A.
Hakikat Keberagamaan Anak
1.
Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Manusia
dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang
demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat “laten”. Potensi
bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang
mantap, lebih-lebih pada usia dini.[1]
Seyogyanya agama masuk ke dalam pribadi anak bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya,
yaitu sejak lahir, bahkan lebih dari itu, sejak dalam kandungan. Karena dalam
pengamatan ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami kesukaran kejiwaan
tampak bahwa keadaan dan sikap orang tua ketika si anak dalam kandungan telah
mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa si anak di kemudian hari.[2]
Si anak mulai
mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan keluarganya. Kata-kata,
tindakan dan perbuatan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan agama pada
anak. Sebelum anak dapat bicara, dia telah dapat melihat dan mendengar
kata-kata, yang barang kali belum mempunyai arti apa-apa baginya. Namun
pertumbuhan agama telah mulai ketika itu. Kata Allah akan mempunyai arti sendiri bagi anak, sesuai
dengan pengamatannya terhadap orang tuanya ketika mengucapkannya. Allah akan
berarti Maha kuasa, maha penyayang atau yang lainnya, sesuai dengan hubungan
kata Allah itu dengan air muka dan sikap orang tua ketika menyebutnya. Kata
Allah yang tadinya tidak berarti apa-apa bagi anak, mulai mempunyai makna sesuai
dengan apa yang ditanggapinya dari orang tuanya. Demikiannlah seterusnya
terhadap semua sikap, tindakan dan cara hidup orang tua yang dialami oleh anak
dalam umur-umurnya yang pertama.[3]
Sesuai dengan
prinsip pertumbuhanya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai
dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu[4] :
a.
Prinsip Biologis
Secara fisik
anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam sagala gerak dan tindak
tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan
kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk
instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan
secara maksimal.
b.
Prinsip Tanpa Daya
Sejalan dengan
belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru
dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang
tuanya, ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
c.
Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan
kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik
jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.
Akal dan fungi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan
dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian
perkembangannya.
Menurut beberapa
para ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang
baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera
lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada
pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa
fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan
dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut
tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi
bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang,
maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian,
ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin
secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Berikut
merupakan beberapa teori mengenai pertumbuhan dan perkembangan agama pada anak
antara lain[5]
:
1)
Rasa Ketergantungan (Sense of Dependent)
Teori ini
dikemukan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia
dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new
experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response),
keinginan untuk dikenal (recognation). Berdasarkan kenyataan dan
kerjasama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam
ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan
itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2)
Instink Keagamaan
Menurut
Woodwort, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya
insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena
beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu
belum sempurna. Misalnya , insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya
sebagai makhluk homo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat
bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi insting sosial tergantung
dari kematangan fungsi lainnya, demikian pula insting keagamaannya.
2.
Perkembangan Agama Pada Anak-anak
Ada tiga faktor
dominan yang mempengaruhi proses perkembangan individu, ialah faktor pembawaan
(heredity) yang bersifat alamiah (nature), faktor lingkungan (environment)
yang merupakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya proses perkembangan (nurture),
dan faktor waktu (time) yaitu saat-saat tibanya masa peka atau
kematangan (maturation). Ketiga faktor dominan itu dalam proses
berlangsungnya perkembangan individu berperan secara interaktif, yang dapat
dijelaskan secara fungsional atau regresional.[6]
Lingkungan yang
mengelilingi anak dianggap sebagai suatu faktor yang sangat penting bagi
pembentukkan kepribadiannya, kecendrungan-kecendrungannya, dan pandangannya
terhadap lingkungan. Penelitian-penelitian klinik, baik yang bersifat analisis
ataupun yang lain menyatakan bahwa rumah yang dipenuhi rasa kasih sayang dan
rasa saling pengertian yang didasarkan atas kepercayaan, menghormati,
menghargai serta cinta yang menjaga keseimbangan yang bijaksana antara
kebebasan dan pembatasan, adalah rumah yang berhasil menampilkan sosok-sosok
yang matang. Sebaliknya rumah yang tidak aman akan menampilkan sosok-sosok yang
menyimpang, kontroversial, lemah dan bermasalah.[7]
Anak yang hidup
dilingkungan yang sehat akan membangun perkembangan dan pertumbuhan anak yang
baik pula. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan
pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama
(masa anak) dari umur 0-12 tahun[8]
Menurut
penelitian Ernest Harmes perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa
fase/ tingkatan. Dalam bukunya Development of Religius on Children, ia
mengatakan bahwa perkembangan agama pada nak-anak itu melalui tiga tingkatan,
yaitu :
a. The Fairy Tale
Stage (Tingkat
Dongeng)
Tingkat ini
dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenai
Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi
b. The Realistic
Stage (Tingkat
Kenyataan)
Tingkat ini
dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (masa usia) adolense.
Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka
dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada
masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal)
keagamaan mereka itu dan dipelajari dengan penuh minat.
Masa bersekolah
secara relatif anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan
sesudahnya. Masa ini dapat dirinci menjadi dua fase, yaitu: masa kelas-kelas
rendah dan masa kelas-kelas tingi.[9] Akan
tetapi guru di Sekolah Dasar, terutama di kelas I dan II menghadapi tugas yang
tidak ringan dalam pengembangan agama anak. Dalam satu kelas yang terdiri dari
beberapa orang siswa, akan membawa sikap sendiri-sendiri, sesuai dengan
pengalaman agamanya di rumah masing-masing. Di sini peran guru yang pandai dan
bijaksanalah yang dapat memperbaiki dan mendekatkan semua anak ke arah
perkembangan yang sehat, khususnya perkembagan agama anak yang sehat.
Diantara hal
yang perlu diingat dan selalu disadari oleh guru, ialah anak-anak pada
umur-umur Sekolah Dasar sedang dalam pertumbuhan kecerdasan cepat. Khayal dan
fantasinya sedang subur dan kemampuan untuk berpikir logis sedang dalam
pertumbuhan.
c. The Individual
Stage (Tingkat
Individu)
Tingkat ini
anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan
usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga
golongan yaitu :
1)
Konsep ke-Tuhanan yang
konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2)
Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan
yang bersifat personal (perorangan).
3)
Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi
etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini
setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan
faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
Dalam buku Ilmu
Jiwa Agama oleh Zakiah Daradjat perkembangan agama pada anak sangat ditentukan
oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa
pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun. Seorang anak pada
masa anak itu tidak mendapat didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman
keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif
terhadap agama.
Namun
berdasarkan uraian di atas mengaplikasikan bahwa proses perkembangan itu
berlangsung secara bertahap, dalam arti:
a.
Bahwa perubahan yang terjadi bersifat maju meningkat, mendalam,
meluas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (prinsip progresif).
b.
Perubahan yang terjadi antar bagian, fungsi organisme itu terdapat
interpedensi sebagai kesatuan intergral yang harmonis (prinsip sistematik)
c.
Perubahan pada bagian, fungsi organisme itu berlangsung secara
beraturan dan berurutan dan tidak secara kebetulan dan meloncat-loncat (prinsip
berkesinambungan).[10]
Jelas sekali
bahwa perubahan seorang anak itu sesuai dengan pengalaman dan sesuai dengan
perkembangan anak. Peran pendidik sangat menentukan hasil yang akan dicapai.
Metode yang baik akan membawa anak terhadap perubahan yang baik pula. Kerjasama
yang baikpun setiap lingkungan sangat menentukan, baik antara di rumah, sekolah
maupun lingkungan masyarakat.
3.
Sifat-Sifat Keberagamaan Pada Anak
Memahami konsep
keagamaan pada anak-anak berarti
memahami sifat agama pada anak-anak. Sebenarnya potensi keberagamaan
bagi seorang anak telah ada semenjak anak lahir ke dunia, ia memiliki fitrah
untuk beriman kepada Tuhan. Tinggal perosalannya usaha pengembangan serta
pemeliharaan potensi (perasaan religius) tersebut yang ada pada seseorang.[11]
Maka di sinilah peran utama orang tua dan guru di dalam mengemban potensi
keberagamaan anak.
Sesuai dengan
ciri yang mereka miliki, maka sifat keagamaan pada anak-anak tumbuh mengikuti
pola ideas concept on outhority. Ide keagamaan pada anak hampir
sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka
dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka.
Athur T.Jersild
dan kawan-kawannya, dalam Psychology of adolescence mengatakan bahwa :
biasanya orang tua anak beragama itu dikarenakan orang tuanya beragama, atau
karena ia menirukan orang tuanya beragama.[12]
Biasanya sebelum umur kurang lebih empat tahun anak belum menyadari benar
perasaan ketuhanan (keagamaan). Tuhan bagi anak masih dalam fantasi atau
gambarannya disamakan makhluk/ manusia lainnya (anthrophomorphonisme);
contoh, anak sering menanyakan Tuhan rumahnya di mana? Tuhan anaknya berapa?
dan lain lain.
Berdasarkan
uraian di atas bahwa jelas sekali, peran orang tua dan lingkungan sangat
mempengaruhi perkembangan agama anak. Penjelasan dan tingkah laku orang tua dan
lingkungannya merupakan sesuatu yang akan ditiru dan dicontoh oleh anak. Dengan
demikian, ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik
mereka yang mereka pelajari dari para orang tua dan guru mereka. Bagi mereka
sangat mudah untuk menerima ajaran orang dewasa, walaupun belum mereka sadari
sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Bedasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat
agama pada diri anak dapat dibagi atas :
a.
Unreflective (tidak
mendalam)
Dalam
penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73%
mereka menganggap Tuhan bersifat seperti manusia.[13]
Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mangatakan bahwa Santa Klaus memotong
jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap
ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang
mereka terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka
sudah puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun
demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang
pendapat yang mereka terima dari orang lain.
b.
Egosentris
Anak memiliki
kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan
berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan
diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh pada rasa egonya. Semakin
bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam
masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan
yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang
mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan
(childish) dan memilki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian
mengganggu pertumbuhan keagamaannya.
c.
Anthromorphis
Pada umumnya,
konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala
ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan
mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang
terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa keadaan Tuhan itu sama dengan
manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat, dan
memberi tempat yang baik bagi orang yang
berbuat baik.
d.
Verbalis dan ritualis
Berdasarkan kenyataan
yang kita alami ternyata, kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh
mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada
mereka. Menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan agama anak itu di usia dewasa. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa
yang taat karena pengaruh ajaran dan praktik keagamaan yang dilaksanakan pada
masa kanak-kanak mereka.
e.
Imitative
Dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh
anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan salat misalnya,
mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa
pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa
dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan
modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Walaupun anak
mendapat ajaran agama tidak semata-mata berdasarkan yang mereka peroleh sejak
kecil, namun pendidikan keegamaan (religious paedagogis) sangat
mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behaviour)
melalui sifat meniru itu.
f.
Rasa Heran
Rasa heran dan
kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda
dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini
belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan
lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak
akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa
kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa
takjub.[14]
[1]
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h. 63
[2]
Op.cit, Ilmu Jiwa Agama, hal, 69-70
[3] Ibid,
Hal. 70
[4] Op.Cit,
h.63-64
[5]
Ibid, h. 65
[6]
Abin Saymsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, (Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 81
[7]
Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, (Jakarta
: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 37
[8]
Op.Cit, Ilmu Jiwa Agama, h. 69
[9] Abu
Ahmadi & Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 2005), h. 38
[10]
Abin Syamsudin, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2009), h.83
[11] Abu
Ahmadi & Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 2005), h. 109
[12]
ibid
[13]
ibid
[14]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar