Cari Blog Ini

Kamis, 03 Mei 2018

Keluarga Miskin dan Permasalahannya


A.  Keluarga Miskin dan Permasalahannya
1.        Pengertian Keluarga Miskin
Sarwono Kusumaatmadja dalam bukunya Politik dan Kemiskinan menjelaskan pengertian keluarga miskin dengan menulis dua contoh cerita kehidupan keluarga yaitu[1]: pertama, Darlin Oktavianus merengek-rengek minta makan kepada ibunya. Perempuan paruh baya itu hanya menepuk-nepuk pantat bayinya, karena kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Tubuh bayi berusia sembilan bulan itu kurus kering. Berat badannya di bawah rata-rata berat badan bayi normal, hanya 3,5 kilogram, sama dengan bayi sehat yang baru dilahirkan. Sementara itu bapaknya, Jeremis Oktavianus, tampak bercucuran keringat karena baru saja mancangkul di ladang. “Kami hanya mampu makan nasi sekali sehari,”  keluh Jeremis, warga dusun Kelapa Tinggi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kelurga Jeremis adalah salah satu dari 554. 040 rumah tangga miskin atau 2,8 juta penduduk miskin dari 4,2 juta penduduk NTT (BPS, 2004). Jeremis tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hari ini ia menggarap lahan, esok  menjadi buruh (bangunan) harian, lalu berganti pekerjaan  sebagai penyadap pohon  tuak, dan hari berikutnya menjaual sayur kangkung yang ditanamnya ke pasar. Dari gonta-ganti pekerjaan itu, Jeremis hanya memperoleh uang Rp. 5.000,- sampai dengan Rp. 10.000,- per hari. Penghasilan terbesar sebagai buruh bangunan Rp. 10.000 per hari, itu pun sulit. Pekerjaan terbatas, jumlah tenaga kerja berlimpah. “Siapa yang punya hubungan dengan mandor dapat kesempatan bekerja lebih lama. Saya hanya kerja dua hari, langsung dikeluarkan, dapat uang untuk makan hari ini, besok cari lagi”[2].
Kedua, Amatya Sen, penerima hadiah Nobel untuk ilmu Ekonomi (1998) dalam bukunya Development As Freedom, menceritakan pengalamannya di Dhaka (Bangladesh) ketika menyaksikan seorang warga muslim bernama Kader Mia yang tewas dalam peristiwa kerusuhan sosial di jalan raya. Saat itu ia sedang mencari pekerjaan untuk memberi makan keluarganya. Kader Mia tidak punya pilihan, ia harus keluar rumah. Bila  tidak, keluarganya akan mati kelaparan. Dalam perjalanan, Kader Mia terjebak dalam huru-hara kerusuhan massal, yang akhirnya membuat ia mati mengenaskan.
Dua penggal cerita di atas cukup jelas menggambarkan rona wajah kemiskinan. Kemiskinan selalu diartikan dengan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang dan papan. Di Indonesia lazimnya orang makan tiga kali sehari. Orang yang disebut miskin adalah orang yang hanya mampu makan dua kali, bahkan sekali dalam sehari.
Sejalan dengan definisi di atas, secara umum yang dimaksud dengan orang miskin, dalam buku Planning and Management of  Sector Programme didefinisikan sebagai orang yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, yakni orang yang tertutup baginya kesempatan untuk mendapatkan  nafkah untuk makan dan kebutuhan lainnya seperti pakaian, pendidikan, lapangan kerja, dan sebagainya.[3]
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), Keluarga miskin memiliki 14 variabel  yaitu:
a.         Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari  8m2 perorang
b.         Jenis lantai bangunan tempat tinggal adalah tanah, bambu dan kayu murahan
c.         Jenis dinding tempat tinggal adalah bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tidak diplester
d.        Tidak mempunyai fasilitas tempat pembuangan air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain
e.         Tidak mempunyai penerangan listrik
f.          Sumber air minum dari mata air yang tidak terlindungi seperti air sungai/air hujan.
g.         Bahan bakar untuk memasak sehari-hari dari kayu bakar, arang dan minyak tanah
h.         Tidak pernah mengkonsumsi daging, susu, dan ayam dalam perminggu atau cuma satu kali perminggu
i.           Hanya membeli satu stel baju dalam setahun
j.           Makan dalam setiap harinya hanya dua kali
k.         Tidak mampu membayar berobat ke puskesmas/dokter
l.           Kepala rumah tangga kebanyakan berprofesi sebagai petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau lainnya dengan pendapatan Rp. 600.000,-/bulan
m.       Kepala rumah tangga tidak sekolah atau hanya tamat SD
n.         Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,-[4]
  Untuk berbagai negara nafkah dan kebutuhan keluarga itu bervariasi, sehingga sedikit perubahan pemahaman definisi tersebut dapat memberi perbedaan yang besar dalam jumlah penduduk yang tergolong sebagai orang miskin.
Ada perbedaan standar ukuran garis kemiskinan secara kuantitatif untuk berbagai negara. Ada yang menetapkan seberapa rendah tingkat belanja, dan lainnya mengukur berdasarkan protein atau kandungan gizi yang dikonsumsi per hari berikut biaya non-makan.
Dalam buku pembangunan untuk rakyat yang disusun oleh Ginanjar Kartasasmita dikatakan bahwa keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, yang  dibedakan menjadi:
a.         Miskin absolute dikenakan pengertian kepada seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dari pendapatan orang-orang yang berada pada garis kemiskinan. Pada tahun 1993, angka pengeluaran minimum sebagai batas garis kemiskinan absolut ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 27.905 per kapita perbulan untuk daerah perkotaan, dan Rp. 18.224 untuk daerah pedesaan.
b.        Miskin relative adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari garis kemiskinan, dan kelompok yang relatif lebih kaya.[5]
Kemiskinan juga diukur berdasarkan pola waktu, yang dibedakan menjadi:
a.         Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Kemiskinan seperti ini umumnya menempati daerah-daerah yang krisis sumber daya alamnya atau daerah terisolasi.
b.        Cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan.
c.         Seasonal poverty, yaitu miskin musiman, seperti sering dijumpai pada kasus nelayan, dan pertanian tanaman pangan.
d.        Accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak akibat kebeijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
           
Menurut Ginanjar kondisi kemiskinan disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu:
1)             Rendahnya taraf pendidikan
2)             Rendahnya derajat kesehatan
3)             Terbatasnya lapangan kerja, dan
4)             Kondisi keterisolasian.[6]

2.    Problematika Keluarga Miskin
Kemiskinan dapat dikategorikan sebagai salah satu masalah sosial yang banyak menarik perhatian para ahli, khususnya para sosiolog, ekonomi dan budayawan bahkan rohaniawan. Mereka antara lain telah berbicara tentang tolak ukur atau indikator kemiskinan, sebab-sebab terjadinya kemiskinan serta cara-cara untuk mengatasinya. Pembicaraan masalah ini telah diangkat berbagai kesempatan seminar, diskusi, melalui media masa dan lain sebagainya.
Sebagian  mereka berpendapat bahwa kemiskinan lebih ditujukan kepada orang-orang yang taraf kehidupan ekonominya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok dan ada pula yang melihat kemiskinan kasih sayang dan sebagainya. Demikian pula mengenai sebab-sebab terjadinya kemiskinan, ada yang yang mengatakan karena sikap metal yang malas, tidak tersedianya kesempatan kerja, karena tertindas, pendidikan yang rendah dan lain-lain.
Bagi umat Islam yang meyakini al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, sepantasnya mencoba untuk menjelaskan masalah kemiskinan tersebut dan keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an itu. Tolak ukur kemiskinan tidak banyak disinggung oleh ulama Islam klasik, kecuali di dasarkan pada aspek ekonomi atau income perkapita seseorang dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup  sehari-hari. Hal ini biasanya mereka singgung sepintas ketika mereka berbicara tentang mustahiq (orang-orang yang berhak) menerima zakat. Allah SWT berfirman:
 $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ Ò OÅ6ym (التوبه:: ÇÏÉÈ)
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah[7], dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. al-Taubah  (9) :60)

Al-Ghazali misalnya meletakkan bahwa yang disebut orang miskin adalah mereka yang memperoleh penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[8] Selain itu ada pula yang menyamakan orang miskin dengan orang fakir, yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai kebalikan dari orang kaya, yaitu mereka yang dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Seseorang dapat pula dikatakan mampu atau kaya apabila orang itu memiliki kelebihan harta seukuran satu nisab dari kebutuhan pokoknya dan anak-anaknya yang meliputi kebutuhan dalam bidang sandang, pangan, papan, minuman, kendaraan, sarana untuk bekerja dan lain sebagainya.[9] Orang-orang yang tidak memiliki semua itu dapat dikategorikan sebagai orang fakir atau miskin yang berhak memperoleh zakat.
Dari pendapat-pendapat tersebut, nampak bahwa indikator kemiskinan selalu diukur dari hal-hal yang bersifat material konsumtif, dan tidak terdapat petunjuk tentang kemiskinan dari sudut mental spiritual. Lalu bagaimanakah kemiskinan menurut  al-Qur’an? Buku kajian tematik al-Qur’an tentang konstruksi sosial dijelaskan bahwa  di dalam al-Qur’an terdadapat 22 ayat yang berbicara mengenai kemiskinan, indikator kemiskinan dikaitkan dengan berbagai aspek yaitu:[10]
1.      Kemiskinan terkadang dihubungkan dengan orang yang kekurangan makanan, sehingga mereka perlu diberikan makanan. Firman Allah SWT:
Ÿwur Ùçts 4n?tã ÇP$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# (الهاقه: ÇÌÍÈ ) 
Artinya: “Dan juga Dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi Makan orang miskin” (Q.S  al-Haqqah( 69) :34). Lihat juga  (QS al-Mudatstsir (74): 44, QS al-Fajr (89):18, QS al-Maun (107):3, QS al-Mujadalah (58): 4, al-Maidah (5): 89


2.      Kemiskinan dihubungkan dengan jenis pekerjaan, yang biasanya pekerjaan kasar yang banyak mengandalkan otot dan tenaga tanpa didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti isyarat firman Allah yang berbunyi:
$¨Br& èpoYÏÿ¡¡9$# ôMtR%s3sù tûüÅ3»|¡yJÏ9 tbqè=yJ÷ètƒ Îû ̍óst7ø9$# NŠur'sù ÷br& $pkz:Ïãr& tb%x.ur Nèduä!#uur Ô7Î=¨B äè{ù'tƒ ¨@ä. >puZŠÏÿy $Y7óÁxî (الكهفى: ÇÐÒÈ )
Artinya: “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”. (Q.S. al-Kahfi (18) :79 )

3.        Kemiskinan dihubungkan dengan kekurangan memperoleh hak-haknya sebagai manusia. Firman Allah SWT:
ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s?  (الاسرا: ÇËÏÈ) 
Artinya: ”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.( Q.S. al-Isra’(17):26 )

Dalam ayat ini indikator kemiskinan dikaitkan dengan adanya pemberian hak-haknya, yaitu mereka yang kehilangan haknya untuk meraih sukses dalam kehidupan, seperti hak memperoleh pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, perlindungan hukum, kesempatan berprestasi, dan lain sebagainya. 
4.        Kemiskinan dihubungkan dengan hilangnya penghargaan atau penghormatan orang lain kepadanya, yaitu mereka tidak diperdulikan dan tidak diperhitungkan, dianggap sepi yang semua itu secara psikologis dapat membawa penderitaan. Firman Allah SWT:
br& žw $pk¨]n=äzôtƒ tPöquø9$# /ä3øn=tæ ×ûüÅ3ó¡ÏiB (القلام: ÇËÍÈ)    
Artinya: “Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu".(Q.S. al-Qalam (68) :24)

Dalam ayat ini kata miskin  dikaitkan dengan larangan Tuhan kepada mereka agar jangan masuk ke kebun. Menurut informasi ayat 17 sampai dengan ayat 23 surat 68 itu, bahwa yang dimaksud dengan kebun tersebut adalah kebun milik orang musyrikin Quraisy. Mereka memetik hasilnya di pagi hari dan tidak menyisihkan sedikitpun untuk orang miskin.
Dengan demikian indikator kemiskinan menurut keterangan al-Qur’an tidak hanya terbatas pada kurangnya sandang, pangan, dan papan serta minuman, tetapi juga meliputi pada hilangnya hak-hak, kesempatan, penghargaan serta hal-hal lainnya yang bersifat spiritual psikologis. Orang yang tidak dihargai, tidak disayangi dan tidak diperhitungkan juga tergolong orang miskin.
Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptoherijanto[11] mengatakan bahwa keluarga tahap pra-sejahtera (keluarga sangat miskin) ditunjukkan dengan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti kebutuhan menjalankan perintah agama (tidak melakukan sembahyang sesuai dengan perintah agama masing-masing), makanan (minimum dua kali makan per hari), pakaian (lebih dari satu pasang pakaian ), dan perumahan (porsi yang lebih besar dari lantai bukan terdiri dari tanah), kesehatan dan keluarga berencana (dibawa ke pusat kesehatan jika sakit).[12]
Kesejahteraan sosial  pada hakikatnya adalah tata kehidupan dan penghidupan sosial  meteril dan sprituil yang meliputi keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin. Sehingga setiap warga negara dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik kebutuhan rohani, jasmani, dan sosial  secara baik yang tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi keluarga dan masyarakat.
3.        Pentingnya Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam Pengentasan Kemiskinan Keluarga Miskin
Pemerintah berupaya terus menerus untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan dengan berbagai program seperti raskin (beras miskin), bantuan beras murah yang bisa dibeli masyarakat miskin dengan harga murah juga gakin (keluarga miskin) berupa bantuan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin dibeberapa rumah sakit umum (RSU) yang telah ditunjuk pemerintah. Ada juga bantuan langsung tunai (BLT) diberikan kepada masyarakat miskin sebagai kompensasi kenaikan BBM (bahan bakar minyak). Dan terhitung mulai tahun 2007 pemerintah mencoba sebuah Program Keluarga harapan (PKH).
Tujuan utama PKH adalah membantu mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia  pada kelompok masyarakat sangat miskin. Dalam jangka pendek, bantuan ini membantu mengurangi beban pengeluaran RTSM, sedangkan untuk jangka panjang, dengan mensyaratkan keluarga  penerima untuk menyekolahkan anaknya baik di sekolah umum maupun di madrasah, melakukan imunisasi balita, memeriksakan kandungan bagi ibu hamil, dan perbaikan gizi, diharapkan akan memutus rantai kemiskinan.[13]
Peserta PKH akan menerima bantuan berupa bantuan uang tunai yang dapat diambil di Kantor Pos terdekat dengan membawa Kartu Anggota dan tidak dapat diwakilkan. Besarnya bantuan tergantung dari kondisi masing-masing keluarga. Selain itu jumlah bantuan akan berubah dari waktu ke waktu tergantung kondisi keluarga yang bersangkutan dan kepatuhan keluarga dalam memenuhi kewajiban. Bantuan yang diberikan berkisar dari Rp. 600.000,- hingga Rp. 2.200.000,-. Terdiri dari bantuan tetap Rp. 200.000,-, bantuan pendidikan SD/MI Rp. 400.000,-, dan bantuan pendidikan SMP/MTs Rp. 800.000,-. Selain itu ada bantuan untuk pelayanan kesehatan untuk ibu hamil atau nifas, bayi atau balita sebesar Rp. 800.000,-. Bantuan itu akan dibayarkan 4 kali dalam satu tahun melalui kantor pos terdekat.[14]
Program serupa di negara lain dikenal dengan sitilah conditional cash transfers (CCT). Berdasarkan pengalaman negara-negara lain program serupa sangat bermanfaat terutama bagi keluarga dengan kemiskinan kronis. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga sangat miskin (RTSM), meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil/nifas dan anak di bawah umur 6 tahun. Juga meningkatkan angka partisipasi pendidikan anak-anak usia wajib belajar SD dan SMP. Serta meningkatkan  akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan RTSM. Untuk jangka pendek bantuan diberikan melalui  bantuan uang tunai kepada RTSM. Bantuan ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga sangat miskin. Sehingga mereka ada kesempatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan (kewajiban) lain yang bersifat keagamaan (seperti shalat, membaca al-Qur’an, puasa dan ibadah-ibadah lain). Sedangkan untuk jangka panjang melalui kewajiban yang telah ditentukan  dengan harapan akan terjadi perubahan pola pikir dan prilaku terhadap perbaikan prilaku terhadap perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil serta tingkat pendidikan anak-anak RTSM tersebut sehingga rantai kemiskinan keluarga tersebut dapat terputus.


[1] Sarwono Kusumaatmadja, Politik dan Kemiskinan, (Depok: koekoesan, 2007), cet-1, h. 1-2
[2] Cerita di atas di kutip dari Harian Kompas, 14/12/06
[3] Anonymous, Planning and Management of  sector programme, (Society for Development Studies, New Delhi, t.t), 
[4]Biro Pusat Statistik (BPS) 2005
[5] Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat, (Jakarta: CDIES, 1996), h. 35

[6] Ibid
[7] Yang berhak menerima zakat ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. (al-Qur’an Word)
[8]Muhammad Jamaluddin al-Qasimi Addimasqi, Mau’idzah al-Mu’minin min Ihya Ulum al-Din, (Tp. Temapt: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, tp.th). h. 128, bisa dilihat juga dalam buku Kajian tematik al-Qur’an tentang Konstruktif Sosial, Editor Abudin Nata, (Bandung: Angkasa Bandung, 2008), cet.-1, h. 154
[9] Ibid, h. 155
[10]Sofiah,  Kajian tematik al-Qur’an tentang Konstruktif Sosial, Editor Abudin Nata, (Bandung: Angkasa Bandung, 2008), cet.-1, h. 154

[11] Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptoherijanto, op.cit, cet-1, h. 27 
[12]. Ibid
[13] Tim Penyusun Buku PKH, Buku Pendamping Program Keluarga Harapan, (Jakarta: DirJamKesSos, 2007) , h. 1
[14] Sinar, Majalah Penyuluhan Sosial, Edisi IV/2008 Nomor 140, h.9

Tidak ada komentar: