Cari Blog Ini

Kamis, 31 Mei 2018

Konsep Penyusunan Peraturan Daerah


. Konsep Penyusunan Peraturan Daerah

       Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, ada dua produk hukum  yang dapat dibuat oleh suatu daerah, salah satunya adalah peraturan daerah. Kewenangan membuat peraturan daerah (Perda), merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya, peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, untuk penyelenggaraan otonomi yang dimiliki oleh provinsi /kabupaten/kota, serta tugas pembantuan. Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing -masing daerah. Perda yang dibuat oleh satu daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah.
1.  Kewenangan Pemerintah Daerah Membentuk Peraturan Daerah
            Secara etimologis, kata desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat.[1]
            Konsep tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah melalui cara delegasi kepada pejabat-pejabatnya di daerah atau dengan devolusi kepada badan-badan otonom daerah. Sementara itu, dalam Encylopedia of the Social Sciences disebutkan bahwa the process of decentralization denotes the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from higher level of government to alower (desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislative, judikatif atau administratif).[2]
            Sedangkan otonomi berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan, yang dapat diartikan secara harafiah otonomi dapat berarti hukum atau peraturan sendiri. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual indenpendence. Dalam pengertian ini ada 2 (dua) ciri hakekat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual indenpendence. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau condition of living under one’s own laws. Dengan demikian dengan adanya otonomi daerah, daerah yang memiliki kecakapan diri secara hukum (legal self Sufficiency) yang bersifat pemerintahan sendiri (self government) yang diatur oleh hukum sendiri (ownlaws).[3]
            Melalui penerapan sistem desentralisasi, diharapkan daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sehingga tujuan perubahan sistem pemerintahan daerah, yaitu adanya peningkatan taraf kehidupan masyarakat di daerah untuk mencapai kebahagiaan yang diharapkan setiap individu dapat tercapai. Dalam kaitan tersebut, derah dituntut harus kreatif dalam menangani dan mengelola sumber daya, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimiliki daerah. Dengan kreativitas yang dimiliki masing-masing daerah, diharapkan daerah mampu melakukan pembaharuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah masing-masing dan memajukan daerah itu sendiri. Desentralisasi diharapkan mampu menjadi salah satu alat untuk mengatasi krisis di daerah. Berbagai potensi perubahan sosial-ekonomi yang ada dalam masyarakat harus didorong oleh pemerintah daerah, sehingga potensi itu dapat membantu daerah keluar dari krisis.
            Dalam konteks hubungan antara pusat dengan daerah, sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah bergeser dari sistem yang sentralistik menjadi sistem yang mengedepankan otonomi dengan berpijak pada prinsip desentralisasi. Penerapan prinsip desentralisasi sebagai dasar berpijak penyelenggaraan pemerintahan daerah membangun konstelasi baru sistem otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab yang memberikan hak dan wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Hakekat Pembentukan Peraturan Daerah
           
            Pembentukan hukum tersebut harus didasarkan pada kebenaran fakta yang terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan kebenaran fakta tersebut pembentukan hukum harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap suatu aturan tertentu yang mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat.
            Menurut Samuel  dalam bukunya Epistemology and Method in Law, mengemukakan bahwa pengetahuan hukum terdiri dari pengetahuan tentang aturan dan pengetahuan tentang konstruksi fakta. Objek ilmu hukum adalah model hukum dibangun dari fakta-fakta. Gagasan bahwa fakta-fakta cara dibangun secara internal menuju cara yang mereka demikian dipandang, mampu menciptakan dimensi normatif yang terpisah dari aspek normatif yang terikat pada aturan hukum.[4]         
Pengertian peraturan daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah adalah: peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala daerah baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dasar Pembentukan Peraturan Daerah dimaksud:
a.    Pasal 22 ayat (3) UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah mengamanatkan bahwa peraturan daerah di bentuk oleh pemerintah         daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan; serta ayat (3) peraturan daerah yang dimaksud merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundan-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah
b.    Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan yang diatur dalam peratur      an pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang urusan pemerintahan antara   pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah         kabupaten/kota.
Peraturan daerah merupakan salah satu produk hukum yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan.  Menurut Talizidhuhu pemerintahan adalah gejala sosial, artinya terjadi di dalam hubungan antar anggota masyarakat, baik induvidu dengan induvidu, kelompok dengan kelompok, maupun antar induvidu dan kelompok. Di sana seseorang atau suatu kelompok dalam proses atau interaksi sosial terllihat dominan terhadap orang atau kelompok lain.[5]  Dari sesiologi, seperti yang di lakukan oleh Max Weber “The Three Types of Legitimate Rule”dalam Etzioni (ed), complex organization maupun oleh Rober Mclver dalam The Web of Government, ternyata dominasi itu bersumber pada beberapa hal: pertama waktu, misalnya dominasi orang yang lebih tua terhadap orang lain, kedua, lokasi, misalnya dominasi daerah yang kondisinya lebih baik terhadap daerah lainnya, ketiga tradisi, misalnya kesetiaan orang terhadap nilai-nilai turun-temurun, keempatpenaklukan, misalnya dominasi kelompok penakluk terhadap kelompok yang di taklukkan.
Sedangkan S. Pamudji mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badang-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujan nasional), sedangkan pemerintahan dalam arti sempit, adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara.[6]
Berdasarkan hal tersebut di atas  maka pemerintah berkewajiban melaksanakan program-program pemerintahan di dasarkan kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penyusunan peraturan daerah terutama menyangkut masalah penerapan nilai-nilai syariah maka menurut Imam Malik kepentingan atau kemaslahatan umum adalah salah satu dari sumber-sumber syariah, dengan tiga syarat yaitu: kepentingan umum atau kemasalahatan umum, kepentingan atau kemaslahatan umum itu harus selaras (in harmony with) dengan jiwa syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber syari’ah itu sendiri, kepentingan atau kemaslahatan umum itu haruslah merupakan suatu yang esensia (diperlukan) dan bukan hal yang bersifat kemewahan.[7]
1.      Perkawinan Menurut Islam
                        Pernikahan dalam Islam adalah ketika masing-masing pasangan telah setuju untuk menikah dan sesama muslim maka penikahan itu bisa di langsungkan. menikah adalah sunah rasulullah. barang siapa yang tidak menikah maka bukan termasuk golongan nabi. selain peritah rasulullah juga perintah dari Allah SWT dalam surat An-Nuur ayat 32 dan surat Qs. An Nahl ayat 72 sebagai berikut :
وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم     * سورة النور
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,dan orang-orang yanglayak (menikah) dari hamba sahayamu yang  lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. an-Nuur  : 32).
Firman Allah SWT dalam surat An.Nahl: 72 sebagai berikut:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ   وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ * سورة النحل
Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan     bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan      rezeki yang baik-baik (Qs. an Nahl: 72).

             Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. 
             Menikah dan kehidupan berkeluarga merupakan salah satu Sunnatullah terhadap akhluk, yang mana dia merupakan sesuatu yang umum dan mutlak dalam dunia kehidupan hewan serta tumbuh -tumbuhan. Adapun manusia: bahwasanya Allah tidak menjadikannya seperti apa yang ada  pada kehidupan selainnya yang bebas dalam penyaluran syahwat, bahkan menentukan beberapa peraturan yang sesuai dengan kehormatannya, memelihara kemuliaan dan menjaga kesuciaannya, yaitu dengan melakukan pernikahan syar'i yang menjadikan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita merupakan hubungan mulia, dilandasi oleh keridhoan, dibarengi oleh ijab kabul, kelembutan serta kasih sayang. Sehingga bisa menyalurkan syahwatnya dengan cara benar, menjaga keturunan dari kerancuan dan juga sebagai penjagaan bagi wanita agar tidak dijadikan sebagai mainan bagi setiap orang yang menjamahnya.      
             Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Qurˆan bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
             Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlak yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
        Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
a. Islam menganjurkan nikah
            Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan al-Qurˆan dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
b. Tujuan perkawinan dalam Islam
1). Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2). Untuk membentengi ahlak yang luhur
                Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

            4). Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
5).  Mencari keturunan yang shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani adam.Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.



                [2]ibid
                [3]ibid
                [4] Victor J. Sedubun,  Kajian filsafat Hukum,Jurnal  Sasi Vo. 16 No. 3 Bulan Juli-September 2010
                [5]Taziduhu Ndraha, Metodologi Ilmu Pemerintahan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h.6
                [6] Victor J. Sedebun, op.cit.
                [7] Dalmeri,  Prospek Demokrasi: Dilema antara Penerapan Syariat Islam dan Penegakkan Hak Asasi Manusia, Jurnal  Salam Vo. 15 No. 2  Desember 2012


Tidak ada komentar: