Cari Blog Ini

Selasa, 01 Mei 2018

Metodologi Pengajaran Bahasa Arab


A.    Metodologi Pengajaran Bahasa Arab
Secara etimologi, istilah Metodologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata “Metodos” berarti “cara/jalan” dan “Logos” yang berarti “ilmu”. Metodologi berarti ilmu tentang cara/jalan. Namun untuk memudahkan pemahaman tentang metodologi, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian metode. Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa metode adalah “cara” kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan[1] seiring dengan itu sebagaimana juga diungkap oleh Mahmud Yunus[2]
الطريقة أهم من المادة 
Metode lebih penting dari materi. Boleh juga merupakan jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya sampai kepada tujuan.
12
Tulisan tentang metodologi pengajaran bahasa ini akan dihubungkan dengan hal-hal yang sifatnya heuristic, Clarke, (1983)[3]. Yang dimaksud heuristic adalah studi tentang penggunaan pengalaman dan usaha-usaha praktis, baik dengan cara mengalami sendiri atau melihat orang lain mengalaminya, sebagai titik tolak berbuat, dalam hal ini mengajarkan bahasa Arab. Sifat heuristic dalam pembahasan berikut berada pada suatu bingkai yang dapat distel sesuai dengan situasi dan kondisi. Ada teknik umum yang layak dapat diterapkan menggunakan heuristic menurut Azhar Arsyad[4]. Teknik ini sifatnya heuristic dan praktis. Ia lahir berdasarkan pengalaman dan dapat dipakai untuk semua umur siswa.
Berikut ini diuraikan teknik umum yang sifatnya heuristic dan praktis :
1.       Persiapan
Seseorang guru yang baik harus selalu mempersiapkan Mukaddimah, Presentasi, dan Review dalam setiap topik bahasan. Tujuan pelajaran yang akan diajarkan harus jelas. Setelah tatap muka, tanya diri apakah tujuan pelajaran telah dicapai atau belum. Cara-cara dan teknik serta taktik yang akan diberikan hendaknya selalu menjadi perhatian.
Menambahkan apa yang diungkapkan di atas, tampaknya senada dengan pandangan yang dikemukakan Muhammad Athiyah al-Abrasyi[5] bahwa dalam menyiapkan bahan pelajaran untuk pendidikan modern dewasa ini harus benar-benar memperhatikan pembawaan, keinginan, perbedaan individu serta memilih bahan pelajaran yang erat hubungannya dengan lingkungan anak.
Pokok-pokok materi yang akan disajikan senantiasa disesuaikan taraf perkembangan dan kemampuan siswa pada tingkat tertentu. Pilih topik dan materi pelajaran yang menarik hati bagi siswa yang sesuai dengan keinginan jiwa mereka. Buku-buku bacaan dapat dipilih dan disusun sedemikian rupa hingga menarik dan menyenangkan siswa.
2.      Berbicaralah Berbahasa Arab di dalam Kelas
Siswa membutuhkan pembiasaan tentang bunyi-bunyi yang belum terbiasa bagi mereka. Guru-guru memperkenalkan bunyi kata-kata dan kalimat-kalimat sederhana yang dapat dimengerti dan diketahui siswa dalam bahasan sehari-hari misalnya (pena, pensil, bangku, meja, bunga dan lain-lain). Siswa dengan mudah menangkap simbol-simbol bahasa asing  yang diajarkan guru.
Sebagai contoh sederhana dapat diperagakan kepada siswa :
اد خل !
هل عندك قلم ؟
ما ذا على المكتب ؟
Menurut D. Hidayat, untuk meningkatkan keterampilan bercakap dalam bahasa Arab mutlak diperlukan supaya dapat menciptakan lingkungan berbahasa ( خلق بيئة عربية ) di madrasah Aliyah. Namun terkendala karena keterbatasan jam pelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah yang hanya dua jam pelajaran perminggu.[6]
Perkenalkanlah struktur-sturuktur baru secara lisan, dalam bentuk pola-pola kalimat yang mengandung arti, setelah terlebih dulu disediakan atau disusun serasi dari yang mudah, secara beransur-ansur sampai yang rumit. Murid-murid harus aktif mengucapkan, melakukan, sampai menjadi kebiasaan sehingga menghayati pola-pola kalimat sampai terbiasa.
Kemudian latihlah secara berulang-ulang dan sampai setiap siswa mendapat giliran. Para siswa dilatih mengucapkan pola-pola kalimat sampai benar-benar memahami dan menghayati arti / maksudnya serta hafal, lancar tanpa berpikir-pikir menyusun kalimat sendiri.
3.      Jangan Pindah Sebelum Mantap, jangan tertipu oleh jawaban bersama
Menguasai suatu bahasa bagaikan membangun sebuah rumah batu. Pembangunan harus dimulai dengan memasang pondasi, kemudian batu batanya disemen supaya tidak goyah. Dalam kondisi yang demikian itu, bila ada pemasangan batu yang tidak kuat, maka konstruksi keseluruhan akan melemah.
Perkenalkanlah struktur-struktur baru secara lisan, dengan memaknai media yang efektif. Beri kesempatan siswa untuk mendengar struktur tersebut berulang kali dan minta mereka mengulangi berkali-kali pula. Tulis di papan tulis dan suruh mereka menyalin dan seterusnya.
Guru perlu memberikan perhatian supaya siswa memahami suatu pokok bahasan dan tahu memakainya sebelum pindah ke pokok bahasan selanjutnya. Dan diperhatikan  pula supaya guru tidak terkecoh oleh jawaban bersama.
4.      Buku sebagai Alat Pembantu
Buku berfungsi sebagai media untuk mempermudah tugas guru, bukan sebagai guru. Instruksi  haruslah berasal dari guru dan bukan dari sebuah buku bagaimanapun baiknya sebuah buku.
Guru-guru yang baru mengajar serta guru-guru yang beban mengajarnya terlalu melampaui batas, akan mudah terperangkap ke dalam “the textbook trap”. Mereka terkadang berkata “buka halaman 80” misalnya dan seterusnya. Alokasi waktu dipergunakan untuk membaca dan mengerjakan latihan-latihan dari buku teks. Guru dan murid sama-sama bergantung pada buku sehingga ketergantungan yang penuh pada buku.
Oleh karena itu, sebaiknya buku teks hanya dijadikan pelengkap. Adapun pengenalan terhadap materi dan lisan hendaklah datang dari guru. Buku sebagai alat bantu atau media, sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa penggunaan media pengajaran bahasa yang dianggap perlu dibahas lebih lanjut bagaimana pembuatan dan penggunaannya :[7]
1.      Kepingan / potongan kertas “Strip Story”
2.      Stick Figures
3.      Papan kantong
4.      Flash Cards (kartu pengikat/kartu yang diperlihatkan secara sekilas)
5.      OHP (Overhead Projector)
Secara sistematis kelima media pengajaran di atas akan dibahas satu persatu sebagai berikut :
1.      Kepingan / potongan kertas “Strip Story”
Teknik  strip story dengan memakai media kepingan kertas mula-mula dicetuskan oleh Prof. R.E. Gibson dalam majalah TESOL Quarterly (vol. 9 no. 2) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Marry Ann dan John Boyd (1978) dalam TESOL Newsletter dan dijelaskan dengan pengalaman langsung di lapangan oleh Carol Lamelin (1979) di majalah yang sama.
Teknik lewat media ini bertitik tolak dari suatu approach yang mengutamakan aktivitas komunikasi yang sesungguhnya agar kelak siswa dapat dengan mudah dan tidak sungkan untuk berkomunikasi dengan bahasa asing. Oleh karena itu, secara detail perlu dikemukakan cara penggunaan dan pembuatan media potongan kertas strip story, sebagai berikut:
a.       Sebelum masuk kelas :
1)        Guru memilih suatu topik cerita dalam mutala’ah atau mahfuzah yang kira-kira dapat dibagi rata kalimat-kalimatnya kepada siswa.
2)        Kalimat-kalimat tersebut ditulis atau diketik dengan jelas dengan mengosongkan ruang ekstra antara setiap kalimat dengan kalimat lain.
3)        Lembaran kisah tersebut dipotong-potong dengan gunting menjadi berkeping dengan satu kalimat buat satu kepingan/potongan. Kalau siswanya banyak maka topik tersebut dapat ditulis berkali-kali pada lembaran yang lain kemudian siswa nantinya dibagi per-firqah. Setiap firqah mendapat potongan yang materinya atau topiknya sama dengan firqah lainnya.
b.   Dalam kelas :
1)      Kepingan-kepingan kertas berisi kalimat-kalimat itu dibagi-bagikan secara random kepada siswa.
2)      Guru meminta siswa menghafal luar kepala kalimatnya dalam sekejap (satu-dua menit). Siswa-siswa dilarang menulis apa-apa atau memperihatkan kalimatnya kepada orang lain.
3)      Guru meminta murid untuk membuang kalimatnya, atau bisa juga, kalimat-kalimat yang berada pada setiap strip tersebut dikumpulkan kembali. (Ini berarti bahwa setelah ini, setiap orang harus berpartisipasi aktif agar dapat memproduksikan suatu cerita dengan aturan bait yang lengkap).
4)      Guru duduk dan tetap diam. (Kelas jadi tenang ± 1-2 menit).
5)      Guru meminta para siswa untuk berdiri dari kursi. (Kalau kelas besar/murid banyak, mereka dibagi per grup). Grup A (putih), grup B (kuning), grup C (merah), grup D (biru). Setelah ini guru harus betul-betul tenang, diam mendengar dan melihat apa yang terjadi.
6)      Siswa tampak sibuk berusaha menyusun cerita (kisah) dengan beberapa variasi kejadian, yaitu:
a)      Kadang-kadang pemimpin grup akan muncul dengan  sendirinya, bertanya dan menyarankan sesuatu. Terkadang pula murid-murid mulai bicara sana-sini dengan temannya sampai seluruhnya kelihatan involved.
b)      Sampai satu waktu secara otomatis semua orang yang ada dalam grup itu akan mendengar seluruh kalimat yang banyak sekali.
c)      Setelah kalimat-kalimat itu terdengar beberapa kali, maka tibalah saatnya informasi (kalimat tak bersambung itu) menjadi tersambung dengan rapi. Menurut Mary dan John Ann pada saat-saat seperti ini murid menyadari bahwa tugas mereka adalah menghubung-hubungkan isi potongan-potongan strip story dengan kepunyaan kawan-kawan mereka. Dalam melaksanakan tugas yang demikian itu, murid-muridnya tampak mengatur diri mereka dalam bentuk lingkaran kemudian satu per satu menyebut kalimatnya masing-masing. Hal ini dilakukan agar masalah identifikasi mufradat dan pemahaman kalimat dapat lebih dinikmati oleh setiap murid.
7)       Setelah kalimat itu teratur rapi dalam bentuk sebuah cerita   dan mereka semua setuju, mereka lalu berdiam diri.
8)       Setiap individu menyebut kalimatnya secara berturut-turut  sehingga berbentuk satu cerita yang teratur.
9)       Kalau waktu masih mengizinkan, murid-murid bisa diminta untuk menulis kisah tersebut dalam buku mereka dan mereka saling mendiktekan kalimat mereka dengan temannya.
10)   Setelah semua dilakukan oleh murid, tibalah saatnya teks asli cerita tersebut dibagi-bagikan atau diperlihatkan melalui overhead projector. Bila teks asli berbeda dengan versi susunan kisah mereka, maka secara spontanitas mereka akan membicarakannya beramai-ramai dan sampai di tengah jalan isi kisah tersebut menjadi bahan perbincangan mereka secara natural.

2.   Stick figures
            Gambar tangan yang dibuat sendiri oleh guru sewaktu ia mengajar atau yang telah disiapkan sebelumnya disebut “stick figures” (stick = tongkat/batang). Gambar yang dimaksud di sini bukanlah gambar yang indah yang perlu dibuat oleh ahli gambar. Dengan demikian, gambar tersebut dapat dibuat oleh guru yang tidak pandai menggambar sekalipun.
a.       Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam membuat stick figures, yaitu:
1.      Ciri-ciri tetap pada benda atau situasi yang digambar . Sebagai       contoh gambar wanita dibedakan dengan memakai rok, sedangkan    laki-laki dengan mamakai celana laki-laki. Seorang yang tertawa dapat dibedakan dari seorang yang cemberut pada keadaan bibirnya.
2.      Bentuknya sederhana dan jelas mudah dikenal. Tambahan-tambahan yang mungkin mengandung keraguan dan salah penafsiran hendaknya dihindari. Oleh karena itu, tidak perlu diusahakan agar gambar itu lebih hidup dan realistik.
b.      Cara melatih diri membuat stick figures:
1)            Salinlah/copy gambar-gambar stick figures yang ada pada tulisan ini.
2)            Perhatikan dan ingat ciri-ciri khusus setiap gambar
                 3)     Pakailah imajinasi
                 4)     Latih berkali-kali sampai lancar
           


           
Selanjutnya berbagai gambar stick figures dapat dilihat sebagai berikut:
 








3.      Papan Kantong
           Untuk membuat papan kantong diperlukan papan tripleks dan karton. Kalau tripleks tidak ada, kita bisa memakai karton tebal.
           Papan tripleks/karton tebal kira-kira 90 cm dan tinggi ± 50 cm. Pada papan tripleks/karton ini dilekatkan (dengan lem atau staple) beberapa deretan kantong karton setinggi ± 5 cm.
           Pengajaran bahasa dengan memakai media papan kantong ini sangat efektif buat pengajaran Al-Insyaa. Pada deratan kantong karton ini dapat dipindah-pindahkan beberapa karton-karton kecil yang bertuliskan kata-kata. Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini:

4.      Flashcard
Flashcard adalah semacam kartu pengingat atau kartu yang diperlihatkan sekilas kepada siswa. Ukuran biasanya terserah pada kelasnya. Kalau kelas agak besar kita memakai ukuran 25 x 20 cm. Kartu-kartu tersebut digambari atau ditulisi atau diberi tanda untuk memberikan petunjuk atau rangsangan bagi siswa berpikir atau melakukan sesuatu. Contoh:                   
5.      Overhead Projector (OHP)
         Tampaknya teknologi pengajaran bahasa asing juga terkena imbasan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi. Pemakaian media OHP adalah salah satu hasil teknologi tinggi yang merembes masuk ke dalam dunia pengajaran bahasa. Di universitas-universitas dan sekolah-sekolah yang sudah maju, OHP bukan lagi merupakan barang baru. OHP sangat berguna buat kelas-kelas besar karena guru dapat menghadapi siswa sambil menulis. OHP juga tidak menimbulkan adanya debu seperti halnya pemakaian kapur di papan tulis. OHP malah sangat mudah digunakan karena tidak menuntut keterampilan yang rumit. Transparansi pada proyektor dapat dipersiapkan terlebih dahulu sebelum pelajaran dan selanjutnya dapat digunakan waktu yang akan datang.
         Beragamnya metode pengajaran yang ada menggambarkan betapa dinamisnya pengajaran bahasa asing dan betapa banyaknya alternatif metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan bahasa asing, termasuk bahasa Arab. Sehingga, semestinya guru tidak perlu lagi menghadapi kesulitan yang berarti dalam pengajaran bahasa.
        Berikut ini penulis mencoba mengemukakan metode terbaru yang banyak menjadi perbincangan oleh para ahli bahasa diantaranya adalah salah satu prosedur proses belajar mengajar pendekatan metode komunikatif yang dikemukakan oleh Finochiaro dan Brumpit (dalam Huda, 1990) sebagai berikut:
1)      Dialog pendek disajikan dengan didahului penjelasan tentang fungsi-fungsi ungkapan dalam dialog itu dan situasi dimana dialog itu mungkin terjadi.
2)      Latihan mengucapkan kalimat-kalimat pokok secara perorangan, kelompok atau klasikal.
3)      Pertanyaan diajukan tentang isi dan situasi dalam dialog itu, dilanjutkan pertanyaan serupa, tetapi langsung mengenai situasi masing-masing pelajar. Di sini kegiatan komunikatif yang sebenarnya telah dimulai.
4)      Kelas membahas ungkapan-ungkapan komunikatif dalam dialog. Siswa diharapkan menarik sendiri kesimpulan tentang aturan tata bahasa yang termuat dalam dialog. Guru memfasilitasi dan meluruskan apabila terjadi kesalahan dan penyimpulan.
5)      Pelajar melakukan kegiatan menafsirkan dan menyatakan suatu maksud sebagai bagian dari latihan komunikasi yang lebih bebas dan tidak sepenuhnya berstruktur.
6)      Pengajar melakukan evaluasi dengan mengambil sampel dari penampilan pelajar dalam kegiatan komunikasi bebas.
   Kemudian penulis akan kemukakan gambaran umum  dari beberapa metode yang masih dapat dipergunakan atau dipertimbangkan dalam pengajaran bahasa Arab diantaranya:


[1]   Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995) Edisi ke-2 Cet. Ke-4, hal. 129.     
[2]   Mahmud Yunus, Prof. (Al-Tarbiyyah wa al-Ta’lim) Padang Panjang, Mathba’ah, 1942.
[3]   Mark Clarke, A. The Scope of Approach, the Importance of Method, and the Nature of          
      Technique, Paperpresented at the 34 th GURT (Washington, D.C) : TESOL
[4]   Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Yogyajarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 68 .
[5]   Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo : Dar al-Qaumiyah al     
     Thiba’ah wa al-Nasyr, 1964), hal. 160.
[6]   D. Hidayat, al-Lughah Al-Mantiqah Wa Khalqu Biah Arabiyah,(Jakarta, makalah disampaikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 24 Meu 2007).
[7]    Ibid. hal 79.

Tidak ada komentar: