Cari Blog Ini

Minggu, 29 April 2018

Konsep Pembelajaran


A.    Konsep Pembelajaran
  1. Hakikat Pembelajaran
Salah satu perubahan yang cukup mendasar dalam dunia pendidikan pada dasawarsa terakhir ini ialah fungsi guru. Perubahan yang dimaksudkan adalah guru sebagai pengajar menjadi sebagai pembelajar. Perubahan tersebut telah menimbulkan implikasi dan implementasi yang cukup besar dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu semua calon guru – tentunya juga guru – sangat diharapkan untuk dapat memahami dan mengikuti perubahan tersebut. 
Terjadinya perubahan fungsi guru adalah dipengaruhi oleh munculnya perubahan pandangan para ahli. Perubahan pandangan yang dimaksudkan adalah perubahan pandangan terhadap manusia, perubahan pandangan terhadap tujuan pendidikan, dan perubahan terhadap peranan guru.[1]
Perubahan pandangan seperti yang dijelaskan di atas juga telah mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan hubungan  antara guru dan murid. Pada awalnya guru dipandang sebagai pengajar, yang berupaya untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid. Istilah mengajar pada waktu itu sangat populer. Munculnya pandangan yang lebih menghargai anak sebagai manusia (objektif) yang mempunyai perasaan, pikiran dan kemauan, maka perilaku guru dipandang sebagai mempunyai muansa mencocoki anak dengan berbagai pengetahuan, suatu tindakan dari untuk guru. Padahal para ahli mulai menyadari bahwa sesungguhnya dalam pendidikan dan pengajaran semua yang dilakukan untuk kepentingan anak bukan untuk guru.
Bersamaan dengan pemikiran di atas, maka istilah mengajar diubah menjadi proses belajar-mengajar, yang lebih menekankan adanya suatu proses interaksi antara siswa dan guru dimana guru mengajar dan siswa belajar. Esensi dari konsep tersebut adalah bahwa siswa telah dihargai keberadaannya.
Namun demikian lama kelamaan para ahli melihat dan merasakan bahwa istilah proses belajar-mengajar mempunyai konotasi yang negatif. Guru cenderung untuk terperosok kepada penataan kegiatan belajar mengajar secara terpisah. Satu pihak ada kegiatan yang dilakukan guru dan di pihak lain ada kegiatan siswa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada sebahagian ahli jangan-jangan istilah tersebut pada gilirannya akan menghasilkan cara mengajar gaya lama.
Misi utama seorang guru adalah mendorong atau menyebabkan siswa belajar. Jadi mengajar sekarang diartikan sebagai upaya guru untuk membangkitkan hasrat siswa untuk belajar. Membangkitkan bertarti menyebabkan seseorang bangkit. Istilah ini kemudian dianalogikan dengan “membelajarkan”.[2]
a.  Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah usaha mempengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual seseorang agar mau belajar dengan kehendaknya sendiri. Melalui pembelajaran akan terjadi proses pengembangan moral keagamaan, aktivitas, dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Pembelajaran berbeda dengan mengajar yang pada prinsipnya menggambarkan aktivitas guru, sedangkan pembelajaran menggambarkan peserta didik.[3]
Menurut Aminuddin Rasyad, belajar dan pembelajaran adalah dua konsep pendidikan yang saling berkaitan dengan yang lainnya.[4] Konsep belajar pada dasarnya berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak guru.[5]
Belajar dalam situasi tertentu bisa berdiri sendiri jika kegiatan peserta didik berlangsung tidak di bawah bimbingan guru, misalnya belajar sendiri (self study) atau belajar kelompok (group study) sesama mereka baik di rumah atau belajar di suatu tempat tertentu. Namun demikian pembelajaran biasanya terjadi dalam situasi formal yang sengaja di programkan oleh guru dalam usahanya mentransformasikan ilmu yang diberikannya kepada peserta didik berdasarkan kurikulum dan tujuan yang hendak dicapai.[6]
Pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama dalam proses pendidikan. Hal ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan tergantung bagaimana proses pembelajaran berlangsung secara efektif.  Pemahaman seorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan mempengaruhi cara guru itu mengajar.
Banyak pengertian pembelajaran yang diberikan oleh beberapa ahli antara lain seperti yang dikemukan oleh Muhammad Surya "pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagal hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.[7]
Dari defenisi di atas dapat diambil beberapa pengertian. Pertama, pembelajaran adalah suatu proses, maksudnya adalah bahwa aktivitas pembelajaran itu terjadi karena adanya sesuatu yang mendorong dan sesuatu yang ingin dicapai. Kedua, pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan perilaku dalam diri individu. Ketiga, hasil pembelajaran tersebut ditandai dengan perubahan perilaku secara keseluruhan atau mencakup semua aspek.[8] Keempat,  pembelajaran merupakan bentuk pengalaman, pembelajaran merupakan bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, sehingga banyak memberikan pengalaman dari situasi tersebut. Oleh karenanya untuk mencapal tujuan-tujuan terbaik si pelajar haruslah didasarkan pada pengalaman. Kelima, pembelajaran merupakan suatu proses interaksi individu dengan lingkungannya. Berarti selama proses pembelajaran berlangsung individu akan senantiasa dalam berbagai aktivitas yang tidak terlepas dari lingkungannya.[9]
Senada dengan defenisi di atas, Aminuddin Rasyad memberikan defenisi pembelajaran adalah sebagai proses yang terjadi yang membuat seseorang atau sekelompok orang yaitu peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan rencana pengajaran yang telah diprogramkan”.[10]
Berdasarkan defenisi ini jelas bahwa, pembelajaran merupakan suatu proses yang membuat peserta didik melakukan proses belajar melalui perencanaan oleh pihak guru.
Proses belajar terdiri dari dua kata yakni proses dan belajar. Proses berasal dari bahasa Inggris "process" yang berarti cara. Pengertian ini mempunyai konotasi mengolah yang mengarah kepada sasaran atau hasil yang  ingin dicapai.
Reber, mendefenisikan proses sebagai cara-cara atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu.[11] Senada dengan itu Chaplin mendefenisikan bahwa proses adalah suatu perubahan khususnya yang menyangkal perubahan tingkah laku atau perubahan kejiwaan.[12]
Dari kedua definisi di atas terdapat islilah "langkah-langkah perubahan" ataupun tahapan perubahan yang dapat dipakai sebagai padanan kata proses.
Sedangkan istilah belajar, para ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran, namun rumusan dan penafsiran tentang belajar tersebut berbeda satu sama lain. Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa defenisi seperti yang dikemukakan Whittaker, belajar dapat didefenisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.[13]
Berdasarkan defenisi ini maka perubahan-perubahan tingkah laku akibat pertumbuhan fisik atau perkembangan, kematangan, kelelahan, penyakit tidak termasuk sebagai belajar. Senada dengan ungkapan di atas Kingsley mendefenisikan belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.[14] Sedangkan Crow and Crow mendefenisikan belajar adalah perubahan untuk memperoleh kebiasaan ilmu pengetahuan dan berbagai sikap.[15]
Berdasarkan defenisi di atas upaya yang dilakukan oleh seorang yang belajar untuk memperoleh berbagai kebiasaan, ilmu dan sikap adalah dilakukan dengan cara-cara tertentu. Sehingga akan menimbulkan suatu perubahan. Dengan demikian proses belajar dapat diartikan sebgai tahapan perubahan tingkah laku baik kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam proses belajar siswa menempuh tiga tahap yaitu (1) tahap informasi (tahap, penerimaan informasi), (2). tahap transformasi (tahap pengubahan materi),  dan (3) tahap evaluasi (tahap penilaian materi).[16] Senada dengan itu Witting juga mengemukakan bahwa setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan yaitu (1) Acquisition atau tahap penerimaan informasi, (2) Strobe atau tahap penyimpanan informasi,  dan (3) Retrieval atau tahap mendapatkan kembali informasi.[17]
Perbuatan belajar, merupakan suatu proses yang kompleks yang sulit untuk diamati, namun perbuatan belajar dapat diamati berdasarkan perubahan tingkah laku yang dihasilkan oleh tindakan belajar tersebut. Oleh karenanya setiap perbuatan belajar mengandung beberapa unsur yang sifatnya dinamis, kedinamisan ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang ada dalam diri siswa dan yang ada di luar diri siswa bersangkutan.
Adapun unsur-unsur yang terkait dalam proses belajar tersebut adalah (1) motivasi siswa, (2) bahan belajar, (3) media belajar, (4) suasana belajar, (5) kondisi subjek yang belajar.[18] Kelima unsur inilah yang bersifat dinamis, sering berubah dan yang mempengaruhi proses belajar. Di bawah ini unsur-unsur tersebut akan diuraikan satu persatu :
1)  Motivasi Siswa
Dalam konsep pembelajaran motivasi berarti seni mendorong peserta didik untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Motivasi dapat mempengaruhi belajar. Pada umumnya pengaruhnya terhadap belajar ditentukan oleh faktor-faktor perbuatan organisme yang bersangkutan sesuai dengan prinsip dalam situasi yang terjadi sebelumnya.
Mc.Donald -- seperti yang dikutip Oemar Hamalik --  merumuskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan dalam diri pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.[19]
Untuk mencapai tujuan pembelajaran adakalanya guru membangkitkan, menggerakkan, mengarahkan dan mendorong untuk aktif dalam proses belajar mengajar. Perbuatan belajar terjadi karena adanya motivasi, baik yang timbul dari dalam diri subjek yang belajar atau motivasi yang timbul dari luar diri seseorang sehingga subjek melakukan perbuatan belajar. Namun motovasi yang timbul dari dalam diri seseorang dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar.
2)   Bahan Belajar
Bahan belajarar adalah yang diberikan kepada siswa pada saat berlangsungnya proses pembelajaran melalui belajar ini siswa diantarkan kepada tujuan pembelajaran. Dengan kata lain tujuan yang akan dicapai siswa diwarnai dan dibentuk oleh bahan belajar.
Bahan belajar merupakan suatu unsur yang penting mendapat perhatian guru. Dengan bahan itu, para siswa dapat memperlajari hal-­hal yang diperlukan dalam upaya mencapai tujuan belajar. Secara umum sifat bahan belajar dapat dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu fakta, konsep, prinsip dan keterampilan.[20]
Fakta adalah sifat dari suatu gejala yang wujudnya dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Konsep yaitu rangkaian yang dibentuk melalui unsur bersama di antara anggota kumpulan atau rangkaian tersebut. Prinsip adalah pola hubungan fungsional di antara konsep. Sedangkan keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui informasi yang dipelajari.
Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua yaitu keterampilan fisik dan keterampilan intelektual.[21] Keterampilan fisik adalah keterampilan psikomotor dan keterampilan intelektual adalah berupa pemecahan masalah dan melakukan penilaian.
Bahan belajar telah digariskan dalam silabus dan GBPP dan dalam silabus tersebut telah dirumuskan secara rinci bahan belajar yang ditentukan untuk dipelajari oleh siswa.[22]
3)   Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran.[23] Pendapat lain merumuskan bahwa media dapat diartikan dalam arti sempit dan luas.[24] Dalam arti sempit media pembelajaran hanya meliputi media yang dapat digunakan secara efektif dalam proses pembelajaran yang terencana. Sedangkan dalam arti luas media tidak hanya meliputi media komunikasi, elektronika, akan tetapi juga mencakup alat-alat sederhana seperti slide, fotografi, dan kunjungan ke luar sekolah. Media adalah seperangkat peralatan pendidikan dan pengajaran yang digunakan untuk membantu penyajian isi dan materi pelajaran kepada peserta didik agar mereka dapat mencapai tujuan.[25]
Sedangkan beberapa Ahli mendefenisikan media dengan rumusan yang berbeda seperti yang dikemukakan oleh Gagne-sebagaimana yang dikutip Arif. S Sadiman-bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat meransangnya untuk belajar.[26] Senada dengan pendapat Gegne adalah pendapat Briggs bahwa media adalah segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang siswa untuk belajar.[27]
Dari pengertian di atas tampak bahwa defenisi media mengacu kepada penggunaan yang berupa benda untuk membantu proses penyampaian pesan. Misalnya dalam bentuk bahan tercetak seperti buku, alat-alat yang dapat dilihat (media visual) seperti grafs. Grafts sebagai media belajar akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara maksimal asalkan gambar tersebut erat kaitannya dengan materi pembelajaran.[28] Alat yang dapat didengar (media audio) sepert tape recorder, dalam kegiatan pembelajaran media audio ini banyak dipergunakan baik di tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, juga kemudian alat yang dapat didengar dan dilihat (Audio-visual Aids) seperti televisi dapat dipakai sebagai media pembelajaran.
Dari uraian di atas jelas bahwa media pembelajaran tidak hanya sekedar alat peraga bagi guru, melainkan pembawa pesan-pesan infomasi dan pesan-pesan pembelajaran yang dibutuhkan peserta didik.
4)  Suasana Belajar
Suasana belajar sangat penting dalam kegiatan belajar, oleh karenanya guru dan siswa senantiasa dituntut agar menciptakan suasana lingkungan belajar yang baik dan menyenangkan. Dengan demikian suasana belajar turut menentukan motivasi, kegiatan dan keberhasilan belajar.
5)   Kondisi Subjek Belajar
Kelancaran kegiatan pembelajaran dan mutu hasil belajarnya akan dipengaruhi oleh kondisi subjek belajar, siswa dapat belajar secara efesien dan efektif apabila berbadan sehat, punya inetligensi yang memadai dan punya pengalaman yang bertautan dengan pembelajaran. Siswa dapat belajar secara efektif dan efesien apabila kondisi badannya sehat. Orang yang badannya sakit tidak akan dapat belajar dengan efektif.[29]
Siswa yang belajar sering menghadapi situasi-situasi baru dan permasalahan, memerlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri serta memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya. Oleh karenanya kondisi subjek belajar harus memiliki integensi yang memadai, dan juga harus mampu memecahkan segala jenis masalah yang dihadinya.
Adapun defenisi intelegensi itu setidak-tidaknya mencakup kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah­-masalah yang memerlukan pengertian serta menggunakan simbol-simbol.[30]
Dari defenisi di atas jelas bahwa inteligensi merupakan kemampuan yang dimiliki manusia dalam memecahkan persoalan­-persoalan hidup dengan menggunakan pengertian serta simbol-simbol.
Pengalaman yang diperolah oleh individu ikut mempengaruhi belajar siswa, terutama pada transfer belajarnya. Dengan demikian siswa yang kurang sehat, inteligensi rendah dan tidak memiliki pengalaman yang memadai akan mempengaruhi kelancaran kegiatan dalam mutu hasil belajarya.
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperolah siswa setelah melalui kegiatan belajar. Keller memandang hasil belajar sebagai keluaran dari berbagai masukan, baik secara pribadi (personal inputs).[31] Gagne mengklasifikasikan hasil belajar menjadi lima yaitu (1) keterampilan intelektual, (2) strategi kognitif, (3) informasi verbal, (4) keterampilan psikomotor, dan (5) sikap. [32] Sedangkan Merril dan Twitehel mengklasifikasikan kepada dua dimensi yaitu tingkat kinerja (mengingat, menggunakan dan memutuskan) dan tipe isi  (fakta, konsep, prinsip dan prosedur).[33] Selanjutnya Benyamin S. Bloom membuat klasifikasi hasil belajar tersebut menjadi tiga yaitu : ranah kognatif, ranah afektif dan ranah psikomotor.[34]
Ranah kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual seseorang. Hasil belajar kognitif melibatkan siswa kedalam proses berpikir, seperti kemampuan mengingat, memahami, menerapkan dan evaluasi. Ranah afektif berkaitan dengan sikap dan nilai perasaan. Sedangkan ranah psikomotor, berkaitan dengan kemajuan yang menyangkut gerakan-gerakan otot.
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar itu adalah merupakan hasil perubahan tingkah laku yang diperoleh oleh individu sebagai tujuan dari perbuatan belajar yang dilakukannya.
Oemar Hamalik mendefenisikan pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meluputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.[35] Senada dengan Oemar Hamalik dalam Undang-Undang Sistem   Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dinyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidikan dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[36]
Rumusan di atas tidak terbatas dalam ruang saja akan tetapi dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan untuk membelajarkan peserta didik.
b.   Ciri-ciri Pembelajaran
Adapun ciri khas yang terkandung dalam pembelajaran adalah rencana, saling ketergantungan dan tujuan.[37] Tujuan pembelajaran akan diuraikan pada pembahasan komponen-komponen pembelajaran.
1.  Rencana (planing)
Rencana (planing) atau perencanaan adalah istilah yang dapat dipergunakan secara luas baik dikalangan pendidikan maupun di luar pendidikan. Namun untuk memperolah suatu komitmen atau menghindarkan kesalahpahaman, langkah awal yang ditempuh adalah menggunakan pengertian perencanaan.
Pembelajaran seperti yang dinyatakan oleh Kaufman[38] bahwa perencanaan adalah suatu proyeksi tentang apa yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan absah dan bernilai yang di dalamnya mencakup elemen-elemen ;
a.       Mengidentifikasikan dan mendokomentasikan kebutuhan.
b.      Menentukan kebutuhan yang perlu diprioritaskan.
c.       Spesifikasi rinci hasil yang dicapai dari tiap-tiap kebutuhan yang diprioritaskan.
d.      Identifikasi persyaratan untuk mencapai tiap-tiap pilihan.
Berdasarkan kepada hal di atas, maka perencanaan tersebut berkaitan dengan penentuan apa yang akan dilakukan, oleh karenanya perecanaan tersebut mengandung pokok pikiran yakni ;
a.       Proses keadaan masa depan yang diinginkan
b.      Membandingkan masa depan yang diinginkan dengan keadaan sekarang.
c.       Usaha-usaha yang dilakukan jika terdapat kesenjangan antara masa depan dengan keadaan sekarang.
d.      Alternatif yang mungkin ditempuh untuk menetup kesenjangan yang terjadi
e.       Alternatif yang baik adalah yang mempunyai efektivitas dan efesiensi yang tinggi.
f.       Alternatif yang dipilih harus dirinci sehingga menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan.[39]
Banghart tidak memberikan batasan perencanaan pembelajaran malainkan mengatakan bahwa dalam rangka mengerti makna perencanaan pembelajaran melainkan mengatakan bahwa dalam rangka mengerti makna perencanaan dapat dilihat dari dimensi perencanaan itu sendiri seperti singrufikansi, fleksibilitas, relevansi, kepastian, ketelitian adaptabilitas, waktu, monitoring dan isi. [40]
Lain halnya dengan Philip H. Coombs yang mengatakan bahwa perencanaan pembelajaran adalah suatu penerapan yang rasional dari analisis yang sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan tersebut lebih efektif dan efesien sesuai dengan kebutuhan dan tujuan.[41]
Untuk pendidikan di negara Indonesia, defenisi-defenisi di atas perlu disempurnakan secara jelas dan tegas, yang mana perencanaan pembelajaran merupakan suatu proses penyusunan alternatif kebijaksanaan mengatasi masalah yang akan dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan Pendidikan Nasional.[42]
2.   Saling Ketergantungan
Saling ketergantungan antara unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan, baik personalia, materi dan prosedur, dimana setiap elemen saling membantu dengan yang lain.[43]
c.   Unsur-unsur Pembelajaran
1.  Motivasi membelajarkan siswa
Guru hendaknya memiliki motivasi untuk membelajarkan siswa. Ada beberapa prinsip motivasi membelajarkan siswa. Pertama, prinsip kompetensi adalah persaingan secara sehat dapat ditimbulkan motivasi untuk bertindak lebih baik dan belajar yang baik, misalnya perlombaan karya tulis, dan siswa teladan.
Kedua, prinsip pemacu, motivasi untuk melakukan berbagai tindakan akan terjadi apabila ada pemacu tertentu baik berupa informasi, amanat, peringatan percontohan dan lain sebagainva.
Ketiga, prinsip ganjaran dan hukuman, setiap kerja vang baik apabila diberikan ganjaran yang memadai cenderung akan menigkatkan  motivasi. Demikian pula hukuman yang diberikan dapat menimbulkan motivasi untuk tidak lagi melakukan tindakan yang menyebabkan hukuman itu.
Keempat, prinsip kejelasan dan kedekatan tujuan berdasarkan prinsip ini, maka setiap siswa memahami tujuan belajarnya secara jelas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat tujuan yang masih umum dan jauh menjadi tujuan yang khusus dan lebih dekat.
Kelima, prinsip pemahaman hasil. Hasil yang dicapai oleh seseorang akan merupakan bahkan dari upaya yang telah dilakukan. Oleh karenanya para pengajar hendaknya selalu memberikan bahkan kepada setiap kerja yang telah dihasilkan oleh setiap siswa.
Keenam, prinsip pengembangan moral. Minat dapat diartikan sebagai rasa senang dan tidak senang dalam menghadapi suatu objek. Motivasi seseorang cenderung akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki minat dalam melakukan tindakannya.
Ketujuh, prinsip lingkungan yang kondusif, artinya perilaku pengajar secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perilaku siswa, perilaku pengajar dapat membangkitkan, meningkatkan motivasi siswa dalam belajar dan sebaliknva menurunkan motivasi siswa dalam belajar. Oleh karenanya pengajar hendaknva dapat memberikan ketauladanan bagi para siswanya.[44]
2.   Kondisi kesiapan guru membelajarkan siswa
Adapun yang dimaksud dengan kondisi kesiapan guru membelajarkan siswa adalah kemampuan yang dimiliki guru baik kemampuan kepribadian, kemampuan kemasyarakatan dan kemampuan dalam proses pembelajaran.
Kepribadian adalah faktor yang sangat penting bagi seorang guru, karena kepribadian akan menentukan apakah ia menjadi pendidik yang baik atau menjadi penghancur bagi masa depan anak didik.[45] Dengan demikian kemampuan pribadi adalah kualitas pribadi seorang guru agar dapat menjadi guru yang baik, baik yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri.
Adapun yang dimaksudkan dengan kemampuan kemasyarakatan adalah kemampuan yang diperlukan oleh seorang guru agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain yang dalam hal ini termasuk keterampilan interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Kemampuan dalam proses pembelajaran sering disebut dengan kemampuan profesional.[46] Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab dan rasa kesejawatan vang didukung oleh etika profesi. Dalam dunia pekerjaan etika sangat diperlukan sebagai landasan perilaku kerja para guru dan tenaga kependidikan lainnya. Untuk itu hendaknya para guru telah memiliki kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu ;
a.                   Menguasai bahan pembelajaran
b.                  Terampil dalam melaksanakan proses pembelajaran
c.                   Terampil melakukan penilaian hasil pembelajaran.[47]
Berdasarkan hal di atas jelas bahwa kompetensi merupakan suatu yang penting dalam menunjang proses pembelajaran. Oleh karenanya, maka kompetensi atau kemampuan tersebut mutlak dimiliki dan dikuasai oleh setiap para guru.
d.  Teori-teori Pembelajaran
Berdasarkan perkembangan yang ada hingga saat ini, paling kurang ada empat macam teori pembelajaran.[48] Keempat macam teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1)  Teori Constructivism
Teori ini lahir sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap penemuan para ahli sebelumnya yang mengatakan bahwa belajar sebagai proses hubungan stimulus-respons-reinforcement. Teori ini dibangun atas beberapa teori kognitif yang meliputi teori belajar Gestalt, cognitif field, cognitif development, discovery, dan teori belajar humanitis. Dengan demikian, teori constructism ini termasuk teori yang paling kokoh, lengkap dan utuh. [49]
Teori constructism beranggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia adalah hasil konstruksi dan usaha manusia sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan oleh seseorang yang mempelajarinya. Seseorang yang melakukan kegiatan pembelajaran adalah seseorang yang sedang membentuk pengertian.
Belajar dalam teori constructism adalah merupakan proses aktif peserta didik untuk merekonstruksi makna dengan cara memahami teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik, dan sebagainya. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.
Dengan mengacu kepada teori belajar teori constructism ini, maka pembelajaran constructism memiliki ciri-ciri : a) menghargai dan menerima eksplorasi pengetahuan siswa, b) memerhatikan ide dan problem yang dimunculkan oleh peserta didik dan menggunakannya sebagai bagian dalm merancang pembelajaran, c) memberikan peluang kepada para siswa untuk menemukan pengetahuan baru melalui proses pelibatan dalam dunia,  d) menciptakan proses inquiry peserta didik melalui kajian dan eksperimen, e) merangsang peserta didik untuk berdialog dengan sesama peserta didik lainnya dan juga dengan guru, f) menganggap proses pembelajaran sama pentingnya dengan hasil, g) memerhatikan sikap dan pembawaan peserta didik, h) mendorong terbentuknya pembelajaran secara koperatif, i) memerhatikan dan mengapresiasi hasil kajian peserta didik terhadap sesuatu masalah, dan j) para peserta didik membangun pemahamannya sendiri dari hasil belajarnya, bukan karena hasil yang diajarkan guru.[50]
2)  Teori Operant Conditioning
Kata ”operant” berasal dari bahasa Inggris yang dapat diartikan, sebagai sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek terhadap lingkungan yang dekat. Sedang kata ”conditioning”, dapat diartikan sebagai sebuah keadaan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, kata ”operant conditioning” dapat diartikan sebagai keadaan atau lingkungan yang dapat memberikan efek kepada orang yang berada di sekitarnya, Tidak sebagaimana responding conditioning yang responnya datang melalui stimulus tertentu, pada operant opening, respopns yang terjadi tanpa didahului oleh stimulus tertentu, melainkan yang ditimbulkan oleh efek reinforce, yaitu sejumlah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu yang diadakan tanpa sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya.[51]
Dalam kegiatan pembelajaran, operant conditioning menjamin respons-respons terhadap stimulasi. Apabila peserta didik tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulasi, maka pendidik tidak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior.[52] Dalam keadaan demikian, pendidik berperanan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar kearah tercapainya tujuan yang ditentukan.
Menurut Martinis Yamin – sebagaimana dikutip Abuddin Nata – mengatakan bahwa dalam dalam hubungannya dengan pembelajaran di kelas, tanggapan-tanggapan dapat diamati. Misalnya, ketika peserta didik secara spontan menjawab pertanyaan yang diberikan pendidik, maka reinforcer terhadap respons itu mungkin timbul dalam bentuk diberi giliran oloeh guru. Selanjutnya, bila respons yang muncul berupa jawaban atas pertanyaan, maka reinforcer yang berupa catatan guru dapat dikemukakan dalam bentuk ”bagus, benar sekali”, dan sebagainya.[53]
Dengan demikian kegiatan operant conditioning ini pada dasarnya adalah merupakan sebuah upaya menciptakan lingkungan yang memungkinkan timbulnya inisiatif pada peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar. Kondisi lingkungan ini harus diciptakan oleh guru, dan setiap respons yang diberikan peserta didik terhadap lingkungan tersebut harus diberikan apresiasi yang pantas dan memuaskan peserta didik.
3)  Teori Conditioning
Secara harfiah, conditioning berarti penciptaan keadaan. Teori ini di kembangkan oleh Ivan Paplop (1849-1936) dengan berdasarkan pada hasil percobaan dengan menggunakan anjing, Berdasarkan percobaan ini, Paplov merumuskan teori belajar sebagai berikut ; a) bahwa suatu perbuatan atau refleks dapat dipindahkan ke perbuatan atau refleks yang lainnya, b) hahwa belajar erat kaitannya dengan prinsip penguatan kembali, atau dengan kata lain, bahwa pengulangan dalam hal belajar adalah penting dilakukan.[54]
Dalam perkembangan selanjutnya E.R. Guthrie (1886-1959), memperluas teori ini dengan menggunakan prinsip ”the law of association” dalam belajar, yaitu bahwa sebuah kombinasi stimulasi yang telah menyertai suatu gerakan cenderung akan menimbulkan gerakan itu apabila kombinasi stimulasi itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika seseorang mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama, ia akan mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama, ia akan mengerjakan lagi perbuatan yang serupa. Berdasarkan teori ini, maka dalam belajar diperlukan adanya reward dan kedekatan antara stimulus dan respons.
Dalam kaitannya dengan hukuman (funishment) teori ini mengatakan, bahwa hukuman itu sifatnya netral, tidak baik dan tidak buruk. Efektif atau tidaknya sebuah hukuman amat bergantung pada efek dari hukuman tersebut terhadap peserta didik yang dalam mengambil bentuk apakah dengan hukuman tersebut menyebabkan murid mau belajar atau  tidak.[55]
4)  Teori Connectionism
Teori pembelajaran ini ditemukan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Menurut teori ini, bahwa belajar pada dasarnya merupakan sebuah proses asosiasi antara kesan pancaindra (sense of impressions) dengan impuls (tekanan) untuk bertindak (impuls to action). Asosiasi yang demikian itu direncanakan sedemikian rupa yang disebut dengan ”connecting”. Dengan ungkapan lain, bahwa pada dasarnya belajar itu adalah suatu proses pembentukan hubungan yang intens dan interaktif antara stimulus dan respons, atau antara aksi dan reaksi. Hubungan antara stimulus dan respons itu akan terjadi sedemikian rupa dan erat sekali, apabila selalu diadakan latihan. Dengan latihan yang dilakukan secara terus menerus, maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi terbentuk dengan sendirinya dan otomatis.[56]


[1] Tim MKDK Fakultas Ilmu Pendidikan UNP, Bahan Ajar ; Belajar dan Pembelajaran, (Padang : Universitas Negeri Padang, 2002), h. 33
[2] Ibid., h. 37
[3] Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta : Kencana, 2009), h. 89
[4] Aminuddin Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta : Uhamka Press 2003), h. 11
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Muhammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengertian, (Jakarta : Maha Putra Adidaya, 2002), h. 11
[8] Yang dimaksud dengan mencakup semua aspek adalah Kognitif, afektif dan psikomotorik.
[9] John Dewey, Experience and Education, Pendidikan Berbasis Pengalaman, Alih Bahasa oleh Hamiah, (Jakarta : Teraju Mizan, 2004), h. 89
[10] Aminuddin Rasyad, op. cit., h. 14
[11] Rebber dalam Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 98
[12] Ibid
[13] James O. Whittaker, Introducton of Psycology, (Tokyo : Toppan Company Limited, 1970), h. 215
[14] Howard L. Kingsley dan Ralp Garry, The Nature dan Conditions of Learning, (Practice Hall. Inc Engliiwood Clifs, 1957), h. 12
[15] Lester D. Crow and Alice Crow, Education Psychology, (New York : America Book Company, 1963), h. 225
[16] Muhibbin Syah, op. cit., h. 99
[17] Ibid
[18] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), h. 50
[19] Ibid
[20] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1989), h. 67
[21] Ibid
[22] Oemar Hamalik, op. cit., h. 51
[23] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 726
[24] Harjanto, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 247
[25] Aminuddin Rasyad, op. cit., h. 125
[26] Gagne dalam Arif. S  Sadiman, Media Pendidikan ; Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatan, (Jakarta : Rajawali Press, 1986), h. 6
[27] Ibid
[28] James W. Brown, et. all, Instruction Materials and Metodhs, (New York : McGrew-Hill Book Company Inc, 1959), h. 416
[29] Henry E. Garerett, General Psychology, (New York : America Book Company, 1946), h. 372
[30] Ibid
[31] JM Killer, Intrduction Design Theories and Models ; an Overview of Their Current Status, (London : Lawrence Erbium Associates Publisher, 1983), h. 391
[32] Robert M. Gagne, Principal of Instructional Design, (New York : Holt Rinehart and Winton, 1977), h. 47
[33] Meril and Twitehel, Introductional Design, Thoery Englewood Cliffs, (New Jersey : Educational Tecnology Publication, 1994), 106
[34] Benyamin S. Bloom, Taxonomy of Education Objevtives, Handbook II, (New York : Longman, 1964), h. 647
[35] Oemar Hamalik, op. cit., h. 57
[36] Undang-undang Simtem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h. 04
[37] Oemar Hamalik, op. cit., h. 66
[38] Roger A. Kaufman, Educational System Planning, (New Jersey : Prentice Hall Inc, 1972), h. 6-8
[39] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Materi Dasar Pendidikan Akta Mengajar, (Jakarta : Tahun 1986), h. 02
[40] Frank W. Banghart dan Albert Trull, Jr, Educational Planning, (New York : Collier Macmillan Lenated), h. 15
[41] Philip H. Coombs, Apakah Prencanaan Pendidikan itu, terjemahan Bhatara, (Jakarta : Karya Aksara, 1982), h. 03
[42] Jusuf Eonah, Dasar-dasar Prencanaan Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), h. 04
[43] Oemar Hamalik, loc. cit., h. 66
[44] Muhamad Surya, op. cit., h. 98-101
[45] Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 16
[46] Oemar Hamalik, op. cit., h. 67
[47] Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, (Padang  : IAIN Press, 1999), h. 44
[48]  Abuddin Nata, op. cit., h. 87
[49] Ibid
[50] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), h. 120
[51] Lihat Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis ; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), h. 128
[52] Abuddin Nata, Perspektif..., op. cit., h. 91
[53] Ibid
[54] Alex Sobur, Psikologi Umum dalam Lintas Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 225
[55] Sardiaman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), h. 36
[56] Abuddin Nata, op. cit., h. 93

Tidak ada komentar: