Metode Pembelajaran Bahasa Arab
1.
Metode Langsung (Direct Method)
Direct artinya
langsung. Direct Method atau metode langsung yaitu suatu cara menyajikan
materi pelajaran bahasa asing dimana guru langsung menggunakan bahasa asing
tersebut sebagai bahasa pengantar, dan tanpa menggunakan bahasa anak didik
sedikitpun dalam mengajar. Jika ada suatu kata-kata yang sulit dimengerti anak
didik, guru dapat mengartikan dengan menggunaka alat peraga, mendemonstrasikan,
menggambarkan dan lain-lain.
Pada prinsipinya, metode langsung (Direct
Method) ini sangat utama dalam mengajar bahasa asing, karena melalui metode
ini siswa dapat langsung melatih kemahiran lidah tanpa menggunakan bahasa ibu.
Meskipun pada mulanya terlihat sulit anak didik untuk menirukanya, tapi metode
ini menarik bagi anak didik.
2.
Metode Praktek – Teori
Metode ini sesuai dengan namanya, lebih menekankan
pada kemampuan praktis dari teori. Perbandingannya 7 unit materi praktis dan 3
unit materi yang bersifat teoritis. Belajar bahasa asing lebih dulu
mengutamakan praktik, lalu diringi dengan teori (tata bahasa).
Penggunaan metode ini yang dipentingkan
adalah bagaimana siswa dapat mampu berbahasa asing itu secara praktis bukan
teoritis. Oleh sebab itu, pengajaran harus diarahkan pada kemampuan komunikatif
atau percakapan, sedangkan gramatika dapat diajarkan sambil lalu saja.
Pada tingkat awal materi pelajaran praktis
dapat dipilih dan diterapkan pada hal-hal yang sederhana, seperti percakapan
sehari-hari yang ada hubungannya dengan dunia sekolah anak didik atau
lingkungan rumah tangga dan masyarakat lebih luas atau dapat pula menyebutkan
rincian nama-nama benda dan kata kerja sebagai dasar pembentukan bahasa
percakapan.
Sedangkan pada tingkat lanjutan atas, materi
pelajaran dikembangkan lebih luas dan komplek melalui percakapan teoritis dan
penalaran ilmiah.
3.
Metode Membaca (Reading Method)
Metode membaca (Reading Method) yaitu menyajikan materi pelajaran dengan cara
lebih dulu mengutamakan membaca, yakni guru mula-mula membacakan topik-topik
bacaan, kemudian diikuti oleh siswa. Tapi kadang-kadang guru dapat menunjuk
langsung siswa untuk membacakan pelajaran tertentu lebih dulu, siswa lain
memperhatikan dan mengikutinya.
Teknik metode membaca dapat dilakukan dengan
cara guru langsung membacakan materi pelajaran dan siswa disuruh memperhatikan/
mendengarkan bacaan-bacaan guru dengan baik, setelah itu guru menunjuk salah
satu diantara siswa untuk membacakannya, dengan jalan berganti-ganti.
Setelah masing-masing siswa mendapat giliran
membaca, guru mengulangi bacaan itu sekali lagi diikuti semua siswa, hal ini
terutama pada tingkat-tingkat pertama.
Kemudian guru mencatatkan kata-kata sulit
atau baru yang belum diketahui siswa di papan tulis untuk dicatat di buku
catatan untuk memperkaya perbendaharaan kata-kata, hingga selesai topik-topik yang telah ditentukan.
4.
Metode Gramatika – Terjemah (Grammatical Translation
Method)
Metode
ini merupakan gabungan antara metode gramatika dengan metode menerjemah (translation).
Metode ini dapat dikatakan ideal dari salah satu metode gramatika. Karena
kelemahan dari salah satu atau keduanya dari metode tersebut (gramatika dan
terjemah) telah sama-sama saling menutupi dan melengkapi, artinya materi gramatika
terlebih dahulu diajarkan dan kemudian pelajaran menerjemah, pelaksanaanya
sejalan.
5.
Metode Campuran (Electic Methods)
Electic dapat diartikan campuran, kombinasi
atau gado-gado dalam bahasa Indonesia.
Metode eletic yaitu cara menyajikan bahan
pelajaran bahasa asing di depan kelas dengan melalui kombinasi beberpa metode,
misalnya; metode Direct dengan metode grammar – translation bahkan
dengan metode reading sekaligus dipakai dalam suatu kondisi pengajaran.
Melalui metode ini siswa banyak diberi
latihan-latihan misalnya, latihan bercakap-cakap dalam bahasa asing sesama
siswa atau guru dengan siswa. Tema percakapan tidak ditetapkan secara ketat,
siswa bebas bercakap-cakap dalam bahasa asing apa saja (sesuai dengan
perbendaharaan kata-kata yang telah mereka kuasai). Sangat menarik jika metode
listening dan reading ini memakai alat peraga seperti ; video atau radio kaset
dapat melihat dan menyimak langsung proses bacaan / radio kaset.
6.
Metode Dengar-Lihat (Ţariqah Sam’iyyah Başariyyah/Audiovisual Method)
Metode
ini dikenal dengan keharusan penggunaan audio
visual aids / mu’inat sam’iyyah başariyyah yang menekankan memberi
pengalaman secara nyata kepada siswa dengan cara melihat langsung, merasa,
merasa, dan mendengar tentang hal-hal yang dipelajarinya. Jadi, inti pengajaran
antara lain film strip, radio, TV, tape recorder, dan sebagainya, lebih
diutamakan penggunaan benda asli sebagai peraga.
Pelajaran
dimulai dengan penyajian film strip
dan presentasi rekaman. Rekaman-rekaman bunyi menyajikan suatu dialog yang
telah disesuaikan dengan mode atau naratif. Kerangka film strip tersebut berkaitan dengan suatu ucapan. Dengan kata
lain, imajinasi visual dan ucapan lisan saling melengkapi satu dengan yang lain
dan secara bersama-sama membangun unit semantik.
Pada fase berikutnya, makna kelompok-kelompok peragaan pun
dijelaskan melalui pendemonstrasian, penyimakan selektif dan tanya jawab.
Kemudian, pada ketiga dialog itu diulangi beberapa kali dan diingat dengan cara
memutar kembali rekaman dan film strip,
atau dengan praktik di laboratorium bahasa.
Pada
tahap berikutnya, fase perkembangan, para siswa secara bertahap dibebaskan dari
penyajian rekaman dan film strip,
misalnya dengan cara menampilkan film
strip tanpa rekaman atau tanpa suara. Para siswa diminta mengingat komentar
yang sesuai dengan visualisasi itu atau mereka membuat komentar, atau bisa juga
dengan cara pokok bahasan skenario itu diubah dan diterapkan kepada siswa, keluarga,
teman-temannya, dengan bantuan tanya jawab atau bermain peran.
A.
Acuan
Teori yang Berkaitan dengan Fokus
Pengembangan metode pengajaran dibangun di atas landasan teori-teori
ilmu jiwa (psikologi), ilmu bahasa (linguistik). Psikologi
menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu. Lungistik memberikan informasi
tentang seluk-beluk bahasa. Informasi dari keduanya, diramu menjadi suatu cara
atau metode yang memudahkan proses belajar mengajar, untuk mencapai tujuan
tertentu. Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat teori-teori dalam kedua
bidang ilmu tersebut dalam hubungannya dengan belajar dan mengajar bahasa.
1.
Teori-teori
Ilmu Jiwa ( ‘Ilmu al-Nafs / Psychology )
Para ahli psikologi pembelajaran sepakat bahwa dalam proses
belajar-mengajar terdapat unsur-unsur (1) internal, yaitu bakat, minat, kemauan
dan pengalaman terdahulu dalam diri pembelajar, (2) eksternal, yaitu
lingkungan, guru, buku teks dan lainnya. Yang menjadi pokok perselisihan adalah
jawaban terhadap pertanyaan “unsur manakah yang menjadi faktor dominan atau
paling besar pengaruhnya dalam proses pembelajaran?”
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri melalui dua mazhab
psikologi yakni mazhab behaviorisme (al-sulữkiyah) dan Kognitive (al-ma’rifiyah). Mazhab pertama memberikan
perhatian lebih besar kepada faktor-faktor eksternal, sedangkan mazhab kedua
lebih memfokuskan perhatiannya kepada faktor internal.
Secara singkat akan dijelaskan kedua mazhab tersebut sebagai
berikut:
a.
Mazhab
Behaviorisme
Pelopor mazhab ini adalah ilmuwan Rusia Pavlov (1849-1939) yang
termasyhur dengan teorinya yang menghubungan stimulus primer (makanan) dan
stimulus sekunder (nyala lampu dan bunyi lonceng) dengan respon (keluar air
liur) anjing yang dijadikan sebagai hewan percobaan. Berdasarkan penelitian
Pavlov, air liur anjing mengalir pada saat lampu menyala meskipun tanpa ada
makanan. Ilmuwan berikutnya adalah Edward L. Thorndike dengan teori “hukum
efek” nya yang memberikan perhatian kepada ganjaran dan hukuman (reward dan
punishment / al-śawāb wal
‘iqāb). Menurutnya, ganjaran memperkuat
hubungan antara stimulus dan respon, sebaliknya hukuman melemahkannya. B.F.
Skinner berpendapat serupa, tetapi dia memakai istilah penguatan (reinforcement
– al-ta’zīz) menggantikan ganjaran. Skinner
berpendapat bahwa al-śawāb atau al-ta’zīz bukan
saja memperkuat hubungan antara stimulus dan respon tetapi juga memotivasi
untuk belajar merespon.
Dari paparan tersebut tampak jelas bahwa yang menjadi perhatian
utama para penganut mazhab behaviorisme dalam pembelajaran adalah “faktor-faktor
eksternal” dan bahwa “merekayasa lingkungan pembelajaran” adalah cara yang
efektif untuk mencapai tujuan. Dalam pengajaran bahasa, mazhab behaviorisme ini
melahirkan oral-oral (tarīqah sani’iyyah syafahiyyah). Dalam pendekatan ini peran guru sangat dominan karena dialah yang
memiliki bentuk stimulus, memberikan ganjaran dan hukuman, memberikan penguatan
dan menentukan jenisnya dan memilih buku, materi, cara mengajarkan dan
pertanyaan. Pendekatan ini memberikan perhatian utama kepada kegiatan latihan,
drill, menghafal kosa kata, dialog, teks bacaan, lebih mengutamakan bentuk luar
bahasa (pola, struktur, kaidah) dari pada kandungan isinya, dan mengutamakan
kesahihan dan akurasi dari pada kemampuan interaksi dan komunikasi.
b.
Mazhab
Kognitive
Para ahli psikolinguistik pengikut mazhab kognitif, antara lain Noam
Chomsky dan James Deez, berpandangan bahwa setiap manusia memiliki kesiapan
fitrah (alamiah) untuk belajar bahasa. Manusia lahir dibekali oleh Sang
Pencipta dengan piranti pemerolehan bahasa atau LAD ( Language Acuisition
Device ) / جهاز استيعا ب ( اكتسا
ب ...
Aliran Kognitive mengembangkan teorinya berdasarkan beberapa
hipotesa berikut :
Pertama, bahwa setiap manusia memiliki kemampuan bawaan yang disebut
dengan alat pemerolehan bahasa. Oleh karena itu kemampuan berbahasa bersifat
kreatif dan lebih ditentukan oleh faktor internal.
Kedua, bahwa pembelajaran tidak hanya sebatas proses pembiasaan
melainkan penuh kesadaran dan bermakna, dan pengetahuan yang sadar tentang tata
bahasa adalah penting.
Ketiga, siswa bekerja dengan sumber-sumber kecakapan dirinya (yaitu
keberadaan struktural kognitif, pengalaman, emosi dan pengetahuan tentang
dunia) bukan dengan yang lain, sebagaimana mereka bertanggung jawab untuk apa
mereka belajar.
Pelopor aliran kognitif diantaranya Auserber dan Carrol, mereka
berhipotesa bahwa bahasa merupakan bawaan kodrat manusia yang telah ada sejak
lahir, tumbuh dan matang pada tahun pertama kehidupannya. Pembawaan inilah yang
membantu seseorang belajar bahasa dan menggunakannya dalam komunikasi. Faktor
bakat berbahasa ini hanya pada manusia dan tidak terdapat pola pada makhluk
lain.[1]
Auserber Carrol dalam mendeskripsikan urutan fase-fase belajar
bahasa menurut teori kognitif modern adalah sebagai berikut :
1.
Indra
siswa menangkap sebagian stimulus dari luar.
2.
Siswa
memilih stimulus yang cocok dengan kemauan, kebutuhan dan kemampuannya.
3.
Siswa
mencocokkan stimulus yang dipulihkan dengan pengalaman-pengalaman terdahulu,
mengaitkannya dan menginterpretasikan menurut dorongan kemampuan, kemauannya
dan dimana stimulus muncul.
4.
Siswa
menyeleksi sebuah alternatif dari berbagai alternatif yang mungkin dijadikan
respon bagi stimulus dengan memperhatikan kebutuhan, kemampuan dan kondisi di
sekelilingnya.
5.
Siswa
memberikan respon terhadap stimulus lingkungan dengan mengadakan tingkah laku
bila ia tahu bahwa apa yang dilakukan tidak sesuai menurut pandangan dan
kondisinya lalu ia memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.
6.
Siswa
dalam mempelajari respon dan mengulanginya dalam beberapa kondisi yang serupa
bila respon tersbut mendapat penguatan internal atau eksternal juga bila respon
memenuhi kebutuhannya dan sasaran yang ingin dicapainya dan mendapat dukungan
faktor-faktor eksternal indrawi dan insani.[2]
2.
Pendekatan
Metode Komunikatif
Metode ini berlandas pada teori yang
menyatakan bahwa bahasa adalah alat untuk berkomunikasi.[3]
Dengan demikian tujuan pengajaran bahasa adalah mengembangkan apa yang disebut
oleh Hymes sebagai kompetensi kumunikatif (Malakah Al-ittishal / communicative
competence), yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan dan
dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan demikian penggunaan bahasa tidak
hanya terbatas pada empat keterampilan berbahasa, tetapi mencakup beberapa
kemampuan dalam kerangka komunikasi yang luas, sesuai dengan peran dari
partisipan situasi dan tujuan interaksi.
Teori pembelajaran bahasa yang
melandasi metode komunikatif dapat dilihat dari praktik pelaksanaannya. Menurut
Richards dan Rodgers[4], ada
tiga prinsip pengajaran bahasa yang melandasi metode ini, yaitu :
1)
Prinsip komunikasi (Mabda’ al-ittişal / Communication Principle)
yang menyatakan bahwa semua kegiatan bahasa yang melibatkan siswa secara aktif
dalam kegiatan komunikatif yang sebenarnya bisa mempermudah terjadinya proses
pembelajaran bahasa. Dengan kata lain, belajar bahasa
adalah belajar berkomunikasi merupakan tujuan yang paling utama.
2)
Prinsip tugas (Mabda’ al-muhimmat / Task Principle)
yang menyatakan bahwa proses pembelajaran bisa berlangsung baik apabila
kegiatan-kegiatan berbahasa ditujukan kepada penyelesaian tugas-tugas yang
bermakna.
3)
Prinsip
kebermaknaan (Mabda’ al-ma’nawiyyah / Meaning Principle) yang menyatakan
bahwa bahasa yang digunakan harus bisa memberi makna kepada siswa untuk
mendukung berlangsungnya proses pembelajaran.
[1] Ahmad Satori Ismail, Ke Arah
Pengembangan Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Tarbiyatuna) 2003, hal, 15.
[2] Shalah Abdul Majid Al-Ta’allum al-Lugha:t
al Hayyah wa Ta’li:muha. (Bairut : Maktabat al Lubnan.
[3] Kharma,
nayif, Aliy Hallaj, al-Lughah al Ajnabiyyah, Ta’limuha wa Ta’allumuhâ, (al
Shafâh al Kuwait : al Majlis al-Wathaniy li al-Tsaqâfah wa al-Funun wa al-Adab)
1988 hal 183.
[4] Richards, Rodgers, Approaches and
Methods in Language Teaching, (New York : Cambridge University
Press), hal 161.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar