A. Akhlak dan Usaha-Usaha
Pembinaannya
1.
Definisi akhlak, etika dan
moral
a.
Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan
untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan
pendekatan terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, ada dua pendapat
yang menyatakan tentang asal kata akhlak, pertama, Jamil Shaliba dalam Abudin Nata mengemukakan
bahwa akhlak berasal dari bahsa Arab yaitu isim
mashdar (bentuk infinitife) dari kata al-akhlaqa,
yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan
(wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu
if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), at-thabi’ah (kelakuan,
tabiat, watak dasar), al-adat
(kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah
(peradaban yang baik) dan al-din
(agama).[1]
Kedua,
kata akhlak merupakan bentuk jamak dari mufradnya khilqun atau khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, yang juga
erat hubungannya dengan khaaliqun yang
berarti pencipta, demikian pula dengan makhluqun
yang berarti yang diciptakan.[2]
Dari dua pendapat
di atas, penulis sependapat dengan pendapat yang kedua, karena akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa akhlak merupaka bentuk jamak
dari bentuk mufradnya khilqun atau khuluqun. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pola bentukan definisi
akhlak ini, timbul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khaliq
(pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) secara timbale balik, yang kemudian
disebut dengan hablum minallah. Dari
produk hablum minallah yang verbal,
biasanyaa lahirlah pola hubungan antarsesama manusia yang disebut dengan hablum minanas (pola hubungan antar sesama
makhluk).[3]
Selanjutnya definisi akhlak secara terminologi, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli, sebagai
berikut:
1)
Ibnu Miskawaih, mengemukakan bahwa akhlak adalah keadaan
jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.[4]
2)
Imam al-Gazali bahwa akhlak adalah “Sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
lebih dahulu.
[5]Jika
kondisi jiwa itu memunculkan tindakan baik dan terpuji secara akal dan syara’
maka disebut akhlak baik, namun sebaliknya jika memunculkan tindakan tercela
maka disebut akhlak tercela.
3)
Ahmad
Amin dalam bukunya al-Akhlaq mengemukakan bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya,
kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.[6] Menurutnya, kehendak ialah ketentuan dari
beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedangkan kebiasaan merupakan
perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah dilakukannya. Masing-masing dari
kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan dan gabungan dari kekuatan itu
menimbulkan kekuatan yang lebih besar.
Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak mulia.
4)
Selanjutnya Sattu Alang mengemukakan bahwa akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
secara spontanitas, yang timbul karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena
adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar.[7]
Dari definisi di atas, dapat diapahami bahwa
Akhlak bukanlah merupakan ”perbuatan” baik ataupun ”pebuatan” buruk,
juga bukan ”kekuatan” baik ataupun ”kekuatan” buruk, juga bukan merupakan
”pembeda” antara baik dan buruk, akan tetapi akhlak itu merupakan”hal” keadaan
atau kondisi, dimana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya
menahan atau memberi. Jadi akhlaq itu adalah ibarat dari ”keadaan jiwa dan
bentuknya yang batiniah”. Akhlak adalah situasi permanen dalam jiwa yang
melahirkan bentuk-bentuk pola tingkah laku tanpa melalui dorongan dari luar dan
tanpa pengetahuan.
Secara subtansial pendapat-pendapat tersebut
di atas, tampak saling melengkapi, dan dari pendapat tersebut, terdapat lima
ciri dari perbuatan akhlak, yaitu; pertama,
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur
atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa
ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara, dan kelima, sejalan
dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah
perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena
ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[8]
Akhlak atau keadaan batin yang telah
tertanam dan inheren di dalam diri manusia, bisa dikatakan sebagai modal
pertama dan utama, dan kualitas perbuatan manusia tergantung bagaimana manusia
itu cerdas dalam kecenderungannya dan mengkondisikan kecenderungan, apakah
manusia cenderung kepada hal-hal yang baik, ataukah sebaliknya. karena apabila
manusia memiliki akhlak yang baik, maka akan beruntunglah hidupnya, begitu pula
sebaliknya apabila manusia memiliki kecenderungan buruk maka hancurlah
hidupnya.
b. Etika
Secara etimologi etika berasal dari bahasa
Yunani, Ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat.[9] Dalam
kamus bahasa Indonesia etika diartikan sebagai ilmu pengethuan tentang
asas-asas akhlak (moral).[10] Dari
pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan dan menilai tingkah laku manusia.
Secara istilah pengertian etika menurut Bertens sebagaimana dikutip Sjarkawi bahwa
etika mempunyai tiga arti. Pertama,
etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas
atau nilai moral. Ketiga, etika dalam
arti ilmu tentang yang baik atau buruk.[11]
Selanjutnya Ahmad Amin mengemukakan bahwa etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju manusia
di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya di perbuat.[12]
Dari
penjelasan di atas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat
hal sebagai berikut. Pertama, dilihat
dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan
oleh manusia. Kedua, dilihat dari
segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil
pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal.
Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya.
Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku
manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu
ekonomi dan sebagainya. Ketiga,
dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah
perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat,
dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka
etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan
perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai
pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau
buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil
berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni
bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain
etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
c.
Moral
Istilah moral kadangkala digunakan
sebagai kata yang sama artinya dengan etika. Moral berasal dari bahasa Latin,
yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan.[13]
Dalam kamus bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik dan
buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[14]
Selanjutnya moral dalam istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat dan perbuatan
yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.[15]
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai
(ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut
dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan
moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika
dan moral memiliki perbedaan. dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,
sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan
berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat
pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep.
Sedangkan moral berada dalam dataran realitas
dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian
tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia
adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika
dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Selanjutnya menurut Mastuhu, istilah moral sangat dekat dengan “kata hati”. Hati adalah
kalbu yang berasal dari kata kerja qallaba,
yang berarti “membalik”. Substansi hati selalu berpotensi berbolak-balik: suatu
saat merasa senang dan disaat lain merasa susah. Memang, hati tidak konsisten,
kecuali yang mendapat bimbingan cahaya ilahi. Di sini lentera dibutuhkan bagi
hati manusia.[16]
Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan
hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience,
conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa Arab disebut dengan qalb, fu’ad. Dalam kesadaran moral
mencakup tiga hal. Pertama, perasaan
wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga
berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umum dapat
diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan
secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat
bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.[17]
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat diambil
kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang
dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut
diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya
kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan
perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut
telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran
moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu
perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
2.
Persamaan dan Perbedaan antara Etika, dan Moral, dengan Akhlak
a. Persamaan
antara Etika, dan Moral dengan Akhlak
Secara etimologi,
moral dan etika memiliki arti yang sama, yaitu adat kebiasaan, hanya saja
berbeda dari asalnya. Moral berasal dari bahasa latin, dan etika berasal dari
bahasa Yunani. Dan akhlak berarti ciptaan, dan berasal dari bahasa Arab. Dari pengertian
secara etimologi moral, etika dan akhlak, penulis menemukan titik singgung yang
ada pada ketiganya, yaitu ketiga-tiganya membicarakan
tentang perbuatan baik atau buruk, benar atau salah atau tindakan manusia. Pada
umumnya kalangan awam cenderung untuk menyamaratakan begitu saja antara moral
dan etika, bahkan tidak sedikit yang mengacaukannya dengan istilah
’tatakarama”,”sopan santun” budi pekerti (dalam ruang lingkup adat istiadat)
atau dengan istilah ’akhlak’.
Dengan
demikian dapat diambil kesimpulan, jika dilihat dari fungsi dan perannya bahwa
etika, moral, dan akhlak adalah sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari
suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk. Kesemua istilah
tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur,
aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera baik lahiri maupun bathinnya.
b. Perbedaan
antara etika, moral dengan akhlak
Secara terminologi, pengertian moral, etika dan akhlak memiliki
definisi dan obyek kajian yang berbeda. Definisi moral lebih menitik beratkan
pada perbuatan, tindakan atau tingkah laku manusia. Atau kualitas dari
perbuatan, tindakan, tingkah laku, apakah perbuatan itu bisa dikatakan baik
atau buruk, benar atau salah. Sedangkan etika memberikan penilaian tentang baik
dan buruk, tidak hanya memberikan gambaran tentang perbuatan baik atau buruk
manusia, namun juga memberikan penilaian tentang baik atau buruk akan perbuatan
atau tindakan yang dipilih oleh manusia. sedangkan akhlak tatanannya lebih
menekankan bahwa pada hakikatnya dalam diri manuisia itu telah tertanam suatu
keadaan dimana keduanya (baik dan buruk) bersemayam di dalam tiap-tiap diri
manusia atau dalam jiwa.
Untuk lebih jelasnya, perbedaan antara
moral, etika dan akhlak bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel: 2.1
Perbedaan akhlak dengan etika dan
moral
Bahasan
|
Definisi
|
Objek kajiannya
|
Akhlak
|
ü Internalisasi dan inheren dalam diri
-
setiap
manusia
ü Bersumber dari syariah Islam (al-Quran
dan al-Hadist)
ü Sikap batin yang telah tertanam pada diri
manusia
ü Siratan-siratan hati yang tenang dan
penuh ketaatan dan kepatuhan
|
ü
Mengkaji
moral dan etika (filsafat moral)
ü
Jiwa
manusia (akal, hati dan panca indra serta hubungan ketiganya)
ü
Cakupannya:
adat kebiasaan, kualitas perbuatan manusia, sikap batin yang harus
dilestarikan dengan latihan dan sungguh-sungguh.
|
Etika
|
ü Pengetahuan tentang nilai-nilai baik dan
buruk
ü Norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
tertentu
ü Ilmu tentang filsafat moral
ü Bersumber pada akal sehat
|
ü
Orientasi
untuk menentukan pilihan baik atau buruk
ü
Menjawab
pertanyaan tentang baik dan buruk
ü
Bagaimana
seharusnya manusia, berperilaku dalam komunitas masyarakat
ü
Perilaku
baik dan buruk Manusia
ü
Mengkaji
filsafat moral
ü
Mengkaji
tentang moralitas
ü
Hal-hal
yang sangat praktis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari
ü
Mendiskusikan
moral, pilihan mana yang baik dan buruk.
ü Memberikan penilaian apakah perbuatan itu
baik atau buruk.
|
Moral
|
ü
Membicarakan
tentang baik dan buruk, benar dan salah
ü
Ajaran-ajaran
tentang kebaikan
ü
Bersifat
sobyektif dan relatif
ü
Bersumber
dari agama, aturan, tradisi dan idiologi
|
ü
Kebiasaan
atau adat istiadat
ü
Bagaimana
masyarakat tertentu berperilaku
ü
Nilai
perbuatan manusia
ü
Perbuatan
manusia yang merupakan ekspresi, aktualisasi dan response dari keadaan
jiwanya
ü
Interaksi
antar manusia dalam suatu masyarakat tertentu
|
3.
Ruang
lingkup Akhlak
Berbicara mengenai ruang lingkup akhlak,
berarti sama dengan membicarakan ruang lingkup ajaran Islam. Khusus yang berkaitan
dengan pola hubungan, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa akhlak mencakup
berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama
makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati).[18] Penjelasan
berbagai bentuk dan ruang lingkup akhlak tersebut, sebagai berikut:
a.
Akhlak
terhadap Allah SWT
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai
sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri
perbuatan akhlaki sebagaimana telah disebut di atas.[19] Sekurang-kurangnya
ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah SWT, yaitu: 1)
Allahlah yang telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya dan
berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya; 2) Allah SWT telah memberikan
perlengkapan pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan
hati sanubari, dismaping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia;
3) Allah SWT yang telah menyediakan berbagai bahan makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, air, udara, dan binatang ternak; dan 4) Allah SWT telah
memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan;[20]
Dengan demikian, manusia wajib menampilkan
prilaku yang menggambarkan penghomatan dan pemulian kepada Allah SWT, walaupun
sesunguhnya penghormatan dan memuliakan Allah SWT, tidak perlu dan penting bagi
Allah, karena tanpa dihornati dan dimuliakan Allah itu tetap terhormat dan
mulia.
Syahidin dkk mengemukan bahwa diantara akhlak
manusia terhadap Allah SWT itu adalah: menjaga kebersihan dan kesucian, menjaga
kebersihan badan dan sarana peribadatan, menjaga kesucian jiwa, ikhlas dalam
beribadah, dan memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT.[21]
Selanjutnya Nata mengemukakan cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada
Allah SWT adalah tidak menyekutukannya, taqwa kepadanya, mencintainya, ridha
dan ikhlas terhadap segala keputusannya dan bertaubat, mensyukuri nikmatnya,
selalu berdo’a kepadanya, beribadah, meniru-niru sifatnya dan selalu berusaha
mencari keridhaannya.[22]
b. Akhlak dengan sesama manusia
Manusia sebagai
makhluk sosial (Zoon politicon), manusia tidak dapat hidup sendiri pasti membutuhkaan
bantuan orang lain, karena itu manusia harus berbuat baik dan mempunyai akhlak
yang tinggi terhadap sesamanya.[23]
Menyakini kehidupan sosial merupakan bagian dari yang fana, maka menuju
kekekalan hidup adalah prinsip akan adanya hari kiamat. Prinsip eskatologi ini
merupakan akhlak yang tinggi terhadap sesamanya.
Akhlak terhadap
sesama manusia itu antara lain: akhlak terhadap Rasulullah, akhlak terhadap
teman sebaya, akhlak terhadap tetangga dan akhlak terhadap guru, terhadap orang
tua, dan lainnya baik yang berhubungan dengan sikap, cara berbicara, perdebatan
dan pola hidupnya harus mencerminkan dan berlandaskan prinsip tauhid
ma’rifatullah, menyadari sepenuhnya asma’ al-husna dan prinsip eskatologis.
c.
Akhlak
terhadap diri sendiri
Prinsip ma’rifatullah
dengan cara menyucikan diri dan berupaya mendekatkan diri kepada Allah
menggambarkan bahwa dalam diri pribadi manusia memiliki hak untuk diperlukan
dengan baik, dijaga dan dipelihara, harus dibersihkan dari segala kotoran baik
itu jasmani dan ruhani, yaitu dengan berjalan bersuci atau dengan bertaubat. Diantara contoh akhlak terhadap diri pribadi
adalah menjaga kesucian diri, menjaga makanan dan minuman, menjaga kesucian
faraj (seksual), mengembangkan keberanian (Syaja’ah), mengembangkan
kebijaksanaan, bersabar dan bersyukur.[24]
Pada prinsipnya,
akhlak terhadap diri sendiri sangat penting bagi manusia, karena semua itu demi
kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat, yaitu dengan jalan
menghindari hal-hal yang dapat merusak jasmani dan rohani, hidup sederhana dan
memperbanyak amal saleh. Dalam proses menumbuh kembangkan potensi dasar yang
dimiliki oleh manusia, untuk mencapai kepribadian yang sempurna dan utuh hanya
mungkin dapat dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan
baik pendidikan keluarga dan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat itu
sendiri.
d. Akhlak
terhadap alam atau lingkungan.
Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang
berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda
tak bernyawa, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hasyr ayat 5, sebagai
berikut:
$tB OçF÷èsÜs% `ÏiB >puZÏj9 ÷rr& $ydqßJçGò2ts? ºpyJͬ!$s% #n?tã $ygÏ9qß¹é& ÈbøÎ*Î6sù «!$# yÌ÷ãÏ9ur tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇÎÈ
Artinya : Apa
saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu
biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah;
dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.[25]
M. Quraish Syihab menafsirkan ayat tersebut,
jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang
pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin
Allah SWT, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi
kemaslahatan terbesar.[26]
Dari penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa
akhlak dalam Islam sangatlah komprehenshif, menyeluruh, dan mencakup berbagai
makhluk yang diciptakan Allah SWT. Dengan demikian, akhlak itu jauh lebih
sempurna dibandingkan dengan norma, etika, moral dan lainya.
4.
Pengertian
dan Tujuan Pembinaan Akhlak
Berbicara
mengenai masalah pembinaan dan pembentukan akhlak sama dengan berbicara
mengenai tujuan pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli
yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan akhlak
mulia. Ada dua pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak, yakni: pertama, akhlak tidak perlu dibina, menurut
aliran ini akhlak tumbuh dengan sendirinya tanpa dibina. Akhlak adalah gambaran
bathin yang tercermin dalam perbuatan; kedua,
akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras
serta sungguh-sungguh.[27]
Berdasarkan pendapat di atas, penulis
sependapat dengan pendapat kedua bahwa akhlak dapat dibentuk melalui proses
pendidikan, hal ini ditegaskan oleh Imam
Ghazali seperti dikutip Fathiyah Hasan berpendapat sekiranya tabiat manusia
tidak mungkin dapat dirubah, tentu nasehat dan bimbingan tidak ada gunanya.
Beliau menegaskan sekiranya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan niscaya
fatwa, nasehat dan pendidikan itu adalah hampa.[28] Namun
dalam kenyataanya di lapangan banyak usaha yang telah dilakukan orang dalam
membentuk akhlak yang mulia. Lahirnya lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka
pembinaan akhlak akan semakin memperkuat pendapat bahwa akhlak memang perlu
dibina dan dilatih. Karena Islam telah memberikan perhatian yang besar dalam rangka
membentuk akhlak mulia. Akhlak yang mulia merupakan cermin dari keimanan yang
bersih.
Secara harfiah pembinaan berarti pemeliharaan
secara dinamis dan berkesinambungan.[29] Dalam kamus bahasa
Indonesia pembinaan berarti “pembaharuan dan penyempurnaan “dan” usaha” tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil lebih
yang baik.[30] Sedangkan
menurut Hendiyat soetopo dan Westy Soemanto, pembinaan adalah menunjuk kepada
kegiatan yang mempertahankan dan menyempurnakan apa yang telah ada.[31]
Di dalam konteksnya dengan upaya pembinaan
akhlak, maka pengertian pembinaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus terhadap tatanan
nilai-nilai akhlak agar segala perilaku kehidupannya senantiasa di atas
norma-norma yang ada dalam tatanan itu. namun perlu dipahami bahwa pembinaan
tidak hanya berkisar pada usaha untuk mengurangi serendah-rendahnya
tindakan-tindakan negatif yang dilahirkan dari suatu lingkungan yang
bermasalah, melainkan pembinaan harus merupakan terapi bagi masyarakat untuk
mengurangi perilaku buruk dan tidak baik dan juga sekaligus bisa mengambil
manfaat dari potensi masyarakat, khususnya generasi muda.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa pembinaan akhlak adalah proses perbuatan, tindakan, penanaman nilai-nilai
moral religius atau akhlak terhadap Allah swt, sesama manusia, diri sendiri dan
alam sekitar yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Selanjutnya Nata mengemukakan pembinaan akhlak adalah usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk
akhlak peserta didik dengan menggunakan cara pendidikan dan pembinaan yang
terprogram dengan baik dan dilaksnakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.[32] Hal
senada dikemukakan Beni Ahmad Saebani mengemukakan pembinaan akhlak artinya
usaha tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna untuk membentuk
watak manusia sebagai pribadi dan makhluk sosial, melalui pendidikan dalam
keluarga, sekolah, organisasi pergaulan, idiologi dan agama.[33]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa
dalam pembinaan akhlak tersebut terkandung makna adanya proses, cara, perbuatan
membina, menyempurnakan usaha, tindakan yang dilakukan yang telah menjadi darah
daging atau menjadi kebiasaan oleh seseorang yang sehat akal pikirannya untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.
Tujuan dari pendidikan moral dan ahklak
dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, kemauan yang keras,
sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai,
bersifat bjiaksana, beradab, ikhlas, jujur, dan suci.[34]
Tujuan akhir dari pada pendidikan Islam itu sendiri adalah tujuan-tujuan
moralitas dalam arti yang sebenarnya. Adapun Tujuan dari pada pembinaan ahklak
adalah:
a.
Tujuan
umum
Menurut Barnawi Umari dalam H.A Mustofa
mengemukakan tujuan pembinaan ahklak secara umum meliputi:
1)
Supaya
dapat terbiasa melakukan hal yang baik dan terpuji serta menghindari yang
buruk, jelek, hina, tercela.
2)
Supaya
hubungan dengan Allah SWT dan dengan sesama mahkluk selalu terpelihara dengan
baik dan harmonis.[35]
b.
Tujuan
khusus
Secara spesifik pembinaan ahklakul karimah
siswa bertujuan sebagai berikut:
1)
Menumbuhkan
pembentukan kebiasaan berahklak mulia dan beradat kebiasaan yang baik.
2)
Memantapkan
rasa keagamaan pada siswa membiasakan diri berpegang teguh pada ahklak mulia
dan membenci ahklak yang rusak.
3)
Membiasakan
siswa bersikap ridla, optimis, percaya diri menguasai emosi, tahan menderita
dan sabar.
4)
Membimbing
siswa kearah yang sehat, yang dapat membantu mereka berinteraksi social yang
baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang
lemah dan menghargai orang lain.
5)
Membiasakan
siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul dengan baik di sekolah maupun
di luar sekolah.
6)
Selalu
tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada allah dan bermu'alah yang baik.[36]
Selanjutnya
Zainudin mengemukakan tujuan dari pembinaan akhlak yang diajarkan dalam ajaran
Islam adalah:
1)
Mendapatkan
Ridha Allah swt
2)
Membentuk
kepribadian muslim
3)
Mewujudkan
perbuatan yang mulia dan terhindar dari perbuatan tercela.[37]
5.
Metode
Pembinaan Akhlak
Kedudukan
akhlak dalam kehidupan manusia (peserta didik) menempati tempat yang penting
sekali, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dan bangsa. Sebagaimana
ungkapan Omar Mohammad al-Toumy
al-Syaibany bahwa: Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja,
tetapi penting untuk masyarakat, umat dan kemanusiaan
seluruhnya. Atau dengan kata lain akhlak itu penting bagi perseorangan dan
masyarakat sekaligus. Sebagaimana perseorangan tidak sempurna kemanusiaannya
tanpa akhlak, begitu juga masyarakat dalam segala tahapnya tidak baik
keadaannya, tidak lurus keadaannya tanpa akhlak, dan hidup tidak ada makna tanpa
akhlak yang mulia”.[38]
Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan penting untuk
mencapai tujuan, karena ia menjadi sarana yang member makna kepada materi
pendidikan.[39]
Pemilihan metode yang tepat guna akan memperlancar jalannya proses pembinaan
akhlak.
Adapun
metode yang dapat digunakan pembinaan akhlak adalah:
a.
Metode Keteladanan
Metode
keteladanan yaitu suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang
baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan.[40]
Keteladanan
merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah SAW dan
paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya.
Ahli pendidikan banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan
merupakan metode yang paling berhasil guna. Abdullah Ulwan misalnya sebagaimana
dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan bahwa .pendidik akan merasa mudah
mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam
memahami pesan itu apabila pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang
disampaikannya.[41]
Hal
ini disebabkan karena secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung.
Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh
identifikasi dalam segala hal.
b. Metode Pembiasaan
Pembiasaan
menurut M.D Dahlan seperti dikutip oleh Hery Noer Aly merupakan .proses
penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak
yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir tidak
disadari oleh pelakunya).[42] Pembiasaan
tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan,
kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah
melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan
dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah
dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda itu sulit untuk
dirubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Maka diperlukan terapi dan
pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya.
c. Metode Memberi
Nasihat
Abdurrahman
al-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan nasihat adalah .penjelasan kebenaran dan kemaslahatan dengan
tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke
jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat.[43] Dalam
metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk
mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Di
antaranya dengan menggunakan kisah-kisah Qur.ani, baik kisah Nabawi maupun umat
terdahulu yang banyak mengandung pelajaran yang dapat dipetik.
d. Metode targhib
dan tarhib
Targhib
berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi,
menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang
mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan dan
kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk
memperolehnya.[44] Metode ini akan sangat
efektif apabila dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang menarik dan
meyakinkan pihak yang mendengar. Oleh hendaknya pendidik bisa meyakinkan
muridnya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya apabila bahasa yang
digunakan kurang meyakinkan maka akan membuat murid tersebut malas
memperhatikannya.
Sedangkan
tarhib berasal dari rahhaba yang berarti menakut-nakuti atau
mengancam. Menakut-nakuti dan mengancamya sebagai akibat melakukan dosa atau
kesalahan yang dilarang Allah atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban
yang diperintahkan Allah.[45] Penggunaan
metode motivasi sejalan dengan apa yang ada dalam psikologi belajar disebut
sebagai law of happines atau prinsip yang mengutamakan suasana
menyenangkan dalam belajar.[46]
Sedang metode intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain
seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan.
e. Metode Persuasi
Metode
persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang sesuatu ajaran dengan kekutan
akal. .Penggunaan metode persuasi didasarkan atas pandangan bahwa manusia
adalah makhluk yang berakal. Artinya Islam memerintahkan kepada manusia untuk
menggunakan akalnya dalam membedakan antara yang benar dan salah serta atau
yang baik dan buruk.[47]
Penggunaan
metode persuasi ini dalam pendidikan Islam menandakan bahwa pentingnya
memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis kepada peserta didik agar mereka
terhindar dari meniru yang tidak didasarkan pertimbangan rasional dan
pengetahuan.
f. Metode Kisah
Metode
kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik murid agar mengambil pelajaran
dari kejadian di masa lampau. Apabila kejadian tersebut merupakan kejadian yang
baik, maka harus diikutinya, sebaliknya apabila kejadian tersebut kejadian yang
bertentangan dengan agama Islam maka harus dihindari. Metode ini sangat
digemari khususnya oleh anak kecil, bahkan sering kali digunakan oleh seorang
ibu ketika anak tersebut akan tidur. Apalagi metode ini disampaikan oleh orang
yang pandai bercerita, akan menjadi daya tarik tersendiri.
Namun
perlu diingat bahwa kemampuan setiap murid dalam menerima pesan yang
disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesulitan bahasa yang digunakan.
Oleh karena itu, hendaknya setiap pendidik bisa memilih bahasa yang mudah
dipahami oleh setiap anak.
Lebih
lanjut an-Nahlawi menegaskan bahwa dampak penting pendidikan melalui kisah
adalah:
1)
Kisah
dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembaca tanpa cerminan
kesantaian dan keterlambatan sehingga dengan kisah, setiap pembaca akan
senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah tersebut
sehingga pembaca terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut.
2)
Interaksi
kisah Qur.ani dan Nabawi dengan diri manusia dalam keutuhan realitasnya
tercermin dalam pola terpenting yang hendak ditonjolkan oleh al-Qur.an kepada
manusia di dunia dan hendak mengarahkan perhatian pada setiap pola yang selaras
dengan kepentinganya.
3)
Kisah-kisah
Qur.ani mampu membina perasaan ketuhanan melalui cara-cara berikut: 1)
Mempengaruhi emosi , seperti takut, perasaan diawasi, rela dan lain-lain. 2)
Mengarahkan semua emosi tersebut sehingga menyatu pada satu kesimpulan yang
menjadi akhir cerita. 3) Mengikutsertakan unsure psikis yang membawa pembaca
larut dalam setting emosional cerita sehingga pembaca, dengan emosinya, hidup
bersama tokoh cerita. 4) Kisah Qur.ani memiliki keistimewaan karena, melalui
topik cerita, kisah dapat memuaskan pemikiran, seperti pemberian sugesti,
keinginan, dan keantusiasan, perenungan dan pemikiran.[48]
[1]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), Cet ke-1, h 1
[2]Chabib Thoha, dkk, Metodologi
Pengajaran Agama, (Yokyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004), cet ke-II, h 109
[3]Zaharudin AR, dan Hasanudin Sinaga, Pengantar Sutdi Akhlak, (Jakarta: PT RajaGrafondo Persada, 2004),
h. 2
[4]Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa
Tathir al-A’raq (Misr: al-Matba’ah al- Mishriyah, 1934), Cet.ke-I, h. 40.
[5]Al-Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Ihya
‘Ulum al-Din, Jilid 3
(Bairut: Dar al-Fikr, 1411 H/1991 M.), Cet. Ke-3, h. 58.
[6]Ahmad Amin, Etika
(Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid
Ma’ruf dari judul asli, al-akhlak, (Jakarta:
Bulan Bintang 1983), cet. Ke-3, h. 62.
[7]Sattu Alang, Kesehatan Mental dan Terapi Islam
(Makassar: CV. Berkah Utami, 2005), Cet ke-2, h. 99.
[8] Abuddin Nata, Op. Cit, h. 4-6
[11]Sjarkawi,
Pembentukan Kepribadian Anak; Peran
Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun
Jati Diri (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet.ke-3, h. 27
[12]Ahmad Amin, op. cit, h. 3
[15] Abudin Nata, op. Cit, h.
92
[16]Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam;
Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademik (Jakarta: Logos, 1999), Cet
ke-1, h. 137.
[17]Achmad
Charris Zubair, Kuliah Etika
(Jakarta: Rajawali, 1987), h.54-55
[18] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-3, h. 261
[19]Abuddin Nata, Op.cit, h. I49
[20] Ibid, h. 149-150
[21] Syahidin dkk, Moral dan
Kognisi Islam, (Bandung: CV Alfabeta, 2009), cet. Ke-3 h. 251-258
[22] Abudin Nata, op. cit, h.
150
[23] Zuhairini.dkk, Filsafat
Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. Ke-2, h. 82
[24] Syahidin dkk, ibid, h.
259-269
[25] Departemen Agama R.I, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 2005), h. 436
[26] M. Quraish Shihab, op. cit, h. 259-270
[27] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 156
[28]Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali,
(Bandung: al-Ma.arif, 1986), Cet ke-I, h. 66.
[29]Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Jakarta Press, 1995), h. 504
[30]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), Ed III, Cet. Ke-1, h. 152
[31]Hendiyat soetopo dan Westy Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan kurikulum, (Jakarta : Bumi Aksara,
1993), cet. Ke-34, h. 43
[32] Abudin Nata,op. cit, h.
158
[33] Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 175-176
[34]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam:Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta
: Kalam Mulia, 2009), h. 182
[36] Ibid, h. 136
[37]Zainudin, Al-Islam 2, Muamalah
dan Akhlak, (Bandung: Pustak Setia, 1999), h. 76
[38]Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah
al-Tarbiyah al-Isla>miyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan
judul Falsafah Pendidikan Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 318.
[39] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), cet. Ke-5, h. 197
[40]Syahidin, Metode Pendidikan Qur.ani Teori dan
Aplikasi, (Jakarta: CV Misaka Galiza,1999), Cet ke- I, h. 135
[43] Ibid, h. 190
[44]Syahidin,
Metode Pendidikan., h. 121.
[46]Hery Noer Aly, op. cit, h.
197.
[48]Abdurrahman, An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan
Islam dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Bandung: CV. Diponegoro,
1992), Cet. Ke-II, h. 242.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar