Etika Pembelajaran
Pada saat ini, pendidikan menjadi bahasan utama yang harus
dikaji secara mendalam. Bahasan pokok dalam pendidikan adalah pembelajaran.
Pembelajaran yang merupakan center of education harus
dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Maka dari itu,
dalam pembelajaran perlu ada yang mengontrol dan mengatur, sehingga
pembelajaran dapat berjalan dengan baik, yaitu etika. Etika dalam pembelajaran
dapat mengontrol dan mengatur proses pembelajaran agar tidak menyalahi aturan
pembelajaran. Karena, sekarang ini banyak terjadi pelanggaran etika dalam dunia
pendidikan, khususnya pada proses pembelajaran.
Etika adalah suatu ilmu atau sistem berfikir untuk mengkaji
norma-norma yang ada di masyarakat, sedangkan nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat dapat disebut dengan norma. Pendidikan ataupun pembelajaran adalah
suatu interaksi yang tidak luput dari peran etika yang mengatur interaksi
antara si pembelajar dengan pendidik. Etika Pembelajaran adalah suatu proses dalam mendapatkan dan
menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, sehingga ilmu itu bermanfaat bagi
kehidupannya, lingkungannya dan bangsanya.
Dari pengertian di atas, etika adalah sistem berfikir untuk
menganalisis norma-norma yang berlaku di masyarakat untuk diimplementasikan
dalam ruang lingkup pembelajaran.
Pembelajaran yang baik, menekankan pada instruksional efek dan nurturant efek (efek
pengiring). Akan tetapi, rupa-rupanya banyak pendidik yang kurang menyadari
pentingnya nurturant
efek dalam proses pembelajaran. Banyak
sekali inovasi model-model pembelajaran yang diterapkan dengan sebelah mata,
yang hanya memandang aspek ideal dari suatu model pembelajaran. Padahal apabila
dikaji lebih luas, banyak model-model pembelajaran baru yang tidak sesuai
dengan etika pembelajaran.[1]
Peran
etika dalam pembelajaran sekarang sudah semakin dikesampingkan, padahal suatu
tujuan pendidikan yang sempurna adalah tidak hanya menekankan pada aspek
pemahaman materi (instruksional
efek), tetapi juga nilai-nilai etika yang lebih memiliki sumbangsih
terhadap perkembangan peserta didik dikemudian hari. Sebagai bangsa yang baik,
kita tidak seharusnya mengkondisikan apa yang diinginkan oleh suatu model
pembelajaran yang terlihat sangat ideal. Akan tetapi, harus didesain ulang model
tersebut untuk disesuaikan dengan etika-etika pendidikan yang ada.[2]
Dalam
kaitan etika pembelajaran menurut M. Din Syamsudin, paling tidak terdapat tiga
paradigma tentang pandangan Islam mengenai etika pembelajaran, pertama, paradigma
integratif, yaitu antara etika pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan
Islam. Kedua, paradigma simbiotik, yang memandang bahwa etika
pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam berhubungan timbal balik dan
saling memerlukan. Ketiga, paradigma instrumental, yaitu bahwa etika
pembelajaran merupakan instrumen atau alat bagi pengembangan pendidikan Islam
dan realisasi nilai-nilai Islam.
Agama
memang potensial dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan, karena agama
memiliki beberapa kemungkinan fungsi terhadap pendidikan. Pertama, agama
merupakan sumber motivasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang mendorong dan
menggugah manusia dan masyarakat untuk membangun. Kedua, agama merupakan
sumber inspirasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang dapat menyumbangkan nilai
dan ide bagi pembangunan. Ketiga, agama merupakan sumber evaluasi bagi
pembangunan, yaitu bahwa agama dapat dijadikan sebagai alat ukur dan bahkan
alat kritik untuk kebaikan proses pembangunan.[3]
Ada
dua pendekatan yaitu pendekatan formalistik dan pendekatan substantivistik,
pendekatan formalistik lebih mementingkan bentuk, sementara pendekatan
substantivistik lebih cenderung mengedepankan isi ketimbang bentuk atau simbol.
Kedua kelompok ini juga menampilkan perbedaan mendasar pada aktualisasi
keyakinan keagamaan (religius
belief) ke dalam aksi pendidikan. Yang formalis cenderung
memformalkan bentuk/simbol-simbol agama, sedangkan yang substantivisme
cenderung melakukan subtansi agama dalam proses pendidikan.[4]
Etika
adalah unsur penting yang terdapat dalam teori nilai. Yang banyak membahas
teori baik dan buruk, benar dan salah. Etika mengandung pengertian : pertama,
kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang
menjadi pegangan seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah
lakunya. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau moral, misalnya kode
etik. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang yang baik dan yang buruk.[5]
Secara
etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti “watak”.
Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin “Mor” (bentuk tunggal) dan “more”
(bentuk jamak) yang sering diartikan sebagai “kebiasaan”. Sidi Ghazalba
sebagaimana yang dikutip Cecep Sumarna,
etika bersifat ideal dan hanya terkait dengan ide-ide. Ia merupakan
suatu yang abstrak, tidak dapat disentuh panca indera. Manusia hanya dapat
melihat perilaku manusia lainnya yang mengandung nilai.[6]
Menurut
Sardiman, A. M, secara harfiah “etika pembelajaran” berarti sumber Etik. Etik
artinya tata susila (etika) atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan
dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Jadi “etika pembelajaran” diartikan sebagai
aturan tata susila dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini kesusilaan
diartikan sebagai kesopanan, sopan-santun dan ke adaban.[7]
Etika
pembelajaran, dengan demikian adalah kaidah-kaidah moral, norma atau aturan
tata susila yang mendasari perilaku dalam melaksanakan pembelajaran itu. Etika
pembelajaran membicarakan kaidah moral bagaimana teknik dan teknologi yang
diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran.
Menurut
Sastraprateja (1984) yang dikutif oleh M. Amin Aziz, sekurang-kurangnya ada
enam tugas pokok etika pembelajaran. Pertama, harus mengolah sikap yang
sadar dan kritis mengenai tujuan-tujuan pembelajaran, tidak hanya yang secara
formal terjadi dalam proses pembelajaran. Kedua, menganalisa proses
pembelajaran dari dalam dan mengisolasi nilai-nilai dan arti-arti yang
tersembunyi di balik proses pembelajaran itu. Ketiga, merumuskan
pedoman-pedoman atau prinsip-prinsip dasar sebagai orientasi dalam menentukan
pengambilan keputusan dan kebijakan dalam proses pembelajaran. Keempat,
membangun kerangka teoritis yang terpadu. Kelima, berdialog dengan
ilmu-ilmu lainnya. Keenam, menyadarkan manusia akan tanggung jawab baru
dalam mengelola kekuatan-kekuatan yang telah dibangunnya sendiri.
Dalam
pembelajaran diwarnai oleh interaksi yang bernilai educatif antar pendidik dan
peserta didik. Menurut Syaiful Bahri Djamarah,[8] interaksi yang bernilai
edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar dilakukan, di arahkan untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan
pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna
kepentingan pengajaran.
Interaksi
belajar mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan interaksi dari tenaga pengajar yang melaksanakan tugas
mengajar di satu pihak, dengan peserta didik yang sedang melaksanakan kegiatan
belajar di pihak lain. Interakasi antara pengajar dengan peserta didik
diharapkan merupakan interkasi motivasi. Maksudnya, bagaimana dalam proses
interaksi itu pihak pengajar mampu memberikan dan mengembangkan motivasi serta reinforcement kepada peserta didik, agar dapat
melakukan kegiatan belajar secara optimal.[9]
Dalam
proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, dibutuhkan
komponen-komponen pendukung yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Hal ini
mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan bentuk interaksi yang lain.
Edi Suardi seperti dikutip oleh Sardiman, A. M, bahwa dalam interaksi belajar
mengajar guru berperan sebagai pembimbing. Dalam peranannya sebagai pembimbing
ini, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi
proses interaksi yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam situasi
proses belajar mengajar, sehingga guru akan mendapatkan tokoh yang akan dilihat
dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didiknya. Di samping itu dalam belajar
mengajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam interaksi belajar mengajar ini
diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut
ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara sadar, baik oleh
guru dan peserta didik.[10]
Dalam
pelaksanaan pendidikan Islam, interaksi antara pendidik dan peserta didik
memegang peranan penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Peran guru atau
pendidik dalam proses pembelajaran menjadi kunci utama dalam menentukan
berhasil atau tidaknya pendidikan. Tugas
dan tanggung jawab pendidik sangat berat dan penuh dengan beban moral karena
pendidik adalah seorang yang dijadikan tauladan, digugu dan ditiru.[11]
Sehubungan dengan hal tersebut Al-Nahlawi
seperti yang dikutip Ramayulis menyatakan bahwa peran guru hendaknya mencontoh
peran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu mengkaji dan mengembangkan ilmu
ilahi.[12]
Firman Allah SWT :
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuÏ?÷sã ª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)t Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #Y$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrß «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhÏY»/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ
Artinya : “Tidak
wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al-kitab, al-Hikmah, dan kenabian
lalu berkata kepada manusia ”hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah”. Akan
tetapi (hendaklah ia berkat), “hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan karena kamu tetap mempelajarinya”. (Q. S. Ali-Imran : 79)
Kata rabbani pada ayat di atas, menunjukkan pengertian
pada diri setiap orang kedalaman atau kesempurnaan ilmu atau taqwa. Hal itu
tentunya sangat erat kaitannya dengan fungsinya sebagai pendidik. Ia tidak akan
dapat memberikan pendidikan yang baik, bila ia sendiri tidak memperhatikan
dirinya.
Di samping itu Allah SWT juga
mengisyaratkan bahwa tugas pokok Rasulullah adalah mengajarkan al-kitab dan al-hikmah kepada manusia serta mensucikan jiwa
mereka, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka.
Firman Allah SWT :
$uZ/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ y7ÏG»t#uä ÞOßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkÏj.tãur 4 y7¨RÎ) |MRr& âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ
Artinya : ”Ya
Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al-kitab (Al -Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta
mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
(Q. S. Al-Baqarah : 129)
Ayat ini menerangkan bahwa Nabi
SAW sebagai seorang pendidik yang agung, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu,
tapi lebih dari itu, di mana ia juga mengemban tugas untuk memelihara kesucian
manusia. Untuk itu guru sebagai pendidik juga harus memiliki tanggung jawab
untuk mempertahankan kesucian atau fitrah peserta didiknya sebagaimana yang
telah diajarkan Rasulullah SAW.
Berdasarkan firman Allah SWT
di atas, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa tugas pokok (peran utama) guru dalam
pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1) Tugas pensucian. Guru
hendaknya mengemban dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan
diri kepada Allah SWT, menjauhkannya dari keburukan, dan menjaganya agar tetap
berada pada fitrahnya.
2) Tugas pengajaran.
Guru hendaknya menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta
didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.
Selanjutnya fungsi pendidik
sebagai waritsat al-anbiyâ’ pada hakikatnya mengemban misi rahmat lil al-’âlamin, yakni satu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada
hukum-hukum Allah SWT, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian
tugas ini dikembangkan kepada pembentukan manusia yang berjiwa tauhid, kreatif,
beramal saleh, serta bermoral yang tinggi.[13]
Dalam perkembangan berikutnya,
paradigma pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar yang mendoktrin
peserta didiknya untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas sebagai
motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar. Keaktifan sangat
tergantung pada peserta didiknya sendiri, sekalipun keaktifan itu akibat dari
motivasi dan pemberian fasilitas dari pendidiknya. Seorang pendidik dituntut mampu
memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini
menghindari adanya benturan fungsi sebagai individu, anggota masyarakat, warga
negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus
ditempatkan pada porsinya.
Oleh karena Roestiyah NK[14] menyimpulkan tugas dan
fungsi pendidik dalam pendidikan menjadi tiga bagian : (1) sebagai pengajar
(instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan
program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian
setelah program dilakukan, (2) sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta pada tingkat
kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring
dengan tujuan Allah SWT menciptakannya, dan (3) sebagai pemimpin (managerial),
yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat
yang terkait, terhadap berbagai masalah upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang
dilakukan.
Dengan demikian dapat dipahami
bahwa dalam tugas itu, seorang pendidik
dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip-prinsip itu
menurut Zakiah Darajat dapat berupa ; (1) kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti
memperhatikan; kesediaan, kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik,
(2) membangkitkan gairah peserta didik, (3) menumbuhkan bakat dan sikap peserta
didik yang baik, (4) mengatur proses belajar mengajar yang baik, (5)
memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses
mengajar, dan (6) adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.[15]
Dalam kaitannya dengan kode
etik seorang pendidik, Imam al-Ghazali melihat konsep etika pendidik sebagai
berikut ; 1) menerima segala problema peserta didik dengan hati dan sikap yang
terbuka dan tabah, 2) bersikap penyantun dan penyayang, 3) menjaga kewibawaan
dan kehormatannya dalam mendidik, 4) menghindari dan menghilangkan sikap angkuh
terhadap sesama, 5) bersikap rendah hati ketika menyatu dengan masyarakat, 6)
menghilangkan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia, 7) bersikap lemah
lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat kecerdasaannya rendah, serta
membinanya sampai pada tarap maksimal, 8) meninggalkan sikap marah dalam
menghadapi problema peserta didik, 9) memperbaiki sikap peserta didiknya, dan
bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya, 10)
meninggalkan sifat yang menakutkan peserta didik, terutama pada peserta didik
yang belum mengerti dan tidak sesuai
dengan masalah yang dipertanyakan itu, tidak bernutu, dan tidak sesuai dengan
masalah yang diajarkan, 11) menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta
didiknya, 12) menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan,
walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik, 13) mencegah dan
mengontrol peserta didik yang mempelajari ilmu yang membahayakan, 14)
menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus mencari
informasi guna disampaikan kepada peserta didik yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub (kedekatan) dengan Allah SWT, 15)
mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah (kewajiban kolektif)
sebelum mempelajari ilmu fardhu ’ain (kewajiban individual), dan 16)
mengaktualisasikan informasi yang diajarkan kepada peserta didik.[16]
Dari enam belas kriteria
pendidik yang dikemukakan oleh al-Ghazali tersebut menunjukkan, bahwa seorang
pendidik hendaknya seorang yang manusiawi, humanis, demokratis, terbuka, adil,
jujur, berpihak pada kebenaran, menjunjung akhlak mulia, toleran, egaliter,
bersahabat, pemaaf, dan menggembirakan. Dengan sifat-sifat yang demikian, maka
seorang pendidikan dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dalam
keadaan partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM).
Sejalan dengan itu, Muhammad
Athiyah al-Abrasyi - sebagaimana dikutip Abuddin Nata - berpendapat, bahwa
seorang pendidik harus ; 1) mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang
pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya sendiri, 2) adanya komunikasi
yang aktif antara pendidik dan peserta didik, 3) memerhatikan kemampuan dan
kondisi peserta didiknya, 4) mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus
pada sebagian peserta didik saja, 5) mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian,
dan kesempurnaan, 6) ikhlas dalam menjalankan aktifitasnya, tidak banyak
menuntut hal-hal yang di luar kewajibannya, 7) dalam mengajar selalu mengaitkan
materi yang diajarkan dengan meteri lainnya, 8) memberi bekal kepada peserta
didik dengan bekal ilmu yang dibutuhkan masa depan, dan 9) sehat jasmani dan
rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu
mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk
menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.[17]
Sejalan dengan itu peserta
didik juga harus memiliki etika dalam pembelajaran. Dengan menggunakan
pendekatan tasawuf dan fiqh, Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Abuddin Nata
misalnya menganjurkan agar peserta didik memiliki niat ibadah dalam menuntut
ilmu, menjauhi kecintaan terhadap dunia (zuhud), bersikap rendah hati (tawadlu), menjauhkan diri dari pemikiran para
ulama yang saling bertentangan, mengutamakan ilmu-ilmu yang terpuji untuk
kepentingan akhirat dan dunia, memulai belajar dari yang mudah menuju yang
sukar, dari yang konkret menuju yang abstrak, dari ilmu yang fardhu ain menuju
ilmu yang fardhu kifayah, dan tidak berpindah pada pelajaran yang lain sebelum
menuntaskan pelajaran yang terdahulu, mengedepankan sikap ilmiah (scientific) dalam mempelajari suatu ilmu,
mendahulukan ilmu agama daripada ilmu umum, mengenal nilai-nilai pragmatis bagi
suatu ilmu pengetahuan, serta mengikuti nasihat pendidik.[18]
Selanjutnya Abd. al-Amir Syam
al-Din, secara lebih sistematis mengemukakan pendapat Ibn Jama’ah tentang tiga
hal yang berkaitan dengan akhlak yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pertama,
akhlak terhadap diri sendiri, yang antara lain ; memelihara diri dari perbuatan
dosa dan maksiat, memiliki niat dan motivasi yang ikhlas dan kuat dalam
menuntut ilmu, bersikap sederhana dan menjauhkan diri dari pengaruh duniawi. Kedua,
akhlak terhadap pendidik, yang antara lain ; mematuhi, memuliakan, menghormati,
membantu, dan menerima segala keputusannya. Ketiga, akhlak terhadap
kegiatan belajar mengajar yang antara lain senantiasa memperdalam ilmu yang
dipelajari dari guru, mempelajari ilmu secara bertahap serta berusaha
memperaktikkannya.[19]
Sementara itu, Mohammad
Athiyah al-Abrasyi lebih jauh menyebutkan dua belas kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap peserta didik, sebagai berikut :
a.
Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
Sebelum mulai belajar, siswa
harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari segala sifat yang buruk, karena
belajar dan mengajar dianggap sebagai ibadah, dan setiap ibadah tidak sah
kecuali disertai hati yang suci, berhias dengan moral yang baik, seperti
berkata benar, ikhlas, takwa, rendah hati, zuhud, dan menerima apa yang
ditentukan Tuhan, serta menjauhi sifat-sifat yang buruk seperti iri, dengki,
benci, sombong, tinggi hati, angkuh, dan menipu.
b.
Memiliki niat yang mulia
Seorang peserta didik agar menghias
dirinya dengan sifat-sifat yang utama, selalu mendekatkan diri kepada Allah
SWT, tidak menggunakan ilmu yang dipelajarinya untuk menonjolkan atau
menyombongkan diri, bermegah-megah atau pamer kepandaian.
c.
Meninggalkan kesibukan duniawi
Dalam rangka memperdalam ilmu
pengetahuan, seorang pelajar harus rela dan bersedia meninggalkan kampung
halaman, tanah air dan keluarganya, tidak ragu-ragu dan bersiap bepergian ke
tempat yang paling jauh sekalipun.
d.
Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru
Menjalin hubungan yang
harmonis dengan guru merupakan salah satu akhlak terpuji yang harus dilakukan
oleh peserta didik. Caranya antara lain dengan tidak terlalu banyak
berganti-ganti guru. Pada dasarnya berganti guru tidak dilarang. Namun jika
terlalu sering berganti-ganti guru, selain akan menyebabkan terganggunya
kesinanbungan pelajaran, juga dapat menimbulkan hubungan yang kurang harmonis
dengan guru.
e.
Menyenangkan hati guru
Menyenangkan hati guru
merupakan salah satu akhlak yang perlu dilakukan oleh peserta didik. Caranya
antara lain tidak terlalu banyak bertanya yang merepotkan guru. Bertanya
tentang sesuatu yang belum diketahui kepada guru pada dasarnya merupakan
sesuatu yang sangat dianjurkan. Namun jika pertanyaan tersebut sifatnya menguji
guru atau memotong pembicaraan guru, serta merepotkan, maka sebaiknya
dihindari. Demikian pula berjalan-jalan didepan guru, menepati tempat duduknya,
dan mendahului dalam pembicaraan adalah perbuatan yang kurang sopan terhadap
guru.
f.
Memuliakan guru
Menghormati, memuliakan, dan
mengagungkan para guru atas dasar karena Allah SWT merupakan perbuatan yang
harus dilakukan oleh peserta didik. Hal yang demikian penting dilakukan, karena
selain akan menimbulkan kecintaan dan perhatian guru terhadap murid, juga akan
meningkatkan martabat murid itu sendiri.
g.
Menjaga rahasia guru
Menjaga rahasia atau privasi
guru merupakan perbuatan mulia yang harus dilakukan peserta didik. Untuk itu
hendaknya jangan membuka rahasia guru, menipu guru, dan meminta membukakan
rahasia kepada guru. Selain itu hendaknya menerima penyataan ma’af dari guru
bila terselip kesalahan.
h.
Menunjukkan sikap sopan santun kepada guru
Menunjukkan sikap sopan dan
santun kepada guru merupakan akhlak mulia yang harus dilakukan para siswa.
Caranya antara lain dengan memberi salam kepada guru, mengurangi percakapan di
hadapan guru, tidak menceritakan atau menggunjingkan keburukan orang lain di
hadapan guru dan lainnya, dan jangan pula menanyakan hal-hal yang berkenaan
dengan hal-hal yang bersifat pribadi (privasi) guru. Hal yang demikian dilakukan, agar
kehormatan dan martabat guru dapat tepelihara dengan baik yang selanjutnya akan
memuliakan dan meninggikan martabat peserta didik.
i.
Tekun dan sungguh-sungguh dalam belajar
Tekun dan bersungguh-sungguh
dalam belajar merupakan akhlak yang mulia, karena ketekunan dan kesungguhan
merupakan kunci sukses dalam segala usaha. Caranya antara lain dengan
menunjukkan tanggung jawab, komitmen, dan kesungguhan dalam memanfaatkan waktu
secara efisien dan efektif untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dengan terlebih
dahulu mengutamakan ilmu yang lebih penting, ilmu-ilmu yang dapat digunakan
untuk memperdalam ilmu yang lainnya.
j.
Memilih waktu yang tepat
Memilih waktu belajar yang
tepat akan memberi pengaruh bagi keberhasilan dalam menguasai pengetahuan.
Selain harus belajar tekun dan bersungguh-sungguh, seorang peserta didik juga
harus mengulangi pelajaran di waktu senja dan menjelang subuh. Waktu isya dan
makan sahur merupakan waktu yang penuh berkah.
k.
Belajar sepanjang hayat
Memiliki tekad yang kuat untuk
belajar sepanjang hayat merupakan akhlak terpuji. Hal yang demikian perlu
dilakukan, karena dari waktu ke waktu perkembangan ilmu pengetahuan,
keterampilan, teknologi, desain dan lainya selalu mengalami perkembangan yang
amat pesat. Untuk itu setiap peseta didik agar bertekad untuk belajar hingga
akhir hayat, tidak meremehkan sesuatu cabang ilmu, tetapi hendaknya menganggap
bahwa setiap ilmu ada faedahnya, jangan meniru-niru apa yang didengarnya dari
orang-orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu
seperti ilmu mantik dan filsafat.
l.
Memelihara rasa persaudaraan dan persahabatan.
Memelihara rasa persaudaraan,
persahabatan, saling menyayangi, saling mencintai, saling menolong, saling
melindungi di antara teman dalam hal kebaikan dan ikhlas karena Allah SWT
merupakan akhlak mulia yang harus dilakukan oleh para peserta didik. Hal yang
demikian penting dilakukan, karena akan dapat memecahkan berbagai kesulitan
yang dihadapi selama menuntut ilmu, serta dalam perjalanan hidup selanjutnya.[20]
Di samping itu Asma Hasan
Fahmi juga mengemukakan etika yang harus diketahui, dimiliki serta dipahami
oleh peserta didik supaya dia dapat belajar dengan baik dan dapat keridhaan
Allah SWT ; (1) peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum
menuntut ilmu, (2) tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan
berbagai sifat keutamaan, (3) memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut
ilmu di berbagai tempat, (4) setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya,
dan (5) peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.[21]
Etika peserta didik seperti
yang dirumuskan oleh para ahli di atas perlu disempurnakan dengan empat akhlak
peserta didik dalam menuntut ilmu ; (1) peserta didik harus membersihkan
hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar
merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih, (2) peserta
didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan
sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah, (3) seorang peserta didik harus
tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan
dan cobaan yang datang, dan (4) seseorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dan
menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan
mempergunakan beberapa cara yang baik.[22]
Dari paparan di atas dapat
dipahami bahwa dalam konsep pendidikan Islam, peran pendidik sangat menentukan
dalam keberhasilan pembelajaran. Di samping itu keikutsertaan peserta didik
juga sangat besar pengaruhnya untuk mensukseskan tujuan pembelajaran.
Sebagaimana yang dipaparkan di atas bahwa dalam interkasi pembelajaran, seorang
pendidik dan peserta didik harus memiliki etika (kode etik) yang harus
diperhatikan guna mencapai tujuan ahir pendidikan Islam itu sendiri, yaitu insan al-kamil.
[1] Salah satu contohnya adalah E-learning, PAKEM, dan
pembelajaran berbasis komputer. Ketika seorang guru menerapkan E-learning di
sebuah desa kecil dengan harapan siswanya akan “melek” teknologi, tanpa
memandang aspek kemampuan siswa dan justru malah merepotkan dan mempersulit
pembelajarannya. Etika pembelajaran adalah cara bagaimana si peserta didik
mudah memperoleh ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, model PAKEM adalah model pembelajaran yang menekankan
aspek Pertisipasi, Aktif, dan Menyenangkan. Sekilas, model tersebut sangat baik
dan menarik untuk diterapkan. Akan tetapi hanya segelintir orang yang mampu
benar-benar mengetahuinya. Pendidik saja, banyak yang tidak tahu, kenapa justru
siswa yang banyak dituntut untuk tahu dan terkondisi seperti yang diharapkan
oleh model PAKEM ini? seharusnya, guru terlebih dahulu yang harus paham benar.
[2]
http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/14/pembelajaran-dan-etika-sering
dilupakan oleh-para-pendidik-bangsa.
[3] M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 44
[4] Ibid., h. 67
[5] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung : Mulia Press, 2008), h. 210
[6] Ibid., h. 210
[7] Sardiman A.M., Interkasi dan Motivasi Belajar Mengajar,
(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), h. 149
[8]
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta :
Rineka Cipta, 2002), h. 1
[9] Sardiman, A. M., op. cit., h. 2
[11] Lihat Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006), h. 90
[12] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta
: Kalam Mulia, 2008). Cet. Ke-6, h. 74
[14] Rostiyah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan,
(Jakarta : Bina Aksara, 1982), h. 86
[15]
Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang,
1980), h. 22
[16] Al-Ghazali dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 168
[17] Ibid., h. 169
[18] Ibid., h. 182
[19] Ibid., h. 183
[20] Ibid., h. 183-186
[21] Asma Hasan dalam Ramayulis, op. cit., h. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar