta untuk dilakukan?)
4)      Berusaha memecahkan masalah (bagaimana memilih suatu solusi yang dapat dilakukan?
5)      Nilailah apakah solusi itu berhasil (apakah ini membantu untuk menyelesaikan tugas secara berhasil?)

3.      Penerapan analisis prilaku
Dalam beberapa kasus, sikap-sikap tidak pantas siswa yang mengalami gangguan emosi dan perilaku mungkin membutuhkan penanganan konsultan  pendidikan khusus, yang dapat membantu gru kelas dalam menganalisis sifat dasar sikap-sikap tersebut, serta member bantuan dalam mengembangkan strategi-strategi penanganan. Berikut beberapa kemungkinan pertanyaan yang akan diajukan:
a)      Seberapa seringkah perilaku itu terjadi ? kapan berakhirnya ketika itu terjadi? Seberapa beda perilaku ini dalam frekwensi dan durasi disbanding anak lain dikelas? Apa yang mengakibatkan munculnya perilaku ini? Adakah factor-faktor yang membuat perilaku ini semakin intensif? Adakah factor-faktor yang menguranginya?
b)      Bagaimana asal-mulanya masalah ini? Sudah berapa lama siswa mempunyai perilaku ini? Berkembangkah perilaku itu kini? Apakah itu muncul atau menjadi besar sekarang ini dikarenakan perubahan kondisi siswa? Apakah sikap ini berhubungan berhubungan dengan mata pelajaran  atau aktifitas tertentu di sekolah? Apakah itu muncul berhubungan dengan kecemasan tertentu atau pola-pola kegagalan akademis?
c)      Sebagian hasil pertanyaan-pertanyaan ini, suatu gambaran mungkin muncul bagi masalah-masalah dan pola-pola yang perlu dibicarakan untuk memudahkan kelas berfungsi secara layak dan berhasil. Suatu rencana penganan dapat dibuat yang memuat pengawasan konsekwensi-konsekwensi dari sikap tersebut yang sudah diketahui sebagai masalah. Pilihan penguatan-penguatan yang positif dalam dalam meningkatkan sikap-sikap yang diinginkan atau solusi-solusi untuk mencegah menguatnya sikap-sikap yang tidak diinginkan berdasarkan atas analisis ini.

4.      Latihan ketrampilan sosial (skillsteaming)
Berikut beberapa program-program ini meliputi unsure-unsur:
a)      Peniruan/ modeling
b)      Bermain peran/ role playing
c)      Umpan balik untu kerja/ performance feedback
d)     Mengalihkan keterampilan latihan/ transfer of training

5.      Partisipasi keluarga
Menurut Welkowitz seperti yang dikutip Ganda Sumekar, Para orang tua melaporkan bahwa, dengan bertambahnya tingkat komunikasi dan berbagai informasi, proses kerja tim ini dapat ditindak lanjuti di rumah pada program pendidikan anak. Proses kerja tim ini dapat ditindaklanjuti di rumah pada program pendidikan anak. Proses kerja tim ini juga memungkinkan guru belajar dari orang tua.

6.      Latihan prilaku kognisi (cognitive behavioral training)
Latihan perilaku kognisi ini merupakan suatu kumpulam cara-cara perubahan sikap dan strategi pengajaran lainnya. Cara ini menitik beratkan pada penggunaan mediasi verbal dalam meningkatkan sikap-sikap. Berikut ini suatu contoh latihan perilaku kognisi sebagaimana yang dikutip Ganda Sumekar pendapat J. David Smith, antara lain:
Langkah 1          :  berhentilah dan fikirkan sebelum bertindak, tahan keinginan bertindak tanpa berfikir
Langkah 2          :  katakana pada diri sendiri bagaimana persaan anda dan apa masalah bagi anda, tentukan masalahnya
Langkah 3          :  pikirkan solusi masalah sebanyak mungkin, perhatikan alternative-alternatif terhadap cara anda bertindak lanjut sebelumnya
Langkah 4          :  pikirkan lagi terhadap kemungkinan jika anda menggunakan alternatif, perhatikan konsekuensi yang mungkin bagi sikap anda
Langkah 5          :  ketika anda mendapatkan alternatif yang terbaik, cobalah, bertindaklah. [24]

7.      Kolaborasi teman sebaya (peer collaboration)
Bentuk kerjasama teman sebaya lain yang  dapat berguna bagi siswa di kelas Inklusif  adalah perantara teman sebaya (peer mediation). Teknik ini menyangkut latihan siswa dalam menengahi perbedaan-perbedaan di antara teman-teman mereka. Penegangah dilakukan saat latihan dalam teknik-teknik resolusi konflik

8.      Sikap guru
Sesuatu yang penting dalam keberhasilan inklusi siswa penyandang hambatan emosi dan perilaku di kelas-kelas regular adalah sikap-sikap guru yang mengatur kelas-kelas itu.
Menurut J. David Smith yang dikutip Ganda Sumekar, menuturkan beberapa sikap yang telah diidentifikasi yaitu:[25]
a)      Fleksibel dalam harapan-harapan akademis, mengetahui bahwa siswa belajar berbeda-beda, pada tingkat-tingkat berbeda pula.
b)      Fleksibel dalam harapan-harapan perilaku, berkeinginan untuk menangani siswa kearah kemampuan sikap dan sosial yang meningkat
c)      Sikap humor, mampu memperlihatkan sikap humornya di kelas dan bias tertawa bersama dengan siswa oleh humor-humor tersebut. [26]

C.    Autisme
Istilah Autisme berasal dari kata autos (bahasa Yunani) yang berarti self atau ‘diri sendiri’. Jadi penyandang autism pada dasarnya seseorang yang cenderung menikmati kegiatan dengan dirinya sendiri.[27]

Beberapa perilaku dibawah merupakan ciri khas dari anak-anak autis:
1)      Kesulitan dengan komunikasi verbal maupun non verbal
2)      Kesulitan melakukan interaksi sosial
3)      Bertingkah laku sama terus-menerus, dan memili ketertarikan yang sempit serta obsesif. [28]

Menurut PA (American Psychiatric Assosiation) telah menetapkan krikteria  Diagnostik Gangguan Spektrum Autisme, berdasarkan Statistical Manual of Mental Disorder IV, lebih lanjut sebgaaimana yang dikutip Kak Kresno sebagai berikut:
1.      Harus ada sedikit gejala dari (1), (2), dan (3):
a)      Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbale balik. Minimal harus ada 2 dari gejala gejala di bawah ini:
1)      Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.
2)      Tidak bisa bermain dengan teman sebaya (sesuai dengan usia anak)
3)      Tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain
4)      Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal-balik
b)      Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, seperti ditunjukkan minimal 1 dari gejala-gejala dibawah ini:
1)      Bicara terlambat atau bahkan sama seklai tidak berkembang (tak ada usaha un tuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)
2)      Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
3)      Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
4)      Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bias meniru.
c)      Ada suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulangi dalam perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada 1 dari gejala di bawah ini:
1)      Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebih-lebihan
2)      Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
3)         Sering kali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
2.      Gejala-gejala di atas timbul sebelum usia 3 tahun, dan adanya keterlambatan/ gangguan dalam bidang:
1)      Interaksi sosial
2)      Bicara/ bahasa
3)      Cara bermain baik simbolik atau imajinatif
3.      Tidak termasuk sindroma Rett, gangguann disintegrasi masa kanak, dan Sindroma Asperger. [29]

Dalam persiapan anak autis untuk memasuki sekolah regular, maka dalam pembuatn sebuah kurikulum, perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu:
a)      Materi atau aktivitas yang diajarkan harus dimulai dengan kepatuhan dan kontak mata. Keduanya harus dikuasai anak dengan baik, semakin konsisten, semakin baik
b)      Kemudian, ajarkan kemampuan menirukan dan berlanjutke kemampuan bahasa reseptif atau kognitif. Lanjutkan terus kek kemampuan bahasa ekspresif. Perlu diketahui bahwa kadang-kadangdijumpai anak autis yang lebih mudah memahami bahasa reseptif daripada menirukan. Bila hal ini terjai urutan yang biasa boleh saja dimodifikasi
c)      Kemampuan akademik baru diajarkan apabila kemampuan bahasa reseptif telah dikuasai anak
d)     Pada awal terapi mulailah dengan jumlah aktivitas yang kecil
e)      Bil ternyata kemampuan anak tinggi, jumlah aktivitas yang diajarkan boleh disesuaikan
f)       Urutan aktvitas yang diajarkan sebaiknya konsisten agar lebih mudah dikuasai anak
g)      Perlu diingat bahwa cara mengajarkan tiap aktivitas adalah dengan siklus DTT.[30] Kecuali kepatuhan dan kontak mata yang diajarkan dengan cara DTT yang khusus. [31]

Adapun layanan pendidikan bagi penderita Autis ini pada program inklusi dengan daya ukur keberhasilan bila ada:
a)      Keterbukaan dari sekolah umum
b)      Test masuk tidak didasari hanya oleh test IQ untuk anak normal
c)      Peningkatan SDM/guru terkait
d)     Proses shadowing/ dapat dilaksanakan guru pendamping khusus (GPK)
e)      Idealnya anak berhak memilih pelajaran yang ia mampu saja (mempunyai IEP/ program pendidikan individu sesuai dengan kemampuannya)
f)       Anak dapat tamat (bukan lulus) dari sekolahnya karena telah selesai melewati pendidikan di kelasnya bersama-sama teman sekelasnya/peers.
g)      Tersedianya tempat khusus (special unit) bila anak memerlukan terapi 1:1 di sekolah umum. [32]


Menurut Yosfan Azwandi, sebaiknya anak autistk didampingi oleh seorang guru pembimbing khusus (GPK) dan guru pendamping/shadow. Guru pembimbing khusus adalah ortopedagog (tenaga ahli PLB) yang bertugas sebagai:
a)      Konsultan dalam menangani anak
b)      Ikut serta dalam merencanakan program pembelajaran
c)      Memonitor pelaksanaan program pembelajaran
d)     Mengevaluasi pelaksanaan program pembelajaran.[33]

Anak autisme mempunyai cara berfikir yang berbeda dan kemampuan yang tidak merata disemua bidang, misalnya pintar matematika, tapi tidak suka menulis dsb. Ciri khas anak autisme sebagai berikut:
a)      Anak tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang lain
b)      Anak tidak mempunyai empati dan tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya
c)      Pemahaman anak sangat kurang, shingga apa yang ia baca sukar dipahami. Misalnya dalam bercerita kembali dan soal berhitung yang menggunakan kalimat
d)     Anak kadang mempunyai daya ingat yang sangat kuat, seperti perkalian, kalender, dan lagu-lagu
e)      Anak lebih mudah belajar memahami lewat gambar-gambar (visual-learners)
f)       Anak belum dapat bersosialisasi dengan teman sekelasnya, seperti sukar bekerjasama dalam kelompok, bermain peran dsb.
g)      Anak sukar mengekspresikan perasaannya, seperti mudah frustasi bila tidak dimengerti dan dapat menimbulkan tantrum. [34]

Akibat dari gangguan saraf yang di deritanya, seringkali anak autis mengalami kesulitan belajar, yang mempengaruhi kemampuannnya menyimpan, memproses, atau memproduksi informasi. Walaupun intelegensinya tergolong tinggi atau cukup, kesulitan belajar membuat anak lemah atau mempunyai masalah  dalam satu atau beberapa mata pelajaran di sekolah, misalnya membaca, menulis, bahasa, matematika, IPS, atau geografi.
Saat itulah anak membutuhkan terapi remedial. Biasanya, terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami kesulitan belajar atau specific learning disability sehingga terapis harus memberikan remediasi atau pengulangan kembali konsep-konsep atau materi yang diberikan sekolah mulai dari awal, secara one on one atau satu guru satu murid.[35] Dengan adanya terapi ini diharapkan siswa dapat mengingat kembali pelajaran yang telah dipelajari dengan guru di kelas.


[1] Ganda Sumekar, Anak Berkebutuhan Khusus, (Padang, UNP Press, 2009), h. 2
[2]Tarmansyah, Inklusi Pendidikan Untuk Semua, (Padang: DIKTI; 2006), h.107
[3] Direktoral PSLB, Profil Pendidikan Inklusif Indonesia, (Kemendiknas:2010), h. 16
[4] Ganda Sumekar, op.cit.,  lihat halaman 4-13
[5]Ganda Sumekar, op.cit.,  h. 16-18
[6] Ganda Sumekar, op.cit.,  h. 19
[7] Ibid,  h. 20
[8] Ganda Sumekar, op.cit.,    h. 20
[9]Ganda Sumekar, op.cit.,  h.2-22
[10] Ganda Sumekar, op.cit.,  h.24
[11]Ganda Sumekar, op.cit.,  h. 23-24
[12]Ganda Sumekar, op.cit.,  h. 24-25
[13]Ibid,  h. 24-25
[14] Ganda Sumekar, Op Cit,  lihat halamn 25-28
[15] Ibid,  h. 27
[16] Ganda Sumekar, op.cit, h. 28
[17]Ibid,  h. 28
[18] Ganda Sumekar, Op.Cit.,  h. 29
[19]Ganda Sumekar, Op.Cit,  h. 123
[20]Kementrian Pendidikan Nasional, Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, (Jakarta:Kemendiknas, 2010), Edisi Revisi, h. 42
[21]Ganda Sumekar, op.cit., h. 165-167
[22] Ganda Sumekar, op.cit., h. 238-239
[23] Ibid, h. 223
[24] Ganda Sumekar, Op. Cit,  h.228
[25] Ganda Sumekar, Op. Cit, h. 229
[26] Ibid, lihat halaman 223-230
[27] Kak Kresno, Autism is treatable, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo;2011), h. 13
[28] Simone Griffin dan Dianne Sandler, Motivate To Communate, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2010), h.2
[29] Kak Kresno, Op.Cit.,  h.11-12
[30] DTT: adalah kependekan dari Discreat Trial Training. Adalah salah satu teknik utama ABA. ABA mempunyai prinsip dasar metodenya dengan cara pendekatan kepada anak seperti; Kehanagatan, Tegas, Tanpa Kekerasan, Bantuan/ arahan, apresiasi dengan imbalan.
[31] Y. Handojo, Autisme Pada Anak, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer;2009), h.254
[32] Ganda Sumekar, Op.Cit.,  h.285-286
[33] Yosfan Azwandi, Mengenal dan Membantu Penyandang Autisme, (Jakarta: DIKTI; 2005), h. 140
[34] Ganda Sumekar, Op.Cit.,  h.286
[35] Bonny Danuatmaja, Terapi Anak Autis di Rumah, (Jakarta: Puspa Swara; 2005), Cet ke-3, h.176

Tidak ada komentar: