Cari Blog Ini

Selasa, 01 Mei 2018

Peraturan dan Tata Tertib Sekolah


A.      Peraturan dan Tata Tertib Sekolah
1.    Pengertian Peraturan dan Tata Tertib Sekolah
Peraturan adalah pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Pola tersebut mungkin ditetapkan oleh orang tua, guru, atau teman bermain. Tujuannya adalah membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tetentu.[1]
Tata tertib sekolah adalah kesediaan mematuhi ketentuan berupa peraturan-peraturan tentang kehidupan sekolah sehari-hari. Tata tertib sekolah disusun secara operasional guna mengatur tingkah laku dan sikap hidup siswa, guru dan karyawan administrasi.[2]
Islam adalah agama yang sarat dengan aturan-aturan.Baik dalam hal beribadah, maupun mua’alah.
(#qãã÷Š$# öNä3­/u %YæŽ|Øn@ ºpuŠøÿäzur 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä šúïÏtF÷èßJø9$# ÇÎÎÈ  
Artinya:
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa dalam berdo’a ada aturanya yaitu tidak boleh berlebihan atau melampaui batas. Begitupun dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan manusia dapat hidup sederhana.
Peraturan dan tata tertib merupakan sesuatu untuk mengatur perilaku yang diharapkan terjadi pada diri siswa. Peraturan menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya umum yang harus dipatuhi siswa. Misalnya peraturan tentang kondisi yang harus dipenuhi oleh siswa di dalam kelas pada waktu proses belajar mengajar berlangsung, seperti tidak keluar masuk kelas tanpa izin, tidak mendengarkan guru menjelaskan pelajaran, tidak mengerjakan tugas, dan lain-lain.
Peraturan dan tata tertib menunjuk pada patokan atau standar untuk aktifitas khusus, misalnya tentangpenggunaan pakaian seragam, penggunaan labor, mengikuti upacara bendera, mengerjakan tugas rumah, pembayaran SPP dan sebagainya. Di lingkungan sekolah, gurulah yang diberi tanggung jawab untuk menyampaikan dan mengontrol berlakunya tata tertib bagi sekolah yang bersangkutan.[3]
Secara umum, peraturan dan tata tertib sekolah dapat diartikan sebagai ikatan atau aturan yang harus dipenuhi oleh setiap warga sekolah tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Peraturan tersebut dibuat secara tertulis dan mengikat di lingkungan sekolah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tata tertib sekolah merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku di sekolah agar proses pendidikan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Pelaksanaan tata tertib sekolah dapat berjalan dengan baik jika guru, aparat sekolah, dan siswa telah saling mendukung terhadap tata tertib sekolah itu sendiri, kurangnya dukungan dari siswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata terib sekolah yang telah ditetapkan.
2.    Tipe-tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Peraturan Sekolah
Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a)    Normatifis, biasanya kepatuhan kepada norma-norma hukum. Kepatuhan terhadap hukum itu terdapat dalam  tiga bentuk yaitu : kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri, kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri, kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b)   Intregeralis yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c)    Fenomenalis yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d)   Hedonis yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.[4]
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang diharapkan adalah yang bersifat normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa mempedulikan apakah tingkah laku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya, dari empat faktor ini, terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu:
1)   Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
2)   Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentu, yaitu: (a) Conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain. (b) Conformist hedonis, yaitu kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”. (c)Conformist integral, yaitu kepatuhan yang menyesuaikan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
3)   Compulsive deviant, yaitu kepatuhan yang tidak konsisten.
4)   Hedonic psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan orang lain.
5)   Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.[5]
3. Fungsi Peraturan Sekolah
Peraturan mempunyai dua fungsi yang sangat penting untuk menjadikan anak sebagai makhluk yang disiplin dan bermoral, yaitu:
a.    Kepatuhan mempunyai nilai pendidikan, sebab peraturan memperkenalkan anak pada perilaku yang disetujui oleh anggota kelompok tersebut. Misalnya anak belajar peraturan tentang memberi dan mendapat bantuan dalam tugas sekolah, bahwa menyerahkan tugas yang dibuatnya sendiri merupakan satu-satunya metode yang bias diterima di sekolah untuk menilai prestasinya.
b.    Peraturan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Bila merupakan peraturan keluarga bahwa tidak seorang anak pun boleh mengambil mainan atau milik saudaranya tanpa izin sipemilik. Anak segera belajar bahwa hal ini dianggap perilaku yang tidak diterima karena mereka dimarahi atau dihukum bila melakukan tindakan ini.
Agar peraturan dapat memenuhi kedua fungsi di atas, maka peraturan tersebut harus dimengerti, diingat dan diterima oleh si anak. Bila peratuan-peraturan diberikan dengan kata-kata yang tidak dimengerti anak, maka peraturan akan menjadi tidak berharga dan gagal dalam mengekang perilaku yang tidak diinginkan.
Bahkan, jika anak-anak mengerti tentang suatu peraturan, mereka mungkin tidak mengingatnya. Sebagai contoh, mereka diberitahu tentang suatu peraturan sewaktu mereka sedang sibuk bermain, perhatian mereka tidak cukup besar untuk mengingatnya beberapa jam kemudian atau hari berikutnya.


[1] Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak Jilid II, (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 85
[2] Soekarto Indarafachrudin, Administrasi Pendidikan, (Malang: Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP), h. 146
[3] Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 122-123
[4] Wina Sanjaya, op.cit., h. 272
[5] Ibid, h. 272-273


Tidak ada komentar: