A.
Konsep Pembelajaran
- Hakikat
Pembelajaran
Salah satu perubahan yang cukup
mendasar dalam dunia pendidikan pada dasawarsa terakhir ini ialah fungsi guru.
Perubahan yang dimaksudkan adalah guru sebagai pengajar menjadi sebagai
pembelajar. Perubahan tersebut telah menimbulkan implikasi dan implementasi
yang cukup besar dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu semua calon guru –
tentunya juga guru – sangat diharapkan untuk dapat memahami dan mengikuti
perubahan tersebut.
Terjadinya perubahan fungsi guru
adalah dipengaruhi oleh munculnya perubahan pandangan para ahli. Perubahan
pandangan yang dimaksudkan adalah perubahan pandangan terhadap manusia,
perubahan pandangan terhadap tujuan pendidikan, dan perubahan terhadap peranan
guru.[1]
Perubahan pandangan seperti yang
dijelaskan di atas juga telah mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan
hubungan antara guru dan murid. Pada
awalnya guru dipandang sebagai pengajar, yang berupaya untuk menyampaikan
pengetahuan kepada murid. Istilah mengajar pada waktu itu sangat populer. Munculnya
pandangan yang lebih menghargai anak sebagai manusia (objektif) yang mempunyai
perasaan, pikiran dan kemauan, maka perilaku guru dipandang sebagai mempunyai
muansa mencocoki anak dengan berbagai pengetahuan, suatu tindakan dari untuk
guru. Padahal para ahli mulai menyadari bahwa sesungguhnya dalam pendidikan dan
pengajaran semua yang dilakukan untuk kepentingan anak bukan untuk guru.
Bersamaan dengan pemikiran di atas,
maka istilah mengajar diubah menjadi proses belajar-mengajar, yang lebih
menekankan adanya suatu proses interaksi antara siswa dan guru dimana guru
mengajar dan siswa belajar. Esensi dari konsep tersebut adalah bahwa siswa
telah dihargai keberadaannya.
Namun demikian lama kelamaan para
ahli melihat dan merasakan bahwa istilah proses belajar-mengajar mempunyai
konotasi yang negatif. Guru cenderung untuk terperosok kepada penataan kegiatan
belajar mengajar secara terpisah. Satu pihak ada kegiatan yang dilakukan guru
dan di pihak lain ada kegiatan siswa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada
sebahagian ahli jangan-jangan istilah tersebut pada gilirannya akan
menghasilkan cara mengajar gaya lama.
Misi utama seorang guru adalah
mendorong atau menyebabkan siswa belajar. Jadi mengajar sekarang diartikan
sebagai upaya guru untuk membangkitkan hasrat siswa untuk belajar.
Membangkitkan bertarti menyebabkan seseorang bangkit. Istilah ini kemudian
dianalogikan dengan “membelajarkan”.[2]
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran secara sederhana dapat
diartikan sebagai sebuah usaha mempengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual
seseorang agar mau belajar dengan kehendaknya sendiri. Melalui pembelajaran
akan terjadi proses pengembangan moral keagamaan, aktivitas, dan kreativitas
peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Pembelajaran
berbeda dengan mengajar yang pada prinsipnya menggambarkan aktivitas guru,
sedangkan pembelajaran menggambarkan peserta didik.[3]
Menurut Aminuddin Rasyad, belajar dan
pembelajaran adalah dua konsep pendidikan yang saling berkaitan dengan yang
lainnya.[4] Konsep
belajar pada dasarnya berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran
berakar pada pihak guru.[5]
Belajar
dalam situasi tertentu bisa berdiri sendiri jika kegiatan peserta didik berlangsung tidak di bawah bimbingan guru,
misalnya belajar sendiri (self study) atau belajar kelompok (group
study) sesama mereka baik
di rumah atau belajar di suatu tempat tertentu. Namun demikian pembelajaran
biasanya terjadi dalam situasi formal yang sengaja di programkan oleh guru
dalam usahanya mentransformasikan ilmu yang diberikannya kepada peserta didik
berdasarkan kurikulum dan tujuan yang hendak dicapai.[6]
Pembelajaran
merupakan aktivitas yang paling utama dalam proses pendidikan. Hal ini berarti
bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan tergantung bagaimana proses pembelajaran berlangsung secara
efektif. Pemahaman seorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan mempengaruhi cara guru itu mengajar.
Banyak pengertian pembelajaran yang
diberikan oleh beberapa ahli antara lain seperti yang dikemukan oleh Muhammad
Surya "pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru
secara keseluruhan, sebagal hasil dari pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya”.[7]
Dari
defenisi di atas dapat diambil beberapa pengertian. Pertama, pembelajaran adalah suatu proses,
maksudnya adalah bahwa aktivitas pembelajaran
itu terjadi karena adanya sesuatu yang mendorong dan sesuatu yang ingin dicapai. Kedua, pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan perilaku dalam diri
individu. Ketiga, hasil pembelajaran tersebut
ditandai dengan perubahan
perilaku secara keseluruhan atau mencakup semua aspek.[8] Keempat,
pembelajaran merupakan bentuk pengalaman, pembelajaran merupakan bentuk
interaksi individu dengan lingkungannya, sehingga banyak memberikan pengalaman
dari situasi tersebut. Oleh karenanya untuk mencapal tujuan-tujuan terbaik si
pelajar haruslah didasarkan pada pengalaman. Kelima, pembelajaran
merupakan suatu proses interaksi individu dengan lingkungannya. Berarti
selama proses pembelajaran berlangsung individu akan senantiasa dalam berbagai
aktivitas yang tidak terlepas dari lingkungannya.[9]
Senada
dengan defenisi di atas, Aminuddin Rasyad memberikan defenisi pembelajaran adalah sebagai proses yang terjadi yang membuat seseorang atau sekelompok
orang yaitu peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan rencana
pengajaran yang telah diprogramkan”.[10]
Berdasarkan defenisi ini
jelas bahwa, pembelajaran merupakan suatu proses yang membuat peserta didik melakukan proses belajar melalui perencanaan
oleh pihak guru.
Proses belajar terdiri dari dua kata yakni proses dan belajar. Proses berasal dari bahasa Inggris "process" yang berarti cara. Pengertian ini mempunyai
konotasi mengolah yang mengarah kepada sasaran atau hasil yang ingin dicapai.
Reber, mendefenisikan proses
sebagai cara-cara atau langkah-langkah khusus yang
dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu.[11] Senada dengan itu Chaplin mendefenisikan bahwa proses
adalah suatu perubahan khususnya yang menyangkal perubahan tingkah laku atau
perubahan kejiwaan.[12]
Dari kedua definisi di atas
terdapat islilah "langkah-langkah perubahan" ataupun tahapan perubahan yang dapat dipakai sebagai
padanan kata proses.
Sedangkan
istilah belajar, para ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran, namun
rumusan dan penafsiran tentang belajar tersebut berbeda satu sama lain. Dalam
tulisan ini akan dikemukakan beberapa defenisi seperti yang dikemukakan Whittaker, belajar dapat didefenisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah
melalui latihan atau pengalaman.[13]
Berdasarkan
defenisi ini maka perubahan-perubahan tingkah laku akibat pertumbuhan fisik
atau perkembangan, kematangan, kelelahan, penyakit tidak termasuk sebagai
belajar. Senada dengan ungkapan di atas Kingsley
mendefenisikan belajar adalah proses dimana
tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek
atau latihan.[14] Sedangkan Crow and Crow mendefenisikan belajar adalah perubahan untuk
memperoleh kebiasaan ilmu pengetahuan dan berbagai sikap.[15]
Berdasarkan defenisi di atas
upaya yang dilakukan oleh seorang yang belajar untuk memperoleh berbagai kebiasaan, ilmu dan sikap adalah dilakukan dengan cara-cara tertentu. Sehingga akan menimbulkan suatu perubahan. Dengan demikian proses belajar dapat diartikan sebgai tahapan perubahan
tingkah laku baik kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam proses belajar siswa
menempuh tiga tahap yaitu (1) tahap informasi (tahap,
penerimaan informasi), (2). tahap transformasi (tahap pengubahan materi), dan (3) tahap
evaluasi (tahap penilaian materi).[16] Senada dengan itu Witting juga mengemukakan bahwa setiap proses
belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan
yaitu (1) Acquisition atau tahap penerimaan
informasi, (2) Strobe atau tahap
penyimpanan informasi, dan (3) Retrieval atau tahap
mendapatkan kembali informasi.[17]
Perbuatan belajar, merupakan suatu proses yang kompleks yang sulit untuk diamati, namun perbuatan belajar
dapat diamati berdasarkan perubahan tingkah
laku yang dihasilkan oleh tindakan belajar tersebut. Oleh karenanya setiap
perbuatan belajar mengandung beberapa unsur yang sifatnya dinamis, kedinamisan ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
yang ada dalam diri siswa dan yang ada
di luar diri siswa bersangkutan.
Adapun unsur-unsur yang terkait dalam proses belajar tersebut adalah (1) motivasi siswa,
(2) bahan belajar, (3) media belajar, (4) suasana belajar, (5) kondisi subjek
yang belajar.[18] Kelima unsur inilah
yang bersifat dinamis, sering
berubah dan yang mempengaruhi proses belajar. Di bawah ini unsur-unsur tersebut
akan diuraikan satu persatu :
1) Motivasi Siswa
Dalam konsep
pembelajaran motivasi berarti seni mendorong peserta didik
untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Motivasi dapat mempengaruhi
belajar. Pada umumnya pengaruhnya terhadap belajar ditentukan oleh
faktor-faktor perbuatan organisme yang
bersangkutan sesuai dengan prinsip dalam situasi yang terjadi
sebelumnya.
Mc.Donald -- seperti
yang dikutip Oemar Hamalik -- merumuskan
bahwa motivasi adalah suatu perubahan dalam diri pribadi seseorang yang
ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.[19]
Untuk
mencapai tujuan pembelajaran adakalanya guru membangkitkan,
menggerakkan, mengarahkan dan mendorong untuk aktif dalam proses belajar mengajar. Perbuatan belajar terjadi karena adanya motivasi, baik yang timbul dari dalam diri subjek
yang belajar atau motivasi yang timbul dari luar diri seseorang sehingga
subjek melakukan perbuatan belajar. Namun motovasi yang timbul dari dalam diri
seseorang dianggap lebih baik bila
dibandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar.
2) Bahan Belajar
Bahan belajarar adalah yang diberikan kepada siswa pada
saat berlangsungnya proses pembelajaran
melalui belajar ini siswa diantarkan kepada
tujuan pembelajaran. Dengan kata lain tujuan yang akan dicapai siswa
diwarnai dan dibentuk oleh bahan belajar.
Bahan belajar merupakan suatu unsur
yang penting mendapat perhatian guru. Dengan bahan itu, para siswa dapat memperlajari hal-hal yang diperlukan dalam upaya
mencapai tujuan belajar. Secara umum sifat bahan belajar dapat dibedakan
menjadi beberapa kategori yaitu fakta, konsep, prinsip dan keterampilan.[20]
Fakta adalah sifat dari suatu gejala
yang wujudnya dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Konsep yaitu rangkaian yang
dibentuk melalui unsur
bersama di antara anggota kumpulan atau rangkaian tersebut. Prinsip adalah pola hubungan fungsional di antara konsep.
Sedangkan keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui
informasi yang dipelajari.
Keterampilan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu keterampilan fisik dan keterampilan intelektual.[21] Keterampilan fisik adalah keterampilan
psikomotor dan keterampilan intelektual adalah berupa pemecahan masalah dan
melakukan penilaian.
Bahan
belajar telah digariskan dalam silabus dan GBPP dan dalam silabus tersebut
telah dirumuskan secara rinci bahan belajar yang ditentukan untuk dipelajari
oleh siswa.[22]
3) Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran.[23] Pendapat lain merumuskan bahwa media dapat diartikan
dalam arti sempit dan luas.[24] Dalam arti sempit media pembelajaran hanya meliputi media yang dapat digunakan secara efektif dalam
proses pembelajaran yang terencana.
Sedangkan dalam arti luas media tidak hanya meliputi media
komunikasi, elektronika, akan tetapi juga mencakup alat-alat sederhana seperti slide, fotografi, dan kunjungan ke luar
sekolah. Media adalah seperangkat
peralatan pendidikan dan pengajaran yang digunakan untuk membantu penyajian isi dan materi pelajaran kepada peserta
didik agar mereka dapat mencapai tujuan.[25]
Sedangkan beberapa Ahli mendefenisikan media dengan rumusan yang
berbeda seperti yang dikemukakan oleh Gagne-sebagaimana yang dikutip Arif. S
Sadiman-bahwa media adalah berbagai jenis
komponen dalam lingkungan siswa yang dapat meransangnya untuk belajar.[26] Senada dengan pendapat Gegne adalah pendapat
Briggs bahwa media adalah segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan
yang dapat merangsang siswa untuk belajar.[27]
Dari pengertian
di atas tampak bahwa defenisi media mengacu kepada
penggunaan yang berupa benda untuk membantu proses penyampaian pesan. Misalnya dalam bentuk bahan
tercetak seperti buku, alat-alat yang
dapat dilihat (media visual) seperti grafs. Grafts sebagai media belajar akan dapat
meningkatkan hasil belajar siswa secara maksimal
asalkan gambar tersebut erat kaitannya dengan materi pembelajaran.[28] Alat
yang dapat didengar (media audio) sepert
tape recorder, dalam kegiatan pembelajaran media audio ini banyak dipergunakan baik di tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi, juga kemudian alat
yang dapat didengar dan dilihat (Audio-visual Aids) seperti televisi dapat dipakai
sebagai media pembelajaran.
Dari uraian di atas jelas bahwa media pembelajaran tidak hanya sekedar alat peraga bagi guru, melainkan pembawa
pesan-pesan infomasi dan pesan-pesan pembelajaran yang dibutuhkan peserta
didik.
4) Suasana
Belajar
Suasana belajar sangat penting dalam kegiatan belajar,
oleh karenanya guru dan siswa senantiasa dituntut agar menciptakan suasana lingkungan belajar yang baik dan menyenangkan.
Dengan demikian suasana belajar turut
menentukan motivasi, kegiatan dan keberhasilan belajar.
5) Kondisi
Subjek Belajar
Kelancaran kegiatan pembelajaran dan mutu hasil
belajarnya akan dipengaruhi oleh kondisi
subjek belajar, siswa dapat belajar secara efesien dan efektif apabila berbadan sehat, punya
inetligensi yang memadai dan punya pengalaman yang bertautan dengan
pembelajaran. Siswa dapat belajar secara
efektif dan efesien apabila kondisi badannya sehat. Orang yang badannya
sakit tidak akan dapat belajar dengan efektif.[29]
Siswa yang
belajar sering menghadapi situasi-situasi baru dan permasalahan, memerlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri serta
memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya. Oleh karenanya kondisi
subjek belajar harus memiliki integensi yang
memadai, dan juga harus mampu memecahkan segala jenis masalah yang dihadinya.
Adapun defenisi intelegensi itu setidak-tidaknya mencakup
kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk
pemecahan masalah-masalah yang
memerlukan pengertian serta menggunakan simbol-simbol.[30]
Dari defenisi di atas jelas bahwa
inteligensi merupakan kemampuan yang dimiliki manusia dalam memecahkan persoalan-persoalan hidup dengan menggunakan pengertian serta
simbol-simbol.
Pengalaman yang diperolah oleh
individu ikut mempengaruhi belajar siswa, terutama pada transfer belajarnya. Dengan
demikian siswa yang kurang sehat, inteligensi rendah dan tidak memiliki pengalaman yang memadai akan mempengaruhi kelancaran kegiatan dalam
mutu hasil belajarya.
Hasil belajar adalah kemampuan yang
diperolah siswa setelah melalui
kegiatan belajar. Keller memandang hasil belajar sebagai keluaran dari
berbagai masukan, baik secara pribadi (personal inputs).[31]
Gagne mengklasifikasikan hasil belajar
menjadi lima yaitu (1) keterampilan intelektual, (2) strategi kognitif,
(3) informasi verbal, (4) keterampilan psikomotor,
dan (5) sikap. [32] Sedangkan Merril dan Twitehel
mengklasifikasikan kepada dua dimensi yaitu tingkat kinerja (mengingat,
menggunakan dan memutuskan) dan tipe isi
(fakta, konsep, prinsip dan prosedur).[33] Selanjutnya Benyamin S. Bloom membuat klasifikasi hasil
belajar tersebut menjadi tiga yaitu : ranah kognatif, ranah afektif dan ranah
psikomotor.[34]
Ranah kognitif berkaitan dengan kemampuan intelektual seseorang.
Hasil belajar kognitif melibatkan siswa kedalam proses berpikir, seperti
kemampuan mengingat, memahami, menerapkan dan evaluasi.
Ranah afektif berkaitan dengan sikap dan nilai perasaan. Sedangkan ranah psikomotor, berkaitan dengan
kemajuan yang menyangkut gerakan-gerakan otot.
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar itu adalah merupakan hasil perubahan tingkah laku yang
diperoleh oleh individu sebagai tujuan dari perbuatan belajar yang
dilakukannya.
Oemar Hamalik mendefenisikan pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meluputi unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.[35] Senada dengan Oemar Hamalik dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 dinyatakan pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidikan dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.[36]
Rumusan di
atas tidak terbatas dalam ruang saja akan tetapi dapat dilaksanakan dengan cara
membaca buku, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen
yang saling berkaitan untuk membelajarkan peserta didik.
b. Ciri-ciri Pembelajaran
Adapun ciri
khas yang terkandung dalam pembelajaran adalah rencana, saling
ketergantungan dan tujuan.[37] Tujuan
pembelajaran akan diuraikan pada pembahasan komponen-komponen pembelajaran.
1. Rencana (planing)
Rencana (planing) atau perencanaan
adalah istilah yang dapat dipergunakan secara luas baik dikalangan pendidikan
maupun di luar pendidikan. Namun untuk
memperolah suatu komitmen atau menghindarkan kesalahpahaman, langkah
awal yang ditempuh adalah menggunakan pengertian perencanaan.
Pembelajaran seperti yang
dinyatakan oleh Kaufman[38] bahwa perencanaan adalah suatu proyeksi tentang apa yang
diperlukan dalam rangka mencapai tujuan absah dan bernilai yang di
dalamnya mencakup elemen-elemen ;
a.
Mengidentifikasikan dan
mendokomentasikan kebutuhan.
b.
Menentukan
kebutuhan yang perlu diprioritaskan.
c.
Spesifikasi
rinci hasil yang dicapai dari tiap-tiap kebutuhan yang diprioritaskan.
d.
Identifikasi
persyaratan untuk mencapai tiap-tiap pilihan.
Berdasarkan
kepada hal di atas, maka perencanaan tersebut berkaitan dengan
penentuan apa yang akan dilakukan, oleh karenanya perecanaan tersebut
mengandung pokok pikiran yakni ;
a.
Proses keadaan
masa depan yang diinginkan
b.
Membandingkan masa depan yang
diinginkan dengan keadaan sekarang.
c.
Usaha-usaha yang dilakukan jika terdapat kesenjangan
antara masa depan dengan keadaan sekarang.
d.
Alternatif
yang mungkin ditempuh untuk menetup kesenjangan yang terjadi
e.
Alternatif yang baik adalah yang mempunyai efektivitas
dan efesiensi yang tinggi.
Banghart
tidak memberikan batasan perencanaan pembelajaran
malainkan mengatakan bahwa dalam rangka mengerti makna perencanaan
pembelajaran melainkan mengatakan bahwa dalam rangka mengerti makna perencanaan dapat dilihat
dari dimensi perencanaan itu sendiri seperti singrufikansi, fleksibilitas,
relevansi, kepastian, ketelitian adaptabilitas, waktu, monitoring dan isi.
[40]
Lain
halnya dengan Philip H. Coombs yang mengatakan bahwa perencanaan pembelajaran adalah suatu penerapan yang rasional
dari analisis yang sistematis proses perkembangan pendidikan dengan
tujuan agar pendidikan tersebut lebih
efektif dan efesien sesuai dengan kebutuhan dan tujuan.[41]
Untuk pendidikan di negara Indonesia, defenisi-defenisi di
atas perlu
disempurnakan secara jelas dan tegas, yang mana perencanaan pembelajaran merupakan suatu proses penyusunan
alternatif kebijaksanaan mengatasi
masalah yang akan dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan Pendidikan
Nasional.[42]
2. Saling
Ketergantungan
Saling ketergantungan antara
unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan,
baik personalia, materi dan prosedur, dimana setiap elemen saling membantu dengan yang lain.[43]
c. Unsur-unsur
Pembelajaran
1. Motivasi
membelajarkan siswa
Guru hendaknya memiliki motivasi untuk membelajarkan
siswa. Ada beberapa prinsip motivasi
membelajarkan siswa. Pertama, prinsip
kompetensi
adalah persaingan secara sehat dapat ditimbulkan motivasi untuk bertindak lebih baik dan belajar yang baik,
misalnya perlombaan karya tulis, dan siswa teladan.
Kedua, prinsip pemacu,
motivasi untuk melakukan berbagai tindakan akan terjadi
apabila ada pemacu tertentu baik berupa informasi, amanat, peringatan percontohan dan
lain sebagainva.
Ketiga, prinsip ganjaran dan
hukuman, setiap kerja vang baik apabila diberikan ganjaran yang memadai cenderung akan menigkatkan motivasi. Demikian pula hukuman
yang diberikan dapat menimbulkan motivasi untuk tidak lagi melakukan tindakan
yang menyebabkan hukuman itu.
Keempat, prinsip kejelasan dan
kedekatan tujuan berdasarkan prinsip ini, maka setiap siswa memahami tujuan
belajarnya secara jelas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat tujuan
yang masih umum dan jauh menjadi tujuan yang khusus dan lebih dekat.
Kelima,
prinsip pemahaman hasil. Hasil yang dicapai oleh seseorang akan merupakan bahkan dari upaya yang telah dilakukan.
Oleh karenanya para
pengajar hendaknya selalu memberikan bahkan kepada setiap kerja yang telah dihasilkan oleh setiap siswa.
Keenam, prinsip pengembangan moral. Minat dapat diartikan
sebagai rasa senang dan tidak senang dalam
menghadapi suatu objek. Motivasi seseorang
cenderung akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki minat dalam
melakukan tindakannya.
Ketujuh, prinsip lingkungan yang kondusif, artinya perilaku
pengajar secara langsung maupun tidak langsung
mempunyai pengaruh terhadap perilaku siswa, perilaku pengajar dapat
membangkitkan, meningkatkan motivasi siswa
dalam belajar dan sebaliknva menurunkan motivasi siswa dalam belajar.
Oleh karenanya pengajar hendaknva dapat memberikan ketauladanan bagi para
siswanya.[44]
2. Kondisi kesiapan
guru membelajarkan siswa
Adapun yang dimaksud dengan kondisi kesiapan guru
membelajarkan siswa adalah kemampuan yang
dimiliki guru baik kemampuan kepribadian,
kemampuan kemasyarakatan dan kemampuan dalam proses pembelajaran.
Kepribadian adalah faktor yang
sangat penting bagi seorang guru, karena kepribadian akan menentukan apakah ia menjadi
pendidik yang baik atau menjadi penghancur bagi masa depan anak didik.[45] Dengan demikian kemampuan pribadi adalah kualitas
pribadi seorang guru agar dapat menjadi guru yang baik, baik yang
berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan
diri, pengarahan diri dan perwujudan diri.
Adapun yang dimaksudkan dengan
kemampuan kemasyarakatan
adalah kemampuan yang diperlukan oleh seorang guru
agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain yang dalam hal ini termasuk keterampilan interaksi sosial dan
melaksanakan tanggung jawab sosial.
Kemampuan dalam proses pembelajaran sering disebut
dengan kemampuan profesional.[46]
Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab dan rasa
kesejawatan vang didukung oleh etika profesi. Dalam dunia pekerjaan etika
sangat diperlukan sebagai landasan perilaku kerja para guru dan
tenaga kependidikan
lainnya. Untuk itu hendaknya para guru telah memiliki kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru yaitu ;
a.
Menguasai bahan pembelajaran
b.
Terampil dalam melaksanakan proses
pembelajaran
c.
Terampil melakukan penilaian hasil
pembelajaran.[47]
Berdasarkan hal di atas jelas
bahwa kompetensi merupakan suatu yang penting dalam menunjang
proses pembelajaran. Oleh karenanya, maka kompetensi atau
kemampuan tersebut mutlak dimiliki dan dikuasai oleh setiap para guru.
d. Teori-teori
Pembelajaran
Berdasarkan perkembangan yang ada hingga saat ini,
paling kurang ada empat macam teori pembelajaran.[48] Keempat macam teori ini dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1) Teori
Constructivism
Teori ini lahir sebagai akibat dari ketidakpuasan
terhadap penemuan para ahli sebelumnya yang mengatakan bahwa belajar sebagai
proses hubungan stimulus-respons-reinforcement. Teori ini dibangun atas
beberapa teori kognitif yang meliputi teori belajar Gestalt, cognitif
field, cognitif development, discovery, dan teori belajar humanitis. Dengan
demikian, teori constructism ini termasuk teori yang paling kokoh, lengkap dan
utuh. [49]
Teori constructism beranggapan bahwa pengetahuan yang
dimiliki manusia adalah hasil konstruksi dan usaha manusia sendiri. Pengetahuan
bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang
diciptakan oleh seseorang yang mempelajarinya. Seseorang yang melakukan
kegiatan pembelajaran adalah seseorang yang sedang membentuk pengertian.
Belajar dalam teori constructism adalah merupakan
proses aktif peserta didik untuk merekonstruksi makna dengan cara memahami
teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik, dan sebagainya. Belajar merupakan
proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari
dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.
Dengan mengacu kepada teori belajar teori constructism
ini, maka pembelajaran constructism memiliki ciri-ciri : a) menghargai dan
menerima eksplorasi pengetahuan siswa, b) memerhatikan ide dan problem yang
dimunculkan oleh peserta didik dan menggunakannya sebagai bagian dalm merancang
pembelajaran, c) memberikan peluang kepada para siswa untuk menemukan
pengetahuan baru melalui proses pelibatan dalam dunia, d) menciptakan proses inquiry peserta didik
melalui kajian dan eksperimen, e) merangsang peserta didik untuk berdialog
dengan sesama peserta didik lainnya dan juga dengan guru, f) menganggap proses
pembelajaran sama pentingnya dengan hasil, g) memerhatikan sikap dan pembawaan
peserta didik, h) mendorong terbentuknya pembelajaran secara koperatif, i)
memerhatikan dan mengapresiasi hasil kajian peserta didik terhadap sesuatu
masalah, dan j) para peserta didik membangun pemahamannya sendiri dari hasil
belajarnya, bukan karena hasil yang diajarkan guru.[50]
2) Teori
Operant Conditioning
Kata ”operant” berasal dari bahasa Inggris yang dapat
diartikan, sebagai sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek terhadap
lingkungan yang dekat. Sedang kata ”conditioning”, dapat diartikan sebagai
sebuah keadaan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Dengan demikian, kata
”operant conditioning” dapat diartikan sebagai keadaan atau lingkungan yang
dapat memberikan efek kepada orang yang berada di sekitarnya, Tidak sebagaimana
responding conditioning yang responnya datang melalui
stimulus tertentu, pada operant opening, respopns yang terjadi
tanpa didahului oleh stimulus tertentu, melainkan yang ditimbulkan oleh efek reinforce, yaitu sejumlah stimulus
yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu yang diadakan
tanpa sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya.[51]
Dalam kegiatan pembelajaran, operant conditioning
menjamin respons-respons terhadap stimulasi. Apabila peserta didik tidak
menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulasi, maka pendidik tidak mungkin dapat
membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior.[52] Dalam keadaan demikian, pendidik
berperanan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan
belajar kearah tercapainya tujuan yang ditentukan.
Menurut Martinis Yamin – sebagaimana dikutip Abuddin
Nata – mengatakan bahwa dalam dalam hubungannya dengan pembelajaran di kelas,
tanggapan-tanggapan dapat diamati. Misalnya, ketika peserta didik secara
spontan menjawab pertanyaan yang diberikan pendidik, maka reinforcer terhadap respons itu mungkin
timbul dalam bentuk diberi giliran oloeh guru. Selanjutnya, bila respons yang
muncul berupa jawaban atas pertanyaan, maka reinforcer
yang berupa
catatan guru dapat dikemukakan dalam bentuk ”bagus, benar sekali”, dan
sebagainya.[53]
Dengan demikian kegiatan operant
conditioning ini pada dasarnya adalah merupakan sebuah upaya menciptakan lingkungan
yang memungkinkan timbulnya inisiatif pada peserta didik untuk melakukan
kegiatan belajar. Kondisi lingkungan ini harus diciptakan oleh guru, dan setiap
respons yang diberikan peserta didik terhadap lingkungan tersebut harus
diberikan apresiasi yang pantas dan memuaskan peserta didik.
3) Teori
Conditioning
Secara harfiah, conditioning berarti penciptaan
keadaan. Teori ini di kembangkan oleh Ivan Paplop (1849-1936) dengan
berdasarkan pada hasil percobaan dengan menggunakan anjing, Berdasarkan
percobaan ini, Paplov merumuskan teori belajar sebagai berikut ; a) bahwa suatu
perbuatan atau refleks dapat dipindahkan ke perbuatan atau refleks yang lainnya,
b) hahwa belajar erat kaitannya dengan prinsip penguatan kembali, atau dengan
kata lain, bahwa pengulangan dalam hal belajar adalah penting dilakukan.[54]
Dalam perkembangan selanjutnya E.R. Guthrie
(1886-1959), memperluas teori ini dengan menggunakan prinsip ”the law of
association” dalam belajar, yaitu bahwa sebuah kombinasi stimulasi yang telah
menyertai suatu gerakan cenderung akan menimbulkan gerakan itu apabila
kombinasi stimulasi itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika seseorang
mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama, ia
akan mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka dalam situasi yang sama,
ia akan mengerjakan lagi perbuatan yang serupa. Berdasarkan teori ini, maka
dalam belajar diperlukan adanya reward dan kedekatan antara
stimulus dan respons.
Dalam kaitannya dengan hukuman (funishment) teori ini mengatakan,
bahwa hukuman itu sifatnya netral, tidak baik dan tidak buruk. Efektif atau
tidaknya sebuah hukuman amat bergantung pada efek dari hukuman tersebut
terhadap peserta didik yang dalam mengambil bentuk apakah dengan hukuman
tersebut menyebabkan murid mau belajar atau
tidak.[55]
4) Teori
Connectionism
Teori pembelajaran ini ditemukan oleh Edward L.
Thorndike (1874-1949). Menurut teori ini, bahwa belajar pada dasarnya merupakan
sebuah proses asosiasi antara kesan pancaindra (sense of impressions) dengan impuls (tekanan) untuk bertindak (impuls to action). Asosiasi yang demikian itu direncanakan
sedemikian rupa yang disebut dengan ”connecting”. Dengan ungkapan lain, bahwa
pada dasarnya belajar itu adalah suatu proses pembentukan hubungan yang intens
dan interaktif antara stimulus dan respons, atau antara aksi dan reaksi. Hubungan
antara stimulus dan respons itu akan terjadi sedemikian rupa dan erat sekali,
apabila selalu diadakan latihan. Dengan latihan yang dilakukan secara terus
menerus, maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi terbentuk
dengan sendirinya dan otomatis.[56]
[1] Tim MKDK Fakultas Ilmu Pendidikan UNP, Bahan Ajar ; Belajar dan
Pembelajaran, (Padang : Universitas Negeri Padang, 2002), h. 33
[2] Ibid., h. 37
[3] Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta
: Kencana, 2009), h. 89
[4] Aminuddin Rasyad, Teori Belajar dan
Pembelajaran, (Jakarta : Uhamka Press 2003), h. 11
[7] Muhammad Surya, Psikologi Pembelajaran
dan Pengertian, (Jakarta : Maha Putra Adidaya, 2002), h. 11
[8] Yang dimaksud dengan mencakup semua aspek
adalah Kognitif, afektif dan psikomotorik.
[9] John Dewey, Experience and Education, Pendidikan Berbasis Pengalaman, Alih
Bahasa oleh Hamiah, (Jakarta : Teraju Mizan, 2004), h. 89
[10] Aminuddin Rasyad, op. cit., h. 14
[11] Rebber dalam Muhibbin Syah, Psikologi
Belajar, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 98
[12] Ibid
[13] James O. Whittaker, Introducton of Psycology, (Tokyo :
Toppan Company Limited, 1970), h. 215
[14] Howard L. Kingsley dan Ralp Garry, The Nature dan Conditions of
Learning, (Practice Hall. Inc Engliiwood Clifs, 1957), h. 12
[15] Lester D. Crow and Alice Crow, Education Psychology, (New
York : America Book Company, 1963), h. 225
[16] Muhibbin Syah, op. cit., h. 99
[17] Ibid
[18] Oemar Hamalik, Kurikulum dan
Pembelajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), h. 50
[20] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses
Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1989), h. 67
[22] Oemar Hamalik, op. cit., h. 51
[23] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 726
[24] Harjanto, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta
: Rineka Cipta, 1997), h. 247
[25] Aminuddin Rasyad, op. cit., h. 125
[26] Gagne dalam Arif. S Sadiman, Media Pendidikan ; Pengertian,
Pengembangan dan Pemanfaatan, (Jakarta : Rajawali Press, 1986), h. 6
[27] Ibid
[28] James W. Brown, et. all, Instruction Materials and Metodhs, (New
York : McGrew-Hill Book Company Inc, 1959), h. 416
[29] Henry E. Garerett, General Psychology, (New York : America
Book Company, 1946), h. 372
[30] Ibid
[31] JM Killer, Intrduction Design Theories and Models ; an Overview
of Their Current Status, (London : Lawrence Erbium Associates Publisher,
1983), h. 391
[32] Robert M. Gagne, Principal of Instructional Design, (New
York : Holt Rinehart and Winton, 1977), h. 47
[33] Meril and Twitehel, Introductional Design, Thoery Englewood
Cliffs, (New Jersey : Educational Tecnology Publication, 1994), 106
[34] Benyamin S. Bloom, Taxonomy of Education Objevtives, Handbook
II, (New York : Longman, 1964), h. 647
[35] Oemar Hamalik, op. cit., h. 57
[36] Undang-undang Simtem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h. 04
[37] Oemar Hamalik, op. cit., h. 66
[38] Roger A. Kaufman, Educational System Planning, (New Jersey :
Prentice Hall Inc, 1972), h. 6-8
[39] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi, Materi Dasar Pendidikan Akta Mengajar, (Jakarta : Tahun 1986),
h. 02
[40] Frank W. Banghart dan Albert Trull, Jr, Educational Planning, (New
York : Collier Macmillan Lenated), h. 15
[41] Philip H. Coombs, Apakah Prencanaan Pendidikan itu, terjemahan
Bhatara, (Jakarta : Karya Aksara, 1982), h. 03
[42] Jusuf Eonah, Dasar-dasar Prencanaan Pendidikan, (Jakarta :
Bumi Aksara, 1992), h. 04
[43] Oemar Hamalik, loc. cit., h. 66
[44] Muhamad Surya, op. cit., h. 98-101
[45] Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang,
1980), h. 16
[46] Oemar Hamalik, op. cit., h. 67
[47] Syafruddin Nurdin, Guru Profesional
dan Implementasi Kurikulum, (Padang
: IAIN Press, 1999), h. 44
[48]
Abuddin Nata, op. cit., h. 87
[50] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), h. 120
[51] Lihat Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis ; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), h. 128
[52] Abuddin Nata, Perspektif..., op. cit.,
h. 91
[54] Alex Sobur, Psikologi Umum dalam
Lintas Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 225
[55] Sardiaman AM, Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), h. 36
[56] Abuddin Nata, op. cit., h. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar