Cari Blog Ini

Selasa, 01 Mei 2018

Metode Pembelajaran Bahasa Arab


Metode Pembelajaran Bahasa Arab
1.      Metode Langsung (Direct Method)
Direct artinya langsung. Direct Method atau metode langsung yaitu suatu cara menyajikan materi pelajaran bahasa asing dimana guru langsung menggunakan bahasa asing tersebut sebagai bahasa pengantar, dan tanpa menggunakan bahasa anak didik sedikitpun dalam mengajar. Jika ada suatu kata-kata yang sulit dimengerti anak didik, guru dapat mengartikan dengan menggunaka alat peraga, mendemonstrasikan, menggambarkan dan lain-lain.
Pada prinsipinya, metode langsung (Direct Method) ini sangat utama dalam mengajar bahasa asing, karena melalui metode ini siswa dapat langsung melatih kemahiran lidah tanpa menggunakan bahasa ibu. Meskipun pada mulanya terlihat sulit anak didik untuk menirukanya, tapi metode ini menarik bagi anak didik.
2.      Metode Praktek – Teori
Metode ini sesuai dengan namanya, lebih menekankan pada kemampuan praktis dari teori. Perbandingannya 7 unit materi praktis dan 3 unit materi yang bersifat teoritis. Belajar bahasa asing lebih dulu mengutamakan praktik, lalu diringi dengan teori (tata bahasa).
Penggunaan metode ini yang dipentingkan adalah bagaimana siswa dapat mampu berbahasa asing itu secara praktis bukan teoritis. Oleh sebab itu, pengajaran harus diarahkan pada kemampuan komunikatif atau percakapan, sedangkan gramatika dapat diajarkan sambil lalu saja.
Pada tingkat awal materi pelajaran praktis dapat dipilih dan diterapkan pada hal-hal yang sederhana, seperti percakapan sehari-hari yang ada hubungannya dengan dunia sekolah anak didik atau lingkungan rumah tangga dan masyarakat lebih luas atau dapat pula menyebutkan rincian nama-nama benda dan kata kerja sebagai dasar pembentukan bahasa percakapan.
Sedangkan pada tingkat lanjutan atas, materi pelajaran dikembangkan lebih luas dan komplek melalui percakapan teoritis dan penalaran ilmiah.
3.      Metode Membaca (Reading Method)
Metode membaca (Reading Method)  yaitu menyajikan materi pelajaran dengan cara lebih dulu mengutamakan membaca, yakni guru mula-mula membacakan topik-topik bacaan, kemudian diikuti oleh siswa. Tapi kadang-kadang guru dapat menunjuk langsung siswa untuk membacakan pelajaran tertentu lebih dulu, siswa lain memperhatikan dan mengikutinya.
Teknik metode membaca dapat dilakukan dengan cara guru langsung membacakan materi pelajaran dan siswa disuruh memperhatikan/ mendengarkan bacaan-bacaan guru dengan baik, setelah itu guru menunjuk salah satu diantara siswa untuk membacakannya, dengan jalan berganti-ganti.
Setelah masing-masing siswa mendapat giliran membaca, guru mengulangi bacaan itu sekali lagi diikuti semua siswa, hal ini terutama pada tingkat-tingkat pertama.
Kemudian guru mencatatkan kata-kata sulit atau baru yang belum diketahui siswa di papan tulis untuk dicatat di buku catatan untuk memperkaya perbendaharaan kata-kata, hingga selesai topik-topik  yang telah ditentukan.
4.      Metode Gramatika – Terjemah (Grammatical Translation Method)
Metode ini merupakan gabungan antara metode gramatika dengan metode menerjemah (translation). Metode ini dapat dikatakan ideal dari salah satu metode gramatika. Karena kelemahan dari salah satu atau keduanya dari metode tersebut (gramatika dan terjemah) telah sama-sama saling menutupi dan melengkapi, artinya materi gramatika terlebih dahulu diajarkan dan kemudian pelajaran menerjemah, pelaksanaanya sejalan.
5.      Metode Campuran (Electic Methods)
Electic dapat diartikan campuran, kombinasi atau gado-gado dalam bahasa Indonesia.
Metode eletic yaitu cara menyajikan bahan pelajaran bahasa asing di depan kelas dengan melalui kombinasi beberpa metode, misalnya; metode Direct dengan metode grammar – translation bahkan dengan metode reading sekaligus dipakai dalam suatu kondisi pengajaran.
Melalui metode ini siswa banyak diberi latihan-latihan misalnya, latihan bercakap-cakap dalam bahasa asing sesama siswa atau guru dengan siswa. Tema percakapan tidak ditetapkan secara ketat, siswa bebas bercakap-cakap dalam bahasa asing apa saja (sesuai dengan perbendaharaan kata-kata yang telah mereka kuasai). Sangat menarik jika metode listening dan reading ini memakai alat peraga seperti ; video atau radio kaset dapat melihat dan menyimak langsung proses bacaan / radio kaset.
6.      Metode Dengar-Lihat (Ţariqah Sam’iyyah Başariyyah/Audiovisual Method)
Metode ini dikenal dengan keharusan penggunaan audio visual aids / mu’inat sam’iyyah başariyyah yang menekankan memberi pengalaman secara nyata kepada siswa dengan cara melihat langsung, merasa, merasa, dan mendengar tentang hal-hal yang dipelajarinya. Jadi, inti pengajaran antara lain film strip, radio, TV, tape recorder, dan sebagainya, lebih diutamakan penggunaan benda asli sebagai peraga.
Pelajaran dimulai dengan penyajian film strip dan presentasi rekaman. Rekaman-rekaman bunyi menyajikan suatu dialog yang telah disesuaikan dengan mode atau naratif. Kerangka film strip tersebut berkaitan dengan suatu ucapan. Dengan kata lain, imajinasi visual dan ucapan lisan saling melengkapi satu dengan yang lain dan secara bersama-sama membangun unit semantik.
Pada fase berikutnya, makna kelompok-kelompok peragaan pun dijelaskan melalui pendemonstrasian, penyimakan selektif dan tanya jawab. Kemudian, pada ketiga dialog itu diulangi beberapa kali dan diingat dengan cara memutar kembali rekaman dan film strip, atau dengan praktik di laboratorium bahasa.
Pada tahap berikutnya, fase perkembangan, para siswa secara bertahap dibebaskan dari penyajian rekaman dan film strip, misalnya dengan cara menampilkan film strip tanpa rekaman atau tanpa suara. Para siswa diminta mengingat komentar yang sesuai dengan visualisasi itu atau mereka membuat komentar, atau bisa juga dengan cara pokok bahasan skenario itu diubah dan diterapkan kepada siswa, keluarga, teman-temannya, dengan bantuan tanya jawab atau bermain peran.

A.    Acuan Teori yang Berkaitan dengan Fokus
Pengembangan metode pengajaran dibangun di atas landasan teori-teori ilmu jiwa (psikologi), ilmu bahasa (linguistik). Psikologi menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu. Lungistik memberikan informasi tentang seluk-beluk bahasa. Informasi dari keduanya, diramu menjadi suatu cara atau metode yang memudahkan proses belajar mengajar, untuk mencapai tujuan tertentu. Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat teori-teori dalam kedua bidang ilmu tersebut dalam hubungannya dengan belajar dan mengajar bahasa.

1.      Teori-teori Ilmu Jiwa ( ‘Ilmu al-Nafs / Psychology )
Para ahli psikologi pembelajaran sepakat bahwa dalam proses belajar-mengajar terdapat unsur-unsur (1) internal, yaitu bakat, minat, kemauan dan pengalaman terdahulu dalam diri pembelajar, (2) eksternal, yaitu lingkungan, guru, buku teks dan lainnya. Yang menjadi pokok perselisihan adalah jawaban terhadap pertanyaan “unsur manakah yang menjadi faktor dominan atau paling besar pengaruhnya dalam proses pembelajaran?”
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri melalui dua mazhab psikologi yakni mazhab behaviorisme (al-sulkiyah) dan Kognitive (al-ma’rifiyah). Mazhab pertama memberikan perhatian lebih besar kepada faktor-faktor eksternal, sedangkan mazhab kedua lebih memfokuskan perhatiannya kepada faktor internal.
Secara singkat akan dijelaskan kedua mazhab tersebut sebagai berikut:
a.       Mazhab Behaviorisme
Pelopor mazhab ini adalah ilmuwan Rusia Pavlov (1849-1939) yang termasyhur dengan teorinya yang menghubungan stimulus primer (makanan) dan stimulus sekunder (nyala lampu dan bunyi lonceng) dengan respon (keluar air liur) anjing yang dijadikan sebagai hewan percobaan. Berdasarkan penelitian Pavlov, air liur anjing mengalir pada saat lampu menyala meskipun tanpa ada makanan. Ilmuwan berikutnya adalah Edward L. Thorndike dengan teori “hukum efek” nya yang memberikan perhatian kepada ganjaran dan hukuman (reward dan punishment / al-śawāb wal ‘iqāb). Menurutnya, ganjaran memperkuat hubungan antara stimulus dan respon, sebaliknya hukuman melemahkannya. B.F. Skinner berpendapat serupa, tetapi dia memakai istilah penguatan (reinforcement – al-ta’zīz) menggantikan ganjaran. Skinner berpendapat bahwa al-śawāb atau al-ta’zīz bukan saja memperkuat hubungan antara stimulus dan respon tetapi juga memotivasi untuk belajar merespon.
Dari paparan tersebut tampak jelas bahwa yang menjadi perhatian utama para penganut mazhab behaviorisme dalam pembelajaran adalah “faktor-faktor eksternal” dan bahwa “merekayasa lingkungan pembelajaran” adalah cara yang efektif untuk mencapai tujuan. Dalam pengajaran bahasa, mazhab behaviorisme ini melahirkan oral-oral (tarīqah sani’iyyah syafahiyyah). Dalam pendekatan ini peran guru sangat dominan karena dialah yang memiliki bentuk stimulus, memberikan ganjaran dan hukuman, memberikan penguatan dan menentukan jenisnya dan memilih buku, materi, cara mengajarkan dan pertanyaan. Pendekatan ini memberikan perhatian utama kepada kegiatan latihan, drill, menghafal kosa kata, dialog, teks bacaan, lebih mengutamakan bentuk luar bahasa (pola, struktur, kaidah) dari pada kandungan isinya, dan mengutamakan kesahihan dan akurasi dari pada kemampuan interaksi dan komunikasi.

b.      Mazhab Kognitive
Para ahli psikolinguistik pengikut mazhab kognitif, antara lain Noam Chomsky dan James Deez, berpandangan bahwa setiap manusia memiliki kesiapan fitrah (alamiah) untuk belajar bahasa. Manusia lahir dibekali oleh Sang Pencipta dengan piranti pemerolehan bahasa atau LAD ( Language Acuisition Device ) / جهاز استيعا ب ( اكتسا ب ...
Aliran Kognitive mengembangkan teorinya berdasarkan beberapa hipotesa berikut :
Pertama, bahwa setiap manusia memiliki kemampuan bawaan yang disebut dengan alat pemerolehan bahasa. Oleh karena itu kemampuan berbahasa bersifat kreatif dan lebih ditentukan oleh faktor internal.
Kedua, bahwa pembelajaran tidak hanya sebatas proses pembiasaan melainkan penuh kesadaran dan bermakna, dan pengetahuan yang sadar tentang tata bahasa adalah penting.
Ketiga, siswa bekerja dengan sumber-sumber kecakapan dirinya (yaitu keberadaan struktural kognitif, pengalaman, emosi dan pengetahuan tentang dunia) bukan dengan yang lain, sebagaimana mereka bertanggung jawab untuk apa mereka belajar.
Pelopor aliran kognitif diantaranya Auserber dan Carrol, mereka berhipotesa bahwa bahasa merupakan bawaan kodrat manusia yang telah ada sejak lahir, tumbuh dan matang pada tahun pertama kehidupannya. Pembawaan inilah yang membantu seseorang belajar bahasa dan menggunakannya dalam komunikasi. Faktor bakat berbahasa ini hanya pada manusia dan tidak terdapat pola pada makhluk lain.[1]
Auserber Carrol dalam mendeskripsikan urutan fase-fase belajar bahasa menurut teori kognitif modern adalah sebagai berikut :
1.      Indra siswa menangkap sebagian stimulus dari luar.
2.      Siswa memilih stimulus yang cocok dengan kemauan, kebutuhan dan kemampuannya.
3.      Siswa mencocokkan stimulus yang dipulihkan dengan pengalaman-pengalaman terdahulu, mengaitkannya dan menginterpretasikan menurut dorongan kemampuan, kemauannya dan dimana stimulus muncul.
4.      Siswa menyeleksi sebuah alternatif dari berbagai alternatif yang mungkin dijadikan respon bagi stimulus dengan memperhatikan kebutuhan, kemampuan dan kondisi di sekelilingnya.
5.      Siswa memberikan respon terhadap stimulus lingkungan dengan mengadakan tingkah laku bila ia tahu bahwa apa yang dilakukan tidak sesuai menurut pandangan dan kondisinya lalu ia memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.
6.      Siswa dalam mempelajari respon dan mengulanginya dalam beberapa kondisi yang serupa bila respon tersbut mendapat penguatan internal atau eksternal juga bila respon memenuhi kebutuhannya dan sasaran yang ingin dicapainya dan mendapat dukungan faktor-faktor eksternal indrawi dan insani.[2]

2.      Pendekatan Metode Komunikatif
Metode ini berlandas pada teori yang menyatakan bahwa bahasa adalah alat untuk berkomunikasi.[3] Dengan demikian tujuan pengajaran bahasa adalah mengembangkan apa yang disebut oleh Hymes sebagai kompetensi kumunikatif (Malakah Al-ittishal / communicative competence), yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan dan dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan demikian penggunaan bahasa tidak hanya terbatas pada empat keterampilan berbahasa, tetapi mencakup beberapa kemampuan dalam kerangka komunikasi yang luas, sesuai dengan peran dari partisipan situasi dan tujuan interaksi.
Teori pembelajaran bahasa yang melandasi metode komunikatif dapat dilihat dari praktik pelaksanaannya. Menurut Richards dan Rodgers[4], ada tiga prinsip pengajaran bahasa yang melandasi metode ini, yaitu :
1)   Prinsip komunikasi (Mabda’ al-ittişal / Communication Principle) yang menyatakan bahwa semua kegiatan bahasa yang melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan komunikatif yang sebenarnya bisa mempermudah terjadinya proses pembelajaran bahasa. Dengan kata lain, belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi merupakan tujuan yang paling utama.
2)     Prinsip tugas (Mabda’ al-muhimmat / Task Principle) yang menyatakan bahwa proses pembelajaran bisa berlangsung baik apabila kegiatan-kegiatan berbahasa ditujukan kepada penyelesaian tugas-tugas yang bermakna.
3)        Prinsip kebermaknaan (Mabda’ al-ma’nawiyyah / Meaning Principle) yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan harus bisa memberi makna kepada siswa untuk mendukung berlangsungnya proses pembelajaran.


[1]   Ahmad Satori Ismail, Ke Arah Pengembangan Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Tarbiyatuna) 2003, hal, 15. 
     
[2]   Shalah Abdul Majid Al-Ta’allum al-Lugha:t al Hayyah wa Ta’li:muha. (Bairut : Maktabat al   Lubnan.     
[3]   Kharma, nayif, Aliy Hallaj, al-Lughah al Ajnabiyyah, Ta’limuha wa Ta’allumuhâ, (al Shafâh al Kuwait : al Majlis al-Wathaniy li al-Tsaqâfah wa al-Funun wa al-Adab) 1988 hal 183.
[4]   Richards, Rodgers, Approaches and Methods in Language Teaching, (New York : Cambridge  University Press), hal 161.

Tidak ada komentar: