Cari Blog Ini

Minggu, 29 April 2018

Strategi Belajar Mengajar


A.    Strategi Belajar Mengajar


1.  Pengertian Strategi Belajar Mengajar
Sebelum dijelaskan apa yang dimaksud dengan strategi belajar mengajar, terlebih dulu akan menjelaskan masing-masing dari kata tersebut.
  1. Pengertian Strategi
Strategi berasal dari kata “strategos” yang berasal dari bahasa latin yang berarti cara memimpin pasukan atau seni menjalankan kampanye perang. Kata “strategi” ini kemudian meliputi segala peraturan perencanaan atau seni manejerial dalam segala aspek kehidupan.[1]
Secara bahasa kata strategi berarti cara, sedangkan menurut istilah strategi adalah cara yang digunakan seseorang terhadap sesuatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.[2] Dalam ensiklopedi dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan strategi adalah “cara atau jalan yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu, sesuai dengan rencana yang telah diterapkan sebelumnya.”[3]
M. Arifin mengemukakan tentang strategi sebagai berikut:
Strategi biasanya berkaitan dengan taktik (terutama banyak dikenal di lingkungan militer). Taktik adalah segala cara dan daya untuk memperoleh hasil yang diharapkan secara maksimal dalam proses pendidikan. Taktik tidak lazim digunakan, akan tetapi dipergunakan istilah metode atau teknik. Metode dan teknik mempunyai pengertian yang berbeda meskipun tujuannya sama. Metode adalah ‘jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan’, sedangkan teknik adalah cara mengerjakan suatu tujuan. Jadi metode mempunyai pengertian yang lebih luas, lebih ideal dan konseptual.[4]

Dengan kata lain strategi adalah segala cara dan daya yang digunakan seseorang dengan mengambil kebijakan dalam pelaksanaan sesuatu, agar memperoleh hasil yang diharapkan secara maksimal.

  1. Pengertian Belajar
Menurut Oemar Hamalik Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku melalui interaksi antara individu dan lingkungan.[5]
Higrad E.R, yang dikutip oleh Masrial dalam bukunya Teras Kuliah Belajar Mengajar menjelaskan, belajar adalah suatu proses timbul dan berubahnya tingkah laku melalui latihan (usaha pendidikan), dan dibedakan dengan perubahan yang disebabkan faktor-faktor yang tidak dapat digolongkan kepada latihan (usaha pendidikan) itu sendiri. Menurut Kingsley, belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau dirobah melalui praktek atau latihan.[6]
Sardiman menerangkan belajar secara arti luas adalah suatu kegiatan psiko-fisik menuju perkembangan pribadi seutuhnya, dan dalam arti sempit belajar adalah usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagaian menuju terbentuknya kepribadian yang seutuhnya.[7] Sedangkan Menurut Lester D. Crow and Alice Crow, sebagaimana dikutip oleh Aksya Azhari, belajar adalah usaha untuk memperoleh kebiasaan, pengetahuan dan sikap.[8]
Jadi belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku, sabagai hasil dari pengalaman individu tersebut, dalam interaksi dengan lingkungannya yang terjadi secara sadar, bersifat kontiniu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, tidak bersifat sementara, memiliki tujuan atau terarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku.

  1. Pengertian Mengajar
Mengajar berasal dari bahasa Yunani “didoskein” yang berarti pengajaran, atau “didaktos” yang berarti pandai mengajar.[9] Pengertian mengajar menurut para ahli :
1)      Maria Motessori mengartikan mengajar sebagai pengajaran yang mempertimbangkan masa peka setiap pelajar. Dengan model ini kepada pelajar diberikan pendidikan yang tepat sesuai dengan irama, tempo, dan perkembangan mereka.
2)      Menurut Kilpatrik pengajaran adalah “problem solving” (penyelesaian masalah). Dengan strategi ini para pelajar diusahakan dapat mengatasi persoalan apapun yang timbul di dalam kehidupan.
3)      Alvin W. Howard mengartikan mengajar sebagai aktivitas untuk menolong atau membimbing pelajar untuk mendapatkan, mengubah, dan mengembangkan skill, attitudes, ideal atau cita-cita apreciation penghargaan dan pengetahuan / Knowlodgy.
4)      Menurut J.J. Hasibuan mengajar adalah menciptakan sistem lingkugan yang memungkinkan terjadinya proses. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yaitu tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, guru, peserta didik yang harus memainkan peran, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.[10]
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah menciptakan sistem yang  peka terhadap lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses untuk menolong atau membimbing pelajar untuk mendapatkan, mengubah, dan mengembangkan kemampuan, sikap agar terpecahkan suatu permasalahan.

d.   Pengertian Strategi Belajar Mengajar
Menurut Oemar Hamalik dalam Prakatanya dalam buku Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkana CBSA menuturkan bahwa Strategi belajar mengajar merupakan seluruh proses yang ditempuh oleh guru dan siswa yang memungkinkan atau memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan belajar dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Strtaegi apa yang dipilih dan digunakan, pada hakikatnya bergantung pada kemampuan guru sendiri, yang ditandai oleh tingkat pengetahuan, keterampilan, sikap dan pengalamannya serta bertalian dengan ruang lingkup proses belajar mengajar umumnya dan startegi belajar mengajar bidang studi khususnya.[11]
Kegiatan belajar mengajar sebagai suatu sistem instruksional merupakan interaksi antara peserta didik dengan komponen-komponen lain. Guru sebagai penyelenggara kegiatan belajar mengajar hendaknya memikirkan dan mengupayakan terjadinya interaksi peserta didik dengan komponen yang lain secara optimal. Sehingga akan mengefektifkan kegiatan belajar mengajar. Dalam pengajaran strategi dimaksudkan sebagai segala daya upaya guru dalam menciptakan suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar.
Moedjiono menjelaskan strategi pengajaran adalah kegiatan guru untuk mengupayakan terjadinya konsisten antara aspek-aspek dari komponen pembentukan sistem instruksional dimana guru menggunakan siasat tertentu.[12] Menurut Ahmad Rohani, strategi pengajaran adalah kegiatan taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar (pengajaran) agar dapat mempengaruhi para peserta didik mencapai tujuan pengajaran  secara lebih efektif dan efisien.[13]
Dengan demikian strategi belajar mengajar adalah taktik atau kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam memikirkan dan mengupayakan terjadinya proses belajar mengajar, pada mata pelajaran tertentu dengan menggunakan siasat tertentu, yang nantinya berpengaruh pada keinginan atau kemauan peserta didik untuk belajar agar tercapai tujuan pembelajaran.
Strategi belajar mengajar memiliki dua dimensi sekaligus. Pertama strategi belajar mengajar pada dimensi perancangan, kedua strategi belajar mengajar pada dimensi pelaksanaan. Strategi belajar pada dimensi perancangan merupakan pemikiran dan pengupayan secara strategis untuk merumuskan, memilih, dan menetapkan aspek-aspek pembentuk sistem instruksional,[14] yang dikenal dengan istilah Persiapan Mengajar atau Rencana Pembelajaan. Dimensi ini gunanya adalah untuk membantu penciptaan situasi kegiatan belajar mengajar secara efektif.
Strategi belajar mengajar pada dimensi pelaksanaan merupakan usaha nyata dari dalam guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien.[15] Dengan kata lain pada dimensi ini merupakan taktik guru dalam proses pembelajaran di kelas.

2.   Strategi pada Dimensi  Perencanaan
Perencanaan (planning) merupakan suatu kegiatan yang penting untuk memperoleh keberhasilan dalam suatu kegiatan. Menurut Made Pidarta perencanaan adalah suatu cara yang memuaskan untuk organisasi tetap berdiri tegak dan maju sebagai satu sistem dalam tenunan suprasistem yang tetap berubah.[16] Sementara Udin Syaefuddin Sa’ud mengartikan perencanaan merupakan suatu rangkaian proses kegiatan menyiapkan keputusan mengenai apa yang diharapkan terjadi (peristiwa, keadaan, suasana, dan sebagainya) dan apa yang akan dilakukan (intensifikasi, eksistensifikasi, revisi, renovasi, substitusi, kreasi, dan sebagainya).[17]
Dalam sudut pandang Koontz sebagaimana dikutip oleh Malayu SP. Hasibuan menerangkan bahwa perencanaan berhubungan dengan memilih tujuan-tujuan, kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, program-program dari alternatif yang ada.[18] Jonson mengartikan perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang sudah ditentukan sebelumnya.[19]
Dengan kata lain perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih sasaran, kebijakan, prosedur, dan program dengan menggunakan asumsi-asumsi dengan menghubungkan apa yang ada sekarang dengan yang akan datang yang diikuti dengan usaha mencapainya.
Dalam pembelajaran, perencanaan sering diidentikkan dengan Perencanaan Pembelajaran atau Rencana Pelaksanan Pembelajaran. Rencana Pelaksanan Pembelajaran adalah penjabaran silabus dengan menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi,[20] yang digunakan sebagai pedoman guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas, laboratorium, di lapangan,[21] dll.
  1. Hakikat Perencanaan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran pada hakikatnya merupakan perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan apa yang akan dilakukan dalam pembelajaran. Dengan memperkirakan tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran bermuara pada pelaksanaan pembelajaran yang sekurangnya mencakup tiga kegiatan yaitu identifikasi kebutuhan, perumusan kompentensi dasar, dan penyusunan program pembelajaran.[22]
1)      Identifikasi Kebutuhan
Kebutuhan merupakan sesuatu yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan. Tujuannya adalah untuk melibatkan dan memotivasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan oleh mereka sebagai bagian dari hidupnya dan mereka merasa memiliki.[23]
2)      Identifikasi Kompetensi
Kompetensi yang jelas akan memberikan arah yang jelas terhadap materi yang harus dipelajari, penetapan metode dan media pembelajaran, serta pemberian petunjuk terhadap penilaian. Setiap kompetensi harus merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Pembentukan kompetensi melibatkan Intelegensi Question (IQ), Emosional Intelegensi (EI), Creativity Intelegensi (CI) yang secara keseluruhan harus tertuju pada pembentukan Spiritual Intelegensi (SI). Sehingga terdapat hubungan antara tugas-tugas yang dipelajari peserta didik di sekolah dengan kemampuan yang diperlukan di dunia kerja, dan untuk hidup di masyarakat.[24] Oleh sebab itu peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar dan tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian ketuntasan belajar.
3)      Penyusunan Program Pembelajaran
Penyusunan Program Pembelajaran memberikan arah kepada suatu program, sehingga program itu menjadi pedoman yang kongkrit dalam pengembangan program selanjutnya. Penyusunan Program Pembelajaran akan bermuara pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sebagai produk program jangka pendek, yang mencakup program kegiatan belajar dan proses pelaksanaan program.[25]
b.      Fungsi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan suatu perkiraan guru mengenai seluruh kegiatan yang akan dilakukan baik oleh guru maupun peserta didik terutama dengan kaitannya dengan pembentukan kompetensi.
Fungsi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah sebagai fungsi perencanaan dan fungsi pelaksanaan.
1)      Fungsi perencanaan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran hendaknya dapat mendorong guru lebih siap melakukan kegiatan pembelajaran dengan perencanaan yang akan datang. Sehingga setiap akan melakukan pembelajaran guru wajib memiliki persiapan baik tertulis maupun tidak tertulis. Tanpa persiapan guru hanya akan merusak mental dan moral siwa serta akan menurunkan wibawa guru secara keseluruhan[26] dan perencanan bertujuan untuk “mengarahkan seorang guru dalam pemilihan dan penggunaan strategi dalam pembelajaran.[27]
2)      Fungsi pelaksanaan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran berfungsi untuk mengefektifkan proses pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini materi standar yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuannya, mengandung nilai fungsional, praktis, serta disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan, sekolah dan daerah.[28]

3.  Strategi pada Dimensi Pelaksanaan

a.    Tahap Mengajar

Secara umum ada tiga tahap pokok yang terdapat dalam tahap ini, yaitu:
1)      Tahap pra Instruksional
Tahap pra Instruksional adalah tahap yang ditempuh guru pada saat ia akan memulai proses belajar mengajar. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan dalam tahap ini adalah:
a)      Guru mencek kehadiran peserta didik, dengan menanyakan dan mencatat peserta didik yang tidak hadir dengan dengan alasannya,
b)      Bertanya kepada peserta didik, tentang pembahasan pelajaran sebelumnya,
c)      Mengajukan pertanyaan kepada peserta didik tertentu tentang bahan pelajaran yang sebelumnya,
d)     Memberikan kesempatan kepada peserta didik mengenai bahan pelajaran yang belum dikuasainya dari pengajaran yang telah dilaksanakan sebelumnya,
e)      Mengulang kembali pelajaran yang lalu secara singkat, tapi mencakup semua aspek bahan yang telah dibahas sebelumnya.[29]

Tahap ini merupakan sebuah tahapan awal sebelum siswa dihadapkan dengan materi baru atau wawasan baru yang berkaitan dengan materi yang telah dipelajari ataupun materi baru yang akan disajikan oleh guru nantinya, yang nantiny berguna untuk merefres ingatan siswa.

2)   Tahap Instruksional (tahap inti)
Tahap instruksional (tahap inti) yaitu tahapan memberikan pelajaran yang telah disusun guru sebelumnya. Dengan kegiatan :
a)      Menjelaskan kepada peserta didik tentang tujuan pengajaran yang akan dicapai,
b)      Menulis pokok materi yang dibahas hari ini
c)      Membahas pokok materi yang ditulis tadi,
d)     Pada setiap pokok materi yang dibahas sebaiknya diberikan contoh-contoh yang kongkrit,
e)      Penggunaan alat bantu pengajaran untuk memperjelas pembahasan pada setiap pokok materi yang sangat diperlukan,
f)       Menyimpulkan hasil pembahasan dari semua pokok bahasan.[30]

Dalam tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dalam menyajikan sebuah materi atau pokok bahasan ayang akan disajikan, dengan metode, model yang dianggap cocok diterapkan kepada siswa, ehingga siswa terlibat dan aktif dalam proses pembelajaran.

3)      Tahap penutup dan tindak lanjut
Tahap ini adalah tahap evaluasi dan penilaian, untuk mengetahui tingkat keberhasilan peserta didik pada tahap sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah:
a)      Mengajukan pertanyaan kepada kelas, mengenai pokok materi yang dibahas di tahap dua,
b)      Bila pertanyaan baru dapat dijawab oleh peserta didik kurang dari 70%, maka guru harus mengulang kembali materi yang diajarkan.
c)      Memberikan tugas atau pekerjaan rumah, untuk memperkaya pemahaman peserta didik, sehubungan dengan meteri yang diajarkan,
d)     Akhiri pelajaran dengan memberitahukan pokok pembahasan yang akan dibahas berikutnya.[31]

Pada tahap ini merupakan tahapan dimana seorang guru memastikan bahwa sebuah materi yang telah diajarkan dapat dikuasai siswa dengan baik, sehingga layak dianggap tuntas atau tidak.

b.      Pengelolaan Kelas
Mengelola kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan keterampilan untuk mengembalikan pada kondisi belajar yang optimal, dan mengambalikannya apabila terjadi gangguan dalam proses pembelajaran.[32] Keterampilan Mengelola kelas terbagi menjadi 2 jenis keterampilan yaitu:
1)   Keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal.
Keterampilan menciptakan dan memelihara kondisi belajar optimal meliputi:
a)      Menunjukkan Sikap Tanggap
Sikap tanggap menggambarkan tingkah laku guru yang terlihat pada peserta didik, bahwa guru sadar dan tanggap terhadap perhatian keterlibatan, masalah dan ketidakacuhan mereka. Dengan sikap ini peserta didik merasa guru hadir di tengah mereka. Kesan tanggap dapat dilakukan dengan cara :
(1)    Memandang dengan saksama, yang memungkinkan guru meliput keterlibatan peserta didik dalam tugas di kelas serta menunjukkan kesiapan guru untuk memberi respon baik terhadap kelompok maupun individu.
(2)    Bergerak mendekati, dapat dilakukan untuk menunjukkan kesiapan, minat dan perhatian kepada peserta didik. Hal ini membantu peserta didik yang menghadapi kesulitan belajar, mengalami frustasi atau sedang marah. Gerak yang mendekati hendaknya dilakukan dengan wajar, bukan menakuti atau maksud lain.
(3)    Memberikan pernyataan/ peringatan dapat dilihat dari ungkapan guru kepada peserta didik melalui pernyataan bahwa ia telah siap untuk memulai kegiatan belajar serta siap memberi respon terhadap kebutuhan peserta didik. Hal yang harus dihindari adalah menunjukkan dominasi guru dengan pernyataan atau komentar yang mengandung ancaman. Contoh : “Untuk memulai pembelajaran, Bapak menunggu sampai semua anak Bapak diam”.
(4)    Memberikan Reaksi Terhadap Gangguan dan ketidak-cocokan Peserta didik. Dengan adanya teguran menandakan adanya guru bersama peserta didik. Teguran harus diberikan pada saat yang tepat serta dialamatkan pada sasaran yang tepat.[33]

b)      Membagi Perhatian
Pengelolaan kelas yang efektif terjadi apabila guru membagi perhatian kepada beberapa kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang sama. Ini dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
(1)   Visual. Pembagian perhatian secara visual dilakukan untuk menunjukkan perhatian terhadap sekelompok peserta didik atau individu namun tidak kehilangan keterlibatannya dengan kelompok peserta didik atau individu lain. Keterampilan ini digunakan untuk memonitor kegiatan kelompok atau individu, mengadakan koreksi kegiatan peserta didik, memberi komentar atau memberi reaksi terhadap peserta didik yang mengganggu.
(2)   Verbal. Guru dapat memberikan komentar terhadap aktivitas seseorang yang dilihat atau dilaporkan oleh peserta didik lain. Penggunaan teknik visual maupun verbal menunjukkan bahwa guru menguasai kelas.[34]
c)      Memusatkan Perhatian
Keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran dapat dipertahankan apabila dari waktu ke waktu guru mampu memusatkan kelompok terhadap tugas-tugas yang dilaksanakannya. Dapat dilakukan dengan cara :
(1)   Menyiapkan peserta didik, merupakan yang dilakukan guru sebelum memulai pembelajaran adalah menciptakaan suasana yang menarik sebelum guru menyampaikan pertanyaan atau topik pelajarannya. Misalnya : “coba anak-anak, semuanya perhatikan dengan teliti gambar ini untuk mengetahui urutan gerakan solat”.
(2)   Menuntut tanggung jawab peserta didik, dengan komunikasi yang jelas dari guru mengenai tugas peserta didik merupakan hal yang sangat penting dalam mempertahankan pusat perhatian peserta didik seperti : meminta untuk diperlihatkan hasil pekerjaan tugas.
d)     Memberikan Petunjuk Yang Jelas
Petunjuk yang diberikan harus bersifat langsung, dengan bahasa yang jelas dan tidak membingungkan serta dengan tuntutan yang wajar dapat dipenuhi oleh peserta didik.[35]
e)      Menegur
Tidak semua tingkah laku yang mengganggu kelompok, peserta didik dalam kelas dapat dicegah atau dihindari dengan baik, sehingga guru harus melakukan teguran secara verbal atau memperingatkan peserta didik. Teguran itu efektif jika :
(1)      Tegas dan jelas tertuju kepada peserta didik yang mengganggu
(2)      Menghindari peringatan yang kasar dan menyakitkan serta mengandung penghinaan.
(3)      Menghindari ocehan atau ejekan yang berkepanjangan
(4)      Guru dan peserta didik lebih baik mengadakan kesepakatan sehingga penyimpangan yang terjadi hanya sifatnya mengingatkan. Seperti: “Suharto..., ingat...![36]

f)       Memberi Penguatan
Penguatan digunakan untuk mengatasi peserta didik yang tidak mau terlibat dalam kegiatan pembelajaran atau menggangu temanya, yaitu dengan cara:
(1)   Memegang peserta didik ketika ia melakukan tingkah-laku yang wajar,  atau sebaliknya bila peserta didik melakukan tingkah yang tidak wajar dengan tujuan perbuatan yang wajar tadi dapat terulang.
(2)   Guru dapat memberikan berbagai komponen penguatan kepada peserta didik yang bertingkah laku yang wajar, untuk pembelajaran kepada peserta didik yang lain sebagai teladan.[37]
     
2)      Keterampilan yang berhubungan dengan kondisi belajar optimal setelah  mendapat gangguan.
Keterampilan ini berhubungan dengan tanggapan guru terhadap gangguan anak didik yang berkelanjutan dengan maksud guru dapat mengadakan tindakan remedial untuk mengembalikan tindakan optimal. Apabila terdapat anak didik yang menimbulkan gangguan yang berulang-ulang walaupun guru telah mencoba memadamkan dengan tanggapan yang relevan tetap saja terjadi kembali, guru dapat meminta bantuan untuk mengatasinya kepada :
(1)   Konselor/BP
(2)   Wakil Kesiswaan
(3)   Kepala Sekolah[38]
Bukanlah kesalahan profesional guru apabila tidak dapat menangani permasalahan anak didik dalam kelas berkenaan dengan itu guru dapat menggunakan seperangkat strategi untuk tindakan perbaikan terhadap tingkah anak didik yang terus menerus menimbulkan gangguan dan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan di kelas.
Strategi yang dapat digunakan adalah:
a)      Modifikasi Tingkah Laku
Guru hendaklah menganalisis tingkah anak didik yang mengalami masalah dan berusaha memodifikasi tingkah-laku tersebut. Dengan mengaplikasikan pemberian penguatan secara sistematis.[39] Proses analisis dapat dilakukan dengan cara:
(1)   Bekerja sama dengan rekan kerja dalam mengatasi masalah
(2)   Merinci dengan tepat tingkah-laku yang menimbulkan masalah
(3)   Memilih dengan teliti prilaku yang akan dirubah, seperti prilaku yang paling menjengkelkan yang sering muncul.
(4)   Tepat memilih pemberian penguatan yang dapat digunakan untuk mempertahankan tingkah yang telah menjadi baik.[40]

b)      Pendekatan Pemecahan Masalah Kelompok
(1)   Memperlancar tugas, mengadakan terjadinya kerjasama yang baik dalam pelaksanaan tugas.
(2)   Memelihara kegiatan-kegiatan kelompok, memelihara dan memulihkan semangat anak didik dan menangani konflik yang timbul.[41]
c)      Menemukan dan memecahkan tingkahlaku yang menimbulkan masalah.
Guru dapat menggunakan seperangkat cara untuk mengendalikan tingkahlaku keliru yang muncul, guru harus mengetahui sebab dasar yang mengakibatkan ketidak paAllah tingkah tersebut. Serta berusaha mencari pemecahanya.[42]

c.       Variasi Mengajar
Variasi mengajar adalah “suatu kegiatan guru dalam mengenal konteks interaksi belajar mengajar dengan tujuan untuk mengatasi kebosan peserta didik, sehingga dalam pembelajaran peserta didik senantiasa menunjukkan ketekunan, antusiasme, serta penuh partisipasi”. [43]
Semua orang tidak menyukai adanya kebosanan. Sesuatu yang membosankan biasanya disebabkan oleh hal yang tidak menarik dan tidak menyenangkan. Demikian halnya dengan peserta didik yang sedang belajar, mereka tidak menyukai adanya peristiwa dan kodisi yang membosankan dalam belajarnya. Dengan adanya variasi guru dalam membelajarkan peserta didik, akan menumbuhkan antusias pada diri peserta didik untuk belajar, sehingga peserta didik akan belajar dengan tekun dan penuh partisipasi.
Bobbi De Porter dalam Quantum Teaching, menjelaskan bahwa “pembelajaran yang berhasil haruslah dalam suasana menyenangkan dan menggembirakan. Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajaran di dalam kelas, seorang guru dituntut untuk dapat menggunakan variasi dalam mengajar. Apabila guru tidak menggunakan variasi, maka akan membuat peserta didik menjadi bosan, perhatian peserta didik berkurang, mengantuk dan akibatnya tujuan belajar tidak tercapai. [44]
Prinsip penggunaan variasi adalah:
1)        Hendaknya digunakan dengan suatu maksud tertentu yang relevan dengan tujuan yang hendak dicapai,
2)        Variasi harus digunakan dengan lancar dan berkesinambungan, sehingga tidak merusak perhatian peserta didik, dan tidak mengganggu pembelajaran,
3)        Direncanakan secara baik dan eksplisit yang dicantumkan dalam RPP.[45]

Tujuan seorang guru harus menggunakan variasi mengajar adalah:
1)       Untuk menimbulkan dan meningkatkan perhatian peserta didik kepada aspek pembelajaran yang relevan,
2)       Untuk memberi kesempatan bagi berkembangnya bakat ingin mengetahui dan menyelidiki pada diri peserta didik tentang hal-hal yang baru,
3)       Memberi kesempatan untuk memperoleh cara memperoleh pelajaran yang disenangi peserta didik.[46]

Komponen yang biasanya ada pada keterampilan seorang guru dalam mengadakan variasi mengajar adalah:[47]
1)      Variasi Gaya Mengajar
Variasi gaya mengajar pada dasarnya meliputi variasi suara, variasi gerakan anggota badan dan variasi perpindahan posisi guru dalam kelas. Dengan menggunakan variasi ini peserta didik akan melihat sebagai sesuatu yang energik, bersemangat dan semuanya mempunyai relevansi dengan hasil belajar. Adapun variasi-variasi tersebut adalah: [48]
a)      Variasi suara
Suara guru dapat bervariasi dalam: intonasi, nada, volume dan kecepatan. Dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), variasi suara ini dapat dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan kebutuhan.
b)      Penekanan / pemusatan perhatian (focusing)
Untuk memfokuskan perhatian peserta didik pada suatu aspek yang penting dapat dilakukan penekanan secara verbal, misalnya: perhatikan baik-baik, dengarkan baik-baik dan sebagainya. Contoh “ Perhatikan baik-baik “dengar baik-baik ”nah, ini penting sekali, dsb.
c)      Kesenyapan atau pemberian waktu luang (Pausing)
Untuk menarik perhatian peserta didik dapat dilakukan dengan mengubah suasana menjadi sepi, dari suatu kegiatan menjadi tanpa kegiatan/diam. Kesenyapan tiba-tiba yang disengaja guru saat mengajar merupakan alat yang baik untuk menarik perhatian karena peserta didik ingin tahu apa yang terjadi. Dalam mengajukan pertanyaan guru menggunakan waktu tunggu atau kesenyapan memberikan kesempatan peserta didik berpikir.
d)     Kontak pandang (eye contact)
Ketika berinteraksi dengan peserta didik, guru sebaiknya berbicara dengan megarahkan pandangannya kepada semua peserta didik, hal ini dimaksudkan untuk membangun hubungan yang positif dengan peserta didik. Seorang guru dapat memanfaatkan pandangan matanya untuk membantunya dalam penyampaian materi dan juga dapat digunakan untuk menarik perhatian peserta didik.
e)      Gerakan Badan Dan Mimik (gesturing)
Ekpresi wajah guru, gerakan kepala, gerakan badan adalah aspek yang sangat penting dalam komunikasi. Ekpresi wajah misalnya tersenyum cemberut, mengerutkan dahi berjalan mendekati berdiri siap membantu dan lain-lain, dapatmenarik perhatian peserta didik juga dapat menolong dalam menyampaikan arti pembicaraan
f)       Penggantian Posisi Guru Dalam Kelas
Perpindahan posisi guru dalam ruangan, seperti berdiri di tengah, dapat didepan, belakang, bagian kiri, atau kanan kelas bertujuan untuk mempertahankan perhatian peserta didik. Penggunaan variasi ini cukup penting artinya bagi guru karena dapat menciptakan suasana yang tidak monoton dalam mengajar.

2)        Variasi Dalam Penggunaan Media dan Bahan Pengajaran
Saiful Bahri Djamarah menjelaskan bahwa setiap anak didik mempunyai kemampuan indera yang tidak sama, baik pendengaran maupun penglihatannya, demikian juga kemampuan berbicara. Ada yang lebih suka mendengarkan dulu baru membaca, atau sebaliknya.[49]
Dalam menggunakan media seorang guru mesti melihat situasi dan kondisi apa yang akan dihadapinya, sehingga tidak terjadi hal yang sia-sia, Karena tujuan utama dalam penggunaan media ialah untuk membantu dalam proses belajar mengajar di dalam kelas amupun diluar kelas, agar tercapainya tujuan dari materi yang akan disampaikan.
Model pembelajaran ini sendiri bervariasi, sesuai dengan materi apa yang akan disampaikan, variasi media ini dapat dibagi kepada :
a)      Variasi media visual, dapat diartikan sebagai penggunaan alat dan bahan ajaran khusus untuk komunikasi seperti misalnya; buku, majalah, film, televisi, gambar, model dan sebagainya.
b)      Variasi media audio, pada umumnya dalam proses belajar mengajar di kelas, suara guru adalah alat utama dalam komunikasi. Dalam menggunakan media dengar memerlukan kombinasi dengan media pandang dan taktil, seperti; pembicaraan peserta didik, rekaman kaset, wawancara dan sebagainya.
c)      Variasi media audio-visual adalah penggunaan media yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk menyentuh dan memanipulasi benda atau bahan ajaran secara bersamaan. Dalam hal ini akan melibatkan peserta didik dalam kegiatan penyusunan atau pembuatan model. [50]

3)        Variasi Pola Interaksi
Variasi interaksi adalah pergantian aksi antara guru dengan peserta didik, dan peserta didik dengan peserta didik lain secara tepat. Variasi dalam pola interaksi guru dengan peserta didik berawal dari dua sisi yaitu di satu sisi peserta didik belajar secara bebas tanpa ada campur tangan dari guru dan di sisi yang lain situasinya didominasi oleh guru, di mana guru berbicara kepada peserta didik dan peserta didik mendengarkannya secara pasif.[51] Penggunaan variasi interaksi bertujuan agar tidak menimbulkan kebosanan tetapi agar dapat menghidupkan suasana kelas demi keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar adalah sebuah interaksi yang bernilai pendidikan (interaksi edukatif). Interaksi edukatif adalah hubungan timbal balik antara guru sebagai pendidik dan peserta didik, dalam suatu sistem pengajaran. Interaksi edukatif merupakan faktor penting dalam usaha mencapai terwujudnya situasi belajar dan mengajar yang baik dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran.[52]
Sebagai salah satu komponen strategi pembelajaran, metode mengajar menempati peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar. Besar kecilnya variasi interaksi tergantung pada metode mengajar yang dipergunakan. “pembelajaran akan dapat berlangsung dengan lebih baik ketika peserta didik lebih banyak aktif dibanding guru.[53] Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki peserta didik akan ditentukan oleh kesesuaian penggunaan suatu metode. Hal ini berarti bahwa tujuan pembelajaran akan dapat tercapai dengan baik apabila digunakan metode yang tepat atau sesuai dengan standar keberhasilan yang ditetapkan.
Pola interaksi dalam pembelajaran terkait dengan penggunaan metode mengajar yang digunakan oleh guru. Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”.[54] Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-tharīqah, manhaj, atau al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al- wasīlah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah tharīqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.[55]
Menurut Abu Ahmadi metode mengajar adalah “Suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur”[56]. Dalam pengertian lain metode mengajar dapat diartikan sebagai teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di dalam kelas baik secara individual maupun secara kelompok, supaya materi pelajaran tersebut dapat diserap, dipahami dan di manfaatkan oleh peserta didik dengan baik, sehingga tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Abuddin Nata menyebutkan bahwa secara umum metode berfungsi sebagai pemberi jalan atau cara untuk pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan. Selain itu metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari pemahaman seperti ini, Abuddin mengatakan bahwa pada intinya metode berfungsi mengantarkan pada suatu tujuan kepada objek sasaran tersebut.[57]
Untuk menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan, perlu diperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam tersebut. Menurut al-Syaibani, ada empat dasar metode pendidikan Islam, yaitu: pertama, dasar agamis yaitu meliputi pertimbangan bahwa metode yang digunakan diambil dari tuntunan al-Qur’an dan hadis, kemudian dari sumber yang lain dengan berbagai cabangnya dan dari peninggalan dan amalan orang-orang terdahulu yang shaleh; kedua, dasar biologis, yang meliputi pertimbangan kebutuhan jasmani peserta didik dan tingkat perkembangan usia anak didik; ketiga, dasar psikologis, yaitu meliputi pertimbangan terhadap sejumlah kekuatan psikologis termasuk motivasi, kebutuhan, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat, dan kecakapan akal (intelektual); dan keempat, dasar sosial, yaitu meliputi pertimbangan kebutuhan sosial di lingkungan peserta didik, artinya metode yang digunakan mesti disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat dan tradisi-tradisi yang berkembang di dalamnya.[58]
Dalam mengajar, penggunan metode besar pengaruhnya dalam mencapai keberhasilan peserta didik dalam belajar. Penggunaan metode harus sesuai dengan situasi, kondisi, dan materi yang akan diajarkan kepada peserta didik. Di antara metode yang sering digunakan dalam kegiatan mengajar adalah: Metode proyek, Metode eksperimen, Metode tugas dan resitasi, Metode diskusi, Metode sosiodrama, Metode demontrasi, Metode problem solving, Metode karya wisata, Metode tanya jawab, Metode latihan (training), dan Metode ceramah,[59]
Al-Syaibany mengemukakan ada dua belas metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu: metode pengambilan kesimpulan atau induktif, metode perbandingan (qiyasiah), metode kuliah, metode dialog dan perbincangan, metode lingkaran (halaqah), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla’ (dictation), metode hafalan, metode pemahaman, dan metode lawatan untuk menuntut ilmu (pariwisata).[60]
Abdurrahman an-Nahlawi juga mengemukakan beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam. Menurutnya, metode yang dianggap paling penting dan paling menonjol adalah sebagai berikut:
a.       Metode dialog Qur’ani dan Nabawi, meliputi dialog khithabi dan ta’abbudi, dialog deskriptif, dialog naratif, dialog argumentatif, dan dialog nabawi;
b.      Mendidik melalui kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi;
c.       Mendidik melalui perumpamaan (amtsal) Qur’ani dan Nabawi;
d.      Mendidik melalui keteladanan;
e.       Mendidik melalui aplikasi dan pengamalan;
f.       Mendidik melalui ibrah dan nasehat; dan
g.      Mendidik melalui targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).[61]

Dan banyak lagi metode lain yang bisa digunakan dalam mencapai tujuan pendidikan, tergantung kepada materi, guru, waktu, situasi dan kondisi yang akan digunakan oleh seorang guru dalam mengajar. Tidak ada satu pun metode yang mutlak ideal untuk menyampaikan suatu materi pelajaran, di antara metode-metode lain, karena masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Yang lebih baik adalah apabila guru mampu mengkombinasikan beberapa metode yang relevan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran.

d.      Menjelaskan Pembelajaran
Menjelaskan dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran mengacu kepada perbuatan mengorganisasikan materi pelajaran dalam tata urutan yang terencana dan sistematis sehingga dalam penyajiannya peserta didik dengan mudah dapat memahaminya. “Pentingnya penguasaan keterampilan menjelaskan bagi guru adalah agar guru dapat meningkatkan efektivitas penggunaan waktu dan penyajian penjelasannya, mengestimasi tingkat pemahaman peserta didik, membantu peserta didik memperluas cakrawala pengetahuannya, serta mengatasi kelangkaan buku sebagai sarana dan sumber belajar”.[62]
Kegiatan menjelaskan dalam kegiatan pembelajaran bertujuan untuk membantu peserta didik memahami berbagai konsep, hukum, prosedur, dan sebagainya secara objektif, membimbing peserta didik memahami pertanyaan, meningkatkan keterlibatan peserta didik, memberi peserta didik kesempatan untuk menghayati proses penalaran serta memperoleh balikan tentang pemahaman peserta didik.[63]
Komponen-komponen keterampilan menjelaskan meliputi:[64]
1)      Keterampilan merencanakan penjelasan mencakup
a)        Isi pesan yang dipilih dan disusun secara sistematis disertai dengan contoh-contoh dan
b)        Hal-hal yang yang akan dijelaskan harus berkaitan dan sesuai dengan perkembangan peserta didik.

2)      Keterampilan menyajikan penjelasan mencakup :
a)      Kejelasan, agar penguasaan materi yang akan diterima oleh peserta didik sesuai dengan yang diharapkan, maka harus disampaikan dengan jelas.
b)      Penggunaan contoh dan ilustrasi yang digunakan harus mengikuti pola induktif dan deduktif. Sehinga peserta didik dapat dengan mudah untuk memahami maksud apa yang akan disampaikan oleh guru,
c)      Pemberian tekanan pada bagian-bagian yang penting, maksudnya adalah, pada bagian-bagian materi pembelajaran yang dianggap penting, maka dalam menjelaskan pembelajaran guru harus memberikan penekanan khusus, agar cepat dan bisa dipahami dengan baik oleh peserta didik, serta
d)     Balikan, yaitu umpan baik yang diberikan oleh guru untuk menanggapi apa yang sudah dijelaskan kepada peserta didik, atau sebaliknya apabila ada peserta didik yang bertanya, maka guru harus bisa merespon dan menjelaskan dengan baik kepada peserta didik.
Penyajian penjelasan harus didasari prinsip-prinsip sebagai berikut:
(a)    Adanya relevansi antara penjelasan dengan tujuan pembelajaran,
(b)   Sesuai dengan keperluan,
(c)    Mengingat latar belakang dan kemampuan peserta didik,
(d)   Diberikan secara spontan atau sesuai dengan rencana yang telah disiapkan, dan
(e)    Isi penjelasan bermakna bagi peserta didik.[65]

e.       Pendekatan Mengajar
Pendekatan mengajar sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kadar kegiatan mengajar. Setiap guru yang profesional ia akan memilih beberapa pendekatan yang terbaik yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan dalam proses belajar mengajar. [66] Di antara pendekatan tersebut adalah:
1)      Pendekatan individual,
2)      Pendekatan kelompok,
3)      Pendekatan berfariasi,
4)      Pendekatan edukatif,
5)      Pendekatan pengalaman,
6)      Pendekatan pembiasaan,
7)      Pendekatan emosional,
8)      Pendekatan rasional,
9)      Pendekatan fungsional, dan
10)  Pendekatan keagamaan.[67]
Sedangkan menurut Bruced Joyce ada empat model dalam pendekatan pengajaran, yaitu:
1)      Pendekatan ekspository atau model informasi, tingkah laku kalas dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru. Hakikat menurut pandangan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Biasanya penyampaian informasi dengan bentuk penjelasan secara lisan. Dalam pendekatan ini peserta didik diharapkan menangkap dan mengingat informasi yang telah dimilikinya melalui respon yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh guru. Komunikasi dalam pendekatan ini menggunakan komunikasi satu arah, sehingga kegiatan belajar peserta didik kurang optimal.
2)      Pendekatan Enquiry Discovery Learning (belajar mencari dan merumuskan sendiri), peserta didik dianggap sebagai subjek seklaligus objek, yang mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Proses pembelajaran berupa stimulus yang bisa menantang peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar. Peranan guru banyak menempatkan diri sebagai pembimbing atau pemimpin dan fasilitator belajar, yang menyediakan sumber belajar bagi peserta didik.
Pendekatan ini berusaha melatakkan dasar dan mengembangkan cara berfikir ilmiah, di mana peserta didik lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam pemecahan masalah.
3)      Pendekatan interaksi sosial, hakikatnya adalah peserta didik mengadakan hubungan sosial dalam arti peserta didik berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sesama kelompok dengan mengembangkan sikap dan prilaku demokratis, serta menumbuhkan produktifitas belajar. Pendekatan ini hampir sama dengan pendekatan inquiry terutama social inquiry.
4)      Pendekatan tingkah laku (behavioral model), aspek penting dari pendekatan ini adalah melatih dan memperkuat respon peserta didik yang paling tepat terhadap stimulus. Tingkah laku individu pada dasarnya dikontrol oleh stimulus dan respon yang diberikan individu. Pendekatan ini lebih menekankan pada tingkah laku, sebagai aplikasi dari teori belajar behaviorism.[68]

f.       Evaluasi
Secara harfiah evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang berarti menilai. Nilai dalam bahasa Arab disebut al-Qīmah, al-Taqdi.[69] Dikenal juga istilah imtihān yang berarti ujian atau istilah khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan.[70]
Dalam arti luas evaluasi adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat perlu untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.[71]
Kalau dikaitkan dengan pembelajaran evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan peserta didik mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pembelajaran.[72] Evaluasi tidak hanya untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar, tetapi juga sebagai dasar untuk umpan balik dari proses belajar mengajar yang dilakukan.[73] Oleh sebab itu kemampuan dan keterampilan guru dalam menyusun alat evaluasi dan melaksanakannya merupakan bagian dari kemampuan mengelola kegiatan belajar mengajar secara keseluruhan.
1)      Tujuan Evaluasi
Evaluasi merupakan proses penyusunan deskripsi peserta didik baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tujuan dari evaluasi adalah:
a)      Untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik dalam suatu kurun waktu dalam proese belajar tertentu.
b)      Untuk mengetahui posisi dan kedudukan seorang peserta didik dalam kelompok kelasnya.
c)      Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan peserta didik dalam belajar.
d)     Untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya untuk belajar.
e)      Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam PBM.[74]

Dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 58 ayat (1) dijelaskan evaluasi dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.[75]
2)      Fungsi evaluasi
Fungsi evaluasi dalam pembelajaran adalah :
a)    Fungsi administratif yaitu, untuk penyusunan daftar nilai dan rapor peserta didik
b)    Fungsi promosi, yaitu untuk penetapkan kenaikan atau kelulusan
c)    Fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam mencapai SKBM dan merencanakan program remedial
d)   Sebagai sumber data BP yang dapat memasok data peserta didik tertentu yang memerlukan bimbimngan
e)    Sebagai bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi kurikulum, metode dan alat-alat untuk proses belajar mengajar.[76]

3)      Prinsip Evaluasi
Dalam evaluasi Pendidikan Agama Islam terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan yaitu:
a.       Prinsip berkesinambungan (kontinuitas), Seorang guru harus terus menerus mengikuti pertumbuhan, perkembangan, dan perubahah peserta didik. Terus menerus ini bukan hanya sekedar pada kegiatan tes formal tapi juga pada perhatian guru kepada peserta didik ketika duduk, berbicara dan bersikap, baik di kelas saat proses belajar mengajar atau di luar kelas. Dari pengamatan tersebut ada yang perlu dicatat terutama mengenai kelainan pertumbuhan yang diikuti dengan bimbingan.
b.      Prinsip menyeluruh, maksudnya penilaian harus mengumpulkan data mengenai seluruh aspek kepribadian, baik yang berhubungan dengan aspek qauliyah, fi’liyah, atau qalbiyah peserta didik. Dalam istilah Bloom, mengacu kepada tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Ini dilakukan dengan memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik serta bobot tiap aspek dari segenap materi.
c.       Prinsip objektif, yaitu melakukan penilaian apa adanya, jujur tanpa melakukan kecurangan sedikit pun.
d.      Prinsip sistematis, yakni penilaian dilakukan secara sistematis dan teratur.[77]

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka evaluasi yang dilakukan diharapkan mampu meningkatkan kemampuan peserta didik dan kualitas pendidikan secara kelembagaan. Hal itu akan dapat terwujud jika hasil dari evaluasi tersebut ditindak-lanjuti dengan melakukan berbagai pembenahan dan perbaikan kemudian hasil dari pembenahan tersebut terus dievaluasi sehingga memperoleh hasil seperti yang diharapkan.
4)      Jenis evaluasi
Jenis evaluasi dibedakan menjadi 2 macam yaitu evaluasi berdasarkan fungsi dan manfaat dan evaluasi ditinjau dari segi alat evaluasi.
a)      Jenis evaluasi berdasarkan fungsi dan manfaat
(1)     Tes awal (pree-test), yaitu evaluasi yang dikembangkan sebelum satu satuan pembelajaran disajikan dalam proses belajar mengajar. Fungsinya untuk mengetahui penguasaan peserta didik terhadap materi baru tersebut sebelum diberikan.
(2)   Tes akhir (post-test), yaitu evaluasi yang diberikan setelah selesai satu satuan pelajaran. Fungsinya adalah untuk mengetahui hasil pencapaian tujuan instruksional khusus yang dirumuskan dalam rencana pembelajaran.
(3)   Evaluasi formatif / sub sumatif, yaitu evaluasi yang diberikan kepada peserta didik setelah mengikuti / menyelesaikan satuan bahasan tertentu. Fungsuinya untuk mengetahui seberapa besar penguasaan peserta didik terhadap satuan bahasan yang dites.
(4)   Evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang diberikan kepada sejumlah peserta didik setelah mengukuti atau menyelesaikan beberapa satuan bahasan tertentu. Fungsinya adalah untuk menentukan keberhasilan masing-masing peserta didik dalam mengkuti beberapa program pengajaran dalam waktu tertentu.
(5)   Evaluasi belajar tahap akhir, yaitu evaluasi yang diberikan kepada sejumlah peserta didik setelah menyelesaikan seluruh program pengajaran untuk satuan jenjang persekolahan.
(6)   Evaluasi diagnostik, yaitu evaluasi yang fungsinya untuk mendiagnosa sebab-sebab kegagalan pengajaran untuk selanjutnya membentu peserta didik memecahkan kegagalan atau kesulitan peserta didik mempelajari bahan pengajaran tersebut.
(7)   Evaluasi penempatan, yaitu evaluasi yang menentukan penempatan peserta didik pada suatu program pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan, baik dari segi potensi maupun minat dan bakat peserta didik yang bersangkutan.[78]

b)      Evaluasi ditinjau dari segi alat evaluasi
(1)   Evaluasi menggunakan tes baku (tes standar). Tes ini bisa dijadikan alat ukur secara tepat dan cepat.
(2)   Evaluasi menggunakan tes tidak baku, yaitu tes yang tidak diketahui keabsahannya dalam mengukur kemampuan secara tetap dan belum bisa dipercaya ketepatannya.[79]

5)      Teknik evaluasi
Ada dua teknik yang dapat digunakan dalam melaksanakan evaluasi, yaitu teknik tes dan non tes.
a)      Teknik tes
Teknik ini ada yang sudah distandarisasi, artinya tes tersebut sudah mengalami proses ketepatan (validasi) dan reabilitasi untuk suatu tujuan tertentu untuk sekelompok peserta didik. Teknik tes dibedakan menjadi 3 macam yaitu tes lisan, tes tulisan, dan tes perbuatan.
Tes lisan adalah tes yang pelaksanaannya secara lisan, yang bermanfaat untuk hal-hal :
(1)   Menilai kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah
(2)   Menilai proses berfikir peserta didik
(3)   Menilai kemampuan peserta didik mengkomunikasikan hasil belajar dengan bahasa lisan,
(4)   Menilai kamampuan peserta didik mempertanggung-jawabkan pendapatnya sehubungan dengan konsep/ ide yang dikemukakan.[80]

Tes perbuatan, adalah tes yang berhubungan dengan kemampuan peserta didik melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang berhibungan dengan aspek psikomotor, gunanya untuk mengetahui hal-hal:
(1)   Mentes kemampuan peserta didik dalam menggunakan alat-alat pelajaran tertentu,
(2)   Mentes kemampuan peserta didik melakukan suatu perbuatan yang dituntut berdasarkan petunjuk-petunjuk tertentu,
(3)   Mentes kemampuan peserta didik untuk hal-hal yang sulit dilakukan secara tes tertulis,
(4)   Memotivasi peserta didik, baik yang mampu maupun yang kurang mampu. Untuk menyadari batas kemampuannya hingga dapat berbuat lebih tekun dan bersungguh-sungguh pada masa berikutnya.[81]

Tes tulisan, adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik pertanyaan maupun jawaban. Tes ini dapat dilakukan untuk kelompok maupun individu. Tes inilah yang populer dikalangan persekolahan karena di samping memiliki mamfaat yang cukup luas juga dapat dipersiapkan oleh para guru secara lebih terarah dan terencana.
b)      Teknik non tes
Teknik non tes biasanya menggunakan cara-cara berikut:
(1)   Wawancara (interview), yaitu tanya jawab tentang materi tertentu yang pelaksanaan secara lisan,
(2)   Angket (kuesioner), yakni wawancara tertulis baik pertanyan maupun jawaban dengan mengisi daftar isian,
(3)   Pengamatan (observasi), yakni melakukan pengamatan terhadap suatu topik yang pada umumnya diikuti dengan kegiatan diskusi, kerja kelompok, eksperimen, menarrik kesimpulan sementara atau merumuskan hipotesis topik baik secara kelompok maupun individual.
(4)   Skala penilaian (rating scale), yaitu penilaian yang lebih banyak berhubungan dengan masalah sikap dengan menggunakan skala penilaian kuantitatif,
(5)   Daftar cek (cheklist), yaitu penilaian yang menggunakan daftar cek yang pada umumnya dilakukan berbarengan dengan kegiatan observasi.[82]

6)      Aspek yang dinilai
Penilaian yang membuktikan tuntas atau tidaknya peserta didik dalam suatu mata pelajaran tidak hanya sekedar berpedoman pada nilai akhir saja, tetapi meliputi:
a)      Aspek kognitif diberikan dalam bentuk ulangan harian ditambah tugas, ujian blok, ulangan umum semester, ujian nasional tulis, dll.
b)      Aspek psikomotor diberikan dalam bentuk ujian praktik, ujian nasional praktik, serta nilai inovasi, diskusi, demonstrasi, studi lapangan / studi kasus, dsb.
c)      Aspek afektif dengan ketuntasan baik.[83]

Aspek kognitif didominasi oleh unsur pokok yaitu keimanan, syari’ah, dan sejarah. Aspek afektif didominasi oleh unsur pokok akhlaq dan aspek psikomotor didomonasi oleh unsur ibadah dan Al-Qur’an.[84]


[1] Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islâm dan Sains Sosial, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 255
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), h. 946
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), cet. Ke-3, h. 415
[4] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islâm, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner, (Jakarta: Bumi Aksatra, 1996), cet.ke-4, h. 58
[5] Oemar Hamalik, Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), Cet Ke-5, h. 4
[6] Masrial, Teras Kuliah Belajar Mengajar, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 7-9
[7] Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 22-23
[8] Aksya Azhari, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Toha Putra, 1996), h. 37
[9] Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 39
[10] J.J Hasibuan, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Remaja Rosyda Karya, 1995), h. 3
[11] Oemar Hamalik, Op Cit, h. v
[12] Moedjiono, Strategi Belajar Mengajar,(Depdikbud Diktoral Pendidikan Tinggi,1992), h.3
[13] Ahmad Rohani, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 33
[14]M. Basyirudin Usman, Strategi Belajar Mengajar dan Media Pendidikan, (Jakarta: Quantum Press, 2002), h. 4
[15]Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 2
[16] Made Pidarta, Perencanaan Pendidikan Parsipatori, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005) Cet ke-3, h.3
[17] Udin Syaepufudin, dkk,  Perencanaan Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2005), h.3
[18] Malayu SP. Hasibuan, Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah, (Bandung, Sinar Grafika, 2003), h. 92
[19] Syafrudin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islâm, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 63
[20] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2006), h. 212
[21] Departemen Pendidikan Nasional, Buku Saku Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006), h. 38
[22] E. Mulyasa, op.cit, h. 213
[23] Ibid, h. 214
[24] E. Mulyasa, Op.Cit, h. 215
[25] Ibid, h. 216
[26] E. Mulyasa, Op.Cit, h. 217
[27] Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar, Penerapannya dalam Pembelajaran Pendidikan Agama, (Surabaya: Citra Media, 1996), h. 107
[28] E. Mulyasa, Op.Cit, h. 218
[29] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Aglesindo, 2004), h. 148-149
[30] Ahmad Sabri, op.cit, h. 6-7
[31] Ahmad Sabri, Ibid, h. 8
[32] Ahmad Sabri, op.cit, h. 69
[33] James Pophams,  Teknik Mengajar Secara sistematis, terj. Amrul Hadi, (Jakarta: PT. Asdi Maha Satya, 2005), h. 101
[34] James Pophams, Ibid., h. 102
[35] James Pophams op.cit., h. 103
[37] James Pophams, op.cit., h. 105
[38] Purwiro Harjati, op.cit., h. 4
[39] James Pophams, lok.cit. 105
[40] Ibid, h. 106
[41] James Pophams, Op.Cit, h. 106
[42] James Pophams, Op.Cit, h. 106
[43] Ahmad Sabri, op.cit, h. 76
[44] Bobbi DePorter, Quantum Teaching (Bandung: Kaifa, 2000), h. 10
[45] Ahmad Sabri, lok.cit, h.76
[46] Ibid,  h. 76
[48]Sunaryo, Strategi Belajar Mengajar Dalam Pengajaran IPS, (Jakarta: Depdikbud, 1989), h. 35 lihat juga Ahmad Sabri, op.cit, h. 76-77
[49]Saiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 190
[50]Saiful Bahri Djamarah, Op.Cit, h. 190
[51]Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 204
[52] Ibid. h. 204
[53] Ibid., h. 205
[54]Oemar Muhammad at-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islâm, Penj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 65
[55] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islâm, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),  h. 184
[56] Abu Ahmadi, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 52
[57] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islâm, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 146
[58]Oemar Muhammad at-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islâm, Penj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 586-591
[59]Syaiful Bahri Djamrah Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta,1995),, h. 94-100.  Lihat juga Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islâm, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), cet. ke-4, h. 215-318
[60] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, op. cit., h. 561-582
[61]Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islâm di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). 204-297
[62] Ahmad Sabri, loc.cit, h. 70
[63] http://massofa.wordpress.com/2008/01/11/ketrampilan-menjelaskan-dan-bertanya/
[64] Ahmad sabri, op.cit, h. 71
[65] http://massofa.wordpress.com/2008/01/11/ketrampilan-menjelaskan-dan-bertanya/
[66] Saiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta,1995),  h. 5
[67] Dimayati, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 161-170
[68] Saiful Bahri Djamarah op.cit, h. 10-16, lihat juga Nana Sudjana, op.cit, h.  151-155
[69] Anas Sudjono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005), h. 1
[70] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islâm, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 274
[71]Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran, (Bandung: PT. Rosyda Karya, 2002), h. 3
[72] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Remaja Rosyda Karya, 2005), h. 195
[73]Muhamad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Sinar Baru Aglesindo,2002), h. 113
[74] Muhibbin Syah, op.cit., h. 196
[75] Niki Sae, Petunjuk Pelaksanaan Sisdiknas 2003, (Jakarta: CV.Ekojaya, 2003), h. 136
[76] Ibid., h. 137
[77] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islâm, op. cit., h. 192
[78]Lalu Muhamad Azwar, Proses Belajar Mengajar Pola CBSA, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), h. 118-123
[79] Ibid, h. 123
[80] Lalu Muhamad Azwar, op.cit., h. 124
[81] Ibid. h. 124
[82]Lalu Muhamad Azwar, op.cit., 125
[83]Al-Baini Zuhdi, loc.cit, h. 3                            
[84] Departemen Agama RI, Penilaian Pendidikan Agama Islâm, (Jakarta: tp, 2001), h. 37

Tidak ada komentar: