.
Konsep Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, ada dua produk hukum yang dapat dibuat oleh suatu daerah, salah
satunya adalah peraturan daerah. Kewenangan membuat peraturan daerah (Perda),
merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah
dan sebaliknya, peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD, untuk penyelenggaraan otonomi yang dimiliki
oleh provinsi /kabupaten/kota, serta tugas pembantuan. Perda pada dasarnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing -masing daerah. Perda yang dibuat
oleh satu daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan
mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah.
1. Kewenangan Pemerintah Daerah Membentuk
Peraturan Daerah
Secara etimologis,
kata desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu de yang berarti
lepas dan centrum yang berarti pusat. Desentralisasi adalah melepaskan
diri dari pusat.[1]
Konsep tersebut
menunjukkan bahwa desentralisasi proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada
daerah melalui cara delegasi kepada pejabat-pejabatnya di daerah atau dengan
devolusi kepada badan-badan otonom daerah. Sementara itu, dalam Encylopedia
of the Social Sciences disebutkan bahwa the process of decentralization
denotes the transference of authority, legislative, judicial or administrative,
from higher level of government to alower (desentralisasi adalah penyerahan
wewenang dari tingkat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Pemerintahan yang
lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislative, judikatif atau
administratif).[2]
Sedangkan otonomi
berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang
berarti hukum atau peraturan, yang dapat diartikan secara harafiah otonomi
dapat berarti hukum atau peraturan sendiri. Menurut Encyclopedia of Social
Science, otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self
sufficiency of social body and its actual indenpendence. Dalam pengertian
ini ada 2 (dua) ciri hakekat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan
actual indenpendence. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan
politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau
condition of living under one’s own laws. Dengan demikian dengan adanya
otonomi daerah, daerah yang memiliki kecakapan diri secara hukum (legal self
Sufficiency) yang bersifat pemerintahan sendiri (self government)
yang diatur oleh hukum sendiri (ownlaws).[3]
Melalui penerapan
sistem desentralisasi, diharapkan daerah mampu mengatur dan mengurus rumah
tangganya sehingga tujuan perubahan sistem pemerintahan daerah, yaitu adanya
peningkatan taraf kehidupan masyarakat di daerah untuk mencapai kebahagiaan
yang diharapkan setiap individu dapat tercapai. Dalam kaitan tersebut, derah
dituntut harus kreatif dalam menangani dan mengelola sumber daya, baik itu
sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimiliki daerah. Dengan
kreativitas yang dimiliki masing-masing daerah, diharapkan daerah mampu
melakukan pembaharuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah
masing-masing dan memajukan daerah itu sendiri. Desentralisasi diharapkan mampu
menjadi salah satu alat untuk mengatasi krisis di daerah. Berbagai potensi
perubahan sosial-ekonomi yang ada dalam masyarakat harus didorong oleh
pemerintah daerah, sehingga potensi itu dapat membantu daerah keluar dari
krisis.
Dalam konteks
hubungan antara pusat dengan daerah, sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah
bergeser dari sistem yang sentralistik menjadi sistem yang mengedepankan
otonomi dengan berpijak pada prinsip desentralisasi. Penerapan prinsip
desentralisasi sebagai dasar berpijak penyelenggaraan pemerintahan daerah
membangun konstelasi baru sistem otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab yang memberikan hak dan wewenang kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Hakekat Pembentukan Peraturan Daerah
Pembentukan hukum
tersebut harus didasarkan pada kebenaran fakta yang terjadi dalam masyarakat.
Berdasarkan kebenaran fakta tersebut pembentukan hukum harus dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap suatu aturan tertentu yang mengendalikan perilaku
individu dalam masyarakat.
Menurut
Samuel dalam bukunya Epistemology and
Method in Law, mengemukakan bahwa pengetahuan hukum terdiri dari
pengetahuan tentang aturan dan pengetahuan tentang konstruksi fakta. Objek ilmu
hukum adalah model hukum dibangun dari fakta-fakta. Gagasan bahwa fakta-fakta
cara dibangun secara internal menuju cara yang mereka demikian dipandang, mampu
menciptakan dimensi normatif yang terpisah dari aspek normatif yang terikat
pada aturan hukum.[4]
Pengertian peraturan daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang
No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah adalah: peraturan perundang-undangan
yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala daerah
baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dasar Pembentukan Peraturan Daerah dimaksud:
a.
Pasal
22 ayat (3) UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah mengamanatkan bahwa
peraturan daerah di bentuk oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat
daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan; serta
ayat (3) peraturan daerah yang dimaksud merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundan-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas
masing-masing daerah
b.
Kewenangan
yang dimaksud adalah kewenangan yang diatur dalam peratur an pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Peraturan daerah merupakan salah satu produk hukum yang mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan.
Menurut Talizidhuhu pemerintahan adalah gejala sosial, artinya terjadi
di dalam hubungan antar anggota masyarakat, baik induvidu dengan induvidu,
kelompok dengan kelompok, maupun antar induvidu dan kelompok. Di sana seseorang
atau suatu kelompok dalam proses atau interaksi sosial terllihat dominan
terhadap orang atau kelompok lain.[5] Dari sesiologi, seperti yang di lakukan oleh
Max Weber “The Three Types of Legitimate Rule”dalam Etzioni (ed),
complex organization maupun oleh Rober Mclver dalam The Web of Government,
ternyata dominasi itu bersumber pada beberapa hal: pertama waktu,
misalnya dominasi orang yang lebih tua terhadap orang lain, kedua,
lokasi, misalnya dominasi daerah yang kondisinya lebih baik terhadap daerah
lainnya, ketiga tradisi, misalnya kesetiaan orang terhadap nilai-nilai
turun-temurun, keempatpenaklukan, misalnya dominasi kelompok penakluk
terhadap kelompok yang di taklukkan.
Sedangkan
S. Pamudji mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan pemerintah
yang dilakukan oleh organ-organ atau badang-badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujan nasional),
sedangkan pemerintahan dalam arti sempit, adalah perbuatan memerintah yang
dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan
pemerintahan negara.[6]
Berdasarkan
hal tersebut di atas maka pemerintah
berkewajiban melaksanakan program-program pemerintahan di dasarkan kepada hukum
dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penyusunan peraturan daerah terutama
menyangkut masalah penerapan nilai-nilai syariah maka menurut Imam Malik
kepentingan atau kemaslahatan umum adalah salah satu dari sumber-sumber
syariah, dengan tiga syarat yaitu: kepentingan umum atau kemasalahatan umum, kepentingan
atau kemaslahatan umum itu harus selaras (in harmony with) dengan jiwa
syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber syari’ah itu
sendiri, kepentingan atau kemaslahatan umum itu haruslah merupakan suatu yang
esensia (diperlukan) dan bukan hal yang bersifat kemewahan.[7]
1.
Perkawinan Menurut Islam
Pernikahan
dalam Islam adalah ketika masing-masing pasangan telah setuju untuk
menikah dan sesama muslim maka penikahan itu bisa di langsungkan. menikah
adalah sunah rasulullah. barang siapa yang tidak menikah maka bukan termasuk
golongan nabi. selain peritah rasulullah juga perintah dari Allah SWT dalam
surat An-Nuur ayat 32 dan surat Qs. An Nahl ayat 72 sebagai berikut :
وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من
عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم * سورة النور
Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,dan orang-orang yanglayak
(menikah) dari hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya)
dan Maha Mengetahui.” (QS. an-Nuur :
32).
Firman
Allah SWT dalam surat An.Nahl: 72 sebagai berikut:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ
مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ
وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ * سورة
النحل
Bagi
kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian
sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan
kepada kalian Dia berikan rezeki
yang baik-baik (Qs. an Nahl: 72).
Islam adalah agama yang syumul
(universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah
pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah
yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan
sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam
masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari
kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi
menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana
mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah
dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan
pesona.
Menikah
dan kehidupan berkeluarga merupakan salah satu Sunnatullah terhadap akhluk,
yang mana dia merupakan sesuatu yang umum dan mutlak dalam dunia kehidupan
hewan serta tumbuh -tumbuhan. Adapun manusia: bahwasanya Allah tidak
menjadikannya seperti apa yang ada pada
kehidupan selainnya yang bebas dalam penyaluran syahwat, bahkan menentukan
beberapa peraturan yang sesuai dengan kehormatannya, memelihara kemuliaan dan
menjaga kesuciaannya, yaitu dengan melakukan pernikahan syar'i yang menjadikan
hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita merupakan
hubungan mulia, dilandasi oleh keridhoan, dibarengi oleh ijab kabul, kelembutan
serta kasih sayang. Sehingga bisa menyalurkan syahwatnya dengan cara benar,
menjaga keturunan dari kerancuan dan juga sebagai penjagaan bagi wanita agar
tidak dijadikan sebagai mainan bagi setiap orang yang menjamahnya.
Perkawinan
atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak
pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki
dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut
peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Qurˆan
bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan
Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan
perkahwinan dan mengharamkan zina.
Persoalan perkawinan adalah persoalan
yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini
bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi
juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur,
karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan
nilai-nilai ahlak yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan kecil
dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah
(perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok
dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia
menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan
penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah
fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah
merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
a. Islam menganjurkan nikah
a. Islam menganjurkan nikah
Islam telah menjadikan ikatan
perkawinan yang sah berdasarkan al-Qurˆan dan As-Sunnah sebagai satu-satunya
sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana
untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan
perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan
separuh agama.
b. Tujuan
perkawinan dalam Islam
1). Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang
asasi perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan
dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain
sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2). Untuk membentengi ahlak yang luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya
perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia
dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat
manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai
sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan.
4).
Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk
beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut
pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan
amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai
menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
5). Mencari keturunan yang shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan
dan mengembangkan bani adam.Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan
hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi
yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT.Tentunya
keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam
yang benar.
[1]https://www.academia.edu/2759012/Desentralisasi_dan_Otonomi_Daerah_di_Indonesia_Konsep_Pencapaian_dan_Agenda_Kedepan diakses tanggal 5 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar