1.
Arti
Penting Pengawas PAI di Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru untuk Mewujudkan
Pendidikan Agama Islam yang Bermutu di Sekolah
Supervisi pendidikan
merupakan bagian dari system kerja (performance) lembaga pendidikan.[1]
Banyak hal yang dapat dikaitkan dengan system pengawasan yang terjadi dalam
dunia pendidikan, misalnya rendahnya daya serap peserta didik. Daya serap ini
dapat diukur dari rata-rata nilai dan persentase tingkat kelulusan atau tingkat
ketuntasan peserta didik. Pertanyaaannya adalah di mana akar permasalahannya?
Berbagai kemungkinan jawaban akan muncul. Mulai dari kualitas in-putnya
yang rendah, proses pembelajarannya yang tidak efektif, kualitas guru masih
rendah atau guru tidak tersedia, metode dan media pembelajaran yang tidak
tepat, system penilaian yang tidak tepat, fasilitas belajar yang kurang,
lingkungan belajar yang tidak mendukung, kepemimpinan kepala sekolah yang
sangat lemah, dan banyak lagi kemungkinan jawaban yang bias dibuat.
Pendidikan sebagai sebuah
system, tidak mungkin melihat masalah “rendahnya daya serap murid” hanya dari satu variabel saja, tidak juga harus
bingung dan pasrah tanpa ada usaha perbaikan. Untuk itulah dituntut peran
pengawas yang harus jeli dan cermat melihat aspek mana yang harus dibantu lebih
dahulu, jika hanya satu aspek yang diperbaiki, atau harus mampu berkoordinasi
dengan pihak lain agar beberapa variabel dapat diinterfensi bersamaan. Pengawas
harus menunjukkan solusi agar persoalan yang dihadapi sekolah, guru, dan
peserta didik dapat di atasi. Hal ini disebabkan sebuah perubahan harus terjadi
di bawah kendali manajeman pengawas. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Oliva, sebagaimana yang dikutip Yahya
bahwa salah satu yang ada dalam supervisi, tanpa pembimbingan tidak akan ada
perubahan.[2] Hal ini berarti supervisi dapat membantu guru
dan kepala sekolah membuat suatu perubahan, terutama dalam hal meningkatkan
profesionalisme guru. Perubahan ini bias terjadi karena adanya interaksi dalam
bentuk diskusi, analisis dan penemuan solusi dari setiap persoalan yang
terjadi.
Salah satu fungsi manjemen
adalah pengawasan (Controlling) disamping fungsi-fungsi lain yaitu
perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organiting), dan
pelaksanaan (Actuating).[3]
Secara teoritis pengawasan mencakup monitor, evaluasi, pembinaan. Namun
terlepas dari itu pengawasan telah menjadi bagian dari proses pelaksanaan
pendidikan, dan ini telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, “ Pengawasan pada pendidikan formal
dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan”[4]
Secara khusus pembimbingan dan pembinaan guru dalam satuan
pendidikan menjadi tugas pengawas, hal ini sebgaimana yang dinyatakan bahwa
“salah satu tenaga kependidikan adalah pengawas yang mempunyai tugas untuk
memantau, menilai, membina satuan pendidikan, pendidikan formal, pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”[5]
Untuk mewujudkan pendidikan
yang bermutu melalui sekolah, maka perlu pengawasan yang baik dan akuntabel dan
tentu membutuhkan cara-cara pengawasan yang standar sesuai dengan kaedah
keilmuan yang sedang berkembang. Berikut adalah gambaran urgensi supervisi
pendidikan sebagai fungsi manajemen dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu:

Skema 7: Supervisi sebagai fungsi manajemen diadaptasi
dari Yahya, Supervisi Pendidikan Metamorfisis Kepemimpinan, Padang, UNP Press,
2011
Terciptanya
pendidikan agama Islam yang bermutu di sekolah akan terwujud apabila
langkah-langkah kearah tujuan tersebut dirancang dengan konsep yang sistematis. Dengan demikian
pencapaian akan tepat apabila diikuti dengan monitoring dan kontrol yang
cermat, serta evaluasi dan supervisi yang akurat.
B. Profesionalisme Guru
1.
Pengertian
Istilah
profesionalisme berasal dari profession.
Dalam Kamus Inggris Indonesia, profession
berarti pekerjaan.[6]
Arifin dalam Kapita Selekta menyebutkan bahwa profesi adalah
pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau
latihan khusus.[7] Kunandar menjelaskan bahwa
profesionalisme berasal dari kata profesi yang
artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin
atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi
juga diartikan sebagai suatu jabatan atau
pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan
keterampilan khusus yang diperoleh dari
pendidikan akademis yang intensif. Jadi,
profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan
yang menuntut keahlian tertentu.[8]
Berdasarkan definisi
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah
suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan
kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperolah
melalui proses pendidikan secara akademis.
Sebelum lebih
lanjut menjelaskan tentang profesionalisme guru terlebih dahulu dijelaskan
tentang profesionalisme. Menurut Tumadi profesionalisme adalah
“ide, aliran atau pendapat suatu profesi yang harus dilaksanakan dengan
profesional dengan mengacu kepada norma-norma profesionalisme”.[9] Profesionalisme
bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki
keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan. Jadi profesionalisme adalah seseorang yang bekerja terampil dalam
profesinya dan mampu mengembangkan profesi dan keterampilannya sekalipun
keterampilan tersebut merupakan produk dari minat belajar dan pembiasaan.
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang
sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan
berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru
menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan
dirinya mengalami stagnasi. Jadi
jelaslah profesi guru harus didukung oleh ilmu atau teori yang memberikan konsepsi yang teoritis ilmu pendidikan.
Demikian juga untuk menjadi guru yang profesional memerlukan waktu, pendidikan dan latihan yang lama, mulai dari
pendidikan dasar untuk taraf sarjana ditambah dengan pendidikan profesional. Jadi
Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan
berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Udin Syaefuddin Saud mengemukakan bahwa “Guru yang profesional
adalah guru yang memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan prilaku)
yang harus dimilki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya”.[10]
Sedangkan menurut Uzer Usman guru profesional adalah “orang
yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus
dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan
tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal”.[11]
Menurut Mulyasa, guru profesional tidak hanya dituntut
untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi
peserta didik, memiliki keterampilan yang tingi dan wawasan yang luas terhadap
dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang
hakikat manusia, dan masyarakat.[12]
Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola
pikir dan budaya kerja guru, serta loyalitasnya terhadap profesi pendidikan.
Demikian halnya dalam pembelajaran, guru harus mampu mengembangkan budaya dan
iklim organisasi pembelajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis, bergairah,
dan dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik maupun guru.
2.
Kompetensi
Guru Profesional
Orang
yang profesional memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan orang-orang yang
tidak profesional. Sebagai
pendidik yang profesional guru bukan saja dituntut untuk
melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga
harus memiliki pengetahuan dan
kemampuan profesionalnya. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan yang
diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu
profesi yaitu:
a.
Memiliki
fungsi dan signifikan sosial.
b.
Memiliki
keahlian atau ketrampilan tertentu.
c.
Keahlian
atau ketrampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d.
Didasarkan
atas disiplin yang jelas.
e.
Diperoleh
dengan pendidikan dalam masa tertentu dan cukup lama.
f.
Aplikasi
dan sosialisasi nilai-nilai profesional.
g.
Memiliki
kode etik.
h.
Kebebasan
untuk memberikan pendapat dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya.
i.
Memiliki
tanggung jawab profesional dan otonomi.
j.
Ada
pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.[13]
Jabatan
guru merupakan jabatan professional sehingga pemegangnya harus memenuhi
kualifikasi tertentu. Guru yang berkualitas hendaknya memiliki syarat-syarat kepribadian dan kemampuan
teknik keguruan yang baik.
Dalam
tugasnya sebagai guru, seorang guru diharapkan lebih meningkatkan kualitas
keilmuannya yang berkaitan dengan ilmu kependidikan dan keguruan agar semakin
profesional dalam mengelola proses
pendidikan.
Piet
A. Sahertian dan Ida A. Sahertian mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi profesional guru adalah kemampuan dengan penguasaan akademik (mata
pelajaran) dengan kemampuan mengajar sekaligus sehingga guru mempunyai wibawa
akademis.[14] Sedangkan
Muhibbin Syah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional
guru adalah kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi
keguruannya.[15]
Menurut Dedi Supriadi, untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut memiliki minimal lima hal
sebagai berikut:
a. mempunyai
komitmen pada peserta didik dan proses belajarnya;
b. menguasai
secara mendalam mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada
peserta didik;
c. bertanggungjawab
memantau hasil belajar peserta didik melalui berbagai cara evaluasi;
d. mampu
berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya;
e. seyogyanya
merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.[16]
Karakteristik guru adalah segala tindak tanduk atau
sikap dan perbuatan guru baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Misalnya, sikap guru dalam meningkatkan pelayanan, meningkatkan pengetahuan,
memberi arahan, bimbingan dan motivasi kepada peserta didik, cara berpakaian,
berbicara, dan berhubungan baik dengan peserta didik, teman sejawat, serta anggota masyarakat lainnya.[17]
Dengan meningkatnya karakter guru profesional yang dimiliki oleh setiap
guru, maka kualitas mutu pendidikan akan semakin baik. Di antaranya karakteristik guru profesional yaitu:
a.
Taat pada peraturan perundang-undangan
b.
Memelihara dan meningkatkan organisasi profesi
d.
Cinta terhadap pekerjaan
f.
Menciptakan suasana yang baik di tempat kerja
(sekolah)
g.
Memelihara hubungan dengan teman sejawat
(memiliki rasa kesejawatan/ kesetiakawanan)
Lebih
lanjut Muhibin Syah mengemukakan bahwa dalam
menjalankan kewenangan profesionalnya, guru dituntut untuk memiliki
kecakapan-kecakapan (competencies) yang
bersifat psikologis, yang meliputi :
a.
Kompetensi
kognitif (kecakapan ranah cipta), artinya kemampuan intelektual yang meliputi pengetahuan
kependidikan/keguruan dan pengetahuan bidang studi
b.
Kompetensi
afektif, yang meliputi sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan potensi
keguruan.
c.
Kompetensi
psikomotor, yaitu kecakapan yang bersifat jasmaniah yang pelaksanaannya
berhubungan dengan tugasnya selaku pengajar.[19]
Selain
kompetensi-kompetensi di atas, untuk menjadi profesional seorang guru juga dituntut untuk memiliki
kompetensi-kompetensi yang lain, seperti dikemukakan oleh E. Mulyasa yang
meliputi:[20]
a.
Kompetensi
Pedagogik, yaitu kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik
yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan,
pengembangan kurikulum, perancangan pembelajaran, pemanfaatan teknologi
pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.
Kompetensi
Kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi
kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk
kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM),
serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan
negara, dan bangsa
pada umumnya.
c.
Kompetensi
Profesional, adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan.
d.
Kompetensi
Sosial, yaitu kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk bergaul
secara santun dengan masyarakat sekitar, bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik,
berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat serta menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional.[21]
Potensi
sumber daya guru perlu secara terus-menerus dikembangkan agar dapat melakukan
fungsinya secara profesional. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat
mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[22]
Seorang
guru dituntut untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan dirinya baik mengenai
materi pelajaran dan ketrampilan guru. Tanpa belajar kemungkinan resiko yang
terjadi adalah tidak tepatnya antara materi pelajaran yang diajarkan dengan
metode pembelajaran yang digunakan. Supervisi yang diberikan kepada guru-guru dalam tugasnya mengajar
dan mendidik juga tidak hanya terbatas dalam hal itu tetapi juga dapat menyangkut persoalan pribadi maupun yang
berhubungan dengan profesinya. Itulah sebabnya mengapa supervisi pendidikan
sangat penting dalam dunia pendidikan.
Berangkat
dari hal tersebut, maka komponen-komponen yang perlu ditingkatkan dalam proses
belajar mengajar, diantaranya sebagai berikut:
a.
Membantu
guru dalam memahami strategi belajar mengajar.
b.
Membantu
guru dalam merumuskan tujuan-tujuan pengajaran.
c.
Membantu
guru dalam menyusun berbagai pengalaman belajar.
d.
Membantu
guru dalam menyusun keaktifan belajar.
e.
Membantu
guru dalam meningkatkan ketrampilan dasar mengajar.
[3] George
R. Terry dan Leslie W. Rue, Priciple of Management (Dasar-Dasar
Manajemen),terj. G. A. Ticoalu, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 5
[5] Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 173
[6] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 449
[7] H.M . Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),
Jakarta: Bumi Aksara, 1991, h.98
[8] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2007, h. 32
[12]E. Mulyasa, Op Cit, h.11
[13] Nana Syaodih Sukmadinata,
Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), h. 191
[14] Piet A Sahertian,
dan Ida Alaeida Sahertian, Supervisi Pendidikan dalam rangka Program
Inservice Education, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 6
[15] Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), h. 279
[16]Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan martabat
Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara, 1998), h. 43
[20] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar