A.
Konsep Etika
- Pengertian
Etika
Dalam kehidupan manusia di atas
permukaan bumi ini, perbuatan manusia yang dilakukan manusia tidak terlepas
dari hukum baik dan buruk, benar atau salah. Hukum yang demikian merupakan yang
berlaku secara merata bagi seluruh manusia, baik ia yang berkedudukan tinggi
maupun rendah, baik dalam perbuatan yang besar maupun yang kecil. Perbuatan yang dilakukan manusia itu
sering dikaitkan dengan nama “etika”.
Kedudukan
etika dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu
maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung
kepada bagaimana etikanya. Apabila etikanya baik, sejahteralah batinnya, dan
bila etikanya rusak, rusaklah lahir batinnya.[1]
|
Untuk
mencapai kebahagiaan, manusia mencari jalan menuju tempat tujuan, yaitu dengan
segala upaya dan sarana yang ada pada masing-masing manusia yang telah
dianugerahkan oleh Sang Khalik. Sesuai dengan fitrah manusia ia akan mencari
menuju jalan yang universal pada masa kini dan nanti, maka Allah akan memberikan apa yang dicari
manusia, yaitu sesuatu jalan yang lurus. Apabila dijalani sesuai aturan, ia
dapat sampai kepada tujuannya, jalan itu adalah agama (al-din al-Islam).[2]
Dewasa ini
terlihat gejala-gejala kemerosotan etika, di mana secara pasti sulit untuk
mendefenisikan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Namun, tak
dapat pula dikesampingkan bahwa faktor kemajuan teknologi dan ekonomi juga ikut
berperan di dalamnya.
Harga diri
seseorang bukan ditentukan oleh kekayaan materi ketinggian intelektualnya,
tetapi yang lebih diperhatikan adalah soal etikanya. Etika ini adalah masalah
utama pada manusia mengenai perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Etika adalah
nilai sosial dalam masyarakat. Nilai merupakan salah satu cabang dari filsafat.
Manusia mengerti apa-apa yang
baik dan apa-apa yang buruk. Pengertian tentang itu tidak didapat dari
pengalaman, tetapi telah ada dalam diri sejak manusia dalam kandungan.
Pengertian ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :
<§øÿtRur
$tBur $yg1§qy
ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù
$yduqègéú
$yg1uqø)s?ur
ÇÑÈ
Artinya : “Demi jiwa (manusia) serta penyempurnaannya
(ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (dua jalan) kefasikan dan
ketakwaannya (yang buruk dan jalan yang baik)”. (Q.S. Al-Samsy ; 7-8).
Agama merupakan tujuan yang lurus (shirat al-mustaqim)
menuju tempat kebahagiaan, menuju tujuan manusia di dunia dan di akhirat. Iman,
Islam, dan Ihsan merupakan tiga unsur
yang berjalin. Beretika mulia sebagai ajaran Rasulullah SAW, menjalani
agama (dalam bentuk amal shaleh) dengan cara yang ihsan merupakan kewajiban.
Etika baik adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama,
menjauihi segala larangan-larangannya, memberikan hak kepada Allah, makhluk,
sesama manusia dan alam sekitarnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan fitrah
manusia.
Dari keterangan di atas nampaknya perbuatan yang
menyangkut dengan manusia, baik ia pebuatan yang baik maupun yang buruk secara
keseluruhan dapat dikelompokkan kepada etika. Untuk lebih lanjut, akan
diuraikan tentang pengertian etika secara etimologi (bahasa) dan
secara terminologi (istilah) serta pendapat dari beberapa pakar mengenai pengertian
etika dan yang berkaitan dengannya.
Menurut bahasa (etimologi) istilah
etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat-istiadat (kebiasaan).[3] Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika
diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[4] Hal
yang senada diungkapkan Suhrawadi K. Lubis, secara etimologi kata etika berasal
dari kata ethos yang diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atau
kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan dalam kehidupan di atas
dunia ini.[5] Dari
pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan tingkah laku manusia.
Kata ethos dalam bahasa Indonesia ternyata juga cukup banyak dipakai
misalnya dalam kombinasi etos kerja, etos profesi, etos imajinasi, etos dedikasi,
etos kinerja dan masih banyak istilah lainnya. Etika termasuk ilmu
pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku yang berarti juga :
a.
ilmu tentang
apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban.
b.
kumpulan asas
atau nilai yang berkaitan dengan tingkah laku manusia.
c.
nilai mengenai
benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk, dan kebiasaan-kebiasaan yang
dianut suatu golongan masyarakat.[6]
Etika juga dapat didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai
gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai
mengenai tujuannnya yang dapat merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak
membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata adab, melainkan membahas
tata sifat dasar, atau adat istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah
laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas manusia
untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan menerapkan pada
situasi kehidupan konkrit.[7]
Untuk membedakan arti mengenai defenisi etika ini,
perumusannya menurut M. Yatimin Abdullah dapat diperjelas lagi sebagai berikut
:
- Etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya, jika orang membicarkan tentang “Etika suku-suku Indian,
Etika agama Budha, Etika protestan, Etika Islam, Etika Conghucu”, tidak
dimaksudkan ilmu melainkan arti pertama tadi. Secara singkat arti dapat dirumuskan
juga sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini berfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun pada taraf sosial.
- Etika dapat dipakai dalam arti asas norma tingkah
laku, tata cara melakukan, sistem perilaku, tata karma. Lebih tegasnya
lagi ialah kode etik. Misalnya, “kode etik guru, kode etik jurnalistik,
kode etik muballigh, kode etik pegawai negeri”, di sini tidak dimaksudkan
ilmu melainkan tata cara. Secara singkat, arti ini dapat dirumuskan juga
sebagai sistem aturan atas peraturan-peraturan.
- Etika dapat dipakai dalam arti perilaku baik buruk,
boleh tidak boleh, suka tidak suka, senang tidak senang. Etika semacam ini
diakui apabila perilaku etis asas-asas dan nilai-nilai yang terkandung
menjadi ukuran baik buruk secara umum, diterima masyarakat di suatu
tempat, menjadi persetujuan bersama dan dilaksanakan bersama.
- Etika dapat dipakai dalam arti ilmu tentang
perbuatan baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara
metodis dan sistematis yang terdiri dari asas-asas dan nilai-nilai baik
dan buruk. Dalam masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan
rujuakn (referensi) bagi suatu penelitian
perilaku etika yang disusun secara sistematis dan metodis mengarah pada
filsafat. Etika
di sini sama artinya dengan filsasat etika.[8]
Ilmu
etika ini juga telah disebut-sebut sejak zaman Socrates (470-399 SM). Ia
berpendapat bahwa etika membahas baik buruk, benar-salah dalam tingkah laku,
tindakan manusia, dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak
mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya
berbuat dan bertindak.[9]
Pengertian etika juga dapat diartikan dengan membedakan
tiga arti dari penjelasan etika, yaitu :
- Etika membahas ilmu yang mempersoalkan tentang
perbuatan-perbuatan manusia mulai dari yang terbaik sampai kepada yang
terburuk dan pelanggaran-pelanggaran hak dan kewajiban.[10]
- Etika membahas masalah-masalah nilai tingkah laku
manusia mulai dari tidur, kegiatan siang hari, istirahat, sampai tidur
kembali, dimulai dari bayi hingga dewasa, tua renta dan sampai wafat.[11]
- Etika membahas adat-istiadat suatu tempat, mengenai
benar-salah kebiasaan yang dianut suatu golongan atau masyarakat baik
masyarakat primitif, pedesaan, perkotaan hingga masyarakat modern.[12]
Adapun arti etika dari segi istilah (terminologi)
telah dikemukakan oleh para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandangnya. Berikut ini padangan para ahli mengenai etika :
- Ahmad
Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melaksanakan apa yang seharusnya diperbuat.[13]
- Soegarda
Poerbakawatja manegartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan
tentang baik buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan
pengetahuan tentang nilai-nilai itu
sendiri.[14]
- Asmaran
AS mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia
untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik atau buruk, sedangkan
ukuran menetapkan nilainya adalah pakai akal pikiran manusia.[15]
- Hamzah
Ya’cub, menyatakan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan
mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran.[16]
- Burhanuddin
Salam mengartikan etika sebagai sebuah refleksi kritis dan rasional
menyamai nilai-nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam
sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai
kelompok.[17]
- M. Amin
Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik dan
buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi sebagai teori perbuatan baik
dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlaq al-karimah), praktiknya dapat dilakukan dalam
disiplin filsafat.[18]
- Lewis Mustafa Adam mengartikan etika sebagai
ilmu tentang filsafat, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai,
tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya.[19]
Dari
beberapa defenisi etika tersebut di atas dapat diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama dilihat dari obyek pembahasaannya, etika berupaya
membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika pada
akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat
mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki
kekurangan, kelebihan, dan sebagainya. Selain itu etika juga memamfaatkan
berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi,
psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Hal ini
dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama memiliki obyek
pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia. Ketiga dilihat dari fungsinya, etika berfungsi
sebgai penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dialkukan
oleh manusia, yaitu apakah perbuatan terebut akan bernilai baik, buruk, mulia,
terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai
konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan manusia. Peranan etika
dalam hal ini tampak sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan
konsep atau pemikiran nmengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan
poisi atau status yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian
sistem nilai-nilai yang ada. Keempat dilihat
dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai
dengan tuntunan zaman.[20]
Dengan
ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukan para filosof barat mengenai perbuatan etika baikk atau
buruk dapat dikelompokkan kepada etika, karena berasal dari hasil berfikir.
Dengan demikian, etika sifatnya humanistis atau anthroprocentris, yakni
berdasar pada pemikiran manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola
tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
Sebagian
orang ada yang beranggapan bahwa sama etika dengan akhlak. Persamaan itu memang
ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia.
Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi
seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang
baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan
tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena
pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai
ukuran (kriteria) yang berlainan. Setiap
golongan mempunyai konsep sendiri-sendiri.
Sebagi
cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal pikiran, tidak dari
agama. Di sinilah letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam
pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan
ajaran Allah dan Rasul-Nya, ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah dan akal
pikiran yang lurus.[21]
Untuk
menghilangkan kesamaran tersebut, menurut Hamzah Ya’cub perlu diuraikan
karakteristik etika Islam yang membedadakannya dengan etika filsafat, sebagai
berikut :
a. Etika Islam
mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan
diri dari tingkah laku yang buruk.
b. Etika Islam
menetapkan bahan yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan,
didasarkan kepada ajaran Allah SWT (al-Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
c. Etika Islam bersifat
universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
d. Dengan
ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal
pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh
seluruh manusia.
e. Etika Islam mengatur
dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan
perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT, menuju
keridhaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia
dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.[22]
Dari uraian
karakteristik etika Islam di atas dapat dilihat bahwa etika Islam merupakan
ilmu yang mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk sesuai dengan ajaran Islam yang
tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.
Etika Islam
mengandung berbagai manfaat, karena itu, mempelajari ilmu dapat membuahkan
hikmah yang sangat besar, diantaranya :
- Kemajuan
rohani. Orang yang berilmu, mempunyai keutamaan dengan derajat yang lebih
tinggi. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an :
..... ö@yd
ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w
tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt
(#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
Artinya : ….."Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Az-Zumar : 9)
ù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎôØnS Ĩ$¨Z=Ï9
( $tBur !$ygè=É)÷èt
wÎ)
tbqßJÎ=»yèø9$#
ÇÍÌÈ
Artinya : “Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu”. (Q.S. Al-Ankabut : 43)
- Penutup kebaikan. Etika Islam bukan sekedar memberitahukan mana yang baik dan mana yang buruk, melainkan juga memengaruhi dan menorong umatnya supaya membentuk hidup yang suci. Rasulullah SAW justru memiliki etika mulia dan mencontohkannya kepada pengikutnya supaya beretika yang baik kepada sesamanya. Ini disebutkan dalan Al-Qur’an :
y7¯RÎ)ur
4n?yès9
@,è=äz
5OÏàtã ÇÍÈ
Artinya : “Dan Sesungguhnya engkau
(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. Al-Qalam : 4)
- Kesempurnaan iman. Iman yang sempurna melahirkan kesempurnaan akal dan etika. Keindahan etika merupakan manifestasi dari kesempurnaan akal, iman, dan ihsan. Ini melahirkan akal budi yang tinggi dan keluhuran jiwa. Untuk penyempurnaan iman, haruslah menyempurnakan etika dengan mempelajari ilmu agama sebagai penerang.[23]
[3] Achmad Charris Zubair, Kuliah
Etika, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1980), h. 13
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), h. 278.
[5] Suhrawadi K. Lubis, Etika
Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994). h. 1
[6] M. Yatimin Abdullah, op. cit.,
h. 5
[7] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,
(Yoyakarta : Kanisius, 1996), h. 62
[8] M. Yatimin Abdullah, loc. cit., h.
5-6
[10] Juhaya S. Praja, Filsafat dan Etika, (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 59
[11] Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 43
[12] K. Bertens, Etika, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 231
[13] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj,
KH. Faridl Ma’ruf dari judul asli. Al-Akhlaq, (Jakarta : Bulan Bintang,
1983), h. 3
[14] Soegarda Poerbakawatja, Ensklopedi
Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1979), h. 82
[15] Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 1992), h. 7
[16] Hamzah Ya’cub, Etika Islam, (Bandung
: Diponegoro, 1983), h. 12
[17] Burhanuddin Salam, Etika Sosial,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 3
[18] M. Amin Abdullah, Filsafat
Etika Islam, (Bandung : Mizan, 2002), h. 15
[19] Lewis Mustafa Adam, New Masters Pictorial Encyclopedia, (New
York : Publisher. Co, 1963), h. 40
[20] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 91-92
[21] Hamzah Ya’cub, op. cit., h. 13
[22] Ibid., h. 13-14
[23] M. Yatimin Abdullah, op. cit., h. 11-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar