A.
Keluarga Miskin dan Permasalahannya
1.
Pengertian Keluarga Miskin
Sarwono Kusumaatmadja
dalam bukunya Politik dan Kemiskinan menjelaskan pengertian keluarga miskin
dengan menulis dua contoh cerita kehidupan keluarga yaitu[1]: pertama,
Darlin Oktavianus merengek-rengek minta makan kepada ibunya. Perempuan
paruh baya itu hanya menepuk-nepuk pantat bayinya, karena kebingungan dan tidak
tahu harus berbuat apa. Tubuh bayi berusia sembilan bulan itu kurus kering.
Berat badannya di bawah rata-rata berat badan bayi normal, hanya 3,5 kilogram,
sama dengan bayi sehat yang baru dilahirkan. Sementara itu bapaknya, Jeremis
Oktavianus, tampak bercucuran keringat karena baru saja mancangkul di ladang. “Kami
hanya mampu makan nasi sekali sehari,”
keluh Jeremis, warga dusun Kelapa Tinggi, Kecamatan Kupang Tengah,
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kelurga Jeremis adalah
salah satu dari 554. 040 rumah
tangga miskin atau 2,8 juta penduduk miskin dari 4,2 juta penduduk NTT (BPS,
2004). Jeremis tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hari ini ia menggarap lahan,
esok menjadi buruh (bangunan) harian,
lalu berganti pekerjaan sebagai penyadap
pohon tuak, dan hari berikutnya menjaual
sayur kangkung yang ditanamnya ke pasar. Dari gonta-ganti pekerjaan itu,
Jeremis hanya memperoleh uang Rp. 5.000,- sampai dengan Rp. 10.000,- per hari.
Penghasilan terbesar sebagai buruh bangunan Rp. 10.000 per hari, itu pun sulit.
Pekerjaan terbatas, jumlah tenaga kerja berlimpah. “Siapa yang punya hubungan
dengan mandor dapat kesempatan bekerja lebih lama. Saya hanya kerja dua hari,
langsung dikeluarkan, dapat uang untuk makan hari ini, besok cari lagi”[2].
Kedua, Amatya Sen, penerima hadiah Nobel untuk ilmu Ekonomi (1998) dalam
bukunya Development As Freedom, menceritakan pengalamannya di Dhaka
(Bangladesh) ketika menyaksikan seorang warga muslim bernama Kader Mia yang tewas
dalam peristiwa kerusuhan sosial di jalan raya. Saat itu ia sedang mencari
pekerjaan untuk memberi makan keluarganya. Kader Mia tidak punya pilihan, ia
harus keluar rumah. Bila tidak,
keluarganya akan mati kelaparan. Dalam perjalanan, Kader Mia terjebak dalam huru-hara
kerusuhan massal, yang akhirnya membuat ia mati mengenaskan.
Dua penggal cerita di atas cukup
jelas menggambarkan rona wajah kemiskinan. Kemiskinan selalu diartikan dengan
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan,
sandang dan papan. Di Indonesia lazimnya orang makan tiga kali sehari. Orang
yang disebut miskin adalah orang yang hanya mampu makan dua kali, bahkan sekali
dalam sehari.
Sejalan dengan definisi di atas,
secara umum yang dimaksud dengan orang miskin, dalam buku Planning and
Management of Sector Programme didefinisikan
sebagai orang yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, yakni orang yang
tertutup baginya kesempatan untuk mendapatkan
nafkah untuk makan dan kebutuhan lainnya seperti pakaian, pendidikan,
lapangan kerja, dan sebagainya.[3]
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS),
Keluarga miskin memiliki 14 variabel yaitu:
a.
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 perorang
b.
Jenis lantai bangunan tempat tinggal adalah tanah, bambu dan kayu
murahan
c.
Jenis dinding tempat tinggal adalah bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tidak diplester
d.
Tidak mempunyai fasilitas tempat pembuangan air besar/bersama-sama
dengan rumah tangga lain
e.
Tidak mempunyai penerangan listrik
f.
Sumber air minum dari mata air yang tidak terlindungi seperti air
sungai/air hujan.
g.
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari dari kayu bakar, arang dan
minyak tanah
h.
Tidak pernah mengkonsumsi daging, susu, dan ayam dalam perminggu
atau cuma satu kali perminggu
i.
Hanya membeli satu stel baju dalam setahun
j.
Makan dalam setiap harinya hanya dua kali
k.
Tidak mampu membayar berobat ke puskesmas/dokter
l.
Kepala rumah tangga kebanyakan berprofesi sebagai petani dengan
luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau
lainnya dengan pendapatan Rp. 600.000,-/bulan
m.
Kepala rumah tangga tidak sekolah atau hanya tamat SD
n.
Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal
Rp. 500.000,-[4]
Untuk
berbagai negara nafkah dan kebutuhan keluarga itu bervariasi, sehingga sedikit
perubahan pemahaman definisi tersebut dapat memberi perbedaan yang besar dalam
jumlah penduduk yang tergolong sebagai orang miskin.
Ada
perbedaan standar ukuran garis kemiskinan secara kuantitatif untuk berbagai
negara. Ada yang menetapkan seberapa rendah tingkat belanja, dan lainnya
mengukur berdasarkan protein atau kandungan gizi yang dikonsumsi per hari
berikut biaya non-makan.
Dalam
buku pembangunan untuk rakyat yang disusun oleh Ginanjar Kartasasmita dikatakan
bahwa keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, yang dibedakan menjadi:
a.
Miskin absolute dikenakan
pengertian kepada seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah
dari pendapatan orang-orang yang berada pada garis kemiskinan. Pada tahun 1993,
angka pengeluaran minimum sebagai batas garis kemiskinan absolut ditetapkan
pemerintah sebesar Rp. 27.905 per kapita perbulan untuk daerah perkotaan, dan
Rp. 18.224 untuk daerah
pedesaan.
b.
Miskin relative adalah keadaan perbandingan antara kelompok
pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin
karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari garis kemiskinan,
dan kelompok yang relatif lebih kaya.[5]
Kemiskinan
juga diukur berdasarkan pola waktu, yang dibedakan menjadi:
a.
Persistent poverty, yaitu
kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Kemiskinan seperti ini umumnya
menempati daerah-daerah yang krisis sumber daya alamnya atau daerah terisolasi.
b.
Cyclical poverty, yaitu
kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan.
c.
Seasonal poverty, yaitu miskin
musiman, seperti sering dijumpai pada kasus nelayan, dan pertanian tanaman
pangan.
d.
Accidental poverty, yaitu
kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak akibat kebeijaksanaan
tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Menurut
Ginanjar kondisi kemiskinan disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab,
yaitu:
1)
Rendahnya taraf pendidikan
2)
Rendahnya derajat kesehatan
3)
Terbatasnya lapangan kerja, dan
4)
Kondisi keterisolasian.[6]
2.
Problematika Keluarga Miskin
Kemiskinan dapat dikategorikan
sebagai salah satu masalah sosial yang banyak menarik perhatian para ahli, khususnya
para sosiolog, ekonomi dan budayawan bahkan rohaniawan. Mereka antara lain
telah berbicara tentang tolak ukur atau indikator kemiskinan, sebab-sebab
terjadinya kemiskinan serta cara-cara untuk mengatasinya. Pembicaraan masalah
ini telah diangkat berbagai kesempatan seminar, diskusi, melalui media masa dan
lain sebagainya.
Sebagian mereka berpendapat bahwa kemiskinan lebih
ditujukan kepada orang-orang yang taraf kehidupan ekonominya tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok dan ada pula yang melihat kemiskinan
kasih sayang dan sebagainya. Demikian pula mengenai sebab-sebab terjadinya
kemiskinan, ada yang yang mengatakan karena sikap metal yang malas, tidak
tersedianya kesempatan kerja, karena tertindas, pendidikan yang rendah dan
lain-lain.
Bagi umat Islam yang meyakini
al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, sepantasnya mencoba untuk menjelaskan
masalah kemiskinan tersebut dan keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an itu.
Tolak ukur kemiskinan tidak banyak disinggung oleh ulama Islam klasik, kecuali
di dasarkan pada aspek ekonomi atau income perkapita seseorang dalam
hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari. Hal ini biasanya mereka singgung sepintas ketika mereka
berbicara tentang mustahiq (orang-orang yang berhak) menerima zakat.
Allah SWT berfirman:
$yJ¯RÎ)
àM»s%y¢Á9$#
Ïä!#ts)àÿù=Ï9
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur
$pkön=tæ
Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur
öNåkæ5qè=è%
Îûur
É>$s%Ìh9$#
tûüÏBÌ»tóø9$#ur
Îûur
È@Î6y
«!$#
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
(
ZpÒÌsù
ÆÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
íOÎ=tæ
Ò OÅ6ym
(التوبه:: ÇÏÉÈ)
Artinya: “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah[7],
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. al-Taubah (9) :60)
Al-Ghazali misalnya
meletakkan bahwa yang disebut orang miskin adalah mereka yang memperoleh
penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[8]
Selain itu ada pula yang menyamakan orang miskin dengan orang fakir, yaitu
mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai kebalikan dari
orang kaya, yaitu mereka yang dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Seseorang dapat pula dikatakan mampu atau kaya apabila orang itu memiliki
kelebihan harta seukuran satu nisab dari kebutuhan pokoknya dan anak-anaknya
yang meliputi kebutuhan dalam bidang sandang, pangan, papan, minuman,
kendaraan, sarana untuk bekerja dan lain sebagainya.[9]
Orang-orang yang tidak memiliki semua itu dapat dikategorikan sebagai orang
fakir atau miskin yang berhak memperoleh zakat.
Dari pendapat-pendapat
tersebut, nampak bahwa indikator kemiskinan selalu diukur dari hal-hal yang
bersifat material konsumtif, dan tidak terdapat petunjuk tentang kemiskinan
dari sudut mental spiritual. Lalu bagaimanakah kemiskinan menurut al-Qur’an? Buku kajian tematik al-Qur’an
tentang konstruksi sosial dijelaskan bahwa
di dalam al-Qur’an terdadapat 22 ayat yang berbicara mengenai
kemiskinan, indikator kemiskinan dikaitkan dengan berbagai aspek yaitu:[10]
1. Kemiskinan
terkadang dihubungkan dengan orang yang kekurangan makanan, sehingga mereka
perlu diberikan makanan. Firman Allah SWT:
wur
Ùçts
4n?tã
ÇP$yèsÛ
ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$#
(الهاقه: ÇÌÍÈ
)
Artinya:
“Dan juga Dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi Makan orang miskin”
(Q.S al-Haqqah( 69) :34). Lihat juga (QS al-Mudatstsir (74): 44, QS
al-Fajr (89):18, QS al-Maun
(107):3, QS
al-Mujadalah (58): 4, al-Maidah (5): 89
2. Kemiskinan
dihubungkan dengan jenis pekerjaan, yang biasanya pekerjaan kasar yang banyak
mengandalkan otot dan tenaga tanpa didukung dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seperti isyarat firman Allah yang berbunyi:
$¨Br&
èpoYÏÿ¡¡9$#
ôMtR%s3sù
tûüÅ3»|¡yJÏ9
tbqè=yJ÷èt
Îû
Ìóst7ø9$#
Nur'sù
÷br&
$pkz:Ïãr&
tb%x.ur
Nèduä!#uur
Ô7Î=¨B
äè{ù't
¨@ä.
>puZÏÿy
$Y7óÁxî
(الكهفى:
ÇÐÒÈ
)
Artinya: “Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera”. (Q.S. al-Kahfi (18) :79 )
3.
Kemiskinan dihubungkan dengan kekurangan memperoleh
hak-haknya sebagai manusia. Firman Allah SWT:
ÏN#uäur
#s
4n1öà)ø9$#
¼çm¤)ym
tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur
tûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
wur
öÉjt7è?
#·Éö7s? (الاسرا: ÇËÏÈ)
Artinya: ”Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros”.( Q.S. al-Isra’(17):26 )
Dalam
ayat ini indikator kemiskinan dikaitkan dengan adanya pemberian hak-haknya,
yaitu mereka yang kehilangan haknya untuk meraih sukses dalam kehidupan,
seperti hak memperoleh pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, perlindungan
hukum, kesempatan berprestasi, dan lain sebagainya.
4.
Kemiskinan dihubungkan dengan hilangnya penghargaan atau
penghormatan orang lain kepadanya, yaitu mereka tidak diperdulikan dan tidak
diperhitungkan, dianggap sepi yang semua itu secara psikologis dapat membawa
penderitaan. Firman Allah SWT:
br&
w
$pk¨]n=äzôt
tPöquø9$#
/ä3øn=tæ
×ûüÅ3ó¡ÏiB
(القلام:
ÇËÍÈ)
Artinya:
“Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu".(Q.S. al-Qalam (68) :24)
Dalam
ayat ini kata miskin dikaitkan dengan
larangan Tuhan kepada mereka agar jangan masuk ke kebun. Menurut informasi ayat
17 sampai dengan ayat 23 surat 68 itu, bahwa yang dimaksud dengan kebun
tersebut adalah kebun milik orang musyrikin Quraisy. Mereka memetik hasilnya di
pagi hari dan tidak menyisihkan sedikitpun untuk orang miskin.
Dengan demikian indikator
kemiskinan menurut keterangan al-Qur’an tidak hanya terbatas pada kurangnya
sandang, pangan, dan papan serta minuman, tetapi juga meliputi pada hilangnya
hak-hak, kesempatan, penghargaan serta hal-hal lainnya yang bersifat spiritual
psikologis. Orang yang tidak dihargai, tidak disayangi dan tidak diperhitungkan
juga tergolong orang miskin.
Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono
Tjiptoherijanto[11]
mengatakan bahwa keluarga tahap pra-sejahtera (keluarga sangat miskin)
ditunjukkan dengan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum
seperti kebutuhan menjalankan perintah agama (tidak melakukan sembahyang sesuai
dengan perintah agama masing-masing), makanan (minimum dua kali makan per
hari), pakaian (lebih dari satu pasang pakaian ), dan perumahan (porsi yang
lebih besar dari lantai bukan terdiri dari tanah), kesehatan dan keluarga
berencana (dibawa ke pusat kesehatan jika sakit).[12]
Kesejahteraan sosial pada hakikatnya adalah tata kehidupan dan
penghidupan sosial meteril dan sprituil
yang meliputi keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin.
Sehingga setiap warga negara dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik
kebutuhan rohani, jasmani, dan sosial
secara baik yang tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi keluarga
dan masyarakat.
3.
Pentingnya Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam Pengentasan
Kemiskinan Keluarga Miskin
Pemerintah berupaya terus menerus untuk
menanggulangi permasalahan kemiskinan dengan berbagai program seperti raskin
(beras miskin), bantuan beras murah yang bisa dibeli masyarakat miskin dengan
harga murah juga gakin (keluarga miskin) berupa bantuan pengobatan gratis bagi
masyarakat miskin dibeberapa rumah sakit umum (RSU) yang telah ditunjuk
pemerintah. Ada juga bantuan langsung tunai (BLT) diberikan kepada masyarakat
miskin sebagai kompensasi kenaikan BBM (bahan bakar minyak). Dan terhitung
mulai tahun 2007 pemerintah mencoba sebuah Program Keluarga harapan (PKH).
Tujuan utama PKH adalah membantu
mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya
manusia pada kelompok masyarakat sangat
miskin. Dalam jangka pendek, bantuan ini membantu mengurangi beban pengeluaran
RTSM, sedangkan untuk jangka panjang, dengan mensyaratkan keluarga penerima untuk menyekolahkan anaknya baik di
sekolah umum maupun di madrasah, melakukan imunisasi balita, memeriksakan
kandungan bagi ibu hamil, dan perbaikan gizi, diharapkan akan memutus rantai
kemiskinan.[13]
Peserta PKH akan menerima bantuan
berupa bantuan uang tunai yang dapat diambil di Kantor Pos terdekat dengan
membawa Kartu Anggota dan tidak dapat diwakilkan. Besarnya bantuan tergantung
dari kondisi masing-masing keluarga. Selain itu jumlah bantuan akan berubah
dari waktu ke waktu tergantung kondisi keluarga yang bersangkutan dan kepatuhan
keluarga dalam memenuhi kewajiban. Bantuan yang diberikan berkisar dari Rp.
600.000,- hingga Rp. 2.200.000,-. Terdiri dari bantuan tetap Rp. 200.000,-,
bantuan pendidikan SD/MI Rp. 400.000,-, dan bantuan pendidikan SMP/MTs Rp.
800.000,-. Selain itu ada bantuan untuk pelayanan kesehatan untuk ibu hamil
atau nifas, bayi atau balita sebesar Rp. 800.000,-. Bantuan itu akan dibayarkan
4 kali dalam satu tahun melalui kantor pos terdekat.[14]
Program serupa di negara lain
dikenal dengan sitilah conditional cash transfers (CCT). Berdasarkan
pengalaman negara-negara lain program serupa sangat bermanfaat terutama bagi
keluarga dengan kemiskinan kronis. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan
kondisi sosial ekonomi rumah tangga sangat miskin (RTSM), meningkatkan status
kesehatan dan gizi ibu hamil/nifas dan anak di bawah umur 6 tahun. Juga
meningkatkan angka partisipasi pendidikan anak-anak usia wajib belajar SD dan
SMP. Serta meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan RTSM. Untuk jangka pendek bantuan
diberikan melalui bantuan uang tunai
kepada RTSM. Bantuan ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran rumah
tangga sangat miskin. Sehingga mereka ada kesempatan untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan (kewajiban) lain yang bersifat keagamaan (seperti shalat,
membaca al-Qur’an, puasa dan ibadah-ibadah lain). Sedangkan untuk jangka
panjang melalui kewajiban yang telah ditentukan
dengan harapan akan terjadi perubahan pola pikir dan prilaku terhadap
perbaikan prilaku terhadap perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil
serta tingkat pendidikan anak-anak RTSM tersebut sehingga rantai kemiskinan
keluarga tersebut dapat terputus.
[1] Sarwono Kusumaatmadja, Politik dan Kemiskinan, (Depok:
koekoesan, 2007), cet-1, h. 1-2
[3] Anonymous, Planning and Management of sector programme, (Society for
Development Studies, New Delhi, t.t),
[4]Biro Pusat Statistik (BPS) 2005
[5] Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat, (Jakarta:
CDIES, 1996), h. 35
[6] Ibid
[7]
Yang berhak
menerima zakat ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak
mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin:
orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus
zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4.
Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk
Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk
melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang:
orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak
sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan
umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan
kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu
mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah
sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat
mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. (al-Qur’an Word)
[8]Muhammad Jamaluddin al-Qasimi Addimasqi, Mau’idzah al-Mu’minin
min Ihya Ulum al-Din, (Tp. Temapt: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra,
tp.th). h. 128, bisa dilihat juga dalam buku Kajian tematik al-Qur’an
tentang Konstruktif Sosial, Editor Abudin Nata, (Bandung: Angkasa Bandung,
2008), cet.-1, h. 154
[9] Ibid, h. 155
[10]Sofiah, Kajian tematik
al-Qur’an tentang Konstruktif Sosial, Editor Abudin Nata, (Bandung: Angkasa
Bandung, 2008), cet.-1, h. 154
[11] Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptoherijanto, op.cit, cet-1,
h. 27
[12]. Ibid
[13] Tim Penyusun Buku PKH, Buku Pendamping Program Keluarga
Harapan, (Jakarta: DirJamKesSos, 2007) , h. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar