Cari Blog Ini

Senin, 30 April 2018

Hakikat Keberagamaan Anak


A.  Hakikat Keberagamaan Anak
1.    Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat “laten”. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini.[1] Seyogyanya agama masuk ke dalam pribadi anak bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya, yaitu sejak lahir, bahkan lebih dari itu, sejak dalam kandungan. Karena dalam pengamatan ahli jiwa terhadap orang-orang yang mengalami kesukaran kejiwaan tampak bahwa keadaan dan sikap orang tua ketika si anak dalam kandungan telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa si anak di kemudian hari.[2]
Si anak mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan keluarganya. Kata-kata, tindakan dan perbuatan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan agama pada anak. Sebelum anak dapat bicara, dia telah dapat melihat dan mendengar kata-kata, yang barang kali belum mempunyai arti apa-apa baginya. Namun pertumbuhan agama telah mulai ketika itu. Kata Allah  akan mempunyai arti sendiri bagi anak, sesuai dengan pengamatannya terhadap orang tuanya ketika mengucapkannya. Allah akan berarti Maha kuasa, maha penyayang atau yang lainnya, sesuai dengan hubungan kata Allah itu dengan air muka dan sikap orang tua ketika menyebutnya. Kata Allah yang tadinya tidak berarti apa-apa bagi anak, mulai mempunyai makna sesuai dengan apa yang ditanggapinya dari orang tuanya. Demikiannlah seterusnya terhadap semua sikap, tindakan dan cara hidup orang tua yang dialami oleh anak dalam umur-umurnya yang pertama.[3]
Sesuai dengan prinsip pertumbuhanya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu[4] :
a.    Prinsip Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam sagala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
b.    Prinsip Tanpa Daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya, ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
c.    Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.
Menurut beberapa para ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Berikut merupakan beberapa teori mengenai pertumbuhan dan perkembangan agama pada anak antara lain[5] :
1)   Rasa Ketergantungan (Sense of Dependent)
Teori ini dikemukan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), keinginan untuk dikenal (recognation). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2)   Instink Keagamaan
Menurut Woodwort, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Misalnya , insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi insting sosial tergantung dari kematangan fungsi lainnya, demikian pula insting keagamaannya.

2.    Perkembangan Agama Pada Anak-anak
Ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi proses perkembangan individu, ialah faktor pembawaan (heredity) yang bersifat alamiah (nature), faktor lingkungan (environment) yang merupakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya proses perkembangan (nurture), dan faktor waktu (time) yaitu saat-saat tibanya masa peka atau kematangan (maturation). Ketiga faktor dominan itu dalam proses berlangsungnya perkembangan individu berperan secara interaktif, yang dapat dijelaskan secara fungsional atau regresional.[6]
Lingkungan yang mengelilingi anak dianggap sebagai suatu faktor yang sangat penting bagi pembentukkan kepribadiannya, kecendrungan-kecendrungannya, dan pandangannya terhadap lingkungan. Penelitian-penelitian klinik, baik yang bersifat analisis ataupun yang lain menyatakan bahwa rumah yang dipenuhi rasa kasih sayang dan rasa saling pengertian yang didasarkan atas kepercayaan, menghormati, menghargai serta cinta yang menjaga keseimbangan yang bijaksana antara kebebasan dan pembatasan, adalah rumah yang berhasil menampilkan sosok-sosok yang matang. Sebaliknya rumah yang tidak aman akan menampilkan sosok-sosok yang menyimpang, kontroversial, lemah dan bermasalah.[7]
Anak yang hidup dilingkungan yang sehat akan membangun perkembangan dan pertumbuhan anak yang baik pula. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun[8]
Menurut penelitian Ernest Harmes perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase/ tingkatan. Dalam bukunya Development of Religius on Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada nak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu :
a.    The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi
b.    The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (masa usia) adolense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka itu dan dipelajari dengan penuh minat.
Masa bersekolah secara relatif anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini dapat dirinci menjadi dua fase, yaitu: masa kelas-kelas rendah dan masa kelas-kelas tingi.[9] Akan tetapi guru di Sekolah Dasar, terutama di kelas I dan II menghadapi tugas yang tidak ringan dalam pengembangan agama anak. Dalam satu kelas yang terdiri dari beberapa orang siswa, akan membawa sikap sendiri-sendiri, sesuai dengan pengalaman agamanya di rumah masing-masing. Di sini peran guru yang pandai dan bijaksanalah yang dapat memperbaiki dan mendekatkan semua anak ke arah perkembangan yang sehat, khususnya perkembagan agama anak yang sehat.
Diantara hal yang perlu diingat dan selalu disadari oleh guru, ialah anak-anak pada umur-umur Sekolah Dasar sedang dalam pertumbuhan kecerdasan cepat. Khayal dan fantasinya sedang subur dan kemampuan untuk berpikir logis sedang dalam pertumbuhan.
c.    The Individual Stage (Tingkat Individu)
Tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan yaitu :
1)   Konsep ke-Tuhanan  yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2)   Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3)   Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
Dalam buku Ilmu Jiwa Agama oleh Zakiah Daradjat perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun. Seorang anak pada masa anak itu tidak mendapat didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama.
Namun berdasarkan uraian di atas mengaplikasikan bahwa proses perkembangan itu berlangsung secara bertahap, dalam arti:
a.    Bahwa perubahan yang terjadi bersifat maju meningkat, mendalam, meluas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (prinsip progresif).
b.    Perubahan yang terjadi antar bagian, fungsi organisme itu terdapat interpedensi sebagai kesatuan intergral yang harmonis (prinsip sistematik)
c.    Perubahan pada bagian, fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan dan berurutan dan tidak secara kebetulan dan meloncat-loncat (prinsip berkesinambungan).[10]
Jelas sekali bahwa perubahan seorang anak itu sesuai dengan pengalaman dan sesuai dengan perkembangan anak. Peran pendidik sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Metode yang baik akan membawa anak terhadap perubahan yang baik pula. Kerjasama yang baikpun setiap lingkungan sangat menentukan, baik antara di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat.

3.    Sifat-Sifat Keberagamaan Pada Anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti  memahami sifat agama pada anak-anak. Sebenarnya potensi keberagamaan bagi seorang anak telah ada semenjak anak lahir ke dunia, ia memiliki fitrah untuk beriman kepada Tuhan. Tinggal perosalannya usaha pengembangan serta pemeliharaan potensi (perasaan religius) tersebut yang ada pada seseorang.[11] Maka di sinilah peran utama orang tua dan guru di dalam mengemban potensi keberagamaan anak.
Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat keagamaan pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka.
Athur T.Jersild dan kawan-kawannya, dalam Psychology of adolescence mengatakan bahwa : biasanya orang tua anak beragama itu dikarenakan orang tuanya beragama, atau karena ia menirukan orang tuanya beragama.[12] Biasanya sebelum umur kurang lebih empat tahun anak belum menyadari benar perasaan ketuhanan (keagamaan). Tuhan bagi anak masih dalam fantasi atau gambarannya disamakan makhluk/ manusia lainnya (anthrophomorphonisme); contoh, anak sering menanyakan Tuhan rumahnya di mana? Tuhan anaknya berapa? dan lain lain.
Berdasarkan uraian di atas bahwa jelas sekali, peran orang tua dan lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan agama anak. Penjelasan dan tingkah laku orang tua dan lingkungannya merupakan sesuatu yang akan ditiru dan dicontoh oleh anak. Dengan demikian, ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua dan guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran orang dewasa, walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Bedasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas :
a.    Unreflective (tidak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% mereka menganggap Tuhan bersifat seperti manusia.[13] Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mangatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
b.    Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan  dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memilki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian mengganggu pertumbuhan keagamaannya.
c.    Anthromorphis
Pada umumnya, konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa keadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat, dan memberi tempat yang  baik bagi orang yang berbuat baik.
d.   Verbalis dan ritualis
Berdasarkan kenyataan yang kita alami ternyata, kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasa. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktik keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak-kanak mereka.
e.    Imitative
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan salat misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak semata-mata berdasarkan yang mereka peroleh sejak kecil, namun pendidikan keegamaan (religious paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behaviour) melalui sifat meniru itu.
f.     Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.[14]


[1] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 63
[2] Op.cit, Ilmu Jiwa Agama, hal, 69-70
[3] Ibid, Hal. 70
[4] Op.Cit, h.63-64
[5] Ibid, h. 65
[6] Abin Saymsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2009), h. 81
[7] Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 37
[8] Op.Cit, Ilmu Jiwa Agama, h. 69
[9] Abu Ahmadi & Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005), h. 38
[10] Abin Syamsudin, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009), h.83
[11] Abu Ahmadi & Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005), h. 109
[12] ibid
[13] ibid
[14] Ibid

Tidak ada komentar: