A.
Metodologi
Pengajaran Bahasa Arab
Secara
etimologi, istilah Metodologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
suku kata “Metodos” berarti “cara/jalan” dan “Logos” yang
berarti “ilmu”. Metodologi berarti ilmu tentang cara/jalan. Namun untuk
memudahkan pemahaman tentang metodologi, terlebih dahulu akan dijelaskan
pengertian metode. Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa metode adalah
“cara” kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana kegiatan untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan[1] seiring
dengan itu sebagaimana juga diungkap oleh Mahmud Yunus[2]
الطريقة
أهم من المادة
Metode
lebih penting dari materi. Boleh juga merupakan jalan yang hendak ditempuh oleh
seseorang supaya sampai kepada tujuan.
12
|
Berikut
ini diuraikan teknik umum yang sifatnya heuristic dan praktis :
1.
Persiapan
Seseorang
guru yang baik harus selalu mempersiapkan Mukaddimah, Presentasi, dan Review
dalam setiap topik bahasan. Tujuan pelajaran yang akan diajarkan harus jelas.
Setelah tatap muka, tanya diri apakah tujuan pelajaran telah dicapai atau
belum. Cara-cara dan teknik serta taktik yang akan diberikan hendaknya selalu
menjadi perhatian.
Menambahkan
apa yang diungkapkan di atas, tampaknya senada dengan pandangan yang
dikemukakan Muhammad Athiyah al-Abrasyi[5] bahwa
dalam menyiapkan bahan pelajaran untuk pendidikan modern dewasa ini harus
benar-benar memperhatikan pembawaan, keinginan, perbedaan individu serta
memilih bahan pelajaran yang erat hubungannya dengan lingkungan anak.
Pokok-pokok
materi yang akan disajikan senantiasa disesuaikan taraf perkembangan dan
kemampuan siswa pada tingkat tertentu. Pilih topik dan materi pelajaran yang
menarik hati bagi siswa yang sesuai dengan keinginan jiwa mereka. Buku-buku
bacaan dapat dipilih dan disusun sedemikian rupa hingga menarik dan
menyenangkan siswa.
2.
Berbicaralah
Berbahasa Arab di dalam Kelas
Siswa
membutuhkan pembiasaan tentang bunyi-bunyi yang belum terbiasa bagi mereka.
Guru-guru memperkenalkan bunyi kata-kata dan kalimat-kalimat sederhana yang
dapat dimengerti dan diketahui siswa dalam bahasan sehari-hari misalnya (pena,
pensil, bangku, meja, bunga dan lain-lain). Siswa dengan mudah menangkap
simbol-simbol bahasa asing yang
diajarkan guru.
Sebagai
contoh sederhana dapat diperagakan kepada siswa :
اد
خل !
هل
عندك قلم ؟
ما
ذا على المكتب ؟
Menurut D. Hidayat, untuk meningkatkan keterampilan bercakap dalam
bahasa Arab mutlak diperlukan supaya dapat menciptakan lingkungan berbahasa ( خلق بيئة عربية ) di madrasah Aliyah.
Namun terkendala karena keterbatasan jam pelajaran bahasa Arab di Madrasah
Aliyah yang hanya dua jam pelajaran perminggu.[6]
Perkenalkanlah struktur-sturuktur baru secara lisan, dalam bentuk
pola-pola kalimat yang mengandung arti, setelah terlebih dulu disediakan atau
disusun serasi dari yang mudah, secara beransur-ansur sampai yang rumit.
Murid-murid harus aktif mengucapkan, melakukan, sampai menjadi kebiasaan
sehingga menghayati pola-pola kalimat sampai terbiasa.
Kemudian latihlah secara berulang-ulang dan sampai setiap siswa
mendapat giliran. Para siswa dilatih mengucapkan pola-pola kalimat sampai
benar-benar memahami dan menghayati arti / maksudnya serta hafal, lancar tanpa
berpikir-pikir menyusun kalimat sendiri.
3.
Jangan
Pindah Sebelum Mantap, jangan tertipu oleh jawaban bersama
Menguasai suatu bahasa bagaikan membangun sebuah rumah batu.
Pembangunan harus dimulai dengan memasang pondasi, kemudian batu batanya
disemen supaya tidak goyah. Dalam kondisi yang demikian itu, bila ada
pemasangan batu yang tidak kuat, maka konstruksi keseluruhan akan melemah.
Perkenalkanlah struktur-struktur baru secara lisan, dengan memaknai
media yang efektif. Beri kesempatan siswa untuk mendengar struktur tersebut
berulang kali dan minta mereka mengulangi berkali-kali pula. Tulis di papan
tulis dan suruh mereka menyalin dan seterusnya.
Guru perlu memberikan perhatian supaya siswa memahami suatu pokok
bahasan dan tahu memakainya sebelum pindah ke pokok bahasan selanjutnya. Dan
diperhatikan pula supaya guru tidak
terkecoh oleh jawaban bersama.
4.
Buku
sebagai Alat Pembantu
Buku berfungsi sebagai media untuk mempermudah tugas guru, bukan
sebagai guru. Instruksi haruslah berasal
dari guru dan bukan dari sebuah buku bagaimanapun baiknya sebuah buku.
Guru-guru yang baru mengajar serta guru-guru yang beban mengajarnya
terlalu melampaui batas, akan mudah terperangkap ke dalam “the textbook
trap”. Mereka terkadang berkata “buka halaman 80” misalnya dan seterusnya.
Alokasi waktu dipergunakan untuk membaca dan mengerjakan latihan-latihan dari
buku teks. Guru dan murid sama-sama bergantung pada buku sehingga
ketergantungan yang penuh pada buku.
Oleh karena itu, sebaiknya buku teks hanya dijadikan pelengkap.
Adapun pengenalan terhadap materi dan lisan hendaklah datang dari guru. Buku sebagai
alat bantu atau media, sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa
penggunaan media pengajaran bahasa yang dianggap perlu dibahas lebih lanjut
bagaimana pembuatan dan penggunaannya :[7]
1.
Kepingan /
potongan kertas “Strip Story”
2.
Stick
Figures
3.
Papan
kantong
4.
Flash
Cards (kartu pengikat/kartu yang diperlihatkan
secara sekilas)
5.
OHP (Overhead
Projector)
Secara sistematis kelima media pengajaran di atas akan dibahas satu
persatu sebagai berikut :
1.
Kepingan /
potongan kertas “Strip Story”
Teknik strip story dengan
memakai media kepingan kertas mula-mula dicetuskan oleh Prof. R.E. Gibson dalam
majalah TESOL Quarterly (vol. 9 no. 2) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Marry Ann dan John Boyd (1978) dalam TESOL Newsletter dan dijelaskan dengan
pengalaman langsung di lapangan oleh Carol Lamelin (1979) di majalah yang sama.
Teknik lewat media ini bertitik tolak dari suatu approach yang mengutamakan aktivitas
komunikasi yang sesungguhnya agar kelak siswa dapat dengan mudah dan tidak
sungkan untuk berkomunikasi dengan bahasa asing. Oleh karena itu, secara detail
perlu dikemukakan cara penggunaan dan pembuatan media potongan kertas strip story, sebagai berikut:
a.
Sebelum
masuk kelas :
1)
Guru
memilih suatu topik cerita dalam mutala’ah
atau mahfuzah yang kira-kira
dapat dibagi rata kalimat-kalimatnya kepada siswa.
2)
Kalimat-kalimat
tersebut ditulis atau diketik dengan jelas dengan mengosongkan ruang ekstra
antara setiap kalimat dengan kalimat lain.
3)
Lembaran
kisah tersebut dipotong-potong dengan gunting menjadi berkeping dengan satu
kalimat buat satu kepingan/potongan. Kalau siswanya banyak maka topik tersebut
dapat ditulis berkali-kali pada lembaran yang lain kemudian siswa nantinya
dibagi per-firqah. Setiap firqah mendapat potongan yang materinya
atau topiknya sama dengan firqah
lainnya.
b.
Dalam
kelas :
1)
Kepingan-kepingan
kertas berisi kalimat-kalimat itu dibagi-bagikan secara random kepada siswa.
2)
Guru
meminta siswa menghafal luar kepala kalimatnya dalam sekejap (satu-dua menit).
Siswa-siswa dilarang menulis apa-apa atau memperihatkan kalimatnya kepada orang
lain.
3)
Guru
meminta murid untuk membuang kalimatnya, atau bisa juga, kalimat-kalimat yang
berada pada setiap strip tersebut dikumpulkan kembali. (Ini berarti bahwa
setelah ini, setiap orang harus berpartisipasi aktif agar dapat memproduksikan
suatu cerita dengan aturan bait yang lengkap).
4)
Guru duduk
dan tetap diam. (Kelas jadi tenang ± 1-2 menit).
5)
Guru
meminta para siswa untuk berdiri dari kursi. (Kalau kelas besar/murid banyak,
mereka dibagi per grup). Grup A (putih), grup B (kuning), grup C (merah), grup
D (biru). Setelah ini guru harus betul-betul tenang, diam mendengar dan melihat
apa yang terjadi.
6)
Siswa tampak
sibuk berusaha menyusun cerita (kisah) dengan beberapa variasi kejadian, yaitu:
a)
Kadang-kadang
pemimpin grup akan muncul dengan
sendirinya, bertanya dan menyarankan sesuatu. Terkadang pula murid-murid
mulai bicara sana-sini dengan temannya sampai seluruhnya kelihatan involved.
b)
Sampai
satu waktu secara otomatis semua orang yang ada dalam grup itu akan mendengar
seluruh kalimat yang banyak sekali.
c)
Setelah
kalimat-kalimat itu terdengar beberapa kali, maka tibalah saatnya informasi
(kalimat tak bersambung itu) menjadi tersambung dengan rapi. Menurut Mary dan
John Ann pada saat-saat seperti ini murid menyadari bahwa tugas mereka adalah
menghubung-hubungkan isi potongan-potongan strip
story dengan kepunyaan kawan-kawan mereka. Dalam melaksanakan tugas yang demikian
itu, murid-muridnya tampak mengatur diri mereka dalam bentuk lingkaran kemudian
satu per satu menyebut kalimatnya masing-masing. Hal ini dilakukan agar masalah
identifikasi mufradat dan pemahaman
kalimat dapat lebih dinikmati oleh setiap murid.
7)
Setelah kalimat itu teratur rapi dalam bentuk
sebuah cerita dan mereka semua setuju,
mereka lalu berdiam diri.
8)
Setiap individu menyebut kalimatnya secara
berturut-turut sehingga berbentuk satu
cerita yang teratur.
9)
Kalau waktu masih mengizinkan, murid-murid
bisa diminta untuk menulis kisah tersebut dalam buku mereka dan mereka saling
mendiktekan kalimat mereka dengan temannya.
10) Setelah
semua dilakukan oleh murid, tibalah saatnya teks asli cerita tersebut
dibagi-bagikan atau diperlihatkan melalui overhead
projector. Bila teks asli berbeda dengan versi susunan kisah mereka, maka
secara spontanitas mereka akan membicarakannya beramai-ramai dan sampai di
tengah jalan isi kisah tersebut menjadi bahan perbincangan mereka secara
natural.
2.
Stick figures
Gambar tangan yang
dibuat sendiri oleh guru sewaktu ia mengajar atau yang telah disiapkan
sebelumnya disebut “stick figures” (stick
= tongkat/batang). Gambar yang dimaksud di sini bukanlah gambar yang indah yang
perlu dibuat oleh ahli gambar. Dengan demikian, gambar tersebut dapat dibuat
oleh guru yang tidak pandai menggambar sekalipun.
a.
Ada dua
hal yang perlu diperhatikan dalam membuat stick
figures, yaitu:
1.
Ciri-ciri
tetap pada benda atau situasi yang digambar . Sebagai contoh
gambar wanita dibedakan dengan memakai rok, sedangkan laki-laki dengan mamakai celana laki-laki.
Seorang yang tertawa dapat dibedakan dari seorang yang cemberut pada keadaan
bibirnya.
2.
Bentuknya
sederhana dan jelas mudah dikenal. Tambahan-tambahan yang mungkin mengandung keraguan
dan salah penafsiran hendaknya dihindari. Oleh karena itu, tidak perlu
diusahakan agar gambar itu lebih hidup dan realistik.
b.
Cara
melatih diri membuat stick figures:
1)
Salinlah/copy
gambar-gambar stick figures yang ada
pada tulisan ini.
2)
Perhatikan
dan ingat ciri-ciri khusus setiap gambar
3) Pakailah imajinasi
4)
Latih berkali-kali sampai lancar
Selanjutnya berbagai gambar stick figures dapat dilihat sebagai berikut:
3.
Papan Kantong
Untuk membuat papan kantong
diperlukan papan tripleks dan karton. Kalau tripleks tidak ada, kita bisa
memakai karton tebal.
Papan tripleks/karton tebal kira-kira
90 cm dan tinggi ± 50 cm. Pada papan tripleks/karton ini dilekatkan (dengan lem
atau staple) beberapa deretan kantong karton setinggi ± 5 cm.
Pengajaran bahasa dengan memakai media papan kantong ini
sangat efektif buat pengajaran Al-Insyaa.
Pada deratan kantong karton ini dapat dipindah-pindahkan beberapa
karton-karton kecil yang bertuliskan kata-kata. Sebagai contoh dapat dilihat di
bawah ini:
4.
Flashcard
Flashcard adalah semacam kartu pengingat atau
kartu yang diperlihatkan sekilas kepada siswa. Ukuran biasanya terserah pada
kelasnya. Kalau kelas agak besar kita memakai ukuran 25 x 20 cm. Kartu-kartu
tersebut digambari atau ditulisi atau diberi tanda untuk memberikan petunjuk
atau rangsangan bagi siswa berpikir atau melakukan sesuatu. Contoh:
5.
Overhead
Projector (OHP)
Tampaknya teknologi pengajaran bahasa asing
juga terkena imbasan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi.
Pemakaian media OHP adalah salah satu hasil teknologi tinggi yang merembes
masuk ke dalam dunia pengajaran bahasa. Di universitas-universitas dan
sekolah-sekolah yang sudah maju, OHP bukan lagi merupakan barang baru. OHP
sangat berguna buat kelas-kelas besar karena guru dapat menghadapi siswa sambil
menulis. OHP juga tidak menimbulkan adanya debu seperti halnya pemakaian kapur
di papan tulis. OHP malah sangat mudah digunakan karena tidak menuntut
keterampilan yang rumit. Transparansi pada proyektor dapat dipersiapkan
terlebih dahulu sebelum pelajaran dan selanjutnya dapat digunakan waktu yang
akan datang.
Beragamnya metode pengajaran yang ada
menggambarkan betapa dinamisnya pengajaran bahasa asing dan betapa banyaknya
alternatif metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan bahasa asing, termasuk
bahasa Arab. Sehingga, semestinya guru tidak perlu lagi menghadapi kesulitan
yang berarti dalam pengajaran bahasa.
Berikut ini penulis mencoba
mengemukakan metode terbaru yang banyak menjadi perbincangan oleh para ahli
bahasa diantaranya adalah salah satu prosedur proses belajar mengajar
pendekatan metode komunikatif yang dikemukakan oleh Finochiaro dan Brumpit
(dalam Huda, 1990) sebagai berikut:
1)
Dialog
pendek disajikan dengan didahului penjelasan tentang fungsi-fungsi ungkapan
dalam dialog itu dan situasi dimana dialog itu mungkin terjadi.
2)
Latihan
mengucapkan kalimat-kalimat pokok secara perorangan, kelompok atau klasikal.
3)
Pertanyaan
diajukan tentang isi dan situasi dalam dialog itu, dilanjutkan pertanyaan
serupa, tetapi langsung mengenai situasi masing-masing pelajar. Di sini
kegiatan komunikatif yang sebenarnya telah dimulai.
4)
Kelas
membahas ungkapan-ungkapan komunikatif dalam dialog. Siswa diharapkan menarik
sendiri kesimpulan tentang aturan tata bahasa yang termuat dalam dialog. Guru
memfasilitasi dan meluruskan apabila terjadi kesalahan dan penyimpulan.
5)
Pelajar
melakukan kegiatan menafsirkan dan menyatakan suatu maksud sebagai bagian dari
latihan komunikasi yang lebih bebas dan tidak sepenuhnya berstruktur.
6)
Pengajar
melakukan evaluasi dengan mengambil sampel dari penampilan pelajar dalam
kegiatan komunikasi bebas.
Kemudian penulis akan kemukakan
gambaran umum dari beberapa metode yang masih dapat dipergunakan
atau dipertimbangkan dalam pengajaran bahasa Arab diantaranya:
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995) Edisi ke-2 Cet. Ke-4,
hal. 129.
Technique, Paperpresented at the 34 th GURT (Washington, D.C) : TESOL
[4] Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode
Pengajarannya, (Yogyajarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 68 .
[5] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah
al-Islamiyah, (Kairo : Dar al-Qaumiyah al
Thiba’ah wa al-Nasyr, 1964), hal. 160.
[6] D. Hidayat, al-Lughah Al-Mantiqah Wa Khalqu
Biah Arabiyah,(Jakarta, makalah disampaikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 24 Meu
2007).
[7] Ibid. hal 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar