Cari Blog Ini

Minggu, 29 April 2018

Usaha-Usaha dalam Pembinaan Akhlak


A. Akhlak dan Usaha-Usaha Pembinaannya  
1.      Definisi akhlak, etika dan moral  
a.      Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, ada dua pendapat yang menyatakan tentang asal kata akhlak, pertama,  Jamil Shaliba dalam Abudin Nata mengemukakan bahwa akhlak berasal dari bahsa Arab yaitu isim mashdar (bentuk infinitife) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thabi’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).[1]
Kedua, kata akhlak merupakan bentuk jamak dari mufradnya khilqun atau khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaaliqun yang berarti pencipta, demikian pula dengan makhluqun yang berarti yang diciptakan.[2]
Dari dua pendapat di atas, penulis sependapat dengan pendapat yang kedua, karena akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa akhlak merupaka bentuk jamak dari bentuk mufradnya khilqun atau khuluqun. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pola bentukan definisi akhlak ini, timbul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) secara timbale balik, yang kemudian disebut dengan hablum minallah. Dari produk hablum minallah yang verbal, biasanyaa lahirlah pola hubungan antarsesama manusia yang disebut dengan hablum minanas (pola hubungan antar sesama makhluk).[3]
Selanjutnya definisi akhlak secara terminologi, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli, sebagai berikut:
1)      Ibnu Miskawaih, mengemukakan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[4]
2)      Imam al-Gazali bahwa akhlak adalah “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lebih dahulu. [5]Jika kondisi jiwa itu memunculkan tindakan baik dan terpuji secara akal dan syara’ maka disebut akhlak baik, namun sebaliknya jika memunculkan tindakan tercela maka disebut akhlak tercela.
3)      Ahmad Amin dalam bukunya al-Akhlaq mengemukakan bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.[6] Menurutnya, kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedangkan kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah dilakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak mulia.
4)      Selanjutnya Sattu Alang mengemukakan bahwa akhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara spontanitas, yang timbul karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar.[7]
Dari definisi di atas, dapat diapahami bahwa Akhlak bukanlah merupakan ”perbuatan” baik ataupun ”pebuatan” buruk, juga bukan ”kekuatan” baik ataupun ”kekuatan” buruk, juga bukan merupakan ”pembeda” antara baik dan buruk, akan tetapi akhlak itu merupakan”hal” keadaan atau kondisi, dimana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya menahan atau memberi. Jadi akhlaq itu adalah ibarat dari ”keadaan jiwa dan bentuknya yang batiniah”. Akhlak adalah situasi permanen dalam jiwa yang melahirkan bentuk-bentuk pola tingkah laku tanpa melalui dorongan dari luar dan tanpa pengetahuan.
Secara subtansial pendapat-pendapat tersebut di atas, tampak saling melengkapi, dan dari pendapat tersebut, terdapat lima ciri dari perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara, dan kelima, sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[8]
Akhlak atau keadaan batin yang telah tertanam dan inheren di dalam diri manusia, bisa dikatakan sebagai modal pertama dan utama, dan kualitas perbuatan manusia tergantung bagaimana manusia itu cerdas dalam kecenderungannya dan mengkondisikan kecenderungan, apakah manusia cenderung kepada hal-hal yang baik, ataukah sebaliknya. karena apabila manusia memiliki akhlak yang baik, maka akan beruntunglah hidupnya, begitu pula sebaliknya apabila manusia memiliki kecenderungan buruk maka hancurlah hidupnya.
b.   Etika
Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.[9] Dalam kamus bahasa Indonesia etika diartikan sebagai ilmu pengethuan tentang asas-asas akhlak (moral).[10] Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan dan menilai tingkah laku manusia.
Secara istilah pengertian etika menurut Bertens sebagaimana dikutip Sjarkawi bahwa etika mempunyai tiga arti. Pertama, etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk.[11]
Selanjutnya Ahmad Amin mengemukakan bahwa etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya di perbuat.[12]
            Dari penjelasan di atas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
c.       Moral
Istilah moral kadangkala digunakan sebagai kata yang sama artinya dengan etika. Moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan.[13] Dalam kamus bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik dan buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[14] Selanjutnya moral dalam istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat dan perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.[15] Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep.
Sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Selanjutnya menurut Mastuhu, istilah moral sangat dekat dengan “kata hati”. Hati adalah kalbu yang berasal dari kata kerja qallaba, yang berarti “membalik”. Substansi hati selalu berpotensi berbolak-balik: suatu saat merasa senang dan disaat lain merasa susah. Memang, hati tidak konsisten, kecuali yang mendapat bimbingan cahaya ilahi. Di sini lentera dibutuhkan bagi hati manusia.[16]
Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa Arab disebut dengan qalb, fu’ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.[17]
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.



2.   Persamaan dan Perbedaan antara Etika, dan Moral, dengan Akhlak  
a.   Persamaan antara Etika, dan Moral dengan Akhlak
Secara etimologi, moral dan etika memiliki arti yang sama, yaitu adat kebiasaan, hanya saja berbeda dari asalnya. Moral berasal dari bahasa latin, dan etika berasal dari bahasa Yunani. Dan akhlak berarti ciptaan, dan berasal dari bahasa Arab. Dari pengertian secara etimologi moral, etika dan akhlak, penulis menemukan titik singgung yang ada pada ketiganya, yaitu ketiga-tiganya membicarakan tentang perbuatan baik atau buruk, benar atau salah atau tindakan manusia. Pada umumnya kalangan awam cenderung untuk menyamaratakan begitu saja antara moral dan etika, bahkan tidak sedikit yang mengacaukannya dengan istilah ’tatakarama”,”sopan santun” budi pekerti (dalam ruang lingkup adat istiadat) atau dengan istilah ’akhlak’.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, jika dilihat dari fungsi dan perannya bahwa etika, moral, dan akhlak adalah sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera baik lahiri maupun bathinnya.
b.   Perbedaan antara etika, moral dengan akhlak
Secara terminologi, pengertian moral, etika dan akhlak memiliki definisi dan obyek kajian yang berbeda. Definisi moral lebih menitik beratkan pada perbuatan, tindakan atau tingkah laku manusia. Atau kualitas dari perbuatan, tindakan, tingkah laku, apakah perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk, benar atau salah. Sedangkan etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, tidak hanya memberikan gambaran tentang perbuatan baik atau buruk manusia, namun juga memberikan penilaian tentang baik atau buruk akan perbuatan atau tindakan yang dipilih oleh manusia. sedangkan akhlak tatanannya lebih menekankan bahwa pada hakikatnya dalam diri manuisia itu telah tertanam suatu keadaan dimana keduanya (baik dan buruk) bersemayam di dalam tiap-tiap diri manusia atau dalam jiwa.
Untuk lebih jelasnya, perbedaan antara moral, etika dan akhlak bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel: 2.1
Perbedaan akhlak dengan etika dan moral
Bahasan
Definisi
Objek kajiannya
Akhlak
ü Internalisasi dan inheren dalam diri
-       setiap manusia
ü Bersumber dari syariah Islam (al-Quran dan al-Hadist)
ü Sikap batin yang telah tertanam pada diri manusia
ü Siratan-siratan hati yang tenang dan penuh ketaatan dan kepatuhan
ü Mengkaji moral dan etika (filsafat moral)
ü Jiwa manusia (akal, hati dan panca indra serta hubungan ketiganya)
ü Cakupannya: adat kebiasaan, kualitas perbuatan manusia, sikap batin yang harus dilestarikan dengan latihan dan sungguh-sungguh.
Etika
ü Pengetahuan tentang nilai-nilai baik dan buruk
ü Norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tertentu
ü Ilmu tentang filsafat moral
ü Bersumber pada akal sehat
ü Orientasi untuk menentukan pilihan baik atau buruk
ü Menjawab pertanyaan tentang baik dan buruk
ü Bagaimana seharusnya manusia, berperilaku dalam komunitas masyarakat
ü Perilaku baik dan buruk Manusia
ü Mengkaji filsafat moral
ü Mengkaji tentang moralitas
ü Hal-hal yang sangat praktis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari
ü Mendiskusikan moral, pilihan mana yang baik dan buruk.
ü Memberikan penilaian apakah perbuatan itu baik atau buruk.
Moral
ü  Membicarakan tentang baik dan buruk, benar dan salah
ü  Ajaran-ajaran tentang kebaikan
ü  Bersifat sobyektif dan relatif
ü  Bersumber dari agama, aturan, tradisi dan idiologi
ü Kebiasaan atau adat istiadat
ü Bagaimana masyarakat tertentu berperilaku
ü Nilai perbuatan manusia
ü Perbuatan manusia yang merupakan ekspresi, aktualisasi dan response dari keadaan jiwanya
ü Interaksi antar manusia dalam suatu masyarakat tertentu

3.   Ruang lingkup Akhlak  
Berbicara mengenai ruang lingkup akhlak, berarti sama dengan membicarakan ruang lingkup ajaran Islam. Khusus yang berkaitan dengan pola hubungan, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa akhlak mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati).[18] Penjelasan berbagai bentuk dan ruang lingkup akhlak tersebut, sebagai berikut:
a.       Akhlak terhadap Allah SWT
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlaki sebagaimana telah disebut di atas.[19] Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah SWT, yaitu: 1) Allahlah yang telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya dan berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya; 2) Allah SWT telah memberikan perlengkapan pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, dismaping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia; 3) Allah SWT yang telah menyediakan berbagai bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, dan binatang ternak; dan 4) Allah SWT telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan;[20]
Dengan demikian, manusia wajib menampilkan prilaku yang menggambarkan penghomatan dan pemulian kepada Allah SWT, walaupun sesunguhnya penghormatan dan memuliakan Allah SWT, tidak perlu dan penting bagi Allah, karena tanpa dihornati dan dimuliakan Allah itu tetap terhormat dan mulia.
Syahidin dkk mengemukan bahwa diantara akhlak manusia terhadap Allah SWT itu adalah: menjaga kebersihan dan kesucian, menjaga kebersihan badan dan sarana peribadatan, menjaga kesucian jiwa, ikhlas dalam beribadah, dan memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT.[21] Selanjutnya Nata mengemukakan cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah SWT adalah tidak menyekutukannya, taqwa kepadanya, mencintainya, ridha dan ikhlas terhadap segala keputusannya dan bertaubat, mensyukuri nikmatnya, selalu berdo’a kepadanya, beribadah, meniru-niru sifatnya dan selalu berusaha mencari keridhaannya.[22]
b.      Akhlak dengan sesama manusia
Manusia sebagai makhluk sosial (Zoon politicon), manusia tidak dapat hidup sendiri pasti membutuhkaan bantuan orang lain, karena itu manusia harus berbuat baik dan mempunyai akhlak yang tinggi terhadap sesamanya.[23] Menyakini kehidupan sosial merupakan bagian dari yang fana, maka menuju kekekalan hidup adalah prinsip akan adanya hari kiamat. Prinsip eskatologi ini merupakan akhlak yang tinggi terhadap sesamanya.
Akhlak terhadap sesama manusia itu antara lain: akhlak terhadap Rasulullah, akhlak terhadap teman sebaya, akhlak terhadap tetangga dan akhlak terhadap guru, terhadap orang tua, dan lainnya baik yang berhubungan dengan sikap, cara berbicara, perdebatan dan pola hidupnya harus mencerminkan dan berlandaskan prinsip tauhid ma’rifatullah, menyadari sepenuhnya asma’ al-husna dan prinsip eskatologis.
c.       Akhlak terhadap diri sendiri
Prinsip ma’rifatullah dengan cara menyucikan diri dan berupaya mendekatkan diri kepada Allah menggambarkan bahwa dalam diri pribadi manusia memiliki hak untuk diperlukan dengan baik, dijaga dan dipelihara, harus dibersihkan dari segala kotoran baik itu jasmani dan ruhani, yaitu dengan berjalan bersuci atau dengan bertaubat.  Diantara contoh akhlak terhadap diri pribadi adalah menjaga kesucian diri, menjaga makanan dan minuman, menjaga kesucian faraj (seksual), mengembangkan keberanian (Syaja’ah), mengembangkan kebijaksanaan, bersabar dan bersyukur.[24]
Pada prinsipnya, akhlak terhadap diri sendiri sangat penting bagi manusia, karena semua itu demi kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat, yaitu dengan jalan menghindari hal-hal yang dapat merusak jasmani dan rohani, hidup sederhana dan memperbanyak amal saleh. Dalam proses menumbuh kembangkan potensi dasar yang dimiliki oleh manusia, untuk mencapai kepribadian yang sempurna dan utuh hanya mungkin dapat dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan baik pendidikan keluarga dan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
d.      Akhlak terhadap alam atau lingkungan.
Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hasyr ayat 5, sebagai berikut:
$tB OçF÷èsÜs% `ÏiB >puZŠÏj9 ÷rr& $ydqßJçGò2ts? ºpyJͬ!$s% #n?tã $ygÏ9qß¹é& ÈbøŒÎ*Î6sù «!$# yÌ÷ãÏ9ur tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇÎÈ  
Artinya : Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.[25]

M. Quraish Syihab menafsirkan ayat tersebut, jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah SWT, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.[26]
Dari penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa akhlak dalam Islam sangatlah komprehenshif, menyeluruh, dan mencakup berbagai makhluk yang diciptakan Allah SWT. Dengan demikian, akhlak itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan norma, etika, moral dan lainya.

4.   Pengertian dan Tujuan Pembinaan Akhlak
Berbicara mengenai masalah pembinaan dan pembentukan akhlak sama dengan berbicara mengenai tujuan pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan akhlak mulia. Ada dua pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak, yakni: pertama, akhlak tidak perlu dibina, menurut aliran ini akhlak tumbuh dengan sendirinya tanpa dibina. Akhlak adalah gambaran bathin yang tercermin dalam perbuatan; kedua, akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras serta sungguh-sungguh.[27]
Berdasarkan pendapat di atas, penulis sependapat dengan pendapat kedua bahwa akhlak dapat dibentuk melalui proses pendidikan, hal ini ditegaskan oleh  Imam Ghazali seperti dikutip Fathiyah Hasan berpendapat sekiranya tabiat manusia tidak mungkin dapat dirubah, tentu nasehat dan bimbingan tidak ada gunanya. Beliau menegaskan sekiranya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan niscaya fatwa, nasehat dan pendidikan itu adalah hampa.[28] Namun dalam kenyataanya di lapangan banyak usaha yang telah dilakukan orang dalam membentuk akhlak yang mulia. Lahirnya lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka pembinaan akhlak akan semakin memperkuat pendapat bahwa akhlak memang perlu dibina dan dilatih. Karena Islam telah memberikan perhatian yang besar dalam rangka membentuk akhlak mulia. Akhlak yang mulia merupakan cermin dari keimanan yang bersih.
Secara harfiah pembinaan berarti pemeliharaan secara dinamis dan berkesinambungan.[29] Dalam kamus bahasa Indonesia pembinaan berarti “pembaharuan dan penyempurnaandan” usaha” tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil lebih yang baik.[30] Sedangkan menurut Hendiyat soetopo dan Westy Soemanto, pembinaan adalah menunjuk kepada kegiatan yang mempertahankan dan menyempurnakan apa yang telah ada.[31]
Di dalam konteksnya dengan upaya pembinaan akhlak, maka pengertian pembinaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus terhadap tatanan nilai-nilai akhlak agar segala perilaku kehidupannya senantiasa di atas norma-norma yang ada dalam tatanan itu. namun perlu dipahami bahwa pembinaan tidak hanya berkisar pada usaha untuk mengurangi serendah-rendahnya tindakan-tindakan negatif yang dilahirkan dari suatu lingkungan yang bermasalah, melainkan pembinaan harus merupakan terapi bagi masyarakat untuk mengurangi perilaku buruk dan tidak baik dan juga sekaligus bisa mengambil manfaat dari potensi masyarakat, khususnya generasi muda.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pembinaan akhlak adalah proses perbuatan, tindakan, penanaman nilai-nilai moral religius atau akhlak terhadap Allah swt, sesama manusia, diri sendiri dan alam sekitar yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.  
Selanjutnya Nata mengemukakan pembinaan akhlak adalah usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk akhlak peserta didik dengan menggunakan cara pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksnakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.[32] Hal senada dikemukakan Beni Ahmad Saebani mengemukakan pembinaan akhlak artinya usaha tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna untuk membentuk watak manusia sebagai pribadi dan makhluk sosial, melalui pendidikan dalam keluarga, sekolah, organisasi pergaulan, idiologi dan agama.[33]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa dalam pembinaan akhlak tersebut terkandung makna adanya proses, cara, perbuatan membina, menyempurnakan usaha, tindakan yang dilakukan yang telah menjadi darah daging atau menjadi kebiasaan oleh seseorang yang sehat akal pikirannya untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Tujuan dari pendidikan moral dan ahklak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, kemauan yang keras, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bjiaksana, beradab, ikhlas, jujur, dan suci.[34] Tujuan akhir dari pada pendidikan Islam itu sendiri adalah tujuan-tujuan moralitas dalam arti yang sebenarnya. Adapun Tujuan dari pada pembinaan ahklak adalah:
a.    Tujuan umum
Menurut Barnawi Umari dalam H.A Mustofa mengemukakan tujuan pembinaan ahklak secara umum meliputi:
1)   Supaya dapat terbiasa melakukan hal yang baik dan terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina, tercela.
2)   Supaya hubungan dengan Allah SWT dan dengan sesama mahkluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.[35]
b.   Tujuan khusus
Secara spesifik pembinaan ahklakul karimah siswa bertujuan sebagai berikut:
1)   Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berahklak mulia dan beradat kebiasaan yang baik.
2)   Memantapkan rasa keagamaan pada siswa membiasakan diri berpegang teguh pada ahklak mulia dan membenci ahklak yang rusak.
3)   Membiasakan siswa bersikap ridla, optimis, percaya diri menguasai emosi, tahan menderita dan sabar.
4)   Membimbing siswa kearah yang sehat, yang dapat membantu mereka berinteraksi social yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah dan menghargai orang lain.
5)   Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul dengan baik di sekolah maupun di luar sekolah.
6)   Selalu tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada allah dan bermu'alah yang baik.[36]

Selanjutnya Zainudin mengemukakan tujuan dari pembinaan akhlak yang diajarkan dalam ajaran Islam adalah:
1)   Mendapatkan Ridha Allah swt
2)   Membentuk kepribadian muslim
3)   Mewujudkan perbuatan yang mulia dan terhindar dari perbuatan tercela.[37]

5.      Metode Pembinaan Akhlak
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia (peserta didik) menempati tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dan bangsa. Sebagaimana ungkapan Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany bahwa: Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Atau dengan kata lain akhlak itu penting bagi perseorangan dan masyarakat sekaligus. Sebagaimana perseorangan tidak sempurna kemanusiaannya tanpa akhlak, begitu juga masyarakat dalam segala tahapnya tidak baik keadaannya, tidak lurus keadaannya tanpa akhlak, dan hidup tidak ada makna tanpa akhlak yang mulia”.[38]
Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan penting untuk mencapai tujuan, karena ia menjadi sarana yang member makna kepada materi pendidikan.[39] Pemilihan metode yang tepat guna akan memperlancar jalannya proses pembinaan akhlak.
Adapun metode yang dapat digunakan pembinaan akhlak adalah:
a.    Metode Keteladanan
Metode keteladanan yaitu suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan.[40]
Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah SAW dan paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Ahli pendidikan banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil guna. Abdullah Ulwan misalnya sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan bahwa .pendidik akan merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya.[41]
Hal ini disebabkan karena secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal.
b.   Metode Pembiasaan
Pembiasaan menurut M.D Dahlan seperti dikutip oleh Hery Noer Aly merupakan .proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir tidak disadari oleh pelakunya).[42] Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda itu sulit untuk dirubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Maka diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya.
c.    Metode Memberi Nasihat
Abdurrahman al-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah .penjelasan kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat.[43] Dalam metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Di antaranya dengan menggunakan kisah-kisah Qur.ani, baik kisah Nabawi maupun umat terdahulu yang banyak mengandung pelajaran yang dapat dipetik.
d.   Metode targhib dan tarhib
Targhib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya.[44] Metode ini akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang menarik dan meyakinkan pihak yang mendengar. Oleh hendaknya pendidik bisa meyakinkan muridnya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya apabila bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka akan membuat murid tersebut malas memperhatikannya.
Sedangkan tarhib berasal dari rahhaba yang berarti menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancamya sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah.[45] Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang ada dalam psikologi belajar disebut sebagai law of happines atau prinsip yang mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar.[46] Sedang metode intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan.
e.    Metode Persuasi
Metode persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang sesuatu ajaran dengan kekutan akal. .Penggunaan metode persuasi didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Artinya Islam memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam membedakan antara yang benar dan salah serta atau yang baik dan buruk.[47]
Penggunaan metode persuasi ini dalam pendidikan Islam menandakan bahwa pentingnya memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis kepada peserta didik agar mereka terhindar dari meniru yang tidak didasarkan pertimbangan rasional dan pengetahuan.
f.    Metode Kisah
Metode kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik murid agar mengambil pelajaran dari kejadian di masa lampau. Apabila kejadian tersebut merupakan kejadian yang baik, maka harus diikutinya, sebaliknya apabila kejadian tersebut kejadian yang bertentangan dengan agama Islam maka harus dihindari. Metode ini sangat digemari khususnya oleh anak kecil, bahkan sering kali digunakan oleh seorang ibu ketika anak tersebut akan tidur. Apalagi metode ini disampaikan oleh orang yang pandai bercerita, akan menjadi daya tarik tersendiri.
Namun perlu diingat bahwa kemampuan setiap murid dalam menerima pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesulitan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, hendaknya setiap pendidik bisa memilih bahasa yang mudah dipahami oleh setiap anak.
Lebih lanjut an-Nahlawi menegaskan bahwa dampak penting pendidikan melalui kisah adalah:
1)      Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembaca tanpa cerminan kesantaian dan keterlambatan sehingga dengan kisah, setiap pembaca akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah tersebut sehingga pembaca terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut.
2)      Interaksi kisah Qur.ani dan Nabawi dengan diri manusia dalam keutuhan realitasnya tercermin dalam pola terpenting yang hendak ditonjolkan oleh al-Qur.an kepada manusia di dunia dan hendak mengarahkan perhatian pada setiap pola yang selaras dengan kepentinganya.
3)      Kisah-kisah Qur.ani mampu membina perasaan ketuhanan melalui cara-cara berikut: 1) Mempengaruhi emosi , seperti takut, perasaan diawasi, rela dan lain-lain. 2) Mengarahkan semua emosi tersebut sehingga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita. 3) Mengikutsertakan unsure psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita sehingga pembaca, dengan emosinya, hidup bersama tokoh cerita. 4) Kisah Qur.ani memiliki keistimewaan karena, melalui topik cerita, kisah dapat memuaskan pemikiran, seperti pemberian sugesti, keinginan, dan keantusiasan, perenungan dan pemikiran.[48]


[1]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Cet ke-1, h 1
[2]Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yokyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004), cet ke-II, h 109 
[3]Zaharudin AR, dan Hasanudin Sinaga, Pengantar Sutdi Akhlak, (Jakarta: PT RajaGrafondo Persada, 2004), h. 2 
[4]Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (Misr: al-Matba’ah al- Mishriyah, 1934), Cet.ke-I, h. 40.
[5]Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Bairut: Dar al-Fikr, 1411 H/1991 M.), Cet. Ke-3, h. 58.
[6]Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma’ruf dari judul asli, al-akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang 1983), cet. Ke-3, h. 62.
[7]Sattu Alang, Kesehatan Mental dan Terapi Islam (Makassar: CV. Berkah Utami, 2005), Cet ke-2, h. 99.
[8] Abuddin Nata, Op. Cit, h. 4-6
[9]Abuddin Nata, op. cit, h 89
[10]W.J.S.Poerwodarwinto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), h. 278
[11]Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet.ke-3, h. 27
[12]Ahmad Amin, op. cit,  h. 3
[13]Amasran AS, Studi Aklak, ( Jakarta: Raja Wali Pers, 1992), cet. Ke-1, h. 8
[14]W.J.S.Poerwodarwinto, op. cit, h. 654
[15] Abudin Nata, op. Cit, h. 92
[16]Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam; Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademik (Jakarta: Logos, 1999), Cet ke-1, h. 137.
[17]Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: Rajawali, 1987), h.54-55
[18] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-3, h. 261
[19]Abuddin Nata, Op.cit, h. I49
[20] Ibid, h. 149-150
[21] Syahidin dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: CV Alfabeta, 2009), cet. Ke-3 h. 251-258
[22] Abudin Nata, op. cit, h. 150  
[23] Zuhairini.dkk, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. Ke-2, h. 82
[24] Syahidin dkk, ibid, h. 259-269
[25] Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 2005), h. 436
[26] M. Quraish Shihab, op. cit, h. 259-270
[27] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 156
[28]Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung: al-Ma.arif, 1986), Cet ke-I, h. 66.
[29]Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Jakarta Press, 1995), h. 504
[30]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), Ed III, Cet. Ke-1, h. 152
[31]Hendiyat soetopo dan Westy Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan kurikulum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), cet. Ke-34, h. 43
[32] Abudin Nata,op. cit, h. 158
[33] Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 175-176
[34]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009),  h. 182
[35] H. A. Mustofa, Ahklak Tasawuf,  (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 135
[36] Ibid, h. 136
[37]Zainudin, Al-Islam 2, Muamalah dan Akhlak, (Bandung: Pustak Setia, 1999), h. 76 
[38]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-Isla>miyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 318.
[39] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), cet. Ke-5, h. 197
[40]Syahidin, Metode Pendidikan Qur.ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta: CV Misaka Galiza,1999), Cet ke- I, h. 135
[41] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, 178
[42] Ibid, h. 134
[43] Ibid, h. 190
[44]Syahidin, Metode Pendidikan., h. 121.
[45]Ibid, h.122
[46]Hery Noer Aly, op. cit, h. 197.
[47]Ibid, h. 193.
[48]Abdurrahman, An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), Cet. Ke-II, h. 242.

Tidak ada komentar: