Cari Blog Ini

Minggu, 29 April 2018

ETIKA PEMBELAJARAN


Etika Pembelajaran
Pada saat ini, pendidikan menjadi bahasan utama yang harus dikaji secara mendalam. Bahasan pokok dalam pendidikan adalah pembelajaran. Pembelajaran yang merupakan center of education harus dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Maka dari itu, dalam pembelajaran perlu ada yang mengontrol dan mengatur, sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik, yaitu etika. Etika dalam pembelajaran dapat mengontrol dan mengatur proses pembelajaran agar tidak menyalahi aturan pembelajaran. Karena, sekarang ini banyak terjadi pelanggaran etika dalam dunia pendidikan, khususnya pada proses pembelajaran.
Etika adalah suatu ilmu atau sistem berfikir untuk mengkaji norma-norma yang ada di masyarakat, sedangkan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dapat disebut dengan norma. Pendidikan ataupun pembelajaran adalah suatu interaksi yang tidak luput dari peran etika yang mengatur interaksi antara si pembelajar dengan pendidik. Etika Pembelajaran adalah suatu proses dalam mendapatkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, sehingga ilmu itu bermanfaat bagi kehidupannya, lingkungannya dan bangsanya.
Dari pengertian di atas, etika adalah sistem berfikir untuk menganalisis norma-norma yang berlaku di masyarakat untuk diimplementasikan dalam ruang lingkup pembelajaran.
Pembelajaran yang baik, menekankan pada instruksional efek dan nurturant efek (efek pengiring). Akan tetapi, rupa-rupanya banyak pendidik yang kurang menyadari pentingnya nurturant efek dalam proses pembelajaran. Banyak sekali inovasi model-model pembelajaran yang diterapkan dengan sebelah mata, yang hanya memandang aspek ideal dari suatu model pembelajaran. Padahal apabila dikaji lebih luas, banyak model-model pembelajaran baru yang tidak sesuai dengan etika pembelajaran.[1]
Peran etika dalam pembelajaran sekarang sudah semakin dikesampingkan, padahal suatu tujuan pendidikan yang sempurna adalah tidak hanya menekankan pada aspek pemahaman materi (instruksional efek), tetapi juga nilai-nilai etika yang lebih memiliki sumbangsih terhadap perkembangan peserta didik dikemudian hari. Sebagai bangsa yang baik, kita tidak seharusnya mengkondisikan apa yang diinginkan oleh suatu model pembelajaran yang terlihat sangat ideal. Akan tetapi, harus didesain ulang model tersebut untuk disesuaikan dengan etika-etika pendidikan yang ada.[2]
Dalam kaitan etika pembelajaran menurut M. Din Syamsudin, paling tidak terdapat tiga paradigma tentang pandangan Islam mengenai etika pembelajaran, pertama, paradigma integratif, yaitu antara etika pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam. Kedua, paradigma simbiotik, yang memandang bahwa etika pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga, paradigma instrumental, yaitu bahwa etika pembelajaran merupakan instrumen atau alat bagi pengembangan pendidikan Islam dan realisasi nilai-nilai Islam.
Agama memang potensial dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan, karena agama memiliki beberapa kemungkinan fungsi terhadap pendidikan. Pertama, agama merupakan sumber motivasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang mendorong dan menggugah manusia dan masyarakat untuk membangun. Kedua, agama merupakan sumber inspirasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang dapat menyumbangkan nilai dan ide bagi pembangunan. Ketiga, agama merupakan sumber evaluasi bagi pembangunan, yaitu bahwa agama dapat dijadikan sebagai alat ukur dan bahkan alat kritik untuk kebaikan proses pembangunan.[3]
Ada dua pendekatan yaitu pendekatan formalistik dan pendekatan substantivistik, pendekatan formalistik lebih mementingkan bentuk, sementara pendekatan substantivistik lebih cenderung mengedepankan isi ketimbang bentuk atau simbol. Kedua kelompok ini juga menampilkan perbedaan mendasar pada aktualisasi keyakinan keagamaan (religius belief) ke dalam aksi pendidikan. Yang formalis cenderung memformalkan bentuk/simbol-simbol agama, sedangkan yang substantivisme cenderung melakukan subtansi agama dalam proses pendidikan.[4]
Etika adalah unsur penting yang terdapat dalam teori nilai. Yang banyak membahas teori baik dan buruk, benar dan salah. Etika mengandung pengertian : pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau moral, misalnya kode etik. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang yang baik dan yang buruk.[5]
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti “watak”. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin “Mor” (bentuk tunggal) dan “more” (bentuk jamak) yang sering diartikan sebagai “kebiasaan”. Sidi Ghazalba sebagaimana yang dikutip Cecep Sumarna,  etika bersifat ideal dan hanya terkait dengan ide-ide. Ia merupakan suatu yang abstrak, tidak dapat disentuh panca indera. Manusia hanya dapat melihat perilaku manusia lainnya yang mengandung nilai.[6]
Menurut Sardiman, A. M, secara harfiah “etika pembelajaran” berarti sumber Etik. Etik artinya tata susila (etika) atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Jadi “etika pembelajaran” diartikan sebagai aturan tata susila dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini kesusilaan diartikan sebagai kesopanan, sopan-santun dan ke adaban.[7]
Etika pembelajaran, dengan demikian adalah kaidah-kaidah moral, norma atau aturan tata susila yang mendasari perilaku dalam melaksanakan pembelajaran itu. Etika pembelajaran membicarakan kaidah moral bagaimana teknik dan teknologi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran.
Menurut Sastraprateja (1984) yang dikutif oleh M. Amin Aziz, sekurang-kurangnya ada enam tugas pokok etika pembelajaran. Pertama, harus mengolah sikap yang sadar dan kritis mengenai tujuan-tujuan pembelajaran, tidak hanya yang secara formal terjadi dalam proses pembelajaran. Kedua, menganalisa proses pembelajaran dari dalam dan mengisolasi nilai-nilai dan arti-arti yang tersembunyi di balik proses pembelajaran itu. Ketiga, merumuskan pedoman-pedoman atau prinsip-prinsip dasar sebagai orientasi dalam menentukan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam proses pembelajaran. Keempat, membangun kerangka teoritis yang terpadu. Kelima, berdialog dengan ilmu-ilmu lainnya. Keenam, menyadarkan manusia akan tanggung jawab baru dalam mengelola kekuatan-kekuatan yang telah dibangunnya sendiri.
Dalam pembelajaran diwarnai oleh interaksi yang bernilai educatif antar pendidik dan peserta didik. Menurut Syaiful Bahri Djamarah,[8] interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar dilakukan, di arahkan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Interaksi belajar mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan interaksi  dari tenaga pengajar yang melaksanakan tugas mengajar di satu pihak, dengan peserta didik yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain. Interakasi antara pengajar dengan peserta didik diharapkan merupakan interkasi motivasi. Maksudnya, bagaimana dalam proses interaksi itu pihak pengajar mampu memberikan dan mengembangkan motivasi serta reinforcement kepada peserta didik, agar dapat melakukan kegiatan belajar secara optimal.[9]
Dalam proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, dibutuhkan komponen-komponen pendukung yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Hal ini mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan bentuk interaksi yang lain. Edi Suardi seperti dikutip oleh Sardiman, A. M, bahwa dalam interaksi belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing. Dalam peranannya sebagai pembimbing ini, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam situasi proses belajar mengajar, sehingga guru akan mendapatkan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didiknya. Di samping itu dalam belajar mengajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam interaksi belajar mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara sadar, baik oleh guru dan peserta didik.[10]
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, interaksi antara pendidik dan peserta didik memegang peranan penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Peran guru atau pendidik dalam proses pembelajaran menjadi kunci utama dalam menentukan berhasil atau tidaknya pendidikan. Tugas dan tanggung jawab pendidik sangat berat dan penuh dengan beban moral karena pendidik adalah seorang yang dijadikan tauladan, digugu dan ditiru.[11]
Sehubungan dengan hal tersebut Al-Nahlawi seperti yang dikutip Ramayulis menyatakan bahwa peran guru hendaknya mencontoh peran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu mengkaji dan mengembangkan ilmu ilahi.[12]
Firman Allah SWT :
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»­/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ
Artinya : “Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan  kepadanya Al-kitab, al-Hikmah, dan kenabian lalu berkata kepada manusia ”hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah”. Akan tetapi (hendaklah ia berkat), “hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan karena kamu tetap mempelajarinya”. (Q. S. Ali-Imran : 79)

Kata rabbani pada ayat di atas, menunjukkan pengertian pada diri setiap orang kedalaman atau kesempurnaan ilmu atau taqwa. Hal itu tentunya sangat erat kaitannya dengan fungsinya sebagai pendidik. Ia tidak akan dapat memberikan pendidikan yang baik, bila ia sendiri tidak memperhatikan dirinya.
Di samping itu Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa tugas pokok Rasulullah adalah mengajarkan al-kitab dan al-hikmah kepada manusia serta mensucikan jiwa mereka, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka.
Firman Allah SWT :
$uZ­/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.tãƒur 4 y7¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ  
Artinya : ”Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-kitab (Al -Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (Q. S. Al-Baqarah : 129)

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi SAW sebagai seorang pendidik yang agung, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi lebih dari itu, di mana ia juga mengemban tugas untuk memelihara kesucian manusia. Untuk itu guru sebagai pendidik juga harus memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan kesucian atau fitrah peserta didiknya sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Berdasarkan firman Allah SWT di atas, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa tugas pokok (peran utama) guru dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1)      Tugas pensucian. Guru hendaknya mengemban dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhkannya dari keburukan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya.
2)      Tugas pengajaran. Guru hendaknya menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.
Selanjutnya fungsi pendidik sebagai waritsat al-anbiyâ’ pada hakikatnya mengemban misi rahmat lil al-’âlamin, yakni satu misi yang  mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah SWT, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian tugas ini dikembangkan kepada pembentukan manusia yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh, serta bermoral yang tinggi.[13]
Dalam perkembangan berikutnya, paradigma pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar yang mendoktrin peserta didiknya untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar. Keaktifan sangat tergantung pada peserta didiknya sendiri, sekalipun keaktifan itu akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas dari pendidiknya. Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan pada porsinya.
Oleh karena Roestiyah NK[14] menyimpulkan tugas dan fungsi pendidik dalam pendidikan menjadi tiga bagian : (1) sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan, (2) sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya, dan (3) sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam tugas itu, seorang  pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip-prinsip itu menurut Zakiah Darajat dapat berupa ; (1) kegairahan  dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan; kesediaan, kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik, (2) membangkitkan gairah peserta didik, (3) menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik, (4) mengatur proses belajar mengajar yang baik, (5) memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar, dan (6) adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.[15]
Dalam kaitannya dengan kode etik seorang pendidik, Imam al-Ghazali melihat konsep etika pendidik sebagai berikut ; 1) menerima segala problema peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah, 2) bersikap penyantun dan penyayang, 3) menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam mendidik, 4) menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama, 5) bersikap rendah hati ketika menyatu dengan masyarakat, 6) menghilangkan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia, 7) bersikap lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat kecerdasaannya rendah, serta membinanya sampai pada tarap maksimal, 8) meninggalkan sikap marah dalam menghadapi problema peserta didik, 9) memperbaiki sikap peserta didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya, 10) meninggalkan sifat yang menakutkan peserta didik, terutama pada peserta didik yang  belum mengerti dan tidak sesuai dengan masalah yang dipertanyakan itu, tidak bernutu, dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan, 11) menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta didiknya, 12) menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik, 13) mencegah dan mengontrol peserta didik yang mempelajari ilmu yang membahayakan, 14) menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus mencari informasi guna disampaikan kepada peserta didik yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub (kedekatan) dengan Allah SWT, 15) mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah (kewajiban kolektif) sebelum mempelajari ilmu fardhu ’ain (kewajiban individual), dan 16) mengaktualisasikan informasi yang diajarkan kepada peserta didik.[16]
Dari enam belas kriteria pendidik yang dikemukakan oleh al-Ghazali tersebut menunjukkan, bahwa seorang pendidik hendaknya seorang yang manusiawi, humanis, demokratis, terbuka, adil, jujur, berpihak pada kebenaran, menjunjung akhlak mulia, toleran, egaliter, bersahabat, pemaaf, dan menggembirakan. Dengan sifat-sifat yang demikian, maka seorang pendidikan dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dalam keadaan partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM).
Sejalan dengan itu, Muhammad Athiyah al-Abrasyi - sebagaimana dikutip Abuddin Nata - berpendapat, bahwa seorang pendidik harus ; 1) mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya sendiri, 2) adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik, 3) memerhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya, 4) mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik saja, 5) mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan, 6) ikhlas dalam menjalankan aktifitasnya, tidak banyak menuntut hal-hal yang di luar kewajibannya, 7) dalam mengajar selalu mengaitkan materi yang diajarkan dengan meteri lainnya, 8) memberi bekal kepada peserta didik dengan bekal ilmu yang dibutuhkan masa depan, dan 9) sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.[17]
Sejalan dengan itu peserta didik juga harus memiliki etika dalam pembelajaran. Dengan menggunakan pendekatan tasawuf dan fiqh, Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Abuddin Nata misalnya menganjurkan agar peserta didik memiliki niat ibadah dalam menuntut ilmu, menjauhi kecintaan terhadap dunia (zuhud), bersikap rendah hati (tawadlu), menjauhkan diri dari pemikiran para ulama yang saling bertentangan, mengutamakan ilmu-ilmu yang terpuji untuk kepentingan akhirat dan dunia, memulai belajar dari yang mudah menuju yang sukar, dari yang konkret menuju yang abstrak, dari ilmu yang fardhu ain menuju ilmu yang fardhu kifayah, dan tidak berpindah pada pelajaran yang lain sebelum menuntaskan pelajaran yang terdahulu, mengedepankan sikap ilmiah (scientific) dalam mempelajari suatu ilmu, mendahulukan ilmu agama daripada ilmu umum, mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, serta mengikuti nasihat pendidik.[18]
Selanjutnya Abd. al-Amir Syam al-Din, secara lebih sistematis mengemukakan pendapat Ibn Jama’ah tentang tiga hal yang berkaitan dengan akhlak yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pertama, akhlak terhadap diri sendiri, yang antara lain ; memelihara diri dari perbuatan dosa dan maksiat, memiliki niat dan motivasi yang ikhlas dan kuat dalam menuntut ilmu, bersikap sederhana dan menjauhkan diri dari pengaruh duniawi. Kedua, akhlak terhadap pendidik, yang antara lain ; mematuhi, memuliakan, menghormati, membantu, dan menerima segala keputusannya. Ketiga, akhlak terhadap kegiatan belajar mengajar yang antara lain senantiasa memperdalam ilmu yang dipelajari dari guru, mempelajari ilmu secara bertahap serta berusaha memperaktikkannya.[19]
Sementara itu, Mohammad Athiyah al-Abrasyi lebih jauh menyebutkan dua belas kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap peserta didik, sebagai berikut :
a.                               Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
Sebelum mulai belajar, siswa harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari segala sifat yang buruk, karena belajar dan mengajar dianggap sebagai ibadah, dan setiap ibadah tidak sah kecuali disertai hati yang suci, berhias dengan moral yang baik, seperti berkata benar, ikhlas, takwa, rendah hati, zuhud, dan menerima apa yang ditentukan Tuhan, serta menjauhi sifat-sifat yang buruk seperti iri, dengki, benci, sombong, tinggi hati, angkuh, dan menipu.
b.                              Memiliki niat yang mulia
Seorang peserta didik agar menghias dirinya dengan sifat-sifat yang utama, selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak menggunakan ilmu yang dipelajarinya untuk menonjolkan atau menyombongkan diri, bermegah-megah atau pamer kepandaian.
c.                               Meninggalkan kesibukan duniawi
Dalam rangka memperdalam ilmu pengetahuan, seorang pelajar harus rela dan bersedia meninggalkan kampung halaman, tanah air dan keluarganya, tidak ragu-ragu dan bersiap bepergian ke tempat yang paling jauh sekalipun.


d.                              Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru
Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru merupakan salah satu akhlak terpuji yang harus dilakukan oleh peserta didik. Caranya antara lain dengan tidak terlalu banyak berganti-ganti guru. Pada dasarnya berganti guru tidak dilarang. Namun jika terlalu sering berganti-ganti guru, selain akan menyebabkan terganggunya kesinanbungan pelajaran, juga dapat menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dengan guru.
e.                               Menyenangkan hati guru
Menyenangkan hati guru merupakan salah satu akhlak yang perlu dilakukan oleh peserta didik. Caranya antara lain tidak terlalu banyak bertanya yang merepotkan guru. Bertanya tentang sesuatu yang belum diketahui kepada guru pada dasarnya merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Namun jika pertanyaan tersebut sifatnya menguji guru atau memotong pembicaraan guru, serta merepotkan, maka sebaiknya dihindari. Demikian pula berjalan-jalan didepan guru, menepati tempat duduknya, dan mendahului dalam pembicaraan adalah perbuatan yang kurang sopan terhadap guru.
f.                               Memuliakan guru
Menghormati, memuliakan, dan mengagungkan para guru atas dasar karena Allah SWT merupakan perbuatan yang harus dilakukan oleh peserta didik. Hal yang demikian penting dilakukan, karena selain akan menimbulkan kecintaan dan perhatian guru terhadap murid, juga akan meningkatkan martabat murid itu sendiri.
g.                              Menjaga rahasia guru
Menjaga rahasia atau privasi guru merupakan perbuatan mulia yang harus dilakukan peserta didik. Untuk itu hendaknya jangan membuka rahasia guru, menipu guru, dan meminta membukakan rahasia kepada guru. Selain itu hendaknya menerima penyataan ma’af dari guru bila terselip kesalahan.
h.                              Menunjukkan sikap sopan santun kepada guru
Menunjukkan sikap sopan dan santun kepada guru merupakan akhlak mulia yang harus dilakukan para siswa. Caranya antara lain dengan memberi salam kepada guru, mengurangi percakapan di hadapan guru, tidak menceritakan atau menggunjingkan keburukan orang lain di hadapan guru dan lainnya, dan jangan pula menanyakan hal-hal yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat pribadi (privasi) guru. Hal yang demikian dilakukan, agar kehormatan dan martabat guru dapat tepelihara dengan baik yang selanjutnya akan memuliakan dan meninggikan martabat peserta didik.
i.                                Tekun dan sungguh-sungguh dalam belajar
Tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar merupakan akhlak yang mulia, karena ketekunan dan kesungguhan merupakan kunci sukses dalam segala usaha. Caranya antara lain dengan menunjukkan tanggung jawab, komitmen, dan kesungguhan dalam memanfaatkan waktu secara efisien dan efektif untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dengan terlebih dahulu mengutamakan ilmu yang lebih penting, ilmu-ilmu yang dapat digunakan untuk memperdalam ilmu yang lainnya.
j.                                Memilih waktu yang tepat
Memilih waktu belajar yang tepat akan memberi pengaruh bagi keberhasilan dalam menguasai pengetahuan. Selain harus belajar tekun dan bersungguh-sungguh, seorang peserta didik juga harus mengulangi pelajaran di waktu senja dan menjelang subuh. Waktu isya dan makan sahur merupakan waktu yang penuh berkah.
k.                              Belajar sepanjang hayat
Memiliki tekad yang kuat untuk belajar sepanjang hayat merupakan akhlak terpuji. Hal yang demikian perlu dilakukan, karena dari waktu ke waktu perkembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi, desain dan lainya selalu mengalami perkembangan yang amat pesat. Untuk itu setiap peseta didik agar bertekad untuk belajar hingga akhir hayat, tidak meremehkan sesuatu cabang ilmu, tetapi hendaknya menganggap bahwa setiap ilmu ada faedahnya, jangan meniru-niru apa yang didengarnya dari orang-orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu seperti ilmu mantik dan filsafat.
l.                                Memelihara rasa persaudaraan dan persahabatan.
Memelihara rasa persaudaraan, persahabatan, saling menyayangi, saling mencintai, saling menolong, saling melindungi di antara teman dalam hal kebaikan dan ikhlas karena Allah SWT merupakan akhlak mulia yang harus dilakukan oleh para peserta didik. Hal yang demikian penting dilakukan, karena akan dapat memecahkan berbagai kesulitan yang dihadapi selama menuntut ilmu, serta dalam perjalanan hidup selanjutnya.[20]
Di samping itu Asma Hasan Fahmi juga mengemukakan etika yang harus diketahui, dimiliki serta dipahami oleh peserta didik supaya dia dapat belajar dengan baik dan dapat keridhaan Allah SWT ; (1) peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu, (2) tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan, (3) memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat, (4) setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya, dan (5) peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.[21]
Etika peserta didik seperti yang dirumuskan oleh para ahli di atas perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu ; (1) peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih, (2) peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah, (3) seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang, dan (4) seseorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.[22]
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa dalam konsep pendidikan Islam, peran pendidik sangat menentukan dalam keberhasilan pembelajaran. Di samping itu keikutsertaan peserta didik juga sangat besar pengaruhnya untuk mensukseskan tujuan pembelajaran. Sebagaimana yang dipaparkan di atas bahwa dalam interkasi pembelajaran, seorang pendidik dan peserta didik harus memiliki etika (kode etik) yang harus diperhatikan guna mencapai tujuan ahir pendidikan Islam itu sendiri, yaitu insan al-kamil.




[1] Salah satu contohnya adalah E-learning, PAKEM, dan pembelajaran berbasis komputer. Ketika seorang guru menerapkan E-learning di sebuah desa kecil dengan harapan siswanya akan “melek” teknologi, tanpa memandang aspek kemampuan siswa dan justru malah merepotkan dan mempersulit pembelajarannya. Etika pembelajaran adalah cara bagaimana si peserta didik mudah memperoleh ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, model PAKEM adalah model pembelajaran yang menekankan aspek Pertisipasi, Aktif, dan Menyenangkan. Sekilas, model tersebut sangat baik dan menarik untuk diterapkan. Akan tetapi hanya segelintir orang yang mampu benar-benar mengetahuinya. Pendidik saja, banyak yang tidak tahu, kenapa justru siswa yang banyak dituntut untuk tahu dan terkondisi seperti yang diharapkan oleh model PAKEM ini? seharusnya, guru terlebih dahulu yang harus paham benar.
[2] http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/14/pembelajaran-dan-etika-sering dilupakan oleh-para-pendidik-bangsa.
[3] M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 44
[4] Ibid., h. 67
[5] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung : Mulia Press,  2008), h. 210
[6] Ibid., h. 210
[7] Sardiman A.M., Interkasi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), h. 149
[8]  Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), h. 1
[9] Sardiman, A. M., op. cit., h. 2
[10] Ibid., h. 16-18
[11] Lihat Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006), h. 90
[12] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2008). Cet. Ke-6, h. 74
[13] Ibid., h. 75
[14] Rostiyah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta : Bina Aksara, 1982), h. 86
[15]  Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 22
[16] Al-Ghazali dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 168
[17] Ibid., h. 169
[18] Ibid., h. 182
[19] Ibid., h. 183
[20] Ibid., h. 183-186
[21] Asma Hasan dalam Ramayulis, op. cit., h. 119
[22] Ibid., h. 120

Tidak ada komentar: