Cari Blog Ini

Minggu, 29 April 2018

Pengawas PAI di Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru


1.      Arti Penting Pengawas PAI di Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru untuk Mewujudkan Pendidikan Agama Islam yang Bermutu di Sekolah

Supervisi pendidikan merupakan bagian dari system kerja (performance) lembaga pendidikan.[1] Banyak hal yang dapat dikaitkan dengan system pengawasan yang terjadi dalam dunia pendidikan, misalnya rendahnya daya serap peserta didik. Daya serap ini dapat diukur dari rata-rata nilai dan persentase tingkat kelulusan atau tingkat ketuntasan peserta didik. Pertanyaaannya adalah di mana akar permasalahannya? Berbagai kemungkinan jawaban akan muncul. Mulai dari kualitas in-putnya yang rendah, proses pembelajarannya yang tidak efektif, kualitas guru masih rendah atau guru tidak tersedia, metode dan media pembelajaran yang tidak tepat, system penilaian yang tidak tepat, fasilitas belajar yang kurang, lingkungan belajar yang tidak mendukung, kepemimpinan kepala sekolah yang sangat lemah, dan banyak lagi kemungkinan jawaban yang bias dibuat.
Pendidikan sebagai sebuah system, tidak mungkin melihat masalah “rendahnya daya serap murid” hanya  dari satu variabel saja, tidak juga harus bingung dan pasrah tanpa ada usaha perbaikan. Untuk itulah dituntut peran pengawas yang harus jeli dan cermat melihat aspek mana yang harus dibantu lebih dahulu, jika hanya satu aspek yang diperbaiki, atau harus mampu berkoordinasi dengan pihak lain agar beberapa variabel dapat diinterfensi bersamaan. Pengawas harus menunjukkan solusi agar persoalan yang dihadapi sekolah, guru, dan peserta didik dapat di atasi. Hal ini disebabkan sebuah perubahan harus terjadi di bawah kendali manajeman pengawas. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Oliva, sebagaimana yang dikutip  Yahya bahwa salah satu yang ada dalam supervisi, tanpa pembimbingan tidak akan ada perubahan.[2]  Hal ini berarti supervisi dapat membantu guru dan kepala sekolah membuat suatu perubahan, terutama dalam hal meningkatkan profesionalisme guru. Perubahan ini bias terjadi karena adanya interaksi dalam bentuk diskusi, analisis dan penemuan solusi dari setiap persoalan yang terjadi.
Salah satu fungsi manjemen adalah pengawasan (Controlling) disamping fungsi-fungsi lain yaitu perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organiting), dan pelaksanaan (Actuating).[3] Secara teoritis pengawasan mencakup monitor, evaluasi, pembinaan. Namun terlepas dari itu pengawasan telah menjadi bagian dari proses pelaksanaan pendidikan, dan ini telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, “ Pengawasan pada pendidikan formal dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan”[4]
Secara khusus pembimbingan dan pembinaan guru dalam satuan pendidikan menjadi tugas pengawas, hal ini sebgaimana yang dinyatakan bahwa “salah satu tenaga kependidikan adalah pengawas yang mempunyai tugas untuk memantau, menilai, membina satuan pendidikan, pendidikan formal, pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”[5]
Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu melalui sekolah, maka perlu pengawasan yang baik dan akuntabel dan tentu membutuhkan cara-cara pengawasan yang standar sesuai dengan kaedah keilmuan yang sedang berkembang. Berikut adalah gambaran urgensi supervisi pendidikan sebagai fungsi manajemen dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu:




 







Skema 7: Supervisi sebagai fungsi manajemen diadaptasi dari Yahya, Supervisi Pendidikan Metamorfisis Kepemimpinan, Padang, UNP Press, 2011

            Terciptanya pendidikan agama Islam yang bermutu di sekolah akan terwujud apabila langkah-langkah kearah tujuan tersebut dirancang dengan  konsep yang sistematis. Dengan demikian pencapaian akan tepat apabila diikuti dengan monitoring dan kontrol yang cermat, serta evaluasi dan supervisi yang akurat.
B.  Profesionalisme Guru
1.      Pengertian
Istilah  profesionalisme  berasal  dari  profession.  Dalam  Kamus Inggris  Indonesia, profession  berarti  pekerjaan.[6] Arifin  dalam  Kapita Selekta menyebutkan bahwa profesi adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.[7]  Kunandar  menjelaskan  bahwa  profesionalisme  berasal  dari  kata  profesi  yang artinya  suatu  bidang  pekerjaan  yang  ingin  atau  akan  ditekuni  oleh seseorang.  Profesi  juga  diartikan  sebagai  suatu  jabatan  atau  pekerjaan tertentu  yang mensyaratkan  pengetahuan  dan  keterampilan  khusus  yang diperoleh  dari  pendidikan  akademis  yang  intensif.  Jadi,  profesi  adalah suatu  pekerjaan  atau  jabatan  yang  menuntut  keahlian  tertentu.[8]
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi  adalah  suatu  pekerjaan  atau  keahlian  yang  mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperolah melalui proses pendidikan secara akademis.
Sebelum lebih lanjut menjelaskan tentang profesionalisme guru terlebih dahulu dijelaskan tentang profesionalisme. Menurut Tumadi  profesionalisme adalah “ide, aliran atau pendapat suatu profesi yang harus dilaksanakan dengan profesional dengan mengacu kepada norma-norma profesionalisme”.[9] Profesionalisme bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Jadi profesionalisme adalah seseorang yang bekerja terampil dalam profesinya dan mampu mengembangkan profesi dan keterampilannya sekalipun keterampilan tersebut merupakan produk dari minat belajar dan pembiasaan.     
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Jadi jelaslah profesi guru harus didukung oleh ilmu atau teori yang memberikan konsepsi yang teoritis ilmu pendidikan. Demikian juga untuk menjadi guru yang profesional memerlukan waktu, pendidikan dan latihan yang lama, mulai dari pendidikan dasar untuk taraf sarjana ditambah dengan pendidikan profesional. Jadi Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Udin Syaefuddin Saud  mengemukakan bahwa “Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan prilaku) yang harus dimilki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya”.[10] Sedangkan menurut  Uzer  Usman  guru profesional adalah “orang yang memiliki  kemampuan  dan  keahlian  khusus  dalam  bidang keguruan  sehingga  ia  mampu  melakukan tugas  dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal”.[11]
Menurut Mulyasa, guru profesional tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tingi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia, dan masyarakat.[12]  Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan budaya kerja guru, serta loyalitasnya terhadap profesi pendidikan. Demikian halnya dalam pembelajaran, guru harus mampu mengembangkan budaya dan iklim organisasi pembelajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis, bergairah, dan dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik maupun guru.
2.      Kompetensi Guru Profesional
Orang yang profesional memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan orang-orang  yang  tidak  profesional.  Sebagai  pendidik  yang  profesional guru bukan saja dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi  juga  harus  memiliki pengetahuan dan kemampuan profesionalnya. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi  yaitu:
a.       Memiliki fungsi dan signifikan sosial.
b.      Memiliki keahlian atau ketrampilan tertentu.
c.       Keahlian atau ketrampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d.      Didasarkan atas disiplin yang jelas.
e.       Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu dan cukup lama.
f.       Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional.
g.      Memiliki kode etik.
h.      Kebebasan untuk memberikan pendapat dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya. 
i.        Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi.
j.        Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.[13]
Jabatan guru merupakan jabatan professional sehingga pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Guru yang berkualitas hendaknya memiliki  syarat-syarat kepribadian dan kemampuan teknik keguruan yang baik.
Dalam tugasnya sebagai guru, seorang guru diharapkan lebih meningkatkan kualitas keilmuannya yang berkaitan dengan ilmu kependidikan dan keguruan agar semakin profesional dalam  mengelola proses pendidikan.
Piet A. Sahertian dan Ida A. Sahertian mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional guru adalah kemampuan dengan penguasaan akademik (mata pelajaran) dengan kemampuan mengajar sekaligus sehingga guru mempunyai wibawa akademis.[14] Sedangkan Muhibbin Syah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional guru adalah kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya.[15]
Menurut Dedi Supriadi, untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut memiliki minimal lima hal sebagai berikut:
a.       mempunyai komitmen pada peserta didik dan proses belajarnya;
b.      menguasai secara mendalam mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada peserta didik;
c.       bertanggungjawab memantau hasil belajar peserta didik melalui berbagai cara evaluasi;
d.      mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya;
e.       seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.[16]

Karakteristik guru adalah segala tindak tanduk atau sikap dan perbuatan guru baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Misalnya, sikap guru dalam meningkatkan pelayanan, meningkatkan pengetahuan, memberi arahan, bimbingan dan motivasi kepada peserta didik, cara berpakaian, berbicara, dan berhubungan baik dengan peserta didik, teman sejawat, serta anggota masyarakat lainnya.[17]
Dengan meningkatnya karakter guru profesional yang dimiliki oleh setiap guru, maka kualitas mutu pendidikan akan semakin baik. Di antaranya karakteristik guru profesional yaitu:
a.     Taat pada peraturan perundang-undangan
b.    Memelihara dan meningkatkan organisasi profesi
c.     Membimbing peserta didik (ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan tugas mendidik,
d.    Cinta terhadap pekerjaan
e.    Memiliki otonomi/ mandiri dan rasa tanggung jawab
f.      Menciptakan suasana yang baik di tempat kerja (sekolah)
g.    Memelihara hubungan dengan teman sejawat (memiliki rasa kesejawatan/ kesetiakawanan)
h.    Taat dan loyal kepada pemimpin[18]
Lebih lanjut Muhibin Syah mengemukakan bahwa dalam  menjalankan kewenangan profesionalnya, guru dituntut untuk memiliki kecakapan-kecakapan  (competencies)  yang  bersifat psikologis, yang meliputi :
a.       Kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta), artinya kemampuan intelektual  yang meliputi pengetahuan kependidikan/keguruan dan pengetahuan bidang studi
b.      Kompetensi afektif, yang meliputi sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan potensi keguruan.
c.       Kompetensi psikomotor, yaitu kecakapan yang bersifat jasmaniah yang pelaksanaannya berhubungan dengan tugasnya selaku pengajar.[19]

Selain kompetensi-kompetensi di atas, untuk menjadi profesional seorang  guru juga dituntut untuk memiliki kompetensi-kompetensi yang lain, seperti dikemukakan oleh E. Mulyasa yang meliputi:[20]
a.       Kompetensi Pedagogik, yaitu kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pengembangan kurikulum,  perancangan  pembelajaran, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.      Kompetensi Kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan  masyarakat,  kemajuan  negara,  dan  bangsa  pada umumnya.
c.       Kompetensi Profesional, adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran  secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan.
d.      Kompetensi Sosial, yaitu kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat serta menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional.[21]
Potensi sumber daya guru perlu secara terus-menerus dikembangkan agar dapat melakukan fungsinya secara profesional. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[22]
Seorang guru dituntut untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan dirinya baik mengenai materi pelajaran dan ketrampilan guru. Tanpa belajar kemungkinan resiko yang terjadi adalah tidak tepatnya antara materi pelajaran yang diajarkan dengan metode pembelajaran yang digunakan. Supervisi yang  diberikan kepada guru-guru dalam tugasnya mengajar dan mendidik juga tidak hanya terbatas dalam hal itu tetapi juga dapat  menyangkut persoalan pribadi maupun yang berhubungan dengan profesinya. Itulah sebabnya mengapa supervisi pendidikan sangat penting dalam dunia pendidikan.
Berangkat dari hal tersebut, maka komponen-komponen yang perlu ditingkatkan dalam proses belajar mengajar, diantaranya sebagai berikut:
a.       Membantu guru dalam memahami strategi belajar mengajar.
b.      Membantu guru dalam merumuskan tujuan-tujuan pengajaran.
c.       Membantu guru dalam menyusun berbagai pengalaman belajar.
d.      Membantu guru dalam menyusun keaktifan belajar.
e.       Membantu guru dalam meningkatkan ketrampilan dasar mengajar.



[1] Yahya, Op Cit, h. 6
[2] Ibid, h. 10
[3] George R. Terry dan Leslie W. Rue,   Priciple of Management (Dasar-Dasar Manajemen),terj. G. A. Ticoalu, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 5

[4] Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 39 ayat (1)
[5] Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 173
[6] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 449

[7] H.M . Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara, 1991, h.98
[8] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2007, h. 32

[9] Tumadi,  Menjadi Guru Yang Profesional, (Jurnal Al- Marhalah, 2008), h. 3
[10] Udin Syaefudin Saud, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: Alfabetaba, 2009), h. 49

[11] Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Rosda Karya, 2002, h. 128

[12]E. Mulyasa, Op Cit, h.11
[13] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 191

[14] Piet A Sahertian, dan Ida Alaeida Sahertian, Supervisi Pendidikan dalam rangka Program Inservice Education, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 6

[15] Muhibin Syah,  Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), h. 279

[16]Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara, 1998), h. 43
[17]Yunus Abu Bakar,Syarifan Nurjan, Profesi Keguruan, (Surabaya:AprintA,2009), h. 3- 6
[18] Piet, A. Sahertian, Profil Pendidikan Profesional. (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), h. 30-35
[19] Ibid, h. 230
[20] E. Mulyasa,  Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 175

[21]  Djam’an Satori, dkk, Profesi Keguruan. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 22-28
[22] Piet A Sahertian dan Aida A Sahertian, Op Cit,  h. 1

Tidak ada komentar: